“Aku nyerah, Lim.” ucap Arina langsung pada intinya,
“Gak, Na. Kita gak boleh nyerah.” jawab Salim menolak,
“Gak ada yang bisa kita perjuangkan lagi, Lim.”
“Kita hadapi sama-sama, Na. Bertahanlah,”
“Kalau boleh putar waktu, harusnya aku gak ketemu kamu, Lim. Harusnya kita gak sampai sejauh ini.”
“Itu terdengar menyakitkan, Na. Sekalipun kalimat itu gak pernah terbesit di kepalaku, kalau aku boleh minta harusnya bukan mama kamu yang jadi mama tiri aku, Na. Harusnya hubungan kita masih baik-baik saja sampai nanti.”
“Tetapi sulit buat aku nerima semua ini, Lim. Itu akan jadi mimpi terburuk aku, aku mau kita selesai."
Ucap Arina dengan suara yang bergetar, menahan tangis, seakan ada satu bagian dalam dirinya tidak ingin dia mengatakan itu. Hatinya sangat berat untuk mengatakan itu.
“Kamu mau tinggalin aku, Na?”
Mendengar pertanyaan Salim, Arina tidak lagi bisa menahan sesak yang sedari tadi dia pendam.
“Aku juga gak mau, Lim. Bagaimana bisa aku meninggalkanmu, sehari tanpamu saja aku hampir mati. Tapi aku harus apa, Lim?” jawabnya terisak,
“Aku tahu ini menyakitkan buat kamu, aku tahu kamu sangat terluka karena ini, tapi aku juga terluka, Na.”
“Terus aku harus apa, Lim? Aku juga gak mau, kamu orang terbaik yang pernah Tuhan kasih di hidup aku, aku selalu minta sama Tuhan biar kita sama-sama terus, tapi kenapa Tuhan selalu buat aku merasakan kehilangan lagi, apa Tuhan gak sayang aku ya, Lim."
Suaranya semakin terisak dadanya pun terasa sesak, air mata pun sudah membahasi pipinya sejak tadi. Salim menarik Arina dalam pelukannya, pelukan yang sangat erat, dia pun ikut menangis, mereka menangis bersama, memberikan kekuatan satu sama lain lewat pelukan itu. Sungguh hati mereka benar-benar rapuh.
“Tuhan sayang sama kamu, Tuhan gak akan pernah ninggalin kamu. Aku minta sama Tuhan untuk selalu disini, Na. Gak akan pergi, sekalipun kamu minta itu.”
Salim melepaskan pelukannya, kini dia menggenggam erat tangan mungil milik Arina, air matanya masih mengalir belum terhenti, Salim menghapus butir-butir air mata yang turun itu dengan lebut,
“Arina Naladhipa, kita hadapin ini sama-sama ya, kita cari jalan keluar darai semua ini. kamu jangan pernah bilang itu lagi, karena Salim Mahendra akan selalu di samping Arina bagaimana pun keadaannya. Aku sayang kamu, Na. Sungguh.”
“Gimana ayah sama Panama, Lim? Ini benar-benar mimpi buruk buat aku, kepergian mama yang merubah semua ini, Lim. Andai mama gak pergi waktu itu, pasti ayah masih disini bareng aku sama Panama. Aku harus jelasin gimana kalau kamu anak tirinya mama aku? Aku benar-benar gak tahu harus ngapain, Lim. Aku sangat terluka dengan semua ini.”
Salim pun terdiam, mulutnya seoalah dibungkam, tidak ada satu kata pun yang bisa menjawab ucapan Arina. Karena semuanya memang benar adanya, Salim pun paham bahwa berada di posisi Arina saat ini adalah mimpi buruk. Perempuan di depannya itu masih terisak, entah berapa luka yang dia terima, matanya sudah sembab sedari tadi, tubuhnya masih bergetar, Arina yang malang.
“Aku sudah terluka begitu banyak, Lim. Kedatanganmu di hidupku memang menyembuhkan, namun tanpa aba-aba kedaatanganmu justru pada akhirnya menambah parah luka-luka yang selama ini kamu sembuhkan, Lim.”
Salim menangis, dia terisak, sungguh ini menyakitkan buat dirinya, membuat Arina berada di posisi ini, adalah hal yang tidak ingin dia inginkan. Arina pergi begitu saja, Salim sempat menahan namun dengan cepat Arina tepis, Salim menghela napas berat, dia terpaksa membiarkan Arina pergi, memberinya ruang untuk sendiri. Kadang kita perlu memberi ruang untuk seseorang sedikit bernapas, membiarkan ruang itu sebagai tempat untuk menenangkan diri.
Hati meraka benar-benar hancur, mereka sama-sama terluka, seperti diterbangkan tinggi lalu tiba-tiba dihempaskan begitu saja ke bumi sampai tersungkur dan hancur berkeping-keping. Mungkin itu analogi yang tepat untuk posisi Salim dan Arina. Salim terduduk lemas, tubuhnya bergetar hebat, air mata pun jatuh entah berapa banyak. Dia benar-benar terluka.
Taman menjadi tempat tujuan Arina saat ini, dia duduk termenung sendiri ditemani bunga-bunga taman yang menghiasi dan pasti ada bunga matahari diantara bunga-bunga itu. Dia menyenderkan tubuh lelahnya itu kepunggung kursi taman, membiarkan angin dan bunga-bunga menari untuk menghibur dirinya. Suasana sepi pun menambah ketenangan tempat ini, Arina memejamkan mata sejenak, kembali membiarkan semua lara yang dirasakannya mengambil alih keadaan, tanpa terasa air matanya sudah turun basahi pipinya.
“Aku boleh duduk ga?”
Sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh seseorang secara tiba-tiba membuat Arina terkejut, sesegara mungkin dia menghapus air matanya dan segera membuka mata untuk melihat siapa orang itu. Kini kagetnya bertambah saat Arina mengetahui bahwa seseorang itu adalah Arkan. Belum sempat Arina mengizinkannya untuk duduk, Arkan sudah duduk di sampingnya.
“Sejak kapan kamu di sini, Arkan?” tanya Arina,
“Kamu kenapa nangis, Na? Hal apa yang membuatmu sampai meneteskan air mata?”
Arkan mengabaikan pertanyaan Arina dengan langsung bertanya pada intinya,
“Aku baik-baik saja, Ar. Lantas kenapa kamu tiba-tiba disini?”
“Hanya kebetulan lewat dan gak sengaja lihat kamu nangis, kamu tahu satu hal yang gak bisa aku percaya dari kamu, Na?”
Arina hanya menggeleng lemah tanpa menjawab pertanyaan Arkan itu,
“Saat kamu bilang baik-baik saja, Aku mengenalmu cukup baik, Na. Kamu memang kuat, aku tahu itu, tetapi kamu juga bisa lemah, Na,” Arkan melanjutkan bicaranya,
Mendengar ucapan Arkan, air mata yang tadi sempat dihapus dan terhenti kini keluar kembali dengan isakan yang bahkan terdengar menyesakkan.
“Kamu benar, Ar. Aku lemah, Kenapa Tuhan selalu memberiku masalah serumit ini?” Jawab Arina sambil terisak,
“Karena kamu kuat, Na,”
“Aku lemah, Ar. Kenapa harus Salim orangnya, kenapa bukan orang lain saja.”
“Salim menyakitimu, Na?”
“Salim selalu membuatku merasa senang dan beruntung, Ar.”
“Lalu?”
“Ayahnya Salim nikah sama mama aku, Ar. Salim saudara tiri aku.”
Arkan mendengarnya pun langsung terdiam, Arkan menoleh ke arah Arina, perasaannya pasti sangat hancur, Arkan bisa tahu apa yang Arina rasakan itu, dia tahu bahwa posisi Arina saat ini adalah mimpi terburuknya. Tak tega melihatnya seperti ini, Arkan langsung memeluk Arina, membiarkannya mengeluarkan segala pedih di hatinya.
“Kamu pasti bisa lewatin ini semua, Na,”
Kehadiran Arkan saat ini benar-benar membuat tangisnya pecah, tak lama setelah itu Arina melepaskan pelukan itu.
“Makasih ya, Ar, sudah mendengarkan ceritaku,”
“Anytime, Na. Maaf ya, Rin, aku pernah gagal menjagamu.”
“Gak, Ar. Semua sudah takdir, gak perlu disesali,”
“Aku antar pulang ya, Na?”
"Aku pulang sendiri saja, Ar. Kehadiranmu disini sudah cukup.”
Arina masih sama, dia selalu bisa mengandalkan dirinya sendiri. Arkan paham hal itu,
“Kamu tunggu bentar, Na,”
Arkan mengambil hpnya lalu membuka aplikasi lalu memesankan Arina taksi, Arkan benar-benar harus memastikan Arina pulang dengan selamat. Tidak lama setelah itu sebuah taksi datang, Arkan mengantarkan Arina sampai masuk ke dalam taksi itu,
“Harusnya gak usah repot gini, Ar,”
“Sudah kamu nurut saja.”
Arina tersenyum, mendengarnya, “Sekali lagi makasih, Ar. Aku pulang dulu, salam buat Chelsea ya,”
Arkan mengangguk, lalu menutup pintu taksi itu kemudian membiarkannya pergi.
****
Sudah cukup larut malam, namun Salim belum juga pulang ke rumah, hatinya hancur, pikirannya buyar. Salim benar-benar marah dengan semua ini, sebuah akhir cerita yang sama sekali tidak dia sangka. Rasanya dia ingin meluapkan semua kecewanya itu, namun semua sudah terlanjut, Salim terus menyesali kenapa harus mamanya Arina yang menikah dengan ayahnya.
“Arinaaaaa.” Salim berteriak cukup keras, namun suaranya tidak akan terdengar oleh siapapun. Di galery seni miliknya adalah tempat yang cukup jauh dari keramaian. Tempat dimana dirinya meluapkan isi hatinya saat ini.
Salim mengambil kanvas dan seperangkat alat pendukung lainnya untuk melukis, menumpahkan cat-cat berwarna gelap lalu mengambil kuas, Salim mencoret-coret kanvas itu dengan berantakan, seperti sedang menggambar perasaannya yang kini berantakan. Warna kelam mendominasi lukisannya, dia masih saja menggambar asal kanvas di depannya itu, tanpa memedulikan kaos yang dia pakai berlumuran cat.
“Tuhan, kenapa begini akhirnya?” tanyanya lirih,
Kini dia terduduk lemas, matanya sembab, rambutnya yang acak-acakan. Dia menenggelamkan kepalanya ke sebuah meja di depannya, membiarkan dirinya terisak, lagi.
“Tuhan tolong beri kesempatan agar aku bisa bersamanya lagi.”
Tak lama setelah itu Salim tertidur, mungkin ini cara Tuhan untuk menenangkannya sebentar, agar dia sejenak untuk beristirahat, membiarkan alam mimpi mengambil alih keadaan. Membiarkan hembusan angin malam menemani malamnya yang berantakan.
Disisi lain di rumah Salim, masih terjadi perdebatan antara papa dan mamanya, permasalahan itu masih berlanjut, Hakim menyesali ketidakjujuran istrinya itu tentang keluarganya, harusnya dari dulu dia secara terbuka menceritakan bahwa anaknya masih hidup.
Tidak seperti sekarang, semua sudah terlanjur. Salim sudah terlanjur mencintai seseorang yang ternyata saudara tirinya, bergitupun sebalikknya dengan Arina. Dia juga sudah terlanjur mencintai saudara tirinya itu.
“Kamu tega, Ma. Arina itu anak baik, kenapa kamu tinggalkan dia? Dan kini anak kita saling jatuh cinta.” ucap Hakim yang terus mondar-mandir kebingungan harus bersikap bagaimana, pikirannya juga ikut berantakan, anak laki-laki satu-satunya itu juga belum pulang, ditambah dengan semua masalah ini.
“Maafin mama, Pa.” ucap Rika sambil terisak,
“Harusnya kamu minta maaf sama Arina.” Hakim menjawabnya dengan suara cukup keras yang membuat Rika tersentak.
“Mereka sudah menjalin hubungan ke arah yang serius, dan aku menyukai Arina, dia wanita baik dan mandiri, tapi kalau gini apa Arina masih bisa terima? Yang ada dia semakin terluka.” lanjutnya.
Rika hanya bisa terisak, dia benar-benar menyesali perbuatannya. Kasian Arina harus menghadapi yang sangat sulit bahkan menyakitkan. Suara pintu terbuka, Hakim dan Rika menoleh dan terlihat Salim dengan pakaian kusut penuh cat serta rambutnya juga berantakan.
“Salim, kemana saja kamu nak?” tanya Hakim khawatir lalu menghampiri dan memeluk anak laki-lakinya itu.
“Pa, Salim masih bisa kan sama Arina?” Salim bertanya dengan suara yang bergetar.
“Bisa, Lim. Nanti papa bantu ngomong sama Arina, ya?” jawab Hakim menenangkan anak satu-satunya itu.
Salim masih ingin memperjuangkan Arina, dia tidak ingin jika hubungannya harus berakhir seperti ini. Meskipun posisi mereka sulit.
****
Arina menceritakan semua yang terjadi kepada Panama, mendengar cerita kakaknya dengan seksama tanpa sadar air mata turun di pipinya, dia mengepalkan kedua tangannya erat, kenapa harus begini, kasihan kakak, kalimat itu yang selalu terputar di kepala Panama.
Melihat kakaknya sudah bisa tersenyum seperti kemarin, membuatnya senang namun kenapa begitu cepat senyum itu harus hilang dari wajahnya. Kenapa takdir lagi-lagi menyakitkan, mungkinkah Tuhan memang sedang ingin menguji kakaknya? Membuatnya lebih kuat, tetapi mengapa harus kakaknya?
Panama memeluk kakaknya dengan erat, kalau bisa rasanya ingin sekali dia gantikan sakit itu, sudah cukup sakit yang kakaknya rasakan.
“Kak, Panama selalu disini, kakak harus bertahan ya.” ucap Panama dengan suara yang bergetar.
“Gimana sama ayah, Nam? Apa ayah bisa terima dengan semua ini? kakak takut kondisi ayah akan semakin buruk, kakak belum siap buat semua ini,”
“Kakak juga belum siap kehilangan Salim, Salim baik sama kakak, Nam. Salim tahu buat kakak senang.” lanjutnya,
Isakan tangis yang semakin menjadi, Panama mengeratkan pelukannya, memberikan sedikit dorongan bahwa Arina tidak sendiri.