Gemuruh tetabuhan terus menggema dari hari ke hari, malam ke malam seiring panah melesat di mana-mana serta suara desingan senjata yang mengerikan. Umbul-umbul Kedaton Barat dan Kedaton Timur dipamerkan, menyiratkan kemenangan yang hendak diraih oleh pasukan terkuat. Hari ke enam belas, Wirabhumi berseru dari barisan depan gelaran Wulan Tumanggal* bahwa perang dihentikan sementara demi memberi waktu pada pihak barat untuk melaksanakan pulasara (upacara kematian). Arya terperangah seraya keluar barisan dan menghampiri Bhre Wirabhumi, hendak melayangkan kesangsian karena sebelumnya ia telah menyinyalir junjungannya itu supaya tak memberi kelonggaran sedikit pun pada Kedaton Barat. Sebelum mulutnya terbuka, Wirabhumi terlebih dahulu berkata, "Bagaimanapun, Rajasa Kusuma adalah keponakanku, Paman. Jika ramalan Paman tentang kekalahanku benar adanya, maka biarkan aku mati sebagai kesatria."
"Hamba tak bisa membantah Paduka."
"Terima kasih, Paman."
Pasukan timur menarik langkah, pasukan barat bergeming dengan kehadirat Mpu Dhulangan yang memisahkan diri dari kawannya demi mengantar kabar kematian pada Bhre Wirabhumi. Suara tetabuhan yang mulanya teredam oleh desingan senjata mulai terdengar lagi sebelum lambat laun berhenti sepenuhnya, menandakan perang hari ini usai—bukan berarti kemudian hari tak ada perang lagi. Arya mengamati wajah-wajah di seberang sana yang menampakkan raut kelegaan dan semangat yang mulai berkobar setelah terdesak hampir di puncak kekalahan. Jika Mpu Dhulangan tak nekat terjun demi mengabarkan kematian putra sulung Kusumawardhani dan Wikramawardhana itu, Arya yakin Kedaton Timur bakal memperoleh kemenangan hari itu juga.
🌼
Kedaton Timur tampak ripuh oleh hilir-mudik prajurit yang mengusung senjata rusak kepada pandai besi supaya diperbaiki. Sementara di ruang pandai besi, suara besi yang ditempa turut mengisi kesibukan di wilayah Wirabhumi. Juru masak di dapur menyiapkan makanan untuk seluruh prajurit yang terlibat dalam Perang Paregreg supaya tenaga mereka cepat pulih selepas dikuras berhari-hari. Di ruang kerjanya, Bhre Wirabhumi menyusun strategi baru bersama Mahapatih Reksa Bayan dan beberapa pihak yang dirasa pandai bersiasat, termasuk Arya yang kemudian diangkat menjadi senapati baru bersama Sora Tambong dan Genok Muncar.
Namun setelah mempersiapkan pasukan matang-matang selama perkabungan, lagi-lagi Bhre Wirabhumi harus menahan serangannya demi menghormati kemangkatan Kusumawardhani yang tak disangka-sangka. Gencatan senjata itu cukup membentuk semangat baru dari pihak barat sementara prajurit di pihak timur masih mengistirahatkan diri sambil menunggu mandat dari Bhre Wirabhumi untuk kembali bertempur. Mahapatih dan para senapati rutin berdiskusi bagaimana caranya menggulingkan pihak barat. Arya mendapat banyak lontaran pertanyaan, padahal ia tak tahu strategi perang sama sekali. Ini pengalaman pertamanya menjadi prajurit yang langsung dipercaya menjadi senapati. Naifnya, ia menerima tanggung jawab itu tanpa berpikir panjang.
"Untuk urusan strategi, kurasa Mahapatih Reksa Bayan lebih berpengalaman. Aku hanya sanggup memberi saran jika ada hal yang dirasa kurang tepat." Arya tak mau dianggap bodoh dengan banyak omong kosong tentang siasat yang tak diketahuinya sama sekali. Lebih baik dari awal ia bilang tak sanggup mengatur siasat itu.
🌼
Melihat Senapati Sora Tambong dan Senapati Genok Muncar tewas, nyali Arya semakin ciut menghadapi gempuran yang lebih dahsyat dan tak diduga-duga dari pasukan yang dipimpin Mahapatih Gajah Lembana dari Kedaton Barat itu. Ilmu keprajuritannya benar-benar diuji ketika berhadapan dengan Senapati Gagakngalup yang lebih unggul darinya. Dipanggilnya Ki Lepen sang macan putih untuk membantu, tetapi nihil. Ia sadar tak dapat menggantungkan keselamatan pada Ki Lepen yang hanya bertugas mendampinginya menjalani hidup yang dipilihnya sendiri.
Ia sadar diri, tengah menyandang posisi tak sebanding dengan keahliannya yang belum berpengalaman sebagaimana dua senapati rekannya. Jika dua rekannya yang terlatih itu tewas, Arya yakin dirinya bakal menyusul mereka ke alam baka dalam waktu singkat.
Ilmu bela dirinya cenderung tinggi untuk kawula yang tinggal di pelosok. Lain lagi ketika ia menjejaki kota, terlebih terjun ke laga yuda, adu senjata dengan lawan tanding yang rupanya lebih menguasai ilmu itu. Namun, tekadnya dalam mencegah kekalahan Wirabhumi membuat semangatnya kembali berkobar. Ingin dirinya memastikan Bhre Wirabhumi masih hidup, tetapi Senapati Gagakngalup tak memberi celah barang sejenak untuk melaksanakan keinginannya itu. Ia terus menyerang Arya, yang segera ditangkis menggunakan perisai, tak memberi Arya celah untuk melawan dengan jurus pamungkas yang dimilikinya hingga keturunan Ki Lepen itu kewalahan.
Tubuhnya serasa kena hantaman batu gunung tatkala Senapati Gagakngalup mengeluarkan sebilah keris yang langsung diarahkan pada Arya yang terpelanting. Curang memang. Arya hendak membalas dengan kekuatan kerisnya, tetapi tangannya terlalu bergetar ketika mengarahkan kepada lawan.
Meski gemetar hebat seraya memegang dadanya yang sesak, keris Arya dapat menangkis serangan yang berasal dari dalam keris Gagakngalup. Energinya semakin terkuras, ia pun sadar bahwa kubu timur yang kali ini terdesak oleh kubu barat yang membabi buta. Tak ingat mereka akan kebaikan yang diberikan Wirabhumi sebagai penghormatan atas kemangkatan keponakan dan kakaknya di kubu barat itu.
Sekeras apa pun Arya mencoba mengubah masa depan, garis takdir tetap tak dapat keluar dari kepastiannya oleh manusia biasa sepertinya. Ia tewas di tangan Senapati Gagakngalup yang mampu menembus tameng gaib dengan sebilah keris yang menancap di dada kirinya. Matanya mendelik murka pada Senapati Gagakngalup, seolah-olah dendam akan membuatnya menghantui pembunuh itu. Tak mungkin ia lekas mendapat penanganan dari tabib— Mpu Suragati yang sekiranya tengah menyibukkan diri dengan korban lain yang masih bisa diselamatkan. Nyawa seorang Buntara di ujung tanduk, sebelum lepas sepenuhnya dari raga, serta-merta membawa penyesalan yang bertubi-tubi. Dua puluh tahun lebih ia menunggu Aji Rajanatha duduk di singgasana Tanah Wirabhumi kemudian mengutarakan ramalan Nayaviva dari penglihatan Renjana. Namun semuanya sia-sia, tak ada yang bisa mengubah ketetapan yang digariskan oleh Sang Hyang Widhi.
Dwikara* tampak bersinar merah, seakan-akan turut serta mewarnai seluruh mayapada yang telah dipenuhi genangan darah di tanah berlangsungnya Perang Paregreg. Arya mangkat tanpa tahu nasib akhir yang ditempuh Bhre Wirabhumi serta Bumi Blambangan. Terlebih, tekadnya pulang ke Wanua Bagorejo untuk mengetahui kabar biyungnya terpaksa pupus, manakala Dewata terlalu sayang padanya sehingga mengambilnya untuk berpulang ke jinalaya.
_______
*Wulan Tumanggal : Gelaran perang berbentuk melengkung serupa bentuk awal bulan. Mengandalkan kekuatan di ujung sudut dan di tengah-tengah barisan untuk menggempur.
*Dwikara : Matahari.