Kereta kuda terus melaju dengan suara kumeretek khas kayu yang berpadu dengan roda kereta. Rembulan sepenuhnya memancarkan sinar putihnya, seolah-olah merestui perjalananku dengan menyumbangkan cahayanya. Ladam kuda mengetuk-ngetuk pijakan hingga menerbangkan tanah yang terkikis menjadi debu. Semak yang merintangi jalan disibak oleh dua badan kekar kuda bersurai cokelat. Suasana lebih melegakan setelah Pranaja mengeluarkan isi perutnya, serta Roro Sukmo yang terus mengajak kami berbincang mengenai perbedaan masa depan dengan masa lampau. Ia terbahak-bahak setelah kuutarakan visualisasi Gajah Mada yang telanjur diyakini masyarakat, yakni bertubuh gempal dan pipi tembam. Padahal itu tak sepenuhnya tepat karena aku pernah melihat Mahapatih Mangkubumi Gajah Mada bertubuh jangkung dan pipinya tirus dengan rahang tegas. Ah, aku jadi terbayang-bayang waktu aku terbengong melihat pasukan berkuda yang dipimpin Prabu Hayam Wuruk dan Gajah Mada sebelum kemudian menghantarkan sembah. Aku juga teringat saat Pranaja berdebat dengan sang Mahapatih yang tak terima kudanya terluka.
Aku makin penasaran mengenai kehidupan Roro Sukmo yang ternyata memiliki sisi humoris itu. Aku ingin mengenal wanita itu lebih dekat, tetapi ia hanya memberitahuku bahwa ia merupakan putri angkat sekaligus murid Ki Suro.
Wanita itu sepertinya lebih tua beberapa tahun dariku, terlihat dari kerutan samar di sudut mata dan pipinya. Meski begitu, ia tampak begitu cantik dengan tubuh semampai yang berbalut kebaya emas, tusuk konde emas, kalung ronce melati, dan anting-anting emas berbentuk kembang wijayakusuma. Awalnya aku mengira ia wanita yang tegas dan galak, tapi kini kutahu kadar humornya yang membuatku nyaman berada di dekatnya. Suasana aman itu berakhir ketika atensiku menangkap benda persegi di sebelah Pranaja yang membuat kepalaku pening mendadak karena terkejut luar biasa.
"Kenapa ada lukisan itu?!" Aku memekik dengan suara yang mengambang dalam wujud arwah.
"Mungkin milik Roro Sukmo," balas Pranaja.
"Itu lukisan diriku yang dibuat oleh Arya."
"Kau seperti tak tahu saja kesaktiannya. Kurasa ia punya darah bangsawan, karena tak mungkin kawula alit mempunyai kemampuan seperti itu. Juga, nama Arya kebanyakan disandang para bangsawan." Roro Sukmo menyeletuk sembari memusatkan perhatiannya pada jalan sempit yang dilalui kereta kuda.
"Maksudmu, Arya sengaja mengirimkan lukisan itu padaku?"
Roro Sukmo bungkam untuk beberapa saat sebelum mengutarakan instingnya. "Itu berarti Arya telah sadarkan diri."
Ringkikan kuda serta teriakan panik Roro Sukmo membuatku ikut menjerit sambil kelabakan membuka jendela untuk melihat apa yang terjadi. Salah satu kuda tersungkur dengan anak panah yang menancap di kaki belakangnya, membuat kereta yang kami tumpangi berguncang brutal tak tentu arah.
Roro Sukmo kalang kabut berusaha menghentikan kuda-kudanya yang berjingkrak. Setelah laju berhenti, ia keluar menemui si penembak kuda dan kulihat Arya telah berdiri gagah di sisi kiri jalan.
Apa yang kaulakukan?! Suaraku tercekat, entah mengapa tak bisa keluar.
Kereta kuda kembali berjalan tak tentu arah, dibawa oleh kuda yang melompat-lompat panik. Satu kuda yang terkena panah di kakinya, menegakkan diri dengan sempoyongan. Aku mencengkeram tempat dudukku dengan erat hingga buku jariku memutih. Kulihat lukisan diriku yang tengah memegang buah sambil memalingkan muka itu terjatuh, aku mengamankannya dalam dekapan. Aku tak paham mengapa tubuhku tak tembus ketika memegang benda.
Pranaja maju ke tempat duduk kusir, lalu mencoba mengendarai kereta kuda ini. Aku melongok ke belakang, melihat Arya yang mempercepat laju kudanya menyusul kami sementara Roro Sukmo tergeletak jauh di belakang.
Apa yang terjadi pada Roro Sukmo?
Hatiku mencelus melihat Roro Sukmo yang bersimbah ludira (darah). Baru saja kami berkelakar, dan kini ia tergeletak tak berdaya. Aku bahkan belum berterima kasih padanya.
Semoga dia masih bernapas.
"Selamat tinggal, Viva!" seru Arya, menghentikan laju kudanya yang hampir mendahului kereta kuda tumpanganku. Aku masih menyaksikannya, di mana ia mencampakkan gelang naga yang menjadi kembaran kepunyaanku. Hatiku bagai tersayat belati berkarat hingga air mataku luruh sementara Arya berlalu.
Bulu kudukku meremang ketika kereta kuda yang dikendarai Pranaja memasuki hutan yang semakin gelita, mengalihkan rasa sakit hatiku menuju kegentaran. Laju kuda melamban karena nyali mereka menciut dan pandangan terbatas akibat sinar kirana yang tak dapat menembus kanopi hutan lebat. Aku merasa familier dengan tempat ini, yang mirip dengan Alas Kejenang yang berada tak jauh dari rumahku di masa depan. Aku memicingkan mata, meyakinkan bahwa ada seseorang yang tengah berdiri di sebelah pohon enau. Bukankah pria itu yang dulu menemuiku di mimpi?!
Dadaku berdegup kencang, membuat bibir dan jemariku bergetar. Kami semakin dekat dengan siluet itu dan benar-benar melintas di depannya. "Berjalanlah tanpa kuda. Jangan menoleh sampai kalian menemukan titik cahaya. Apa pun yang akan terjadi, jangan panik apalagi menoleh. Cukup tatap ke depan atau bawah!"
Pria itu memperingatkan kami ketika kereta yang kami naiki tiba di hadapannya. Aku dan Pranaja menurut, turun dari kereta kuda. Kuberanikan mencuri pandang akan apa yang tampak berkilauan pada tubuhnya. Binggel (gelang) melekat di pergelangan kaki serta lengan atasnya yang berotot. Selendang kuning tersampir dari bahu kanan ke pinggang kirinya yang dikukuhkan dengan ikat pinggang emas. Kalung besar entah apa coraknya berlapis tiga tergantung di leher, menghias dada bidangnya yang telanjang. Namun, aku kembali tertunduk saat hendak melihat wajahnya, seolah-olah semesta melarangku melihat keelokan paras dari lelaki itu.
"Aku Kara," ucap pria itu memperkenalkan diri sebagai bapaku, atau lebih tepatnya bapa Nayaviva Citrakara. Akhirnya aku bisa melihat sosoknya yang menguarkan aura berwibawa meski aku tak dapat melihat wajahnya.
Aku hanya mematung, menunggu jikalau ia hendak mengutarakan pesannya lagi, tetapi sekali kedip kemudian ia telah lenyap dari pandangan. Pranaja dan aku bertukar tatap, memberi kode untuk memenuhi ucapan Bapa Kara tadi.
Kami terus berjalan-aku sendiri melayang-tanpa menoleh. Aku ketakutan dan dadaku tak kunjung berhenti berdebar di balik lukisan yang kudekap. Hutan yang kutahu namanya Alas Kejenang ini semakin dalam, semakin gelap.
Tanpa oncor ataupun penerangan lain, kami terus melewati jalan setapak berbatu sembari meraba-raba sekeliling sampai rembulan sedikit bisa menerobos kanopi, membuatku amat berterima kasih dalam hati pada Bathara Candra yang berbaik hati.
Kami tersentak bersama, bahkan aku ingin menangis ketakutan ketika melihat siluet ular raksasa teronggok di sisi jalan. Kami tak boleh berbalik, jadi kami terpaksa terus maju melewati ular itu. Namun setelah dekat dengannya, itu hanya sebuah pohon enau yang telah tumbang. Anehnya, di kedua ujung pohon itu terdapat kepala menyerupai naga dan kuda. Kepala itu seperti menatap kami tanpa berkedip.
Di batang enau itu, menempel berbagai kepala yang juga masih tampak utuh. Bahkan ada kepala seorang lelaki berkumis. Aku ingin berteriak saking takutnya, tetapi pita suaraku terkunci rapat. Semua ini terasa seperti di alam mimpi, apalagi tubuhku ringan dan melayang.
Ada kepala manusia, sapi, kambing, harimau, kijang, kucing, dan semua kepala itu berwarna hitam disertai hitamnya batang enau. Pranaja menggenggam lenganku kuat dari samping dan menyuruhku mempercepat langkah. Lagi-lagi aneh mendapati tangan Pranaja yang tidak tembus ketika menyentuhku.
Perutku melilit ketika terbayang kepala-kepala dengan mata mendelik tadi. Di sepanjang jalan, aku pun berkali-kali meludah dan mengepalkan tangan kuat-kuat untuk meredam rasa mual. Bukan hanya itu saja kejanggalan yang kami lihat. Semakin masuk ke dalam Alas Kejenang, semakin banyak yang kami dapatkan. Hingga sorot cahaya kemerahan yang menyilaukan membuat kami mendesah lega.
Rasa plong seketika sirna, tatkala kami mendengar suara debum berulang-ulang dari belakang kami. Aku dan Pranaja saling pandang, lalu berlari secepatnya menuju sorot cahaya. Lebih tepatnya Pranaja yang berlari dan aku terbang. Pemuda itu menggandengku yang semakin melayang ke atas karena tubuhku semakin ringan dan mudah terbawa angin.
Suara tadi semakin dekat dan keras, kami kalang kabut dengan keringat dingin bercucuran. Kepala berdenyut dan suara detak jantungku terdengar jelas di pendengaran. Pranaja membawaku melompat menuju cahaya misterius dan aku merasa aneh yang tak dapat dijelaskan. Terlipat, tertarik, terbang, mencair. Kemudian pada akhirnya kami berhasil keluar dari Alas Kejenang. Aku mengerjap, menatap sekeliling sebelum sadar bahwa kami telah berada di pinggir jalan raya.
Saat itu pula, kami berani menoleh, melihat makhluk apa yang menciptakan suara berdebum tadi. Makhluk berkepala naga dan berbadan kuda itu terus melaju ke arah kami. Namun, cahaya misterius yang menyorot hutan itu seketika sirna, membuat makhluk itu menabrak pohon dengan suara debum lebih keras.
Kami berdua berlalu mencari arah jalan pulang dengan ngeri. Ya, akhirnya kami telah sampai di masa depan kembali. Banyak perubahan yang terjadi di desaku. Berapa lama kami pergi?