Radio tua di sudut ruang makan menyiarkan, seorang pemuda yang hilang tiga tahun lamanya telah kembali dengan keadaan sehat walafiat. Pemuda itu tak mau menceritakan apa saja yang menimpanya dan di mana ia terdampar meski para wartawan berjibun menyodorkan daftar pertanyaan padanya.
Sementara itu, aku menyimak siaran yang terdengar sampai kamar tempatku tergolek di atas kasur kapuk milik kakek-nenekku. Aku berkedip-kedip dengan pandangan linglung bagai bayi baru lahir di dunia, berusaha mengumpulkan ingatan tentang apa yang baru menimpaku.
Kakung Harsono menanyakan apakah aku sudah siap mendengar penjelasannya atau belum, dan aku hanya membisu. Setelah itu, Mbah Sepi menyuruh Kakung pergi dan ia menyuapkan bubur ayam padaku.
"Jana, sebelum kamu semaput selama seminggu, kamu sudah aneh tiga tahun belakangan. Kelakuan dan ucapan kamu sungguh beda. Masa kamu menggunakan bahasa Jawa Kuno dan tindak tandukmu sangat sopan," ucap Mbah Sepi. "Kakung akhirnya tahu kalau tubuhmu ini ditempati oleh jiwa perempuan lain. Kalian sedang bertukar sukma."
"Lalu, sukma perempuan itu sekarang di mana?" tanyaku pelan.
"Sepertinya kembali ke tubuh aslinya, atau malah sudah ke Alam Kelanggengan," jawab Mbah Sepi.
Nayaviva, maafkan aku...
Nenekku itu terus mengoceh, tak memahamiku yang baru saja kembali dari masa lampau sehingga butuh ketenangan. Nama yang disandang oleh wanita beruban itu bertolak belakang dengan karakternya yang ramai.
Kepalaku semakin berdenyut, tetapi ucapannya sangat sayang jika dilewatkan begitu saja. Ia bilang, Ayah dan Ibu membawaku jauh-jauh kemari meminta bantuan Kakung untuk merawatku yang bertingkah aneh. Mereka memercayai Kakung karena ia mewarisi ilmu dan pegangan milik kakek buyutku yang telah wafat sebulan lalu. Aku sangat terpukul mendengar pernyataan itu. Rasa kehilangan melandaku akan sosok sepuh yang gemar menceritakan legenda zaman dahulu, seperti Damarwulan yang memperistri tiga perempuan setelah mengalahkan Prabu Minakjinggo, Nyai Roro Kidul dan ibundanya yang awalnya diasingkan karena penyakit kulit, Sangkuriang yang mengotot untuk menikahi ibunya, dan banyak kisah lain yang pernah diceritakannya.
Mbah Sepi menghentikan tuturannya ketika melihat bulir yang mengalir di pipiku setelah beliau memberitahu wafatnya Mbah Buyut.
"Kakungmu itu mewarisi sebagian ilmu mbah buyutmu. Dia tahu nasib yang menimpamu beserta perempuan yang menempati tubuhmu."
Aku tahu, Mbah Buyut bisa dibilang dukun. Namun, aku pun tahu bahwa beliau tidak menggunakan ilmunya untuk jalan yang sesat, tetapi menolong orang yang tersesat. Kini, ilmu itu menurun pada Kakung, mungkin kelak menurun pada Ayah, atau sirna selamanya karena Ayah kurang tertarik pada hal-hal seperti itu.
“Perempuan itu adalah Nayaviva Citrakara. Aku pun menempati tubuhnya dan bisa merasakan kehidupan di Majapahit. Mbah tahu? Aku pernah ikut menari di keraton saat perayaan tujuh hari kelahiran Rajakumari Kusumawardhani," kataku dengan mata berkaca, merasa kehilangan separuh jiwaku yang merindukan tempat itu, seolah-olah separuh jiwaku yang lain masih betah tertinggal di sana.
"Oh ya? Baguslah kalau begitu. Dan kau pasti sudah mengerti adab yang baik setelah tinggal di sana, bukan?" balas Mbah Sepi telak.
Ia sengaja mengias sikap pemarah dan pembangkang yang menjadi ciri khas cucu perempuannya yang lahir dari rahim Ibu Aryati ini. Di zaman dulu, sikap perempuan seperti itu amat dikutuk. Aku mengerucutkan bibir dan memintanya melanjutkan penjelasan.
"Jadi aku menyebut tubuhmu dengan Renjana atau Nayaviva?" tanya Mbah Sepi.
"Viva saja."
"Kami sebenarnya tidak nyaman dengan sikap si Viva yang selalu sungkan itu. Kami melalaunya keluar rumah sedetik pun selama dua tahun. Pada tahun ketiga, dia mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan sini dan tindak tanduknya mulai berubah. Kami mengizinkannya keluar rumah untuk srawung karena banyak tetangga yang menanyakan kabarmu. Dan, kuliahmu terpaksa dihentikan."
"Ketika bulan purnama datang, tubuhmu ini makin melemah. Seminggu kemudian, tubuhmu kembali bergerak, telah berisi jiwa aslimu, Jana."
Mendengar penjelasan yang diutarakan Mbah Sepi seperti mendengar dongeng pengantar tidur. Mataku semakin berat, suara Mbah Sepi makin samar tertangkap indra pendengar.
🌼
"Renjana, sebuah kebahagiaan bisa menyelamatkanmu."
Wanua Kapundungan, tempat yang tertanam di lubuk hati terdalam. Desa asri yang menyimpan banyak kenangan dan pengalaman di dalam hidupku. Tempat di mana aku bertemu dengan orang-orang dengan berbagai karakter yang setiap harinya mewarnai hidupku yang semula monoton.
Aku kembali, dan mendapati sosok anggun nan cekatan Roro Sukmo.
Aku berhambur di pelukannya. "Roro Sukmo, aku rindu. Maafkan aku yang telah membuatmu terluka."
"Renjana, aku pun rindu padamu. Jangan dipikirkan lagi, aku tidak apa-apa. Aku menyayangimu, Adikku."
Tubuh Roro Sukmo perlahan menjadi transparan, dan akhirnya lepas dari pelukanku. Latar berubah menjadi kamar Viva di kediaman Emak Lastri, dengan tubuh Viva terbujur kaku dan Emak yang tersedu-sedan di sampingnya. Banyak warga yang turut hadir di dalam rumah menenangkan wanita ringkih itu dan membantu menyiapkan perlengkapan upacara kematian Viva.
Air mataku ikut mengalir menjumpai pemandangan pilu di depanku itu. "Renjana, doakan aku bahagia di Nirwana nanti."
Suara itu ... Aku berbalik dan menemukan sosok Viva sedang tersenyum manis menatapku. Kemban ungu tampak berkilau menghiasi kulitnya yang tampak resik. Rambutnya yang disampingkan menutup dada kanannya. Sebuah kendil dipegangnya dengan tangan yang dihiasi gelang melati. Wajahnya berseri-seri sehingga aku betah sekali menatapnya.
Kuraih tangan halusnya sembari berkata, "Maafkan aku, Viva. Aku telah merusak kehidupanmu. Aku sungguh minta maaf. Aku tel–"
Dia membungkamku dengan jari telunjuk pucuking eri-nya. "Tak apa, Renjana. Kita tak jauh berbeda. Kematianku adalah takdir, bukan salahmu."
Viva menarik telapak tanganku, meletakkan bunga telasih* di atasnya kemudian ia memelukku dengan erat. Tak lama berselang, tubuh kami seperti terpecah belah sebelum kesadaranku terkumpul di atas kasur kapuk dengan kelambu putih memayungi. Aroma Nayaviva masih tercium, membuatku menghidu dalam-dalam tanda kehadirannya yang masih tersisa itu. Aku terpana mendapati bunga telasih yang tergenggam di tanganku. Bunga itu tampak segar seperti baru saja dipetik dari taman sari. Perhatianku beralih pada gelang berukir naga yang masih kupakai setiap waktu. Gelang itu menjadi saksi bisu atas perkara yang terjadi antara sang empu pembuat dengan si pemakainya.
_______
*Bunga telasih : bunga berwarna ungu kebiru-biruan yang menjadi lambang kematian.