Siang ini Salim meminta Arina untuk menemaninya berkunjung ke makam mamanya, ini memang sudah menjadi kegiatan rutin Salim setiap minggunya untuk datang kesini, bedanya sekarang sudah ada teman untuk menemaninya.
Salim menebarkan beberapa bunga-bunga segar yang dia beli di perjalanan tadi dan membasuhkan air ke makam mamanya, lalu membersihkan beberapa tumbuhan-tumbuhan kecil yang tumbuh liar. Setelah semuanya selesai barulah Salim mendoakan mamanya yang sudah tenang di sisi Tuhan. Ini adalah kedua kalinya Arina diajak ke makam, bedanya kunjungan pertamanya adalah karena ketidaksengajaan seorang Salim yang tiba-tiba memintanya kesini dan di kunjungan kedua ini benar-benar adalah hasil ketidaksengajaan dari momen itu sampai hal ini terulang.
“Ma, Salim kangen mama tau, oh iya ma, sekarang ada seseorang yang pernah Salim bawa kesini juga, orangnya kalo senyum kaya mama, sama-sama manisnya, tapi tetap manis senyumnya mama si. Namanya Arina, Ma. Mama pasti udah kenal, soalnya dia sering main ke galeri terus ngeliatin foto mama, terus ngadu ke mama kalo Salim nyebelin. Aneh ya ma, padahal yang nyebelin dia.” Panjang Salim bercerita,
Di tengah Salim bercerita, Arina mencubit Salim karena mengatakan kalau dirinya menyebalkan. Salim meringis namun senang kalau membuat Arina seperti ini. Di saat Salim melanjutkan bercerita, Arina sontak merindukan sosok ibunya, sebuah momen manis bersama ibunya terputar ulang di dalam ingatannya, tiba-tiba air matanya jatuh menetes yang tak sengaja mengenai tangan Salim, dia mengira hujan tapi ternyata Arina yang sedang menangis.
“Na, kok nangis? gara-gara aku ngomong kalau kamu nyebelin ya? Ih kamu ga nyebelin kok, Na, beneran, jangan nangis dong, Na.” Ucap Salim panik.
Arina menghiraukan ucapan Salim dan kembali terisak, Salim semakin panik lalu dirinya memeluk Arina berusaha menenangkannya.
“Aku kangen mama, Lim. Aku kangen kaya dulu sama mama.” Ucap Arina yang masih terisak, Salim terus memeluknya untuk sedikit membuat Arina tenang lalu membawanya pergi dari pemakaman.
Di dalam mobil pun Arina masih diam, dia belum cerita apa-apa tentang ibunya. Salim mengerti bahwa dia mungkin masih butuh waktu, kemudian Salim menjalankan mobilnya untuk mengantar Arina pulang, Salim tidak akan menanyakan apapun dulu tentang ibunya, sampai dia yang siap sendiri untuk cerita.
“Lim, maaf udah nangis waktu lagi berkunjung ke makam mama kamu.”
“Gapapa, Na. Aku gak marah, udah kamu tenangin diri dulu, ya.”
****
Kedai kopi bertuliskan “bersinggah” adalah kunjungan pertama Arina dan Salim ke tempat ini. salim menganggap ini sebuah kencan padahal mereka belum jadian dan Arina tidak terima jika Salim menyebut ini dengan kata kencan. Perdebatan sudah terjadi dari tadi sejak di perjalanan kesini. Namun Salim tetaplah Salim yang menyebalkan tanpa tanding.
Suasana pepohonan yang memberi udara segar menambah suasana healing menjadi menyenangkan. Arina memesan kopi gula aren yang sudah menjadi minuman favoritnya sejak kala itu. Sedangkan Salim memesan susu coklat panas dan beberapa makanan serta cemilan lainnya.
“Kamu gak suka kopi?” Tanya Arina,
“Aku sukanya kamu, Na.” Jawab Salim dengan spontan dengan wajah polosnya itu wajah yang seperti ingin di pukul.
“Aku nanya serius, Lim.”
“Aku juga serius, tapi kalau kamu nanya aku suka kopi apa engga, aku jawab engga.”
“Kenapa gak suka kopi?”
“Ya karena aku udah suka susu coklat, dan gamau coba yang lain lagi.”
Arina terheran-heran dengan jawaban Salim ini, dia terheran kenapa ada orang sesetia itu meskipun dengan minuman. Salim memang unik sedikit menyebalkan namun banyak menyenangkannya.
Pesanan mereka sudah datang dan mereka mulai menyantap satu persatu hidangan di hadapan mereka, entah pikiran tentang Arkan selalu terlintas di saat-saat yang tidak seharusnya seperti ini. Mungkin karena kopi yang di pesannya ini punya kenangan dengan Arkan.
Momen bersama Arkan terputar kembali, di mana waktu itu, Arina yang tidak tahu tentang kopi dan asal memesan saja, sampai tiba-tiba Arkan menukar kopi miliknya untuk Arina.
“Minum kopi punyaku saja, kopi mu ini pahit. Biar aku saja yang minum.” ucapnya kala itu,
Salim menghentikan lamunan Arina dengan menyentuh tangan Arina sampai membuat Arina tekejut dengan dinginnya tangan Salim sekaligus pertama kalinya Salim menyentuh tangan Arina.
“Tangan kamu dingin banget, Lim.”
“Soalnya hati aku hangat, Na. Oh iya Na, Aku mau kenalin kamu sama keluarga aku ya,” Ucap Salim meminta persetujuan,
“Hah? Kapan Lim? Aku malu, belum siap ketemu keluarga kamu.”
“Ga buru-buru kok, Na. Ya mau kenalin kamu aja sama mama papa.”
Arina takut kejadiannya akan sama seperti dulu saat Arkan mempertemukan dirinya dengan keluarga Arkan. Arina takut tidak diterima di keluarga Salim. Dengan latar belakang ekonomi yang pas-pasan, keluarga yang broken home serta keadaan papanya yang belum sembuh, Arina takut tidak akan diterima.
“Aku takut, Lim.”
“Takut kenapa, Na?”
“Kamu mungkin bisa terima aku, terima keadaanku serta kondisi keluarga aku, tapi belum tentu keluarga kamu terima, Lim. Kamu juga belum kenal aku sepenuhnya, tentang keluarga aku, kamu belum tahu.”
“Beri tahu aku, Na. Tell me everything. Apapun itu gak akan merubah keputusan aku, Na.”
Arina terisak, entah dirinya harus bersyukur atau harus takut. Salim begitu tulus dengannya, disisi lain, Arina takut jika Salim akan pergi sama seperti mamanya dan Arkan.
“Sebelumnya makasih kamu udah hadir di hidupku, Lim. Keluarga aku udah berantakan, mama pergi waktu keadaan keluarga aku gak baik-baik aja. Papa depresi berat karena kena tipu milyaran rupiah, usaha papa hancur, ditambah kepergian mama membuat papa semakin depresi. Sekarang mama juga udah punya keluarga baru dan lupa sama Aku sama Panama. Sekarang kamu udah tahu kan kenapa aku hanya tinggal berdua sama Panama.”
“Maaf, Na. Aku gak tahu kalau sedalam itu lukamu. Aku gak bermaksud membuka kembali luka itu. Kamu hebat, Na. Kamu tetap kuat hadapi semua ini. Aku bersyukur bisa ketemu sama kamu. Jika kamu berkenan, bolehkah aku temani kamu sembuhin luka-luka itu?”
“Lim, Aku takut. Keluarga kamu belum tentu terima aku."
“Pelan-pelan ya, Na. Nanti juga sampai. Keluarga aku pasti senang aku bisa dapat orang yang hebat seperti kamu.”
Salim mengeratkan genggaman tangannya, dirinya bersyukur Arina sudah mau menerimanya.
“Aku bangga sama kamu, Na.” Ucap Salim menatap Arina dengan tulus, tangannya mengelus lembut rambut Arina lalu memeluk Arina. Arina pun tersenyum lalu membalas pelukan itu.