Kurang lima belas menit lagi menuju pukul sembilan pagi. Kanaya terlihat sedang duduk manis di teras sambil memperhatikan keponakannya yang sedang bermain dengan kakak iparnya, di halaman.
“Lagi-lagi dia telat,” keluhnya.
“Reyhan belum datang juga?” tanya Retno -kakak iparnya- yang sedari tadi melihatnya cemberut. Kanaya menggeleng.
Kalau saja dia tahu pria itu akan telat menjemputnya, dia tidak akan berhias terburu-buru seperti ini. Sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga militer seperti Kanaya dan Reyhan, kedisiplinan merupakan nomor satu. Tapi tidak untuk kali ini, karena biasanya Reyhan selalu datang tepat waktu.
Tak berselang lama, deru mobil khas milik Reyhan tiba dan berhenti di depan pagar rumahnya. Seorang pria bertubuh tinggi dan tegap keluar dari mobil itu. Pria berambut cepak pendek itu mengenakan kaos polo berkerah berwarna putih yang begitu pas di badan. Tubuhnya proporsional, alis yang tebal membuat sorot matanya tampak lebih tajam bak mata elang.
Reyhan melempar senyum kepada Retno seraya menyapa. Lalu berjalan menghampiri Kanaya yang tampak sedikit kesal dengan kelakuan Reyhan pagi ini.
“Macet? Mobil mogok? Atau bantuin Mama?” Kanaya langsung memberondong dengan banyak pertanyaan, bahkan dia tidak memberinya kesempatan untuk memberi salam.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab gadis itu jutek.
“Kanaya? Orang beri salam kok jawabnya ketus begitu? Eh, ada Nak Reyhan, toh. Mau jemput Kanaya?” Ibu Dewi tiba-tiba datang sambil membawa sebotol susu untuk cucu laki-lakinya itu.
Reyhan tersenyum sopan,” Iya, Bu. Saya mau izin ngajak Kanaya nyari gaun untuk lamaran nanti.” Ibu Dewi tersenyum memberi isyarat.
“Ya sudah, kami pergi dulu. Assalamualaikum.” Kanaya langsung menyambar tas kecilnya.
“Waalaikumsalam.”
Kanaya langsung bergegas menuju mobil Reyhan setelah berpamitan dengan Retno. Dia berjalan cepat meninggalkan kekasihnya di belakang. Reyhan langsung menarik lengan Kanaya sebelum gadis itu membuka pintu mobil.
“Nay? Kamu marah sama aku karena telat jemput kamu?” Kanaya diam tidak menjawab, kedua tangannya menyilang di depan dada, dia juga enggan untuk menatap wajah Reyhan.
Reyhan membuang napas lalu memegang kedua bahu gadis itu dan memutar badan menghadapnya. Kanaya memperhatikan sosok pria yang berdiri di hadapannya. Dia sedikit mendongak ke atas karena tubuh Reyhan yang tinggi. Sorot mata elangnya telah berhasil menghipnotisnya.
“Maafin aku, ya?”
Kanaya memandang pria yang sedang tersenyum padanya. Setelah beberapa lama terdiam, akhirnya gadis itu membalas senyum. Mata Reyhan terlihat berbinar, lantas dia langsung membukakan pintu mobil untuknya.
***
Di sebuah barak tempat para prajurit tinggal, seorang pria tengah bersiap untuk berolahraga di lapangan Batalyon tak jauh dari asrama. Pria itu tampak sedang melakukan pull up berkali-kali sehingga keringat mulai bercucuran membasahi badan kekarnya. Begitulah cara para prajurit untuk menjaga kebugaran tubuhnya.
Hari ini adalah hari Minggu, banyak orang yang sedang menikmati hari liburnya dengan berolahraga. Seperti mereka yang sedang berolahraga di sekitar lapangan batalyon ini. Ditambah dengan banyaknya pohon rindang membuat tempat ini semakin sejuk.
Pria berbadan kekar itu masih mengingat jelas apa yang tidak sengaja ia dengar dari dua perawat saat dia sedang berada di kantin rumah sakit dua tahun lalu. Apa benar Cantika dengan sengaja memberinya obat penenang dosis tinggi sehingga dirinya kesulitan untuk mengingat kembali ingatannya? Kalaupun itu benar untuk apa? Karena setiap kali dia mencoba menanyakan kebenarannya pasti wanita itu mengelak dengan berbagai alasan.
“Kau kenapa? Aku perhatikan beberapa hari ini kau selalu murung. Ada masalah apa?” tanya seseorang.
“TIdak apa-apa.”
“Ah, jangan bohong lah kau. Dari sorot matamu saja sudah terbaca.”
Yudha membuang napas panjang. Jujur, dia sendiri saja tidak tahu lagi harus bercerita kepada siapa. Dia benar-benar kehilangan ingatannya. Biasanya jika dia mempunyai masalah apapun ada satu sahabatnya yang selalu ada dan siap mendengar curhatannya. sayang, dia sama sekali tidak mengingatnya.
“Aku merasa terganggu dengan keadaanku seperti ini. Aku sama sekali tidak mengingat apapun.”
“Apa kamu benar-benar tidak memiliki petunjuk apapun tentang ingatan mu itu?” tanya pria yang sedang duduk disampingnya itu.
Yudha menggeleng. Dia sama sekali tidak mengingat apapun. Tentang asal-usulnya, siapa orang tuanya, ataupun masa lalunya.
Hanya ada satu yang selalu mengganjal hati dan pikirannya selama ini. Gadis itu, ya Kanaya. Dia merasa kenyamanan yang berbeda antara dirinya bersama Kanaya atau dengan Cantika, dia merasa seperti ada ikatan yang kuat dengan wanita itu.
“Entahlah, semakin aku berusaha untuk mengingatnya malah semakin membuat kepalaku pusing.”
“Lalu bagaimana hubunganmu dengan Cantika? Aku dengar kalian sudah semakin serius. Gosip yang menyebar di kantor kalau kalian mau menikah.”
Yudha tersenyum kecut mendengar rumor gosip tentangnya. Dia sudah menduga wanita itu pasti mengatakan yang tidak-tidak. Menikah dengannya? Sedikit gambaran pun tidak ada di dalam pikirannya. Dia selama ini bersikap baik pada Cantika semata-mata karena kebaikan dari ayah gadis itu.
“Aku tidak mencintainya.”
“Apa? Ah, yang benar kau ini!” kedua mata pria itu melebar, terkejut mendengar pengakuan Yudha.
Yudha meneguk sebotol air mineral dingin. Seketika tenggorokannya terasa segar saat air itu mulai melewati kerongkongannya, dan air yang tersisa di botol ia gunakan untuk membasuh wajahnya.
“Benar. Aku tidak memiliki perasaan apapun padanya. Aku sudah berusaha untuk lebih dekat dengannya, tapi aku sama sekali tidak tertarik dengannya.”
“Begitu rupanya. Lalu apa sekarang kamu sedang dekat dengan seseorang?” tanya pria itu penasaran.
“Sudah, aku menyukai gadis itu. Aku merasa seperti sudah lama mengenalnya. Gadis itu… dia berbeda,” jawab Yudha menjelaskannya dengan ekspresi yang bahagia.
“Ya, ya, ya. Aku paham. Lalu siapa gadis itu?”
***
Sebenarnya kita ini mau kemana sih? Perasaan dari tadi nggak nyampe-nyampe,” protesnya.
Reyhan tersenyum mendengar Sang Kekasih yang sedari tadi mengomel tiada henti. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika mereka resmi menikah dan hidup bersama. Saat ini mereka sedang berada di jalan tol menuju Bandung.
Setelah tiga jam perjalanan, akhirnya mereka telah tiba di sebuah tempat gallery fashion yang menjual berbagai macam gaun, mulai dari kebaya sampai gaun pernikahan. Dari depan tempat ini terlihat seperti rumah.
Kedua sejoli itu perlahan turun dari dalam mobil. Pandangan Kanaya memperhatikan sekeliling tempat ini. Bibir kecilnya menganga, heran dengan tingkah calon suaminya itu. Dia melempar pandang ke arah Reyhan dengan ekspresi bertanya-tanya. Sedangkan Reyhan lagi-lagi hanya tersenyum saja.
“Kamu nyari gaun sampai ke Bandung segala. Emang di Jakarta nggak ada apa toko gaun yang bagus?” Mood Kanaya sedang tidak bagus hari ini.
Reyhan merangkul pinggang wanita mantan atlet bela diri taekwondo itu. “Sengaja, biar habis dari sini kita bisa jalan-jalan berdua. Kapan lagi kita punya waktu seperti ini? Waktuku habis untuk dinas, dinas, dan dinas. Lagi pula tempat ini rekomendasi dari Mama,” jelasnya sambil mencubit pelan dagu gadis itu.
“Hmm, ternyata selera Mama mu oke juga.”
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” sapa salah satu karyawan itu dengan sopan.
“Kami sedang mencari kebaya untuk acara lamaran. Bisa minta tolong carikan yang cocok untuk calon istri saya ini?” ucap Reyhan kepada pegawai itu.
“Bisa. Mas dan Mbaknya silahkan duduk di sini dulu biar saya yang mencarikan gaun yang sesuai untuk calon istrinya.” Karyawan itu mulai beranjak mencari gaun, diikuti Kanaya dibelakangnya.
“Mbak? Saya juga ikut!” seru Kanaya.
Sepeninggal mereka, Reyhan tengah duduk bersantai di sebuah sofa yang memang diperuntukan untuk para tamu yang datang. Tak jauh dari posisinya, di ujung sofa terdapat meja kecil yang diatasnya disediakan beberapa gelas air mineral dan juga beberapa makanan ringan. Sepertinya pemilik tempat ini sudah mengantisipasi apabila customernya yang mulai jenuh menunggu.
Dari posisi duduknya sekarang, dia bisa memperhatikan gadis itu yang sedang sibuk memilih kebaya koleksi dari toko ini. Dan karyawan itu juga dengan sabar melayani Kanaya yang kebingungan memilih model dan warna. Melihat sikap calon istrinya Reyhan hanya bisa menggeleng-geleng kepala.
Toko ini juga tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pembeli saja. Ada juga sepasang kekasih yang sedang sibuk memilih gaun pengantin. Melihat pasangan itu tercetus ide di otaknya, dia bergegas menghampiri Kanaya dan membisikkan sesuatu ke telinganya.
“Bagaimana kalau kita sekalian memilih gaun pengantin?”
“Kamu yakin? Kita aja belum lamaran loh.”
“Ya itu sih kalau kamu mau.”
“Kita fokus cari gaun buat lamaran aja, acaranya juga belum ditentukan. Ada-ada aja kamu.” Reyhan hanya bisa nyengir.
Tiba-tiba ponsel Reyhan berdering, raut wajahnya berubah ketika melihat siapa yang menelponnya. Dia memberi kode kepada Kanaya untuk mengangkat telepon. Dia menjauh sedikit dari Kanaya agar percakapannya tidak didengar olehnya. Tampak raut wajah Reyhan berubah sedikit serius, Sesekali dia melirik kekasihnya itu.
***