Gadis cantik berambut cokelat panjang sedang duduk di pinggir pinggir kesayangannya sambil memandangi sebuah potret kecil di tangannya. Sebuah potret yang menggambarkan kebersamaan dirinya dengan seorang pria berwajah oriental yang sedang tersenyum manis. Foto saat mereka melakukannya di photobox . memotret dia mengusap potret kecil itu.
Air matanya perlahan menetes tanpa disadarinya, jatuh tepat di atas foto itu. Buru-buru dia mengelapnya, dia tidak ingin potret itu sedikit pun rusak. Hanya itu satu-satunya kenangan yang dia miliki bersama laki-laki itu.
Angin meniup pelan melewati jendela dan membelai wajah ayunya. Sinar mentari perlahan mulai nampak memasuki kamar dari celah-celah jendela. Sudah dua tahun berlalu semenjak peristiwa menegangkan itu. Peristiwa yang tak akan pernah ia lupakan begitu saja. Tepat di hadapannya, mantan kekasihnya tewas tertembak musuh. Walaupun pada saat itu hubungan mereka sudah berakhir, tetapi peristiwa itu tetap membuat syok dan pingsan. Bagaimana tidak, tepat di pangkuannya –Bima Lin– CEO dari perusahaan rumah sakit ternama di Jakarta menahan napas terakhirnya.
Masih jelas dalam ingatannya bagaimana momentum bersama pria itu. Ketika Bima setiap malam selalu datang dan masuk ke kamar indekosnya melalui jendela. Bagaimana ketika kedua bibir mereka saling bersentuhan saat pria itu membutuhkannya di saat seluruh keluarga Bima melawan hubungan mereka. Ketika Bima berhasil melepaskannya dari penculikan yang hampir merenggut nyawanya. Sampai saat Bima menghilang selama tiga tahun lamanya tanpa kabar dan bertemu secara tidak sengaja. Bagaimana mungkin dia melupakan semua itu.
“Sampai kapan kamu terus-terusan seperti itu?” Karin yang sejak tadi berdiri diambang pintu mendapati adik bungsunya bertanya tengah melamun.
Kanaya hanya diam tak sedikitpun menanggapi. Karin membuang napas panjang dan berjalan mendekatinya.
“Sudah dua tahun sejak kepergiannya. Apa kamu akan seperti ini terus? Kamu harus tetap melanjutkan hidupmu, relakanlah dia pergi.”
“Aku tahu, aku sudah merelakannya pergi. Hanya saja perasaan bersalahku ini selalu membayangiku. Aku nggak mengerti dengan apa yang terjadi pada diri ini.”
“Maksudmu?”
Kanaya meletakkan kembali potret itu ke dalam sebuah kotak kecil berwarna cokelat. “Aku merasa setiap pria yang mendekatiku selalu bernasib tragis.”
Karin tercengang. “Hei, kenapa kamu ngomong begitu?”
“Kenyataannya memang begitu, Kak. Apa Kakak lupa peristiwa penembakan yang menimpa Mas Yudha saat di Papua? Dia juga nyaris tewas dan saat itu hubungan kami sudah serius dan berencana untuk menikah. Lalu dua tahun lalu Bima tewas tertembak karena melindungiku. Sekarang Reyhan, aku nggak mau Reyhan bernasib sama dengan mereka, Kak. Saya merasa saya ini hanya pembawa sial.”
"Diam! Jangan bicara kayak gitu! Tidak ada yang namanya pembawa sial atau apalah itu. Semua yang terjadi sudah menjadi kehendak Allah. Pikirlah yang positif, Reyhan itu sangat mencintaimu.” Karin menarik lengan adiknya, menegur apa yang baru saja dia katakan.
Kanaya menatap wajah Karin untuk sewaktu-waktu lalu melemparkan pandangannya ke arah jendela jendela yang terbuka lebar. Membiarkan udara pagi yang segar memasuki seluruh penjuru kamarnya. Ucapan Karin berusaha ia cerna, untuk sementara mampu menenangkan hatinya tapi entah sampai kapan.
“Kamu mau kemana?” tanya Karin yang melihat Kanaya membawa handuk di pundaknya.
“Mau mandi, aku sudah janjian sama Reyhan.” Karin menatap punggung adiknya dan menggelengkan kepala.
*****
Musim hujan memang sudah berakhir, terkadang langit Jakarta masih diguyur hujan walau hanya gerimis kecil, sehingga banyak orang malas keluar rumah. Seperti pagi ini, sinar matahari mengiringi rintikan sisa hujan semalam mewarnai hari-hari Reyhan.
Sebelum menjemput Kanaya, dia menyempatkan waktu untuk mampir ke rumah sahabat senasib seperjuangan saat di SMA sampai di Akademi Militer, Egi.
Dua hari yang lalu pria yang sekarang memiliki gelar baru sebagai “Papa Muda” membeli dua ekor ikan arwana yang dibelinya dari seorang kenalan. Dia memberi tahu melalui pesan Whatsapp untuk datang melihatnya. Dua ekor ikan itu ditempatkan di sebuah akuarium besar di ruang tamunya.
Seorang anak balita yang berusia sekitar dua tahun tampak sedang asik dan senang melihat ikan-ikan itu berenang di dalam akuarium. Sambil Reyhan menggendongnya, putra pertama Egi itu memukul-mukul akuarium tersebut. Sesekali Reyhan mengajak bicara bocah menggemaskan itu.
“Tuh, lihat kelakuan sahabat tersayangmu itu! Rela ngabisin uang tabungannya hanya untuk membeli ikan seperti itu? Awas aja kalau dia sampai berani macam-macam akan aku goreng semua ikannya!” Wanita cantik tampak sangat kesal dengan perilaku suaminya itu. Sambil membawa nampan berisi dua cangkir kopi panas dan juga satu toples kripik singkong kegemaran mereka.
“Jangan dong, sayang. Aku udah susah payah menabung untuk membeli ikan menggemaskan ini. Lagian siapa juga yang mau macam-macam, satu macam yang kayak gini juga nggak habis-habis. Toh Kalundra juga menyukai ikan itu,” ucap Egi berusaha membela diri.
Sang anak yang mungil nan menggemaskan itu tampak sangat senang ketika melihat ayahnya sedang memberi ikan-ikan itu makan.
Sang istri memutar bola matanya, dia tak habis pikir dengan tingkah suaminya itu yang semakin hari semakin menyebalkan. Reyhan yang melihat mereka tersenyum tipis dibalik akuarium tersebut.
“Rey, aku ingetin kamu ya. Kalau kamu menikah dengan Kanaya jangan sampai kamu seperti dia, memelihara hobi yang nggak jelas kayak gitu.”
“Tenang saja, Nit. Aku tidak akan ngikutin dia, musyrik yang ada,” ledeknya.
“Sialan lo!”
Anita lalu menggendong Kalundra yang terlihat sudah mengantuk dan membawanya ke kamar mereka karena semalam anak itu tidak mau tidur.
Sepeninggal ibu dan anak itu, Egi mengajak Reyhan untuk duduk bersantai di teras.
“Pagi-pagi gini lo udah rapih. Mau kemana?” tanya Egi.
“Jemput Kanaya, kita mau nyari gaun untuk acara lamaran minggu depan.”
“Lo jadi ngelamar dia?” tanya Egi tidak yakin.
Reyhan menyeruput kopi panasnya lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
“Jadi dong masa nggak. Gue udah lama menantikan waktu ini, Bro.”
Egi menatapnya serius.
“Lo kenapa ngeliatin gue kayak gitu? Lo nggak percaya sama gue?”
“Gue percaya, cuma ada yang mengganjal aja di hati gue.”
Ekspresi Reyhan mendadak berubah serius, dia sudah tahu arah pembicaraan mereka kemana. Sorot mata Egi sudah menjelaskan semuanya.
“Yudha maksud lo?” Egi mengangguk.
“Gue khawatir kalau saja ingatannya tiba-tiba kembali. Hubungan lo dan Kanaya pasti terancam. Apalagi dia sudah cukup terluka dengan kepergian Bima.”
Reyhan memandang jauh ke halaman rumah Egi yang luas itu. Semua tanaman tersusun rapi. Anita sangat piawai dalam merawat tanamannya itu. Tapi bukan itu yang dia lihat, jauh di dalam benak pikirannya sosok saingannya selama ini selalu mengganggu pikirannya.
Yudha yang masih kehilangan ingatannya akibat peristiwa penembakan saat bertugas di Papua. Bagaimana bila ingatan pria itu sudah kembali? Benar kata Egi, bukan tidak mungkin dia akan menjadi masalah dalam hubungannya dengan Kanaya yang tak lama lagi akan dilamarnya.
“Justru itu, gue ingin secepatnya menikahi Kanaya sebelum itu terjadi. Kehadiranya dari dulu sudah menjadi masalah buat gue.”
Dering pesan berbunyi dari ponsel Reyhan yang tergeletak di atas meja. Reyhan tersenyum saat membaca pesan itu. Siapa lagi yang mampu membuatnya tersenyum lebar seperti itu, Kanaya.
“Gue cabut dulu! Doi udah nungguin gue!”
Reyhan lalu beranjak dari teras dan menyambar jaket yang berada di ruang tamu.
“Kopi lo belum habis nih!” teriak Egi.
“Lo aja yang habisin! Salam buat Anita!”
Reyhan setengah berlari menuju mobil pajero sport putih kesayangannya. Rona kebahagiaan terpancar di wajah tampannya.
Bagaimana tidak, hari ini dia dan gadis itu akan pergi bersama mencari gaun untuk acara lamaran yang akan diselenggarakan minggu depan.
Akhirnya setelah perjuangan yang tak mudah dan penantiannya selama ini untuk mempersunting wanita pujaan hatinya akan segera terwujud. Gadis cantik itu menerima lamarannya.
Malam itu ketika mereka berdua sedang makan malam bersama di sebuah restoran ternama, tiba-tiba Reyhan dengan gagahnya melamar Kanaya di hadapan pengunjung yang berada di restoran tersebut.
Kanaya langsung terkejut dengan sikap sahabat masa kecilnya itu. Dia tidak menyangka Reyhan akan melakukan itu di hadapan banyak orang. Dia mengira Reyhan mengajaknya makan malam sekedar makan malam seperti biasa yang mereka lakukan, tidak ada yang aneh dari Pria itu.
“Will You Marry Me, My Girl?” ucap Pria yang dahulu adalah bocah tengil mantan Kapten tim Basket di SMA.
Kanaya menutup rapat bibirnya karena menahan malu. Semua orang yang berada di restoran itu sorak sorai meneriaki untuk segera menerima lamarannya.
Selama ini hanya Reyhan yang selalu ada disampingnya, yang selalu protektif terhadap dirinya, dan dia sudah lama mengenalnya sedari kecil. Jadi tak ada alasan untuk menolaknya.
“Yes, I will marry you.”
Dengan mata yang berbinar bahagia Reyhan dengan refleks memeluk Kanaya di hadapan banyak orang. Itulah momen membahagiakan untuk Reyhan, kesediaan gadis itu untuk menikah dengannya adalah harapan baginya selama ini. Setelah bertahun-tahun merelakan pujaan hatinya dimiliki oleh orang lain.
*****
“Bagaimana perkembangan penyelidikan kita?”
“Saya masih mencarinya, Bang. Ternyata mereka sudah pindah dan tidak lagi tinggal di sana sejak kejadian itu.”
“Apa tidak ada petunjuk lain?” Pria berkulit sawo matang itu menggeleng tidak tahu.
Kedua pria berbadan tegap sama-sama mengernyitkan alis mereka. Sudah bertahun-tahun mereka mencari keberadan ibu dan anak itu tapi tidak pernah membuahkan hasil. Mereka sudah pindah entah kemana.
Padahal mereka sangat mengharapkan kehadiran mereka agar pria itu bisa kembali mengingat masa lalunya.
“Lalu bagaimana dengan lamaran Reyhan? Bagaimana dengan Kanaya jika suatu saat ingatan Yudha kembali? Apakah akan menjadi masalah bagi mereka?”
“Entahlah, Retno. Aku melihat Reyhan begitu tulus mencintai adikku. Tapi di satu sisi aku juga berhutang budi padanya. Dulu kalian sudah membantu ku untuk meringkus Andy dan komplotannya,” jawab KIki.
*****