Rumah sederhana bertema bangunan jepang yang memiliki halaman cukup luas, sehingga bisa ditanami berbagai macam pepohonan yang menyejukkan, rumah yang di dalamnya terlihat harmonis, terlihat orang tua Salim sedang berkumpul di ruang tengah rumah mereka sambil menonton televisi.
“Ma, papa udah ketemu sama calon mantu kita.”
“Gimana orangnya, Pa?”
“Cantik, baik juga, Salim pinter milihnya,”
“Kapan ya Salim bawa pacarnya ke rumah, mama pengen kenal juga,”
“Tenang ma, Salim nanti bawa Arina ke rumah.” Ucap Salim yang secara tiba-tiba keluar dari kamarnya dan terlihat sudah berpakaian rapih dengan kemeja serta daleman kaos putih dan celana kargo hitam serta tidak lupa topi yang selalu menempel di kepalanya.
“Salim kamu buat kaget aja tiba-tiba nongol gitu,”
Salim hanya meringis mendengar omelan papanya itu, sedangkan Rika masih terpaku karena mendengar Salim menyebut nama Arina.
“Namanya Arina, Lim?”
“Iya, Ma. Nanti aku ajak kerumah terus kenalin ke mama.”
Rika mengangguk, namun seketika pikirannya langsung tertuju pada anak sulungnya, karena nama mereka yang sama. Rika mencoba positif thinking bahwa Arina yang dimaksud Salim bukan Arina anaknya melainkan Arina lain yang kebetulan memiliki nama yang sama.
“Pa, Ma. Salim izin keluar dulu ya, ada kerjaan yang harus aku selesaikan, nanti sekalian mau ke rumah Arina, jadi pulangnya agak malem ya.”
Salim menjelaskan detail kegiatan yang akan dilaksanakannya hari ini kepada orang tuanya, keduanya pun setuju, mereka tidak perlu khawatir kepada anak laki-laki satu-satunya itu, karena Salim memang anak baik.
“Pa, mama udah gak sabar buat ketemu calon mantu,”
“Bentar lagi, Ma. Nanti pasti cepat akrab sama kamu, tapi ya kalau dilihat-lihat matanya mirip kamu, Ma.”
“Jangan mengada-ngada deh, Pa.”
“Beneran, Ma. Sama-sama indah.”
Rika sudah khawatir dengan perkataan suaminya barusan, namun dia menjadi lega karena itu adalah gombalan semata dari suaminya, rasa resah itu pun kembali hilang. Salim masih fokus menyelesaikan beberapa kerjaan yang sedari tadi dia kerjakan, projek dadakan seperti ini memang sudah sering Salim ambil, callingan memotret model-model pakaian yang sering Salim ambil, dia mengambil perkerjaan apa saja yang masih berhubungan dengan skillnya.
Disisi lain, Arina kini sudah mendapatkan pekerjaan part time di sebuah kedai kopi sebagai barista, semenjak dia keluar dari pekerjaan sebelumnya sebagai pelayan di toko bunga milik Arkan. Arina sudah tidak ingin melibatkan Arkan dalam hal apapun, termasuk pekerjaan. Dia menghargai Salim yang kini menjadi pasangannya, dan menghargai Chelsea yang merupakan tunangan Arkan.
Sebuah pesan masuk, terlihat Salim yang mengirim pesan kepada Arina. Saat membaca pesan itu pun Arina dibuat tersenyum.
Nanti aku jemput ya, kamu gak boleh pulang sendiri
Begitulah isi pesan Salim. Arina hanya menggeleng pelan dan segera membalas pesan Salim. Rasanya sedikit berbeda dimana Arina yang sudah terbiasa melakukan apa-apa sendiri namun semenjak bertemu Salim, dia tidak pernah membiarkan Arina melakukan hal sendirian, termasuk pulang kerja. Perdebatan kecil pun sering terjadi saat Arina kekeh ingin pergi sendiri tanpa diantar Salim namun jawaban Salim tetap sama untuk tidak membiarkan Arina sendiri.
“Kamu sekarang mirip sama ayah, Lim. Gak pernah bolehin aku pergi sendirian.” Arina bermonolog sebentar lalu kembali memasukkan hpnya ke dalam kantong saku kemejanya.
Sebuah mobil warna putih milik Salim sudha berada di depan tempat Arina bekerja, Arina segera menghampiri Salim yang sudah siap membukakan pintu mobil untuk Arina, senyum merekah terlihat saat keduanya saling bertatapan, tatapan yang selalu sama, tatapan penuh cinta dari keduanya.
“Tadi kerjanya gimana, Na?”
“Ya seperti biasa, Lim. Capek iya senang juga iya. Kalau kamu gimana?”
“Kalau aku pengen cepat-cepat kelarin semua kerjaanku, Na.”
“Kenapa? Lagi ada masalah?”
“Engga ada, biar lebih cepat ketemu sama kamu, Na.”
“Kebiasaan kamu ya, gombalnya gak ketinggalan.”
“Aku serius, Na.”
“Memang kalau udah ketemu, mau berapa lama sama aku?”
“Bahkan aku tidak ingin membayangkan hari dimana aku tidak bersamamu lagi, Na.”
“Kamu benar-benar jatuh hati sama aku ya, Lim?”
“Sungguh, Na. Aku jatuh padamu."
“Aku ingin bersamamu untuk waktu yang lama, Na.” Salim melanjutkan perkataannya tadi.
Entah sejak kapan pipi Arina memerah, suasana di dalam mobil pun kembali hening, lampu-lampu jalan menemani perjalanan malam mereka. Terdengar lagu milik Ed Sheeran berjudul perfect terdengar sepanjang jalan, lagu ini seakan mewakili perasaan mereka masing-masing.
Pandangan mereka berdua lurus ke depan, hanya lagu-lagu milik Ed Sheeran yang masih setia terputar, Salim menoleh ke arah Arina, memandang sebentar wanita pujaannya itu.
“Manis.” Ujar Salim lirih namun Arina langsung menoleh karena ucapan Salim masih bisa terdengar olehnya.
“Apaan sih, Lim. Fokus nyetir aja, gombal mulu kamu.” Arina menjawab dengan sedikit kesal karena Salim selalu menggoda dirinya.
“Iya tuan putri, pangeran sushi akan fokus menyetir. Sebuah informasi untuk tuan putri bahwa apa yang dikatakan pangeran adalah fakta bukan gombal semata.”
Arina menghela napas, helaan napas yang cukup berat darinya, Salim melihat gadis di sampingnya itu memang terlihat capek, dia memperhatikannya dan Salim baru menyadari bahwa Arina sedikit kurusan. Mata pandanya pun terlihat jelas.
“Na, kita mampir di super market dulu bentar ya, papa tadi minta sesuatu.” Ucap Salim memastikan bahwa Arina mengizinkannya.
Anggukan kecil serta sebuah senyum tipis pertanda Arina menyetujui, kini mobil Salim berhenti di sebuah super market yang jaraknya lumayan dekat dengan rumah Arina, Arina memilih untuk menunggu di dalam mobil karena tubuhnya sudah cukup lelah untuk hari ini, matanya pun kini hanya lima watt bahkan sekarang Arina malah sudah terlelap. Salim cukup lama di dalam sana, sampai Arina sudah tertidur pulas. Salim keluar dengan banyak belanjaan yang dia beli, terlihat tiga kantong plastik besar ditentengnya. Dia membuka pintu dan melihat Arina sudah terlelap, Salim berusaha meletakkan belanjaan itu dengan sangat hati-hati agar Arina tidak terbangun, sesegera mungkin Salim melanjutkan perjalanan ke rumah Arina.
Tak perlu waktu lama, kita mobil putih miliknya sudah terparkir di depan rumah Arina, terlihat Panama sudah menunggu di teras rumah, karena sebelumnya Salim sudah memberi Panama sebuah pesan untuk keluar rumah dan membantunya menggendong Arina, dia tidak ingin membangunkannya. Salim membawa semua barang belanjaannya itu ke rumah Arina dan Panama sudah membawa Arina ke kamarnya.
“Pana, Kakak pulang dulu ya, itu ada makanan-makanan nanti di makan sama Arina ya.” Ucap Salim sambil menunjuk belanjaan tadi yang sudah dia letakkan di kursi tamu.
“Iya kak, makasih banyak kak, hati-hati di jalan.”
Pukul tujuh pagi Arina bangun dari tidurnya, Panama sudah menyiapkan banyak makanan di meja makan mereka, padahal masih pagi sekali untuk sarapan. Arina mengucek matanya untuk memastikan dia benar-benar adiknya dan makanan-makanan yang tersaji itu hanyalah halusinasinya.
“Kak, disuruh kak Salim suruh makan banyak.”
“Semua ini dari Salim?”
“Iya, kak Salim juga beli suplemen penambah nafsu makan, vitamin-vitamin dan obat-obat lainnya.” Jawab Panama lalu melanjutkan aktivitas sarapannya itu.
Arina hanya geleng-geleng kepala, dia mengambil hp yang ada di kamarnya untuk menghubungi Salim agar tidak usah merepotkan seperti ini lagi. Namun sebelum dia menghubungi Salim, terlihat sudah ada pesan masuk dari Salim.
Arina, aku lihat kamu kurusan, kamu terlihat capek akhir-akhir ini, sampai mata panda kamu terlihat. Itu aku kasih beberapa makanan dan vitamin-vitamin. Kamu harus habisin. Aku gamau kamu sakit. Jangan memarahi aku, jangan bilang ini merepotkan dan lain sebagainya. Udah kamu habisin saja. Aku tidak menerima penolakan hehe.
Begitulah pesan yang Salim kirimkan, Arina tidak tahu harus bereaksi apa yang jelas Salim benar-benar pandai membuat hatinya menghangat. Sebuah senyum terukir di wajah Arina.
“Terima kasih, Lim. Aku merasa jadi orang paling senang di dunia ini.” Ucap Arina,