Ponselnya dipenuhi banyak sekali notifikasi entah itu chat sampai telfon dari Salim. Sudah hampir satu minggu Arina tidak menggubris Salim, dirinya masih butuh waktu untuk menenangkan diri dan mencoba membuat keputusan tentang kelanjutan hubungan mereka.
Arina juga tidak tega membiarkan Salim terus menanti kabarnya, Arina dan Panama sekarang juga pindah tempat tinggal. Hal tersebut membuat Salim semakin khawatir terhadap keduanya. Arina terkesan menghindari masalah ini, namun dia melakukan semua ini karena dia sendiri juga masih bingung, dia tidak siap untuk hal-hal lain yang akan datang di kemudian hari.
Arina kembali fokus menata beberapa perabotan ke kontrakan barunya, lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya dulu, hanya saja Arina tidak memberikan alamatnya sekarang kepada siapapun. Panama terlihat ikut menata beberapa foto keluarga mereka untuk dipajang di dinding baru mereka.
“Kak, mau sampai kapan menghindar dari kak Salim? Kak Salim udah chat aku dan dia khawatir kakak gak ada kabar sama sekali.” tanya Panama disela-sela aktivitasnya,
“Kakak juga gak tega dek, kakak hanya butuh waktu, nanti kalau kakak udah siap, kakak pasti selesain masalah ini sama Salim.” jawabnya dengan suara lemah,
Siang ini Arina dan Panama berkunjung ke tempat ayahnya, mereka ingin melepas rindu kepada ayahnya, menurut mereka ayah adalah tempat ternyaman di dunia ini, seketika segala hal yang membuat isi kepala ingin meledak seketika hilang ketika hanya melihat ayahnya masih hidup. Itu yang mereka rasakan saat ini. Arina dan panama memeluk erat, merasakan kehangatan yang sudah lama mereka rindukan.
“ Ayah, sehat terus ya, Arina sama Pana biar semangat terus setiap harinya,” ucap Arina yang masih memeluk ayahnya.
Arina mulai menceritakan semua yang dia alami selama ini khususnya tentang hubungannya dengan Salim, meskipun dia tahu tidak akan ada respon dari ayahnya namun Arina ingin menceritakan semuanya agar dia lega dan yakin dengan keputusannya. Dia bercerita dengan air mata yang hiasi pipi mulusnya, suaranya masih bergetar, di depan ayahnya dia menumpahkan segala rasa pelik di dadanya.
“Arina harus gimana yah? Arina sayang sama Salim tapi kenapa harus gini keadaannya.” ujar Arina dengan isakan yang masih terdengar,
Tiba-tiba ayahnya menghapus air mata yang sedari tadi menetes dipipinya, ini adalah pertama kalinya ayahnya merespon Arina. Betapa senangnya melihat hal ini, mereka berdua kembali memeluk ayahnya dengan sangat erat. Seketika rasa sesak di dadanya hilang dan kini berubah menjadi bahagia melihat reaksi dari ayahnya, memang benar ayahnya adalah obat dari segala hal-hal yang membuatnya sedih, pelukan seorang ayah yang mampu menyembuhkan luka di hatinya.
***
Sepulang dari menjenguk ayahnya, Arina dan Panama tampak lega, sebab ayahnya sudah menunjukkan respon yang baik, mereka percaya bahwa dalam waktu dekat ayahnya akan kembali sembuh dan kembali berkumpul bersama mereka.
Panama meletakkan teh dan beberapa camilan yang dia bawa dari dapur, mereka duduk di ruang tengah tempat tinggal baru mereka, teh dan camilan itu sangat pas untuk menemani obrolan mereka malam ini, angin yang berhempus pun menambah syahdu suasana.
“Kakak, udah membuat keputusan untuk hubungan kakak?” tanya Panama memecah keheningan,
Arina terdiam sebentar, dia meneguk teh lalu tubuhnya dia sandarkan ke sofa kecil miliknya.
“Kakak belum yakin dek, tapi yang jelas kakak belum siap putus dari Salim,” jawab Arina dengan helaan napas berat,
Panama sudah menduga kakaknya akan menjawab hal demikian, tidak mudah memang berada diposisi itu, sebuah pilihan yang dua-duanya akan menyakitkan.
“Kak Salim tulus sama kakak, Aku melihat ketulusan itu benar-benar nyata kak, dia tulus,"
“Iya dek, kakak juga merasakan itu. Ayah nerima hubungan kita gak ya dek?”
“Dari respon ayah tadi udah nunjukin kalau ayah dukung keputusan kakak, ayah senang kalau itu buat kakak senang.”
“Kakak harap juga gitu, dek.” pungkas Arina,
Mereka kembali menikmati teh sembari menunggu kantuk tiba, rasanya memang sudah berbeda dengan suasana seperti tiga tahun lalu ketika keluarga ini masih lengkap.
“Ma, Panama tadi ada tanding basket terus tim Pana menang,” ucap Pana dengan antusias kepada mamanya,
Mamanya tersenyum, sambil mengambil empat cangkir teh dan beberapa camilan untuk menikmati suasana malam ini, mereka berempat duduk di depan sofa, sebuah televisi pun ikut menyala seperti tidak mau ketinggalan untuk menemani malam mereka,
“Ayah mau minta satu hal sama mama, kakak dan Panama,” Hans memberikan pertanyaan itu tiba-tiba,
Mereka bertiga kompak mengangguk dan menjawab,
“Nanti kalau suatu hari ayah udah gak bisa jagain kalian, kalian harus janji buat saling menjaga ya,” lanjutnya,
“Ayah ngomong apa sih, kenapa jadi melow gini suasananya, tanpa ayah minta kakak akan selalu jagain kalian semampu kakak.” jawab Arina,
“ Pana juga akan jagain ayah, mama sama kakak,” imbuh Panama,
“ Mama pun akan jagain kalian selalu,” ucap Rika,
Hans tersenyum senang mendengar jawaban dari ketiga orang yang dia sayangi, dia memeluk erat mereka bertiga, seerat mungkin.
“Ayah senang, kalian masih disini. Masih saling sayang, masih saling menjaga. Kalian harus gini terus ya, jangan pernah meninggalkan satu sama lain.” pungkas Hans,
Ingatan tiga tahun lalu itu seketika teringat, Arina meneteskan air matanya, mengingat ucapan ayahnya itu, ucapan dimana ayahnya ingin mereka untuk saling menjaga dan tidak saling meninggalkan. Nyatanya mamanya tidak menepati janji yang telah mereka buat berempat.
Secangkir teh dan camilan ternyata bisa mengingatkan momen itu, Arina langsung menghapus air matanya kemudian berdiri untuk membangunkan adiknya agar melanjutkan tidur di kamar. Udara malam ini terlalu dingin untuk tidur di ruang tengah dengan dinding yang tipis ini.