Penolakan oleh wanita yang sempat dikecewakannya cukup mencoreng harga diri seorang rakyat Jawa Kuno yang ilmunya bukan sembarang. Hal yang wajar bagi seorang sepertinya berwatak keras lagi teguh pada pendirian. Tersinggung sedikit, takkan pernah dibiarkan begitu saja sebab ia memiliki khodam pendamping berwujud macan putih yang membuatnya lebih sensitif.
Selayaknya amalan yang perlu dilakukan pemilik khodam itu, ia bermeditasi di lereng Gunung Raung. Menguar aroma kemenyan bakar yang diletakkan bersanding dengan sesaji di hadapannya. Seraya merapal mantra, dipusatkannya tempo pernapasan yang teratur dalam keheningan, hingga bayangan sang khodam melintas dalam pusat pikirannya.
“Apa yang kau kehendaki, Buntara?”
“Ki Sardula, kuminta sukma Renjana dan raga Nayaviva kembali ke dekapanku.”
“Tak bisa, pelindungnya akan bentrok dengan kekuatanku. Kalung yang selalu dipakainya memiliki energi dari dua orang berilmu tinggi.”
“Jika begitu, beri kutukan pada keturunan sulungnya. Berikan ia nasib yang sama, bahkan lebih berat. Renjana bilang Nusantara akan dijajah bangsa kulit putih. Lempar sukma raga keturunan pertama itu ke sana.”
“Baik, Buntara. Akan kulakukan sebagaimana janjiku pada leluhurmu yang belum terlaksana.”
“Terima kasih, Ki Sardula.”
Hatinya gundah lagi penasaran terhadap nasib yang menerpa Renjana. Sementara kodrat Nayaviva, ia sudah tahu gadis malang itu telah mangkat, kembali ke Nirwana. Balasan untuk wanita yang membuatnya merasa jadi pria bejat telah ditentukan, diserahkan pada sosok Ki Sardula yang melaksanakan tugas dengan benar sebagai tepatan janji yang pernah dibuatnya pada Ki Lepen, yakni memenuhi satu permintaan besar dari para keturunannya.
Di dalam tubuh Arya, mengalir darah kesatria dari Ki Lepen karena pemuda itu merupakan cicip moning*-nya yang menjadi Rakryan Adipati Singhasari pada masa kepemimpinan Sri Ranggah Rajasa. Darah agung itu didapatkan Arya dari sang bapa bernama Wiluya yang sikapnya menyeleweng sejak membuat perkara dengan wanita bernama Mitha hingga lahir anak laki-laki tak diinginkan bernama Arya Buntara. Perkara itu adalah aib bagi keturunan Ki Lepen yang kebanyakan mendapat pangkat di kadatwan. Wiluya tak mendapat jabatan barang serendah apa pun di istana, memilih mengasingkan diri di pelosok Wirabhumi atau Bumi Blambangan. Meski begitu, nyatanya khodam pendamping yang diwariskan turun-temurun lebih memilih Arya untuk didampinginya. Namun lelaki itu tak gila jabatan, tak pula gila harta sebagaimana keturunan Ki Lepen yang lain. Untuk gila wanita, ia meragukan itu. Akalnya agak kacau hanya seorang dayinta* bernama Renjana yang memakai tubuh Nayaviva.
Ia ditinggalkan begitu saja oleh Renjana yang selama ini dipanggilnya Viva. Ki Sardula tak mampu menembus benteng pertahanan dari kalung di masa depan. Biarkan nanti Renjana merasakan perihnya ditinggalkan bersama rasa penyesalan yang menggunung. Biarkan ia menderita kehilangan anaknya, sebagaimana Arya yang dicuaikan begitu saja dan malah pergi bersama pemuda ceking bermata sipit.
"Mau berkelana ke mana lagi kau? Tak puaskah sebulan menghilang dari rumah membiarkan biyungmu ini sebatang kara?" Mitha menyembur saat Arya tengah mengemasi bekal sekembalinya dari Gunung Raung.
"Biyung, aku akan menekuni bakat melukisku ke ranah istana," tekad Arya.
"Kau pikir hanya butuh waktu sehari berjalan sampai ke kadatwan? Untuk apa pergi sejauh itu dengan bekal sedikit. Tak cukuplah kepingan pisis*-mu itu untuk membayar andong."
"Aku takkan ke ibu kota, tapi ke pusat Wirabhumi untuk menemui bhre di sana dan menawarkan diri untuk menjadi anglukis untuknya."
"Bagus tekadmu itu, Arya. Tapi apa kau tega membiarkanku sendirian di rumah terpencil begini?"
Arya menghela napas. Sungguh ia tak menghendaki biyungnya sedih, tetapi ia tak mau saban hari berada di rumah yang sering kali mengingatkan kebejatannya dalam mengkhianati Viva. "Rumah kita masih berdekatan dengan Yu Nirmala."
"Tetap saja Biyung tak mau kau pergi jauh. Jika kau sudah kerasan di sana, pasti kau enggan kembali ke sini menemuiku."
Dengan bujuk rayu yang menyinggung tentang memperbaiki nama sebagai keturunan Ki Lepen, Mitha tak dapat berkutik mendapati kaki Arya yang menapak semakin jauh dari rumahnya di bagian timur Wanua Bagorejo. Lagi-lagi wanita itu ditinggalkan. Entah oleh Wiluya, kedua menantu, sekarang Arya yang bakal kembali ke rumah ini atau tidak sama sekali. Padahal belum genap sehari Arya kembali dari kegiatan meditasinya, seolah-olah mampir rumah hanya untuk mengambil barang yang tertinggal. Ia tak tahu mesti bagaimana selain berpasrah. Yu Nirmala selaku tetangga terdekat kini jarang sekali bertandang semenjak Viva meninggal dan diperabukan di Wanua Kapundungan. Mitha rasa, ia perlu mengunjungi kawan lamanya di Kapundungan, Lastri yang juga sebatang kara sepertinya. Meski kekesalan masih mencokol sejak sahabatnya itu menikah dengan cinta pertamanya, Kara.
Tekadnya bulat, melangkahkan kaki telanjang di atas setapak lembap yang baru diguyur gerimis. Tas anyaman ditentengnya, berisi oleh-oleh dari Bagorejo berupa pisang setandan. Terbayang bagaimana raut bahagia Lastri ketika mendapat maaf darinya. Sebetulnya bukan salah Lastri sebab ia hanya menerima lamaran dari Kara tanpa mengacaukan hubungan Mitha dan Kara sebelumnya. Tetap saja Mitha yang sakit hati memilih mogok bicara padanya.
Kapundungan tak seperti Bagorejo yang kerap bising akibat wanita-wanita yang berlomba membicarakan orang lain secara keras-keras ketika sedang menumbuk maupun menganyam. Kentara sekali perbedaan dua wanua yang masih satu kuwu itu. Tak ada yang menyapa Mitha di sepanjang jalan hingga ia tiba di pelataran rumah sederhana dari kayu dan bambu. Amat kontras dengan sampingnya yang tampak seperti kediaman pejabat dengan tembok bata merah dan kolam ikan di halaman.
Sesuai yang dibayangkannya, Lastri menampakkan raut paling gembira bahkan memeluk Mitha erat. Tangis haru menyelimuti keduanya kemudian mereka bertukar cerita yang dialami masing-masing sejak persahabatan mereka terbelah.
🌼
Langkahnya tak menampakkan keraguan sedikit pun. Kepalanya masih penuh strategi mendekati Bhre Wirabhumi I melalui kemampuan mumpuninya sebagai anglukis yang dirasa patut mendapat sorotan luar desa. Bahkan ia yakin lukisan Nayaviva yang diselundupkan di kereta kuda Roro Sukmo kala itu telah tiba di luar zaman, entah di tangan Renjana, Pranaja, atau bahkan di museum dan mendapat sorotan banyak manusia. Ah, Arya jadi banyak mengharap.
Selepas mendekati Bhre Wirabhumi, otomatis ia pun akan dekat dengan pemangku takhta kelak yakni Aji Rajanatha yang mendapat gelar Bhre Wirabhumi juga. Meski hubungan kedua bhre itu bukan bapa-anak, tetap saja Arya bisa tetap menjadi orang terdekat sang pemangku takhta jika ia dapat menjadi kepercayaan sebagai anglukis yang piawai. Setelah itu, ia akan berusaha mencegah perang saudara yang sempat diramalkan Renjana.
Namun, kenyataan tak semulus rencana bagai jalanan rata tanpa batu kerikil. Setibanya di Wirabhumi, ia tak dapat mengelak dari pandangan sebelah mata akan dirinya yang berasal dari wanua pelosok. Bahkan, pejabat di sana tak segan-segan menuduhnya menggunakan nama palsu, sebab nama ‘Arya’ hanya dipergunakan oleh orang yang memiliki kedudukan.
Arya mengunci mulut meski kepekaannya kuat ketika mendengar olok-olok dan tatapan menghina itu. Langkahnya senantiasa mantap setelah mendapat izin bertemu penguasa wilayah itu. Tak dipedulikannya permadani merah yang ternoda oleh jejak kaki akibat tanah basah dari perjalanannya. Ia mengetuk pintu di ujung lorong berlapis cat keemasan, kemudian membukanya setelah mendapat persetujuan.
Langsung ia jongkok, melakukan suba sita* di atas rumput teki hingga tiba di depan kaki Bhre Wirabhumi yang beralas terompah kayu. Arya kira ia akan memasuki ruang kerja atau sejenisnya, rupanya pintu itu menuju taman kecil yang berisi kolam ikan lengkap dengan padma terapung, dan beberapa jenis tanaman hias lain di taman itu.
Selepas bangkit atas perintah sang bhre, Arya melakukan sembah di depan hidung* kemudian sang penguasa Wirabhumi menanyakan niatnya yang sangat berani bertemu dengannya. Arya pandangi sekilas sosok yang surainya telah memutih sepenuhnya, berperawakan kurus dan berkumis sama putihnya dengan rambut.
"Gusti Bhre Wirabhumi, dengan penuh keyakinan saya mengajukan diri sebagai anglukis untuk Gusti."
_______
*Cicip moning : Keturunan ke-8.
*Dayinta : Perempuan.
*Pisis : Mata uang logam bernilai rendah.
*Suba sita : Berjalan sambil jongkok, menghaturkan sembah, lalu duduk dengan kepala menunduk.
*Sembah di depan dada : Kepada sesama derajatnya. Sembah di depan hidung : Kepada yang lebih tinggi jabatannya. Sembah di atas kepala : Kepada Tuhan.