(Hari Pertama)
Tiga hari berselang, aku diboyong ke rumah Arya yang masih satu kuwu* dengan Wanua Kapundungan. Kami melewati beberapa wanua atau desa sebelum mencapai gapura selamat datang di Wanua Bagorejo, tanah kelahiran Arya Buntara. Wanua kami masuk ke Kuwu Blambangan yang letaknya di ujung timur Jawa Dwipa.
Hari-hari sebelumnya, kami tidak diperbolehkan keluar lingkungan rumah. Jadilah kami hanya duduk di pelataran sambil memakan singkong rebus dengan Emak yang asyik berbincang dengan Arya, membuatku merasa jadi figuran yang tak penting keberadaannya. Sesekali warga yang lewat dan melihat kebersamaan kami bersiul menggodaku sebagai pengantin baru.
Di Wanua Bagorejo, kedatangan kami disambut dengan tetabuhan tambur, gong, calung, dan bunyi-bunyian alat musik yang terbuat dari tempurung kelapa. Di sekeliling kami berdua, berdiri orang-orang yang mengenakan keris.
Tampilanku berbeda dari kemarin waktu acara perkawinan di Kapundungan. Kali ini, rambut panjangku dibiarkan terurai, punggung terbuka, serta telanjang kaki. Di badanku, melekat kain merah muda yang terbuat dari sutera. Leherku dipasangkan sebuah kalung yang terbuat dari manik-manik emas.
Kerabat dan tetangga Arya memberikan kami bunga dan mengucapkan selamat. Acara dilanjutkan dengan penampilan para penari dengan diiringi musik gamelan dan tembangan dari amidu (penyanyi) sampai larut malam. Rumah milik keluarga Arya termasuk mewah dan tak menunjukkan bahwa ia kaum sudra yang bekerja sebagai petani, pemburu, ataupun pekerjaan lain yang termasuk golongan wulu-wulu yang dipandang rendah. Saking sibuknya jadi budak cinta, aku sampai lupa menggali lebih dalam kehidupan Arya.
Fondasi dan dinding rumahnya terbuat dari kayu jati dengan gaya joglo klasik. Gentingnya dari tanah liat yang warnanya tampak baru dan belum ditumbuhi lumut. Halamannya asri, dipenuhi rumput peking dan ditanami pakis serta puring. Di satu sisi rumahnya, teronggok gentong air dan sumur jobong. Sementara di sisi lain, terdapat kayu panjang yang memiliki ukiran rumit. Ukiran itu seperti tanaman rambat dan belum rampung dibuat, menjadi hanca atau pekerjaan yang tertunda. Jadi, Arya itu pekerjaan tetapnya sebagai apa?
Makin ke sini, aku makin merasa bahwa Arya sungguh misterius dan hanya sedikit yang aku ketahui. Aku tak menyangka pemuda yang sering leha-leha bersamaku itu punya harta yang memadai setelah aku terbengong juga saat tahu dia jago kanuragan. Pantas saja ia tak pernah merindukan ayahnya yang kutahu bernama Wiluya. Ia tak butuh sosok ayah yang mau menghidupinya. Ia bisa melakukan apa pun sendiri.
Malam semakin larut dan gerimis kian deras, tetapi aku masih menikmati jagung bakar bersama keluarga baruku, Biyung Mitha dan Kangmas Arya. Geli rasanya memanggil Arya dengan embel-embel kangmas. Tapi ini sebuah keharusan, berhubungan tata krama dijunjung tinggi di sini.
Petrikor mengingatkanku pada seorang sahabat di Sekolah Dasar. Waktu itu, hujan mengguyur bumi pertiwi tepat setelah bel tanda jam sekolah berakhir. Sahabatku, namanya Rika tidak membawa jas hujan sedangkan aku hanya membawa satu.
Memang dasarnya sifatku egois, aku memakai jas hujan itu sendiri, sedangkan Rika menggunakan daun pisang. Di tengah guyuran hujan, kami berjalan pulang sambil mengobrol.
Aku rindu masa-masa itu. Tidak terasa sekarang aku sudah berumah tangga, di sebuah negeri sebelum adanya Indonesia. Sungguh tak masuk akal. Sebenarnya apa tujuan dilemparkannya aku ke sini?
Kilat disusul guntur menyadarkanku dari alam nostalgia.
"Tidurlah, Nak. Sudah malam," tutur Biyung yang diindahkan olehku dan Arya.
Arya menyalakan lampu damar, lalu menyusulku berbaring di kasur kapuk yang lumayan empuk. Aku menggigil kedinginan, Arya segera memelukku dari belakang hingga membuat gelenyar panas mengalir dari dada yang berdentum.
"Aku tak menyangka bisa memilikimu," kata Arya.
"Aku pun begitu. Sepertinya baru kemarin kita saling bergurau di tengah-tengah sawah," balasku.
Aku berbalik kemudian mendekat ke dada bidang sosok yang menjadi sebab jantungku kerap berdebar. Kedamaian belahan hati yang telah bersatu membuatku cepat menyelami alam mimpi.
🌼
Ayam berkokok, disusul suara tumbukan yang berasal dari lesung dan alu. Aku segera bangun, tidak ingin dicap menantu pemalas oleh Biyung. Di sampingku, Arya masih tidur pulas dengan dengkuran halus.
Setelah membasuh muka, aku melangkah ke belakang rumah. Kudapati Biyung sedang berkutat dengan padi yang ditumbuknya.
"Biyung, ada yang bisa kubantu?" tanyaku.
"Viva, sudah bangun ternyata. Kau bisa mengayak padi yang telah kutumbuk itu." Ia menunjuk padi yang telah terpisah dengan kulitnya di penampi.
Aku mengambil penampi itu kemudian mulai menyibukkan diri mengayak beras agar lebih bersih dari merang-nya.
_______
*Kuwu : semacam Kademangan yang dipimpin oleh Demang atau Lurah. Pada masa kini, setingkat dengan kecamatan.