Selamat membaca
01.Masalah.
"Dia bukan senja yang asli, sinarnya berlalu begitu saja dan tidak menghangatkan luka. Dia adalah angin yang hanya singgah kemudian pergi tanpa kata."
Suara sirene ambulans kian menggelegar nyaring sepanjang jalan kota Bandung. Lalu lintas yang padat kini membuka jalan yang lebar untuk mobil kesehatan berwarna putih tersebut. Mobil itu telah ditumpangi oleh dua orang perempuan dan seorang lelaki yang tengah terbaring lemah. Darah segar tak hentinya mengalir dari tubuh sang korban. Beberapa menit yang lalu, lelaki itu mengalami kecelakaan.
"Ando jangan tinggalin Luna," bisik gadis polos itu sambil memegangi pipi sosok yang dipanggilnya Ando. Tangannya gemetar karena terlalu panik melihat kekasihnya yang terbaring mengenaskan.
Dua puluh menit kemudian, mereka sampai di rumah sakit. "Maaf kami berusaha semaksimal mungkin tapi tuhan telah berkehendak. Ajal lebih awal menjemput anak ini." Dokter itu terus berucap maaf kepada keluarga pasien. Dia tidak bisa menyelamatkan Ando karena beberapa luka tusukan di bagian perutnya.
"Dokter aku gak becanda dok, Ando masih hidup kan?" gadis itu terdiam sambil memukuli tubuh dokter tadi. Orang-orang hanya bisa menatap gadis itu dengan perasaan haru. Mereka pasti tahu seberapa sakitnya posisi Luna.
Tangis pilu keluarga Ando ikut mengiringi pemakaman. Mata sembab serta isak tangis berpadu menjadi satu kala nisan bertulis nama Ando Alexander terpasang. “Napa bukan lo aja yang mati, kenapa adik gua hah? Emang bener kata orang, lo itu cuman pembawa sial, Luna!”
***
Dua tahun berlalu begitu cepat. Kepergian Ando selalu berbekas di hati Luna. Saat ini, gadis itu tengah menikmati kue macaron rasa matcha, sembari duduk di salah satu kursi taman kota Bandung. "Ando apa kabar? Luna kesepian tau," lirih gadis itu. Pada detik beritkut, matanya beralih menatap sinar senja yang perlahan mulai meredup.
"Dia bukan senja yang asli, sinarnya berlalu begitu saja dan tidak menghangatkan luka. Dia adalah angin yang sekedar singgah kemudian pergi tanpa kata. Tuhan kenapa ambil Ando cepet banget?" monolog Luna sembari terus memasukkan kue ke dalam mulut.
"Permisi." Seorang lelaki perawakan tinggi datang menghampiri Luna. "Woi anjir pake ini cepat." Lelaki itu memberikan Sweater berwarna hijau kepada Luna.
"Kenapa? Kita kenal?" tanya Luna. Tampaknya, cewek itu belum mengerti apa yang sedang terjadi.
"Tai ayam nyantol di rok lo bodoh!" papar lelaki itu kemudian berlalu begitu cepat setelah melempar sweater tadi yang berhasil mendarat di wajah imut milik Luna.
"Tai ayam?" batin Luna. Detik berikut, gadis bodoh itu melihat kotoran ayam melengket indah pada rok yang dikenakannya. Siapa lelaki tadi? Pembawaannya yang dingin dan amburadul dapat dirasakan langsung oleh Luna.
....
Semua mata pelajaran tuntas dilalui siswa-siswi SMA Gajah Mada. Persis di parkiran, seorang gadis tampak menunggu taksi untuk sekedar mengantarnya pulang. Niat Luna urung kala sorot matanya tak sengaja menangkap lelaki yang terlihat tidak asing. "Hei tunggu," teriaknya. Dia dapat melihat wajah ini lagi setelah kemarin overthinking memikirkan siapa lelaki yang telah menjadi pahlawan tempo hari.
"Hai aku Luna, ini sweater kamu aku kembaliin," ucap Luna lembut.
"Napa dikembaliin. Lagian itu juga udah kena tai ayam. Mana mungkin gue mau pake," balas Cowok itu. Tangan mungil Luna terulur menarik tangan lelaki itu.
"Kenalin aku Luna."
"Kalau ada yang ngajak kenalan gak boleh ditolak, pamali. Angkasa Arunika Aluna. Singkat aja kalo mau inget nama aku, tripel A."
"Bumantara Jaemin Rembulan," balas cowok itu dingin.
"Hahaha, nama kita ketukar ya?" celetuk Luna ketika menyadari satu hal yang janggal.
"Tertukar?"
"Ya. Bumantara artinya bumi, pasanganya sama angkasa atau kalo enggak Arunika yang artinya fajar. Dan Rembulan pasangannya Luna karena keduanya memiliki arti yang sama, yakni bulan," jelas gadis itu panjang sembari terus tersenyum.
Cowok di depan memandang Luna lekat. Perasaannya tergerak saat melihat air wajah Luna yang indah dan menenangkan. Tetapi cowok itu terhalang gengsi yang amat besar. Hingga dia meninggalkan cewek di depan tanpa membalas perkataan bahkan hanya untuk tersenyum kepada Luna pun tidak.
Bumantara Jaemin Rembulan nama indah entah bagaimana dengan pemiliknya. Semua orang pasti akan bingung mengapa nama seindah ini dipanggil dengan sebutan Jeman yang sama sekali tidak ada hubungannya. Tetapi itulah hidup, kadang orang tua menjadi seperti anak-anak, mereka tidak berfikir dua kali untuk melakukan sesuatu yang mereka percaya akan berhasil.
Titi dan Atuy, kedua orang tua Jeman mungkin tidak berfikir dewasa saat memberi nama panggilan kepada anaknya. Bagaimana bisa berfikir dewasa? kedua pasangan ini memang terlalu kekanak-kanakan padahal usia mereka sudah menginjak empat puluh tahun.
Luna semakin bingung dengan dunia. Dia terus berilusi dan semakin percaya jika dunia ini memang sempit. "Nama Luna tertukar?" pikirnya. Dia selalu takjub akan hal kebetulan seperti ini.
"Sampe rumah pasti Luna dimarahin lagi sama mama," ucap gadis itu diiringi senyum hambar.
"Luna harus kuat," ruahnya kemudian turun dari taksi yang ditumpangi.
"Ngapain kamu pulang?! Bukannya lebih enak diluar dari pada di dalam rumah?" Ucapan mama Luna sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Luna. Cewek itu selalu dituntut menjadi yang terbaik dengan cara yang salah. Salahkan dunia yang selalu menjanjikan bahagia kepadanya, namun sedetik kemudian kenyataan takdir kembali dalam hidupnya.
Luna berlalu tanpa menoleh sekalipun. Matanya sembab karena banyak menangis. Gadis di sana terlelap dikemudian detik setelah meramu rasa sakit yang kian melebar. Dia terus berusaha mengobati luka itu tetapi dunia selalu punya cara untuk menambah lukanya.
Pagi-pagi sekali, gadis itu sudah menginjakkan kaki di SMA Gajah Mada. Saat ini, Luna tengah duduk di salah satu bangku kelas XI Ipa 2. Meski dia bukan siswi yang berprestasi, tetapi setidaknya dia punya ambisi untuk sekolah dan sukses. Matanya mengerjap beberapa kali ketika dia tak sengaja melihat cowok yang baru dikenalnya kemarin. "Jeman?" panggil gadis itu. Hal tersebut mengundang tatapan tanya dari kedua cowok dibelakang Jeman.
"Siapa?" tanya Mahen kepada Jeman.
"Fans," jawab Jeman acuh.
Luna berlari menghampiri cowok itu. "Kamu ternyata sekolah disini? Kelas berapa?" tanya Luna berturut-turut. Luna selalu berusaha agar perhatian orang tertuju padanya. Bukan karena gadis ini ingin dianggap pick me, tetapi inilah dampak dari kurangnya kasih sayang.
"Udah tau malah nanya," cetus Jeman.
"Jem gue duluan." Ade berucap, sahabat Jeman yang satu itu kemudian pergi berlalu bersama dua cowok lainnya. Ade, Mahen, dan Devan merupakan sahabat Jeman dari masa merah putih. Ketiga cowok itu merupakan pelipur lara bagi Jeman. Tidak ada artinya sebatang rokok jika tidak ada api, kata-kata itu yang boleh menggambarkan persahabatan mereka.
"Makasih yang kemarin," ucap Luna kembali.
"Gue terima."
"Gue duluan kelas gue udah mau masuk noh," ucap Jeman. Pada sorotnya, terlihat nomor angka XII Ipa 2 tepat di pintu.
"Ternyata kamu kakak kelas aku." Luna menatap punggung gagah milik Jeman.
....
Luna berjalan sempoyongan menuju ruang kamar. Kakinya tak mampu lagi berjalan setelah seutas tali beberapa kali menghantam kaki gadis itu. Kembali terjadi di gudang rumah ini, seorang perempuan paruh baya rela memukuli anaknya untuk melampiaskan segala amarah. Ibu satu anak itu tak memberikan celah bagi Luna untuk sekedar bernapas. "Tuhan kenapa Luna gak mati aja sih biar bisa hidup bahagia sama Ando?" ucap Luna diambang kesadaran.
"Hai Angkasa Aluna. Kamu tau gak apa yang lebih indah dari senja?"
"Emm, taman?" jawab Luna.
"Luna salah, yang lebih indah dari senja itu bulan. Sinar bulan tidak pernah gagal menyembunyikan tangis manusia. Bulan selalu memiliki cara untuk memikat manusia. Aku pernah tersandung batu kecil saat di pertengahan jalan, tetapi sinar bulan malam itu dapat menyelamatkan aku Luna."
"Tapi bagi Luna, senja gak ada duanya Ndo."
"Apa coba yang mau di banggain dari senja?" tanya Ando.
Luna memutar bola matanya kasar. Gadis itu menelisik wajah lelaki di hadapannya kemudian memukul dada bidang lelaki itu menggunakan tangan kanan.
"Ando, jangan berkata sembarangan tentang senja. Dia memang sementara, tapi berjanji datang esok hari. Kita bisa saja mencela, namun mungkin senja sedang menyembunyikan keahlian hebatnya. Sebagian orang datang kepada senja hanya untuk memandang, bukan memuji setulus hati. Jadi berhenti mempertanyakan apa keahlian senja oke?" ucap Luna sedikit mencolek hidung Ando, kekasihnya.
"Iya Luna sayang."
"Tapi kenapa Ando gak bisa di pegang?" ucap Luna sedikit sadar. Segelintir rasa takut mulai menyelimuti gadis itu. Dia terbangun dari mimpi indahnya setelah puas disakiti kemarin. Dia meringis dan menangis. Jiwa gadis itu teramat rindu dengan rumahnya yang lalu.
"Mimpi? Ini cuman mimpi? Ando gak nyata? Hiks ...." Luna kecewa.
....
"UNTUK YANG KEDUA KALINYA, SEORANG LAKI-LAKI TEWAS DI UJUNG JALAN KOTA BANDUNG, KORBAN DITEMUKAN MENINGGAL DENGAN KEADAAN YANG MENGENASKAN. BEBERAPA TUSUKAN TERPAMPANG JELAS," ucap pembawa berita siang ini.
Penghuni kantin kembali digegerkan oleh kasus ini. Dua tahun yang lalu, peristiwa seperti itu juga terjadi di tempat, waktu dan hari yang sama. Mereka mulai berandai-andai bahwa ujung jalan tol itu memang sedang mencari tumbal. Tetapi dunia perandaian mereka hanyut begitu pembawa berita melanjutkan ucapan.
"TETAPI JANGAN KHAWATIR. UCAPKAN BERBAGAI KATA SELAMAT KEPADA PEMUDA INI. SEKELOMPOK PEMUDA YANG SUKSES MEMBANTU POLISI DAN PELAKU KINI TERTANGKAP. MOTIF PEMBUNUHAN ADALAH IRI DAN DENGKI."
"Wah hebat banget, Desastrova emang bukan geng sembarangan." Salah satu siswi memuji. Telinga Luna berhasil mendeteksi kata-kata tadi. Gadis itu menerjang beberapa langkah untuk mengatasi rasa penasaran.
"Desastrova? Apa itu?" timbrung Luna sok kenal.
"Iya Desastrova, geng kakel kita, Devan, Jeman, Ade, sama Mahen."
"Kamu tau tentang mereka?"
"Jelas lah. Mereka tu terkenal bukan karena menjadi berandal di jalanan, melainkan kerja sama mereka sama polisi yang patut diacungi jempol. Mereka adalah geng yang paling berpengaruh dan disegani banyak orang. Devan adalah ketua, cowok terkutuk yang ditaksir banyak orang."
"Dan hebatnya, mereka selalu lebih dulu tau siapa pelakunya dibanding polisi. Hebat kan mereka?" jelas Anne panjang lebar. Perempuan yang diajak Luna berbincang adalah teman sekelas Luna. Dia cukup populer di kalangan SMA Gajah Mada. Nama gadis ini, Anne.
"Apa mereka juga udah selidiki kasus dua tahun lalu?" tanya Luna kepada Anne.
"Oh itu mereka udah selidiki juga. Pokoknya mereka itu the best dah," timpal Anne.
"Hebat ya? Tapi kenapa mereka gak bisa mecahin kasus Ando dan tangkap pelakunya?" seru Luna kecil tak lupa dengan senyum hambar tak berasa.
"Ha?" Anne hanya bingung. Dia tak menanggapi Luna lagi karena kini cewek itu sedang bergelud dengan mi ayam.
Sepulang sekolah, Luna menyempatkan waktu untuk berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir Ando. Dia membawa seikat bunga tulip yang selalu diberi Ando terlebih dahulu. "Ando apa kabar? Luna datang," ucap gadis itu. Dia membersihkan makam Ando yang kotor akibat dedaunan kering.
"Gak kerasa ya, hari ini tepat dua tahun kepergian Ando. Lama banget berarti Luna gak peluk Ando, Luna rindu rumah Luna. Luna mau pulang Ando. Luna gak punya siapa-siapa lagi. Mama selalu aja nyakitin Luna," lirih gadis itu disela isak tangisnya.
*****
Selasa, 18 Juli 2023