Malam ini terasa malam yang begitu sesak untuk Arina. Saat ini dia sedang memandangi bunga matahari di vas kaca dengan tatapan nanar. Entah sejak kapan Arina menyukai bunga matahari yang jelas saat memandangi bunga matahari seakan warnanya melambangkan ketenangan bagi yang melihatnya. Dengan warna kuning terang kelopak yang indah, kini Arina cukup tenang dengan satu lengkungan manis tercipta dibibir merahnya.
Kamu boleh saja menangis, gapapa. Kamu berhak, yang namanya hidup gak melulu harus senang terus, Na.
Ucapan dari ayahnya itu terus diingatnya, itu adalah kalimat yang paling bisa membuat Arina tetap kuat dalam keadaan apapun. Sebelum keadaan keluarganya yang dulu baik-baik saja dan sebelum ayahnya masih bersama Arina dan Panama seakan mereka bisa memberi kekuatan satu sama lain. Namun setelah ayahnya dirawat, ini menjadi hal yang membuat Arina maupun Panama benar-benar merasa terpukul, meskipun mereka percaya ayahnya pasti sembuh tetapi mereka saat ini membutuhkan ayahnya.
Sebelum keadaannya seperti ini, memang semuanya masih terlihat mudah. Dari dulu Arina yang tidak pernah memikirkan harga beras kini baru terasa betapa susahnya mencari butiran beras, tanpa sadar air matanya pun kembali mengalir deras.
“Arina rindu, Yah. Ayah janji ya harus cepet sembuh. Arina gak yakin besok atau lusa atau kapanpun itu, Arina bisa atau engga buat terus kuat walaupun tanpa ayah.”
Arina memeluk foto dirinya bersama sang ayah saat dirinya masih kecil sekitar umur 11 bulan dengan pose ayah yang sedang menuntunnya berjalan. Arina membayangkan dulu ketika dirinya yang masih belajar berjalan, Ayah adalah sosok yang selalu melindunginya. Ayahnya adalah garda terdepan yang siap untuk membangkitkan Arina waktu jatuh, yang siap menjaga agar tubuh kecil itu tetap berjalan sampai sang putri kecil ini tumbuh dewasa.
Pagi ini Panama sengaja bangun lebih awal dari kakaknya, Panama yang semalam terbangun dan tidak sengaja melihat kakaknya menangis di kamar sambil memeluk foto bersama ayahnya. jadiPanama berniat untuk membuatkan sarapan untuk kakaknya berupa nasi goreng kesukaan mereka. Panama dari tadi sibuk memotong bawang merah, bawang putih, cabai dan beberapa sosis sebagai pelengkap. Dari dalam kamar Arina mencium bau harum membuat dirinya terbangun, setelah beberapa menit mengumpulkan nyawanya Arina mencari dari mana arah bau harum masakan itu dan ternyata di dapur terlihat adiknya sedang memasak.
“Adek, ngapain masak segala, kan biasanya juga kakak yang nyiapin,”
“Sekali-kali Pana yang nyiapin sarapan kak.” Ucap Panama dengan ketawa kecil, melihat adiknya itu Arina terharu lantas langsung mengelus rambut adiknya dengan penuh kasih sayang.
Arina bersyukur masih mempunyai seorang adik yang kehadirannya benar-benar menjadi sebuah kekuatan bagi dirinya untuk tetap menjalani hidup dengan senyuman. Meskipun kini tanpa kehadiran seorang ayah sampai waktu yang tidak tahu sampai kapan dan tanpa kehadiran seorang ibu yang kini sudah bahagia bersama keluarga barunya.
Arina dan Panama menghabiskan nasi goreng dengan lahapnya meskipun masakannya sedikit hambar namun, masih bisa sarapan bersama duduk di meja makan dengan bunga matahari pemberian Arkan di pojok ruangan dan sinar matahari yang menembus jendela rumah mereka membuat nasi goreng yang sedikit hambar ini menjadi pelengkap pagi mereka. Kini Panama sudah bersiap-siap untuk pergi ke sekolahnya begitupun Arina yang sudah siap untuk bekerja paruh waktu di toko bunga lalu dilanjutkan dengan kuliahnya.
Perpisahan manis dengan saling memberi pelukan, Panama dan Arina kini sudah berpisah di persimpangan jalan, Panama pergi ke barat lalu Arina pergi ke timur.
****
Kegiatan kerja parah waktunya seperti biasa, sembari menunggu pembeli datang Arina menata bunga agar lebih rapih, Disaat Arina sedang menata bunga tanpa sengaja ada seorang laki-laki memanggil sontak membuat Arina sedikit terkejut.
“Mbak, bisa carikan saya bunga mawar merah,” pinta laki-laki itu dengan suara yang lembut.
Arina menengok lalu mengiyakan permintaan pengunjung itu, Arina mengambil beberapa tangkai bunga mawar merah yang segar kemudian melihatkan kepada laki-laki itu untuk memastikannya lagi. Laki-laki itu tersenyum mengiyakan.
“Di bungkus yang cantik ya mbak, terus dikasih tulisan selamat ulang tahun, Mama." pinta laki-laki itu
Disaat Arina tengah membungkus bunga itu sontak laki-laki itu kembali mengajaknya bicara.
“Mbak, tau tempat yang jual kue ulang tahun yang enak engga?”
“Tau mas, kenapa?" Ucap Arina sambil membungkus bunga,
“Boleh minta tolong anterin gak mbak?”
Permintaan itu sontak membuat Arina sedikit terkejut, dia dimintai tolong sama seseorang yang belum dia kenal.
“Tapi ini masih ada shift mas,”
“Sampai pukul berapa mbak?”
“Sepuluh menit lagi selesai si mas.”
“Oke saya tunggu ya mbak,”
Awalnya Arina ingin sekali menolak namun dia merasa iba sebab niatnya sangat baik untuk membelikan kue ulang tahun kepada mamanya. Untung saja kelas kuliahnya mundur jadi Arina bisa memanfaatkan waktunya sembari menunggu jam kuliahnya.
Arina dan laki-laki itu memasuki sebuah mobil jazz berwarna putih, diperjalanan mereka berdua diam sampai sebuah uluran tangan menjulur kearah Arina.
“Salim.” Ucap laki-laki itu dengan mengulurkan tangannya kepada Arina.
“Mas, kita belum kenal ya jangan suruh saya buat salim sama mas," Jawab Arina dengan nada ketus,
Laki-laki itupun tertawa dengan ucapan Arina yang sangat menggemaskan itu.
"Nama saya Salim mbak, bukan minta mbak buat salim sama saya,"
Arina menggerutu mengapa dirinya terlihat begitu polos di depan laki-laki yang baru di kenalnya itu.
"Oh maaf mas, saya Arina." Ucap Arina memperkenalkan diri,
“Makasih sudah mau di repotkan, Arina.”
Arina mengangguk dan tersenyum lalu mengalihkan pandangannya lagi kedepan.
Mereka sudah sampai disebuah toko roti kesukaan Arina dulu, kini Salim mencari kue ulang tahun sederhana untuk hadiah mamanya. Kue tersebut dibungkus rapih dan tidak lupa Salim meminta untuk ditulis Ma, selamat ulang tahun ya. Salim rindu mama
Seperti itulah ucapannya yang tertulis di atas kue, Arina mengerutkan kedua alisnya ketika melihat tulisan itu namun Arina berpikir positif mungkin Salim dan mamanya tinggal berjauhan.
Saat di dalam mobil, Arina memberanikan diri untuk memecah suasana hening di dalam.
“Kamu sama mama kamu lagi tinggal berjauhan ya?”
Salim tersenyum kearah Arina kemudian mengangguk kecil.
“Ku ajak sebentar lagi bisa? Nanti sekalian aku antar ke kampus.”
Arina mengangguk sebagai tanda persetujuan. Kurang dari sepuluh menit kini mobil jazz berwarna putih itu sudah memasuki sebuah tempat pemakaman umum. Lagi-lagi Arina dibuat kaget kenapa Salim mengajaknya kesini. Arina pasrah saja mengikuti Salim yang berjalan di depannya lalu berhenti di salah satu kuburan dengan nisan bertuliskan Annisa.
“Aku sama mama udah tinggal berjauhan sejak dua tahun terakhir, mama ku udah tinggal di surga sekarang dan aku masih disini.”
Mendengar ucapan Salim tadi sontak membuat Arina bersalah sudah menanyakan tentang mamanya.
“Maaf aku gak bermaksud tadi.” Ucap Arina merasa gak enak,
Salim tersenyum lalu dia meletakkan bunga mawar merah kesukaan mamanya.
“Selamat ulang tahun ma, Salim rindu mama. Hari ini salim beli bunga mawar kesukaan mama sama kue ulang tahun yang tadi belinya diantar Arina, teman baru aku ma.”
“Selamat ulang tahun tante, dari Arina,”
Arina turut memberi ucapan kepada mamanya Salim. Salim pun tersenyum dengan apa yang dilakukan Arina.
Setelah itu Salim memberikan doa kepada mamanya dan Arina juga mengikuti untuk memberikan doa. Setelah sepuluh menit, mereka pergi meninggalkan TPU dan kini menuju kampus Arina. Melihat pemandangan tadi antara Salim dengan mamanya membuat Arina jadi merindukan mamanya. Walaupun ibunya sudah membuat kesalahan yang bahkan sampai saat ini Arina masih belum terima, namun kali ini Arina benar-benar merindukan sosok ibunya itu.
Salim pamit ketika sudah mengantar Arina sampai ke depan gerbang kampusnya, tidak lupa ucapan terima kasih keduanya disampaikan dan kini mobil jazz itu sudah berlalu.
Arkan terlihat masih mondar-mandir di ruangan kerjanya, entah sejak kapan perasaan engga suka itu muncul waktu dirinya melihat dari ruang kerjanya kalau Arina diajak pergi oleh seorang laki-laki siang tadi. Arkan mencoba untuk tidak memperdulikan itu dan mengesampingkan dengan hal lain namun nyatanya tetap tidak bisa.
“Aku cemburu, Na.” Ucapnya tiba-tiba,
Perasaan itu adalah perasaan yang tidak bisa Arkan hindari dari dulu, perasaan sayang namun lebih dari seorang sahabat kecil. Perasaan yang Arkan takuti selama ini, perasaan yang dapat membuat mereka jauh akibat perasaan ini. Otak dan hati Arkan seakan sedang beradu siapa yang mendominasi di dalam otaknya bilang kalau jauhkan dari perasaan itu namun hatinya selalu bilang untuk ikuti kata hati, hatinya tidak berbohong kalau perasaan itu memang ada namun otaknya seakan terus menolak.
Arkan bingung kenapa otak dan hatinya tidak sinkron, Arkan berusaha menenangkan dirinya agar lebih rileks dan tentunya tidak canggung saat bertemu dengan Arina.
Kuliah hari ini cukup melelahkan bagi Arina, skripsinya yang mulai dia kerjakan yang pastinya Arina harus lebih bisa membagi waktunya untuk bekerja, kuliah dan mengurus urusan rumah.
Arina berpikir semakin dewasa seseorang yang dibutuhkan memang perasaan tenang. Arina menghela napas sebentar sebelum pulang kerumahnya, sambil menunggu bus kota datang Arina memasang headset di telepon genggamnya lalu mendengarkan lagu milik kunto aji yang berjudul rehat, Arina menikmati lagu itu dengan asiknya membuat lelah didirinya sedikit berkurang meskipun dengan hiburan kecil.
Bus kota pun datang Arina masuk ke dalam bus lalu duduk di tempat yang masih kosong untungnya keadaan di dalam bus tidak terlalu ramai jadi dirinya bisa menikmati perjalanan pulang. Tiba-tiba saja ingatannya seakan bernostalgia saat dulu dirinya yang sering melihat konser bersama teman-temannya ingatan ini muncul begitu saja waktu dirinya yang sedang mendengarkan lagu pamungkas.
Sewaktu keluarganya masih baik-baik saja, waktu ayahnya belum bangkrut dan mamanya juga masih bersama Arina. Dan sekarang untuk bertahan hidup saja melelahkan begini, untuk menonton konser mana mungkin.
Bahkan hal-hal untuk menghibur diri tidak sempat Arina pikirkan, karena fokusnya kini sudah berubah dan Arina juga tetap bersyukur meskipun dia merasa Tuhan tidak adil namun dengan keadaan seperti ini menyadarkannya bahwa Tuhan sayang Arina dan dengan ini pula Tuhan sedang menempa Arina agar tumbuh menjadi seorang dewasa yang kuat dan tangguh.