Minggu depan adalah hari dimana Salim mengajak Arina untuk makan malam di rumahnya, sekaligus untuk mengenalkan Arina dengan mamanya. Sejak Arina diberitahu itu oleh Salim, dia sudah merasa deg-degan dari sekarang padahal waktunya masih seminggu lagi, Arina hanya sedikit cemas akan pengalaman buruk yang pernah dialaminya sewaktu Arkan membawanya ke rumah, padahal mereka sudah mengenal Arina hanya karena Arina sudah jatuh miskin, sikap mereka berbeda bahkan seperti orang yang tidak mengenalnya. Panama duduk di depan kakaknya, wajah Arina yang tampak gelisah itu membuat Panama menyadari akan suatu hal.
“Kenapa kak, dari tadi mukanya cemas gitu, lagi mikirin apa?” tanya Panama lalu menaruh segelas air putih untuk kakaknya.
“Seminggu lagi, Salim mau ajak kakak makan malam di rumahnya dek, kakak udah deg-degan dari sekarang.” Arina menjawab lalu kemudian meminum segelas air putih itu untuk mengatasi sedikit cemasnya.
“Bagus dong kak, biar cepet kenal sama keluarga kak Salim, kalo kakak deg-degan ya wajar namanya juga mau ketemu calon mertua.” ucap Panama sedikit meledek agar suasana menjadi rileks.
Arina tersenyum mendengar ucapan adiknya itu, suasana hatinya kembali tenang, hembusan angin malam yang cukup membuat hawa menjadi dingin, bulan yang malam ini hanya terlihat setengah namun tidak mengurangi sedikitpun indahnya. Bunga matahari yang masih menjadi hiasan favorit di rumah ini, menambah obrolan malam ini menjadi menyenangkan.
Kebersamaan mereka untuk mengobrol seperti ini memang paling pas di malam hari, padatnya kegiatan mereka berdua yang membuat kualitas obrolan mereka berkurang. Arina yang bekerja dan kuliah sedangkan Panama yang masih anak sekolah kelas dua sekolah menengah atas ditambah kegiatan ekstra kulikulernya.
“Kak, dunia sekarang banyak mengalami perubahan ya.”
“Iya dek, dunia tidak begitu baik, susah buat nemuin orang-orang yang benar-benar tulus.”
“Meskipun dunia banyak berubah, cuman kakak yang masih tetap sama, masih di sini sama Panama. Gak pernah tinggalin Pana, makasih ya kak.”
“Kenapa obrolannya jadi melow gini si, Dek, yang harus kamu tahu kalo mau sejahat apapun dunia sama kita, kakak akan selalu ada buat adek. Kakak akan selalu di sini, kamu harus sehat-sehatnya biar bisa nemenin kakak terus.”
“Pana janji akan selalu ada buat kakak.”
“Dek, jangan janji sama hal yang belum pasti,”
“Tetap di samping kakak itu udah pasti Pana lakuin kak, sama halnya tadi kakak bilang kalau dunia itu tidak baik, tapi kakak akan tetap di samping Pana. Sama Pana juga akan seperti itu,”
“Berarti mama bohong ya dek, yang katanya bakal ada terus di samping kita, gak bakal ninggalin kita, tapi malah mama yang pergi.”
Pana tidak bisa menjawab ucapan Arina tentang mamanya, semua yang dikatakan kakaknya memang benar, bahwa mamanya memang berbohong, Pana mengelus-elus lembut pundak kakaknya, memberi sedikit pijatan. Bahu yang begitu kuat, bahu yang siap untuk menjadi sandaran, bahu yang akan selalu berdiri tegak meskipun dunia mencoba menjatuhkannya. Sosok kakak perempuan pertama yang berperan jadi apa saja, yang jelas peran yang siap menjaga dan melindungi.
Menjadi anak perempuan pertama yang memikul berbagai beban berat di hidupnya, tidak membuatnya patah semangat. Kehilangan sosok peran seorang ibu sekaligus ayah dalam waktu yang bersamaan, memang menyakitkan. Harus dipaksa untuk kuat, harus seolah baik-baik saja, berpikir seolah ini adalah cara Tuhan membuatnya kuat. Berharap bahwa Tuhan akan mendengar doanya, mungkin saja setelah permasalahan ini selesai, hidupnya akan bahagia, tidak ada lagi rasa cemas setiap harinya, rasa takut kehilangan orang yang disayanginya, dan semua rasa yang membuatnya merasa harus berpura-pura untuk baik-baik saja. Mungkin saja Tuhan akan mendengar dan mengabulkan doa baiknya itu.
***
Tiba juga waktu yang sudah ditunggu-tunggu oleh Salim dan Arina, hari ini Arina akan berkunjung ke rumah Salim untuk sekedar makan malam dan juga akan dikenalkan dengan mamanya Salim, perasaannya yang campur aduk sedari tadi, tangannya dingin, jantungnya berdebar melebihi ritme biasanya, rasanya bercampur jadi satu. Dress putih yang malam ini Arina kenakan membuat dirinya tampak menawan, dengan hils yang tidak terlalu tinggi namun sangat pas di kakinya, riasan wajah yang natural namun membuat Arina berbeda malam ini.
“Cantik.” puji Salim melihat penampilan Arina malam ini, pria yang sudah rapih dengan kemeja putih dan celana kain kasualnya itu tidak henti-hentinya tersenyum melihat wanita pujaannya begitu menawan malam ini.
“Ayok Lim,” pinta Arina dan Salim pun mengangguk lalu menggandeng Arina masuk ke dalam mobilnya.
Bulan dan bintang-bintang yang bertebaran malam ini menambah indah semesta, cuaca yang tidak hujan dan angin yang bertiup pelan menemani mereka.
“Na, kamu itu blesteran ya?” Salim memberikan pertanyaan yang cukup aneh namun berhasil memecah keheningan keduanya.
“Engga, aku asli orang Indonesia, Lim. Gak ada blesteran mana-mana,” tepis Arina Secepat mungkin dari pertanyaan random Salim itu.
“Ah, bohong kamu. Ngaku aja kalau kamu itu blesteran bidadari.” jawab Salim dengan cepat pula, namun pandangannya masih terfokus pada jalanan malam.
“Salim, bisa gak gombalnya kurangin dulu, aku lagi deg-degan ini.”
Salim tertawa kecil lalu mengelus pelan tangan Arina, Salim baru sadar Arina selalu menyebutnya gombal ketika Salim hanya ingin memuji kekasihnya itu, padahal itu bukan bualan dari gombalan seorang Salim namun sebuah kebenaran bahwa kekasihnya itu benar-benar cantik setiap harinya.
Kalau ada nominasi orang yang tidak suka di puji mungkin Arina akan masuk nominasi dan jadi juaranya, dikit-dikit kalau ada yang memujinya dia langsung menyangkal kata-kata itu dengan sebutan gombal.
Mobil Salim sudah terparkir di halaman rumah miliknya, dia membukakan pintu untuk Arina, orang tua Salim juga belum menyadari kehadiran mereka, namun di dalam keduanya tengah mempersiapkan makan malam. Salim menggandeng Arina, tangannya cukup gemetar, Salim berusaha menenangkannya dengan mengelus lembut tangan Arina.
“Assalammualaikum, Pa, Ma.” ucap Salim diikuti Arina setelahnya.
Dari dalam terlihat hanya papanya Salim yang menyambut sedangkan mamanya Salim masih di dapur mengambil gelas.
“Waalaikumsalam calon mantu, hari ini kamu terlihat cantik, Arina.” puji Hakim papanya Salim,
“Makasih om atas sambutan hangatnya,” Arina menjawab dengan senyuman manis,
“Ma, calon mantu kita udah sampai, sini kedepan.”
Dari dapur Rika menjawab lalu dia ke depan dengan membawa penampan yang berisi gelas, namun tiba-tiba gelas yang dibawanya dia jatuhkan ketika dia melihat Arina di sana.
“Mama.” ucap Arina dengan suara yang bergetar,
Seisi rumah terkejut, Salim dan Hakim juga terkejut dengan Arina yang menyebut Rika dengan panggilan mama.
“Maksudnya apa, Na?” tanya Salim,
“Dia mamaku, Lim. Mama yang selalu aku ceritakan sama kamu.”
Arina menjawab lalu mendekat ke arah mamanya, disisi lain Rika hanya terdiam, dia menunduk, air matanya sudah terjatuh. Arina pun sama, dia sudah menangis sekarang.
“Ini maksudnya apa, Ma? Jadi mama punya keluarga baru dan keluarga baru itu Salim? Salim anak tiri mama?”
Salim terduduk lemas, kakinya melemas seakan tidak kuat menahan badannya sendiri, apa yang Salim dengar dari Arina benar-benar membuatnya tersentak.
“Maafin mama, Na.” jawab Rika dengan suara yang bergetar air matanya pun sudah mengalir cukup deras di pipinya.
Tanpa perlu penjelasan lainnya, Arina langsung keluar dari rumah Salim, pikirannya sangat kacau mengetahui fakta bahwa Salim adalah saudara tirinya. Melihat Arina keluar, Salim langsung menyusulnya, dia tidak ingin membiarkan Arina sendirian saat keadaannya seperti ini. Salim berhasil menangkap tangan Arina agar dia tidak pergi jauh,
“Kamu mau ke mana, Na?”
“Yang jelas aku mau pergi dari sini, Lim.”
“Gak, Na. Aku gak akan biarin kamu pergi, ini udah malem, biar aku antar kamu.”
“Kamu paham situasi kita sekarang gimana gak si, Lim? Mama aku itu mama tiri kamu.” tegas Arina.
“Aku paham, Na. Makanya malam ini kita gausah bahas itu dulu, kita bahas kalau kamu udah siap, untuk sekarang aku anterin kamu pulang ya,”
Bagaimana bisa Salim bisa setenang ini menghadapi situasi yang terbilang sulit, Arina berpikir apa yang Salim ucapkan benar, malam ini sebaiknya jangan ada pembahasan tentang masalah ini, biarkan mereka sama-sama tenang dulu, meskipun dari tadi Arina sudah menangis.
Mereka sudah berada di dalam mobil Salim, suasana saat ini begitu canggung, tidak ada suara atau percakapan, hanya hening yang mendominasi. Arina memalingkan wajah dan hanya menatap jendela mobil, Salim menatap Arina terlihat Arina sedang sesegukan, tubuhnya bergetar, hati Salim benar-benar hancur melihat Arina seperti ini, sebisa mungkin dia tahan air matanya yang akan keluar, dadanya terasa sesak namun yang pasti Arina lebih sakit darinya.
Tuhan, kenapa jadi seperti ini, Aku gak mau lihat Arina seperti ini, Tuhan. Batin Salim,
Tangannya terlihat mengepal, dia memegang stir mobilnya begitu kencang. Ingin sekali dia memukul stir mobil itu, namun sebisa mungkin Salim tahan, dia harus tetap tenang menghadapi keadaan seperti ini.
Ma, Salim harus apa? Salim gak mau kehilangan Arina. Salim bermonolog dalam hatinya,
Tiba-tiba dia teringat mendiang mamanya, kalau saja mamanya masih hidup situasinya pasti gak serumit ini, namun itu bukan suatu hal yang perlu disesali, Tuhan hanya sedang menguji mereka itu saja.