Kanaya sepuluh telat menit saat tiba di kafe tak jauh dari kantornya, namun dia belum juga melihat batang hidung Rika. Mereka berdua telah membuat janji dengan klien, dan Kanaya baru saja selesai membuat surat penawaran yang Rika pinta karena dia adalah asisten manajer .
Tak lama berselang, sebuah mobil volvo berwarna hitam terparkir di depan kafe ini. Rika memberi kode kedipan mata kepada Kanaya bahwa klien mereka telah datang dari balik jendela.
Seorang pria perlahan memasuki kafe ini. Penampilan pria itu sangat mod, ketinggian mungkin sekitar 180 cm. Potongan rambut mengikuti trend zaman ini, berwarna coklat tua. Cocok sekali dengan kulitnya yang terang dan bersih.
“Selamat siang. Maaf sudah menunggu lama, jalanan macet sekali,” sapa pria itu sambil meluruskan tangan mereka.
“Tidak apa-apa, santai saja. Kami juga baru datang, kok. Ngomong-ngomong mau pesan apa?” tanya Rika.
Pria berwajah oriental itu tersenyum sopan. “Saya ikut kalian saja.”
Rika memanggil pelayan untuk mencatat pesanan mereka. Rika selaku manajer mulai memperkenalkan Kanaya pada pria yang duduk di hadapannya.
“Pak Peter ini klien baru kita. Beliau pemilik perusahaan kecantikan yang akan membuka cabangnya di Depok. Betul begitu?”
“Betul. Oh ya. Jangan panggil saya Bapak, lihat tua sekali saya. Panggil saja Peter, bukan peter parker ya, beda itu.”
Kedua wanita berbeda usia itu tertawa mendengar humor yang dilontarkan pria itu.
Meeting siang itu berjalan lancar. Pria bernama Peter itu menyetujui lamaran yang diminta Kanaya. Sudah tiga tahun belakangan ini gadis itu bekerja di perusahaan Design Interior . Banyak kemajuan yang telah ia capai. Karena kerja kerasnya itu pula, perusahaan tersebut akhirnya semakin berkembang pesat. Banyak klien yang mempercayakan jasanya, karena desain dari para karyawan di perusahaan itu sangat bagus dan memuaskan.
Setelah agenda rapat tersebut berakhir, mereka hendak menuju kantor untuk segera memproses hasil rapat barusan. Namun, ada pesan singkat yang masuk ke ponsel Kanaya, membuat langkahnya tiba-tiba terhenti.
“Ada apa, Nay?” tanya Rika melihat Kanaya belum juga beranjak dari posisinya.
“Nggak ada apa-apa, Bu. Ibu duluan saja, saya masih ada perlu sebentar. Nanti saya akan menyusul,” jawab Kanaya dengan tersenyum agar atasannya tidak menaruh curiga.
“Oke! Jangan lama-lama, kami harus segera memproses hasil rapat ini.” Kanaya mengangguk paham.
Kanaya memperhatikan punggung wanita berusia empat puluh tahun lebih yang mulai meninggalkan kafe ini. Setelah merasa yakin wanita itu sudah pergi, dia menjawab menelepon orang yang baru saja mengirimnya pesan singkat.
“Kamu dimana?”
“Saya lagi di jalan nih, sebentar lagi saya sampai di kantor kamu. Tunggu, jangan pergi dulu!”
“Aku lagi di kafe Domestik seberang kantor.”
“Oke, sayang. Aku meluncur.”
Selang sepuluh menit kemudian orang yang dia tunggu telah tiba. Seorang pria yang masih menggunakan seragam dinasnya datang menghampiri Sang Kekasih yang sudah memasang wajah kesal.
“Maafkan aku, sayang. Ketemuan mendadak seperti ini. Ada hal yang harus aku sampaikan.”
Kanaya menatap wajah Reyhan dingin. Dia sudah bisa menebak maksud dari kata-kata itu. Reyhan pasti akan pergi dinas lagi, meninggalkannya selama berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan. Bukannya dia sedih, tapi dia tahu konsekuensinya membuat hubungan dengan Abdi Negara seperti Reyhan yang akan meninggalkannya kapan saja.
“Berapa lama?” Gadis itu langsung bertanya tanpa menunggu Reyhan menjelaskan maksud kedatangannya.
Reyhan sempat mendelik tidak menyangka Kanaya bisa menebak apa yang ada dipikirannya. Lalu dia tersenyum, dia sadar kini sedang berhadapan dengan siapa. “Tiga minggu. Aku mendadak mendapat perintah untuk menemani Bapak Panglima dan jajarannya untuk mengecek persenjataan di Makassar. Jadi….”
“Jadi lamaran kita ditunda, kan?”
“Apa kamu marah?”
Kanaya membuang napas kecewa. “Marah sih enggak, cuma kecewa aja. Jadi, kemarin yang meneleponmu hingga menjauh dariku karena itu?” Reyhan mengangguk pelan.
Hari itu ketika mereka sedang memilih gaun untuk acara lamaran, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Saat melihat nama si pemanggil yang tertera di layar mendadak wajah Reyhan menjadi pucat. Reyhan menjauh dari posisi Kanaya agar gadis itu tidak mendengar pembicaraannya.
“Tiga minggu? Tapi, minggu depan saya akan melamar calon istri saya.”
Reyhan berusaha membujuk atasannya, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa. Dia adalah seorang perwira, bagaimanapun juga tugas negara adalah hal yang harus diutamakan dibandingkan kepentingan pribadinya.
“Siap! Baik!” telepon itu berakhir.
Bagaimana aku bisa meninggalkanmu selama itu. Sedangkan tidak melihatmu sehari saja rasanya seperti sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Mau bagaimana lagi, perintah negara diatas segala-galanya sebagai bentuk pengabdian kepada Tanah air ini. Saya harap dia mengerti.'
Kanaya mengusulkan, meminta kode kepada Reyhan untuk memilih gaun mana yang cocok untuknya. Kedua tangan memegang gaun cantik yang membuat kebingungan untuk memilih. Dan dari kejauhan Reyhan memilih kebaya berwarna pink dengan memberinya kode jari telunjuk.
*****
“Maafkan aku sayang, lamaran ini terpaksa ditunda dulu. Aku sebenarnya nggak mau seperti ini.” Reyhan menahan kedua tangan kekasihnya itu, mencoba membujuknya.
“Nggak apa-apa, Rey. Aku paham dan mengerti tentang pekerjaanmu. Aku 'kan sudah bilang, aku nggak marah. Itu sudah menjadi tanggung jawabmu sebagai tentara. Kapan kamu berangkat?” tanya Kanaya sambil menyeruput ice coffee yang baru saja dia pesan.
“Nanti sakit sekitar jam empat, Pesawatku berangkat jam tujuh malam nanti”
“Apa Egi juga ikut?” Reyhan mengangguk.
“Emang kenapa kalau Egi ikut?” Reyhan balik bertanya.
“Ya setidaknya aku bisa ngawasin kamu melalui Egi sebagai mata-mataku. Kali aja kamu disitu macam-macam.”
"Kamu cemburu?"
"Dih, enggak."
“Hayo ngaku,” celetuk Reyhan mencolek dagu Sang kekasih.
“Cemburu juga nggak apa-apa lagi. Aku malah suka dicemburuin.”
“Dasar kamu. Kalau Egi juga ikut aku bisa nemenin Anita. Lagian aku pusing denger Kak Karin selalu saja mengomel sepanjang hari,” jawab Kanaya dengan raut wajah kesal seraya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
Reyhan terkekeh kecil mendengar Kanaya berkata seperti itu. “Wajar dia begitu, dia sudah jadi orang tua, aku rasa semua Ibu pernah merasakannya.”
“Jadi, aku nggak bisa nganterin kamu ke bandara, dong?”
“Nggak apa-apa, sayang. Aku tahu kamu pasti sibuk di kantor. Doakan saja semoga selamat sampai tujuan dan sampai aku kembali. Aku berjanji setelah pulang dinas aku akan segera melamarmu,” janji Reyhan mengambil punggung tangan Kanaya.
Deg!
Refleks Kanaya menarik tanganya, Reyhan terkejut, Kanaya menatap dengan mata melebar dan alis terangkat. Dia seperti mengalami Dejavu sebab kata-kata Reyhan barusan mengingatkannya kembali dengan momen di masa lalunya.
“Mas janji. Setelah penugasan di Papua Mas segera melamarmu, Dek,” janji Yudha kala itu, sebelum ia melepaskannya pergi dinas ke Papua.
“Tolong jangan katakan itu! Jangan berjanji untuk hal yang belum bisa kamu tepati.”
Reyhan menarik napas dan mengeluarkannya pelan. Dia kembali meraih tangan gadis yang dia cintai itu dan genggamannya erat. Mata elangnya menatap penuh kehangatan dan penuh cinta.
“Janjiku ini bukan isapan jempol semata, sayang. LIhat aku! Apa tanda-tanda hiburan di mata saya? Aku sungguh-sungguh mencintaimu. Kita sudah lama saling mengenal. Aku akan secepatnya meresmikan hubungan kita. Ini hanya masalah waktu. Kamu percaya padaku, kan?”
“A… aku percaya. Hanya saja….”
“Sudah, jangan pernah ragukan perasaanku ini kamu.”
Kanaya mencoba tersenyum di hadapan Reyhan.
***
Langit berubah senja ketika Kanaya keluar dari kantornya. Senyumnya mengembang ketika melihat sebuah pesan whatsapp dari Reyhan. Pria itu mengirimkan foto selfie -nya bersama Egi dan beberapa rekan kerjanya yang lain sedang berada di ruang tunggu bandara.
Tak lama ada panggilan masuk dari sahabatnya, Anita.
“Kamu jadikan nginap di rumahku? Aku sedikit kesulitan nih!”
“Oh, jadi kamu anggap aku baby sitter mu?'
“Bukan, bukan begitu.” Kanaya terkekeh kecil.
“Nggak, aku bercanda kok. Aku pulang dulu ambil beberapa baju, oke?”
“Pakai bajuku aja, baju kerjaku juga banyak dan pas buat badanmu. Aku kan sudah nggak kerja lagi.”
“Kamu mau aku pakai baju dinasmu? Dalemannya juga?” ledek Kanaya. Dari seberang sana Anita tertawa terbahak-bahak.
“Ya sudah aku tunggu!” Telepon berakhir.
Kanaya menggeleng karena sikap sahabatnya yang absurd itu. Anita memang selalu meminta Kanaya untuk menginap di rumahnya bila ditinggal Egi berdinas selama berhari-hari. Sejak Anita mempunyai anak, dia memilih untuk tidak bekerja dan fokus menjadi ibu rumah tangga. Dia juga tidak menyewa asisten rumah tangga, alasannya simpel, dia ingin merawat anaknya sendiri, melihat perkembangan kembang buah hatinya.
***