Setelah perdebatan karena kesalahpahaman kemarin, Arkan mengakui kesalahannya dan sekarang mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Arkan. Arkan mengajak Arina ke rumahnya sebagai bukti keseriusannya untuk meminta restu orang tua Arkan. Terlihat jalanan Jakarta sore ini cukup padat, mobil civic yang di kendarai Arkan salah satu mobil yang terjebak macet. Arina yang duduk di sebelahnya terlihat begitu tegang dan sedikit pucat.
"Na, gapapa, kamu jangan takut ketemu mama sama papa, toh kamu juga sudah kenal mereka lama." Ucap Arkan mencoba menenangkan Arina dan tidak lupa tangannya menggenggam erat tangan wanita di sampingnya, seakan memberikan kekuatan untuk menghadapi ini bersama.
"Tetep aja, Ar. Keadaanku udah beda, Aku takut." Sahut Arina.
"Kita hadapin sama-sama ya, Na. Kamu jangan pernah pergi dari aku, tetap di sampingku seperti ini aja. Semua akan baik-baik saja."
Arina menghela napas sebentar, lalu meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Di tengah kemacetan ini Arina cukup diberi waktu untuk mempersiapkan dirinya bertemu dengan orang tua Arkan, kini mobil civic itu masuk ke parkiran halaman rumah milik Arkan.
"Ayok turun, Na."
Arina mengangguk, Arkan membukakan pintu mobil dan menggenggam tangan Arina menuju rumahnya.
"Tangan kamu dingin banget, Na."
Arina menggeleng seakan mengatakan kau dia baik-baik saja. Kedatangan Arkan bersama Arina mengejutkan mama dan papanya Arkan.
"Ma, Pa. Ini Arina, mama sama papa pasti udah kenal." Ucap Arkan,
Arina hendak ingin bersalaman dengan mama dan papa Arkan, namun tatapan mereka sangat kecut kepada Arina. Dari sini pun sudah terlihat jelas penolakan keluarga Arkan.
"Langsung to the point aja, maksud kamu bawa dia kesini apa?" Pinta mama Arkan,
"Arina yang akan dampingi aku, ma, pa. Aku ke sini mau minta restu mama sama papa."
"Kamu lupa ya, Ar. Kalo keluarga kita selalu mengutamakan bibit bebet dan bobot apalagi perihal pendamping hidup." Tegas mama Arkan.
"Ma, Arkan udah besar. Tolong hargai keputusan sama pilihan aku." Ucap Arkan membela,
"Kamu lupa ya, Ar. Kalo kalian beda." Imbuh papa Arkan,
"Oke kalo misal status sosial belum bisa jadi alasan penolakan, bagaimana dengan perbedaan kepercayaan? Apa kalian siap?" Tegas mama Arkan sekali lagi,
Arina dan Arkan terdiam, seakan ucapan tadi adalah sebuah kejelasan bagimana akhir dari hubungan mereka. Arkan kembali menggenggam erat tangan Arina,
"Aku akan perjuangkan Arina, Ma, Pa." Tegas Arkan,
Arkan membawa Arina keluar dari rumahnya, mobil mereka menjauh pergi dari rumah megah ini, kedua orang tua Arkan hanya bisa memandang sampai mereka pergi dari hadapannya.
"Na, maafin sikap mama sama papa, ya?"
"Mama papa kamu ga salah, Ar. Mereka benar, kita memang udah terlalu jauh."
Arkan menggenggam tangan Arina berusaha menyakinkan.
"Kita hadapi sama-sama ya, Na. Kita berjuang sama-sama."
"Kamu boleh hadapin semua orang buat aku, Tapi kamu ga boleh ngelawan orang tua kamu, Ar."
"Terus aku harus gimana, Na?"
Arina menggeleng pelan, matanya mulai ingin menurunkan beberapa butir air mata, namun dia berusaha menahan agar tidak jatuh. Pertanyaan itu membuat Arina terdiam, arti diamnya ini karena dia memang tidak tahu harus bagaimana, mereka sudah terlalu jauh bila melanjutkan, untuk berhenti pun rasanya sakit.
Arkan kembali fokus ke jalanan kota, hujan pun menghiasi jalanan ini, rintiknya yang tenang membuat siapa saja hanyut di dalamnya.
"Ar, aku mau besok kita nikmatin waktu bersama ya?" Ucap Arina sebelum dia keluar dari mobil Arkan,
"Kenapa tiba-tiba kamu minta itu, Na?"
Perasaan Arkan tiba-tiba saja menjadi ga karuan, entah apa maksud ucapan Arina barusan.
"Ya gapapa, Ar. Pengen aja,"
Arkan mengangguk setuju, dia meraih tangan Arina, menatapnya dengan tatapan penuh sayang, lalu mencium keningnya.
"Kamu jangan pernah pergi ya, Na."
Arina tersenyum mendengar itu, pintu mobil pun dia buka lalu berjalan menuju rumahnya.