Kami sampai di rumah. Ibu terkejut melihatku membawa pulang laki-laki muda, gagah dan tampan. Bang Mul mengernyitkan kening penasaran. Isra dan Asri saling bisik-bisik dan menatapku penuh selidik. Hanya Kak Sita memberi senyum simpul.
Seperti biasa, Mak Sari yang duduk di kedai menjaga barang habis masa berlakunya itu memasang muka panik. Dara yang juga duduk di samping Mak Sari terkejut bukan kepalang. Dalam hati aku tersenyum girang, biar pun berita heboh menjalar ke mana-mana karena ulah Mak Sari, aku patut menaikkan derajatku sebagai perempuan laku dalam tanda kutip sindiran Mak Sari. Aku bisa membawa pulang laki-laki rupawan ke rumah, tidak hanya Dara saja!
Aku terkekeh dalam hati. Kasihan sekali Mahdi kubawa-bawa dalam urusan perang dingin keluarga kami. Tidak tahunya, Mahdi sudah menyalami Ibu, Bang Mul, Kak Sita, Isra dan Asri sambil memperkenalkan diri. Mahdi cepat sekali akrab dengan siapapun, termasuk dengan keluargaku.
Kami tinggalkan tatapan penuh dengki Mak Sari dan Dara. Kami sudah duduk di ruang tamu. Bang Mul dan Mahdi sudah sangat intim saja membicarakan nasib mereka sebagai laki-laki. Pembicaraan Bang Mul dan Mahdi lebih seru dan semarak dibandingkan Bang Mul dengan Rudi. Rudi lebih mengatur tata bahasa dibandingkan Mahdi yang asal saja bicara walaupun tetap dalam kaidah menghormati orang tua. Nilai tambah lagi, Mahdi adalah pemain bola jadi paham betul gerak-gerakan di lapangan hijau. Dan Bang Mul, sangat menyukainya.
“Oh, sudah berkeluarga rupanya?” tanya Bang Mul kemudian. Wajah Ibu berubah lebih cerah dibandingkan sebelum mengetahui status Mahdi.
“Iya, bang, sudah punya satu jagoan saya!” seru Mahdi tak kalah senangnya. Lantas, Mahdi menceritakan kisah asmaranya dengan istri, kehidupannya yang pas-pasan sebagai sopir taksi, kebutuhan keluarga dan anaknya yang semakin meningkat. Mahdi menceritakannya seakan-akan bukan sedang membuka aib dirinya sendiri. Tata bahasa Mahdi bagaikan sedang membawa acara bola secara live, penuh semangat dan menggebu-gebu. Mahdi sangat menikmati perannya sebagai kepala keluarga dan sebagai laki-laki penuh tanggung jawab.
Tak lupa Mahdi menceritakan pertemuanku dengannya. Dari semua ucapan yang Mahdi keluarga dari rongga mulutnya, tidak pernah muncul kesan bahwa Mahdi sedang mempermainkan perasaanku. Mahdi bicara seperti sedang melapor kehidupannya kepada keluarga paling dekat.
“Iya, bang, saya tinggal seorang diri,” kata Mahdi masih dengan nada sama. “Bencana itu sudah lewatlah, bang, saya pun ikhlas nasib keluarga saya. Saya yakin, masih banyak orang yang membutuhkan kehadiran saya. Keluarga ini pun akan saya ingat selamanya. Saya belajar banyak dari Kak Nong, saya pun bangga seandainya punya kakak seperti Kak Nong!”
Perdebatan sengit Bang Mul dan Mahdi berlangsung sampai menjelang magrib. Ibu pun mengizinkan Mahdi menginap di rumah malam ini. Sifat terbuka Mahdi membuat keluargaku menerima dirinya apa adanya. Mahdi tidak meminta, dia bahkan ngotot ingin kembali ke kota untuk menginap di salah satu hotel di sana.
“Janganlah, simpan saja uang untuk keperluan lain, di sini keluarga juga, kamu bisa tidur dengan abang,” kata Bang Mul meyakinkan.
Meski masih keberatan Mahdi ikut saja permintaan Bang Mul.
***
Kampung Pesisir memang sempit. Kedatangan Mahdi menjadi buah bibir di mana-mana. Orang-orang mengira Mahdi merupakan calon suami yang datang dari jauh. Mak Sari memulai drama terbaru dengan tokoh utama Mahdi, dan tidak melupakan Haikal. Seandainya saja Mak Sari mengetahui keberadaan Rudi, akan semakin bertambah panjang episode drama melankolis milik Mak Sari yang bisa ditonton gratis dan tanpa iklan.
“Apa yang saya bilang. Semua orang di Kampung Pesisir sudah buta semua. Lihat sekarang! Berani sekali dia bawa pulang laki-laki dan ditidurkan di rumahnya malam ini. Saya tak apa-apa ya, tapi kita tidak bisa menerima kelakuan nista lulusan luar negeri itu!”
Mak Sari membuka episode perdana drama seri miliknya di masjid, seusai menunaikan tiga rakaat menutup hari. Untung saja Mahdi laki-laki dan berdiri di barisan depan, jika saja Mahdi mendengarnya semakin tambah runyam suasana.
“Mak Sari sudah tanya orang itu siapa,” ujar Asma yang duduk berdekatan dengan Mak Sari. Di depan, imam masjid sudah memulai ceramah singkat. Seperti yang sudah-sudah, Mak Sari tidak pernah mendengar ceramah agama tersebut, ada saja topik pembicaraannya. Jika bukan tentangku, tentang orang lain yang membuat hati Mak Sari panas membara atau tentang Dara yang baru saja dapat tunjangan besar maupun pacar bermobil mewah.
“Hei, Asma, hal-hal kayak itu tidak perlu ditanya, semua orang juga tahu siapa anak muda itu!” Mak Sari tidak mau kalah. Matanya membulat menatap Asma. “Lagian kamu siapa? Kok repot-repot urus kehidupan orang lain!”
“Mak Sari siapa kok repot-repot urus rumah tangga orang lain?”
Aku menahan tawa. Akhirnya, kami di barisan perempuan tidak lagi mendengar ceramah imam masjid, ceramah Mak Sari jauh lebih besar suaranya sampai-sampai jamaah laki-laki menoleh ke belakang. Mahdi pun tak sengaja menoleh walau tidak mengetahui pokok permasalahannya.
“Hei, Asma! Saya tidak repot ya! Saya kasih tahu, biar semua orang tahu, habis ini saya akan jumpai orang tua kampung, biar diusir pemuda itu dari kampung kita!”
“Mak Sari, urus dulu si Dara yang tidak jelas siapa pacarnya!” sahut Irus dari belakang. Mak Sari tambah pitam.
“Hei, Irus, sudah gemuk masih ribut saja kau!”
Mak Sari menunjuk-nunjuk ke arah Irus. Suasana di antara para perempuan ini semakin tidak kondusif. Mak Sari tidak terima Dara dibawa-bawa ke dalam masalahnya. Irus pun tidak terima disebut-sebut gemuk. Asma pun tidak terima aku dikata-katai yang tidak sesuai kebenaran. Aku tidak akan melawan Mak Sari, karena itu akan membuat pedang Mak Sari tersambut oleh keluargaku.
Mak Sari membenarkan omongannya, saat jamaah keluar masjid, Mak Sari menjumpai imam masjid dan kepala kampung. Mak Sari mengutarakan isi hatinya yang tercabik-cabik karena kehadiran Mahdi.
“Mak Sari ada-ada saja, si Mahdi itu saudara jauh keluarga Inong. Sebelum magrib si Mul sudah mengatakan kepada saya akan ada tamu yang menginap di rumahnya. Kenapa pula Mak Sari yang bikin ribut?” ujar kepala kampung.
Sudahlah, Mak Sari. Semakin mencari-cari kesalahan orang lain, semakin terlihat kejelekan kita. Mahdi memang bukan saudara sedarah dengan keluargaku, kami sudah menganggapnya sebagai saudara, karena balas budi dan karena tabiatnya. Jika Mahdi berniat jahat, sudah dari awal pertemuanku dengannya di dalam taksi dia berbohong padaku. Mahdi malah dengan bangga menyebutkan istri dan anaknya di depanku, dan di depan keluargaku.
***
Drama seri dengan judul kecilnya Mahdi sudah terlewatkan dari amukan amarah Mak Sari. Mak Sari tidak lagi membisik-bisikkan api kebencian terhadapku. Mak Sari terdiam, orang lain yang bangkit dari kebisuannya.
Haikal, datang ke rumahku di pagi harinya. Tujuannya untuk melihat keberadaan Mahdi, Haikal duduk di atas ayunan di bawah pohon jambu. Aku masih menyapu dan tidak menangapi suara ketus Haikal. Tiba-tiba saja Mahdi keluar dari rumah dan langsung memperkenalkan diri kepada Haikal. Mahdi tidak tahu persoalan yang sedang terjadi bersikap sewajarnya kepada Haikal yang dingin membalas tatapan mata Mahdi. Mahdi terus berbicara tentang dirinya, tetapi tidak menyebutkan dirinya sudah mempunyai istri dan anak kepada Haikal. Mahdi menyebutkan senang berkenalan denganku dan bisa berkunjung ke Kampung Pesisir.
Haikal tampak muram. Kelihatan sekali laki-laki itu menahan emosi yang tidak sanggup ia lawan. Haikal tidak akan mengeluarkan lupaan emosinya di depanku maupun di depan Mahdi. Haikal sangat paham hubungan kami berada di atas ketukan palu pertemanan saja.
Haikal memainkan ayunan setengah hati, Mahdi berdiri tegak menghadap ke jalan. Memperhatikan seseorang yang muncul di hadapannya.
“Hai, inikah orangnya?” suara itu. Penuh sindiran dan amukan petasan. Jika kusambut akan meledak-ledak di pagi hari. Wajah Haikal berubah merah menyala. Mahdi tersenyum-senyum sendiri dan menyambut uluran tangan Dara. Dara sengaja datang ke rumahku melihat kami sedang beradu ketangkasan kesabaran.
“Saya Mahdi, kak,” ujar Mahdi semangat.
“Mahdi namanya? Selera Inong benar-benar hebat sekali ya. benar kan, Haikal?” Dara tidak pernah berubah.
“Baguslah, Kak. Masing-masing orang punya selera memilih kok, jangan sampai salah pilih bisa sengsara hidup selamanya!” jawab Mahdi.
“Iya, laki-laki tampan itu harus punya pekerjaan yang jelas, ganteng saja tidak cukup lho. Apalagi kamu datang ke rumah keluarga terpandang, sudah disiapkan mahar mahal belum?”
“Wah, kalau itu belum saya pikirkan, Kak. Saya kerja apa saja asalkan halal dan bisa diterima kedudukan saya dalam masyarakat,”
“Oh ya? Pekerjaan kamu apa?” Dara benar-benar kelewatan. Dara datang untuk menyelidiki semua kepribadian Mahdi, Mahdi tidak akan berbohong. Aku berani taruha sama siapapun.
“Sopir taksi!”
“Wow, hebat sekali kamu!” mimik kemenangan terpancar dari wajah Dara. Haikal pun ikut terkejut. “Kamu berani datang ke sini untuk melamar? Orang paling dekat saja mikir-mikir karena belum ada pekerjaan jelas,”
“Melamar? Pekerjaan tetap?” Mahdi kebingungan. Dara sudah terbuai dengan status pekerjaan Mahi. Dari tatapan matanya saja kulihat begitu merendahkan derajat Mahdi, sama seperti Dara melihat Haikal. Butuh iya, karena fisik saja. Memiliki tidak, karena takut tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya kelak.
“Kamu belum tahu? Calon suami Inong itu harus punya pekerjaan, kaya raya pasti, sanggup membayar mahar tinggi!” penjelasan Dara sudah cukup.
“Sudahlah, Dara, kamu tidak tahu apa-apa,” sahutku.
“Tidak tahu apa-apa? Ayolah, Nong! Kamu yang tidak tahu apa-apa, makanya pikir dulu sebelum bertindak. Jangan-jangan kalian sudah terlibat kasus haram makanya Mahdi datang ke mari tanpa mahar!”
“Saya tidak datang melamar!” ujar Mahdi buru-buru.
Benar. Mahdi tidak datang melamar. Aku memberi senyum manis kepada Dara. Haikal bangkit dari ayunan, wajahnya pun berubah lebih enak dilihat.
“Ah masa? Kamu pasti melamar kan? Tapi sayang ganteng-ganteng sopir taksi!” seharusnya kalimat terakhir dihindari oleh Dara. Tapi sudah keluar juga dari mulutnya.
“Saya sudah menikah dan punya anak!” Mahdi penuh penekanan. “Saya bangga dengan istri dan anak saya, saya pun bangga dengan pekerjaan saya, saya malah tidak bangga punya teman berpikiran negatif terhadap hidup orang lain!”
Dara bungkam. Aku ikut senang mendengar ucapan Mahdi. Haikal menarik nafas lega.
“Dara, sebaiknya kamu belajar lebih baik lagi jadi detektif sebelum menyelidiki suatu kasus,” ujarku sejurus kemudian.
“Ah, peduli amat. Tuh, aku sudah ada yang jemput!” Dara meningalkan kekalahannya di antara senyuman penuh kemenangan di hatiku. Mahdi masih terpana melihat kepergian Dara.
“Cantik-cantik kok begitu ya?”
Dia Dara!
***