Setelah membantu rutinitas Emak di pagi hari, aku mengajaknya membuat wajik untuk kuberikan pada Arya, juga untuk dimakan Emak dan diriku sendiri.
Sang rawi telah merangkak menuju puncak singgasananya. Dengan bersenang hati, kususuri pematang sawah yang menjadi tempat pertemuanku dengan Arya.
"Selamat pagi, Arya!" sapaku di belakang Arya.
"Selamat pagi," sahutnya sembari menoleh dan tebar senyum padaku. "Kau terlihat lebih bahagia hari ini," tuturnya.
"Tentu! Ini aku bawakan makanan buatmu," ucapku sembari menyodorkan daun pisang yang berisi wajik.
Arya tersenyum penuh arti sembari menerima pemberianku.
"Ada apa?!" ketusku ketika senyum anehnya tak kunjung sirna.
Arya tidak menyahut, tapi malah mengecup pipiku. Astaga! Apa-apaan dia ini! Aku hanya bisa bergeming dan membelalakkan mata.
"Terima kasih," bisiknya di leherku. Tubuhku merinding, detak jantungku bertalu-talu.
"Sadarlah!" celetuk Arya sambil menjentikkan jari di depan wajahku.
Aku mengerjap, mendongak menatap wajahnya yang terlihat sedikit merona, tetapi ia tutupi dengan raut muka tengil.
Ia mencubit pipiku lagi sambil menggigit bibirnya, terlampau gemas. Aku yang mulai terbiasa dengan itu hanya bisa pasrah.
"Mari dimakan sekarang!" ajaknya, menenteng wajik itu lalu menggandengku ke bawah pohon pisang, tempat pertama kali kami bertemu.
"Kau makan sendiri saja, aku sudah kenyang," sahutku.
"Ayolah. Tidak boleh menolak!" Kami berdua makan dalam hening sambil melihat para petani yang sedang menanam padi. Angin meniup rambut lebat Arya, menambah kadar ketampanannya.
"Kau sedih? Ada apa?" tanyaku ketika melihat dia yang melamun dengan pandangan kosong.
"Kau perempuan baik, Viva. Apakah kau berkenan mendengar keluh kesahku?"
"Tentu saja."
Arya menghela napas sebentar, kemudian mulai bercerita padaku.
"Biyungku semakin hari tambah keras. Aku yang selalu dijadikan pelampiasan amarahnya."
"Apa kau mendapat luka?" tanyaku hati-hati.
Dia memandangku sejenak dengan tatapan sayu, lalu membuka rompinya memperlihatkan sayatan panjang di dada kanannya.
Aku meringis ngilu. Kalau aku di posisinya, sudah pasti akan mengeluh berminggu-minggu.
"Karena bangun kesiangan, aku terkena amukannya. Aku yang baru beranjak dilempari pisau. Untungnya meleset walau aku harus terkena goresan ini."
Aku perlahan merengkuhnya sambil menepuk-nepuk punggungnya memberi semangat. Pria setangguh Arya tidak patut disia-siakan.
"Bapamu ke mana?" tanyaku hati-hati.
"Rama pergi bersama istri barunya."
"Oh, maaf," cicitku tak enak hati.