Selepas perihal tak terduga di pinggir kali tiga hari yang lalu, kini Arya datang ke tempat tinggalku bersama arak-arak dari kerabatnya. Kami akan menyelenggarakan acara perkawinan. Dua hari sebelumnya, Arya dengan paman dan biyungnya datang ke kediamanku dan Mak Lastri untuk meminangku. Emakku menerima dengan terharu karena sudah ada yang kepincut terhadap anak gadisnya, dan percaya bahwa Arya adalah orang yang terbaik untukku.
Seserahan yang diberikan adalah sirih, perak, selendang, dan permata. Biyung Arya pun tidak seburuk yang kukira, Mitha namanya. Perempuan cantik dengan alis tebal itu banyak mengajakku berbincang kala itu. Kesan pertama secara langsung amat berbeda dengan yang diutarakan Arya. Aku sama sekali tak menemukan kekerasan dari calon mertuaku itu.
Pagi ini, aku masih tidak menyangka akan melakukan ritual sakral dengan lelaki yang digadang-gadang dan akan menjalani sisa hidupku bersamanya. Itu pun jika semesta mengizinkanku tinggal sampai akhir hayatku di era ini.
Rambutku disanggul berhiaskan mahkota emas kecil dengan bunga kantil dan melati yang menyertainya. Wajahku dirias dengan natural, bedak mangir* dan pewarna bibir dari perasan biji binahong. Akhirnya aku dapat menatap wajahku dengan jelas di pantulan cermin yang dikirim langsung dari pengrajin kaca atas pesanan Arya. Mata seorang Nayaviva seperti kacang almon berwarna hitam pekat. Bulu matanya lebat nan lentik tanpa perlu dipasang bulu mata palsu. Bibir bawah yang berisi tampak mudah untuk dikecup dengan warna merah gelap dari binahong.
Kebaya emas dan kain batik menempel pas di tubuhku, dilengkapi dengan kalung dan anting-anting emas. Sedangkan Arya bertelanjang dada, celana dan kain melilit pinggang sampai lutut, selendang berwarna emas tersampir di bahu kanannya.
Kami melakukan ritual yang ternyata masih lestari sampai zamanku. Tata cara pernikahan Jawa Kuno kurang lebih sama dengan Jawa Modern. Perbedaannya hanya terletak pada alunan gamelan yang lebih terasa kuno.
Kami melakukan temon yang diapit kedua orang tua masing-masing kemudian balangan gantal atau lempar sirih pada dahi, dada, dan lutut supaya kami dapat saling melempar kasih sayang. Dilanjut dengan ranupada di mana Arya menginjak telur ayam kampung kemudian aku membasuh kakinya, kanten astha yang membuatku tersenyum malu karena kelingkingku dan Arya saling bertaut dengan Mak Lastri menyelimuti kami dengan kain dari belakang. Setelah itu, kami digiring menuju kursi yang dihias dengan berbungaan. Untuk beberapa hari ke depan, kami merasa menjadi raja dan permaisuri yang jadi pusat perhatian semua orang dan dilayani mereka.
Aku sempat heran karena tak ada adegan pangkon, kacar-kucur, dan sungkem. Mungkin karena masing-masing dari kami sudah tak punya ayah atau memang adatnya tak perlu adegan itu.
Berbagai ritual telah dijalankan. Semua kerabat pulang setelah mengucapkan selamat. Perkawinan cukup meriah bagiku, tetapi Arya bilang itu belum seberapa. Aku harus menunggu tiga hari lagi untuk menjalankan pesta perkawinan di tempat tinggal Arya yang lebih megah.
Wanita paruh baya yang ditugaskan meriasku tadi, sekarang membantuku membersihkan diri. Sembari mengoleskan minyak—entah itu minyak apa, yang pasti baunya harum—ke rambutku, ia menjelaskan tentang sesuatu yang mirip seperti Serat Nitimani.
Ia menjelaskan tentang seks yang benar sesuai dengan etika dan norma yang ada untuk menciptakan keharmonisan. Selain itu, ia memberi wejangan untuk kehidupan pernikahan agar tetap harmonis. Setiap kalimat penjelasan yang dilontarkannya membuatku terus bergerak gelisah, risi dengan kalimat-kalimat itu.
Selesai membersihkan diri dibantu wanita paruh baya itu, aku kembali ke kamar yang biasa aku tempati. Bedanya, sekarang ada suamiku yang akan berbaring bersamaku, mungkin lebih dari sekadar berbaring.
Arya menengok ke arahku ketika aku menutup pintu. Ia tersenyum sembari meletakkan rontal* yang tengah dibacanya.
Aku duduk di sampingnya kemudian memilin jariku gugup. Seharusnya aku masih kuliah, memikirkan masa depan cerahku. Tapi kini? Aku sudah mempunyai suami, cita-citaku sirna.
"Maaf," ucap Arya di tengah keheningan malam. Aku menoleh memandang wajah rupawannya sembari mengernyit.
"Maaf karena terlalu cepat mempersuntingmu, membuat masa mudamu-" ucapan Arya segera terpotong olehku. Tidak seharusnya ia meminta maaf padaku hanya karena itu. Aku bahagia menikah dengannya.
"Sst, bukan masalah," bisikku.
"Kau malam ini sangat cantik, Nimas," ucap Arya dengan suara serak.
Entah kenapa pikiranku menjadi kotor kala melihat wajah Arya yang hanya diterangi lampu damar. Apalagi suhu makin menghangat.
"Kau pun sangat gagah, Kangmas," balasku secara spontan.
Rasa gugupku sirna digantikan gairah sebagai wanita ketika Arya menarik pinggangku mendekat pada tubuh kekarnya. Kami berpandangan lama, walau debar jantungku tidak bisa diatur. Ia menyunggingkan senyum tipis serta tatapan dalam di bawah cahaya keemasan lampu damar yang sama sekali tak menyamarkan ketampanan paras seorang Buntara.
Arya mendekatkan wajahnya sembari memegang pipi tirusku hingga hidung kami menempel, memberikanku sensasi baru. Ia memiringkan wajah, bibir kami saling bertautan hingga aku mengubahnya menjadi ciuman panas. Arya mengerang sambil melepas semua kain yang melilit tubuhku. Ia membaringkanku di bawah dadanya yang bidang lagi lebar. Rambutnya yang menutupi wajah kuselipkan di balik telinganya, membuat sosok kekar itu makin gencar menggelitikiku yang terkikik geli.
Di bawah malam hangat dengan gemercik rinai, kami saling menyalurkan kehangatan, melakukan hal selayaknya pengantin baru. Kurasa Batara Kamajaya dan Dewi Kamaratih merestui malam ini sebagai malam terindah yang kualami.
_______
*Mangir : bedak yang harum untuk kulit wanita.
*Rontal : tulisan di atas daun lontar.