Mentari telah tergelincir mengecup ibu pertiwi. Jagad ganti diisi oleh kelamnya ratri yang disumbangi kirana oleh candra. Sesekali terdengar lolongan anjing hutan yang bergema dari hutan. Malam yang ramai oleh kerik jangkrik itu membuat angan-anganku leluasa kelayapan kepada sosok pemberi gelang yang diukir sedemikian elok.
Di masa depan, aku belum pernah mendapat debaran ini. Pribadi yang tertutup dan sok cool membuatku sangat jarang berinteraksi dengan lawan jenis kecuali ayah dan para sepupuku (bahkan saking jarangnya, aku sempat naksir pada sepupu laki-lakiku).
Namun, kali ini aku merasa aneh di dekat Arya dan jantungku harus berdetak lebih kencang tanpa bisa kukendalikan. Aku mengendus bau ketertarikan di dalam diriku. Namun, sebisa mungkin kutepis pikiran itu dengan mengingat kelancangan pria itu.
🌼
"Bangun, sudah siang!" Emak membangunkanku dengan menepuk pundak telanjangku dengan gayung batok kelapa.
"Itu gelang punya siapa?" tanyanya.
Sambil mengumpulkan nyawa dan mata setengah terpejam, aku menjawab, "Dari Arya."
Ia terkesiap sebelum kembali memasang muka galaknya.
"Dia anak dapur, kamu jangan macam-macam dengannya," tuturnya.
Aku mengerutkan kening. Dapur? Apa itu? Bukankah ruang untuk masak-memasak?
"Dapur itu apa? Bukankah tempat untuk memasak?" tanyaku.
Emak mengerutkan kedua alisnya, tercengang dengan pertanyaanku.
"Dapur itu pimpinan desa yang pertama muncul pada masa Singhasari dulu yang mewakili komunitas thāni." Lagi-lagi aku tidak tahu istilah yang terakhir.
"Dan apa itu thāni?"
"Kalau thāni adalah lingkungan kecil yang dijadikan perumahan penduduk atau desa. Seperti di tempat ini. Nah, bapanya Arya itu dapur di thāni seberang." Emak memukul pelan kepalaku menggunakan gayungnya. "Apakah kamu punya hubungan dengannya?" tanyanya dengan nada lembut tetapi aku tahu ia tengah mengintimidasiku.
"Tidak ada. Aku hanya berbincang-bincang sedikit lalu dia memberikanku ini."
Emak tampak tidak percaya, tapi menutupinya dengan sebuah senyum pengertian. Nah kalau begitu kan ia tampak manis, tak lagi jutek semacam ibu tiri di dalam dongeng Nusantara.
🌼
Selesai sarapan dan mencuci pakaian, aku pergi ke sawah lagi untuk menemui Arya. Sebetulnya malas, tetapi selalu saja mengganjal jika aku tak menepati sebuah janji.
"Viva!" seru Arya menyentakku dari semak belukar, membuatku jatuh terjerembap ke tanah.
"Arya! Jangan mengagetkan!" sahutku dengan nada tinggi tanpa sadar. Segera aku membungkam mulut setelah sadar apa yang kulakukan terhadap anak dapur ini.
Dia memasang muka tidak menyenangkan, membuatku semakin ciut dan menyesali suaraku yang ngegas tadi.
"Maaf, aku tidak sengaja," lirihku sembari menunduk, kemudian jemari Arya mendongakkan kepalaku.
Kakiku bergetar ketika melihat matanya yang teduh, membuat siapa saja yang menatapnya menjadi terlena. Tak hanya itu, bibirnya membentuk sebuah lengkungan yang membuat jantungku berdetak lebih cepat. Tak ada rasa risi yang hinggap selayaknya kemarin, dan aku tak senang mendapati diriku tersipu. Tak berselang lama ia tergelak sembari mencubit gemas pipiku.
"Jangan menertawaiku!" Aku kembali menunduk malu hingga dia menarik daguku lagi. Anehnya aku senang dengan perlakuan itu.
"Jangan jadi sungkan begitu! Aku hanya manusia biasa sepertimu," ucapnya tenang setelah meredakan tawanya. "Aku tidak menertawai, aku hanya gemas melihat wajah merahmu," lanjutnya.
🌼
Kami duduk di batu besar yang diapit pohon kelapa dekat persawahan. Melihat para petani, aku jadi rindu kampung halamanku di masa depan yang entah pada masa ini berada di mana.
"Kenapa muram begitu?" Arya menyikutku.
"Tidak!" jawabku setengah berjengit.
Lagi-lagi dia menertawaiku. Humornya sungguh receh.
"Kenapa kau gemar sekali meledek?" protesku mencebik kesal.
"Entahlah," sahutnya sambil mencubit hidungku.
Ingin aku memaki bahwa dia benar-benar tidak sopan. Apakah anak pemimpin desa bersikap seperti ini? Selain lancang, ia juga tak mengindahkan kesopanan.
Kilat disusul gemuruh membuat kami berjengit. Kami segera beranjak, aku bersiap pulang.
"Arya, aku harus pulang. Sampai jumpa!"
"Tunggu!" serunya sambil memotong daun pisang yang lebar dengan golok dan diberikannya padaku sebagai payung.
"Terima kasih." Aku bersiap lari tetapi lagi-lagi Arya menghentikan langkahku.
"Tunggu!"
Aku menoleh ke arahnya lagi sambil menggerutu, "Apa lagi?"
"Kau akan susah dengan jarikmu ketika berlari," lanjutnya kemudian mengangkatku.
Aku memekik, tertegun dan tidak berani melihat wajahnya dengan perlakuan yang sekonyong-konyong itu, malu karena tadi sempat menggerutu padahal Arya berniat baik padaku.