Aku mengajak Mahdi keliling Kota Pesisir Barat. Sengaja aku yang menemani karena Bang Mul tidak sempat, tepatnya karena Mahdi datang ke sini untuk bertemu denganku. Tidak banyak tempat yang kami kunjungi.
Menjelang siang, aku menghubungi Rudi. Kehadiran Mahdi menjadi sangat cocok sekali untuk menerka sifat Rudi terhadapku. Haikal sudah jelas sekali menampakkan kecemburuannya. Rudi belum teruji dalam hal apapun. Aku sudah mengajak Mahdi bekerja sama menguji ketangguhan perasaan Rudi.
“Jadi kakak sudah ada calon?” tanya Mahdi antusias. “Si Haikal itu cemburu sekali ya, kupikir dia pacar kakak!”
“Teman Bang Mul, Haikal memang begitu, kami teman masa kecil mana mungkin berlanjut ke jenjang pernikahan,”
“Bisa sajalah, Kak. Nama juga orang saling cinta. Teman Bang Mul sudah tua dong!”
“Nanti kamu lihat sendiri, teman Bang Mul kan tidak semua seumuran dia saja!”
“Iya juga ya,”
Kami melaju ke tempat yang sudah ditentukan bersama.
***
Rudi datang sedikit terlambat. Mahdi terbinar melihat Rudi sambil memberikan isyarat dengan jempolnya. Mahdi mengajak bicara Rudi seakan mereka adalah persaingan dalam mendapatkanku.
Mahdi paling banyak terlibat pembicaraan dengan Rudi, tidak hanya kegemarannya menonton bola tetapi juga tentang kehidupan mereka yang hampir sama-sama keras. Rudi dan Mahdi memiliki kesamaan yang membuat mereka terlihat akrab. Dasarnya tidak bisa berbohong, Mahdi kemudian keceplosan mengutarakan siapa dirinya kepada Rudi.
Aku pasrah saja. Rencana awal ingin mengetahui sifat Rudi saat aku bersama orang lain tidak tersentuh sama sekali. Baik Rudi maupun Mahdi, terlibat dalam adu mulut cukup berbusa. Mahdi bagai sedang merengek pada abangnya sendiri saat mengatakan keluarga kecilnya dalam keadaan tidak baik, sering kali susu anaknya tidak tersedia atau makan malam hanya dengan telur dadar saja. Mahdi seperti sedang mengebut taksinya saat mengatakan Banda sudah seperti kota metropolitan kecil. Semua kebutuhan ada di sana, bahkan jika tidak memiliki pekerjaan dengan gaji standar tidak akan mampu bertahan di Banda.
Rudi mendengar saja. Mahdi makin bersemangat sampai kami lupa waktu semakin condong ke barat. Rudi kembali ke kantornya dan aku mengantar Mahdi ke terminal.
“Dia orang baik Kak, dari auranya kelihatan dia tidak macam-macam. Sebaiknya kakak menikah saja sama dia dari pada Haikal!”
“Kenapa dengan Haikal?”
“Dia cemburu!”
“Cemburu bukannya harus ada dalam sebuah hubungan?”
“Dia berlebihan, nanti kakak tidak bisa kerja lagi!”
“Masa ada orang begitu, kamu ada-ada sajalah,”
“Aku bisa menerka Kak, si Rudi itu, dari wajahnya kelihatan tulus sekali dan nyaman saja bersama dia. Si Haikal buat kita harap-harap cemas mau berbuat apa. Rudi itu cemburu dari tatapan matanya, tetapi tidak diperlihatkan sampai ke permukaan. Dia pandai sekali memendam perasaannya sampai aku lupa sedang ingin membuat dia cemburu!”
“Kamu sih terlalu jujur orangnya,”
“Haruslah Kak, jangan pula wajah saja tampan tapi sikapnya tidak tampan!”
Aku membelokkan mobil ke terminal. Mahdi mengucapkan terima kasih sudah menerimanya. Aku pun senang sekali bisa berkenalan dengan Mahdi, paling tidak rasa rindu akan kehadiran seorang adik bisa terobati.
***