Pagi sekali, aku menerima sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal. Aku mengerutkan kening memikirkan nama yang diperkenalkan laki-laki itu padaku. Karena laki-laki itu pula aku berada di Waroeng Kenangan di hari menjelang siang.
Aku menunggu, sudah lewat lima belas menit.
“Maaf Kak, aku tidak tahu kota ini, sudah mutar-mutar baru ketemu juga akhirnya,” suara renyah itu sudah duduk di depanku. Aku tersenyum lega.
“Apa kabar?” tanyaku.
“Baik, Kak,” dia kembali tersenyum.
Mahdi, dia adalah laki-laki muda yang pernah membuatku tersanjung. Kuperhatikan Mahdi yang duduk lelah di depanku. Perjalanan Banda dan Kota Pesisir Barat hanya memakan waktu kurang lebih lima jam. Kurasa, bukan itu persoalannya. Mahdi tentu memiliki beban berat yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri saja.
“Terima kasih, Kak, sudah mau bertemu,” wajahnya boleh saja terlihat lelah, tutur bahasanya tetap sumringah dan senang sekali berada di kehidupan carut-marut dunia ini.
“Sama-sama. Kamu bilang ke sini cuma mau ketemu denganku saja, apakah ada hal yang penting sekali?”
“Wah, Kakak pasti sudah lupa ya?”
Aku mengerutkan kening. Laki-laki ini suka menggombal atau memang aku yang lupa sesuatu.
“Ah, bagaimana sih lulusan luar negeri bisa cepat lupa?” kami sama-sama tertawa.
Mahdi mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Kuperhatikan, Mahdi mengenakan celana jeans ketat membentuk pahanya, kaos oblong warna biru muda dan topi cokelat muda.
Mahdi menyodorkan sebuah flashdisk ke hadapanku. Seketika mataku terbelalak. Aku tidak menyadari penyimpanan data sebesar empat giga bite tersebut bisa berada di tangan Mahdi selama ini. Aku tahu benda berbentuk persegi panjang sebesar ibu jari itu sudah raib dari tasku, aku juga tidak mencari-carinya lagi karena sudah pasrah membiarkan semua data hilang dari sana. Yang kusayangkan, beberapa foto belum sempat kupindahkan ke penyimpanan lain atau menshare jejaring sosial. Foto-foto itu dari teman-temanku selama di Amerika, mereka sama denganku, datang dari berbagai belahan dunia untuk bisa belajar di negeri adidaya. Aku bersyukur sekali kembalinya penyimpanan data tersebut.
“Bagaimana kamu menemukan flashdisk ini?” tanyaku sangat gembira.
“Entah. Tiba-tiba saja sudah ada di kursi mobil taksiku. Karena iseng, aku buka beberapa file dari flashdisk itu. Tidak tahunya ada beberapa foto kakak di sana, aku cari-cari data lain, ketemu juga curriculum vitae kakak di sana beserta nomor telepon. Aku coba hubungi, ternyata masih bisa terhubung,”
Aku memang menghidupkan kembali nomor telepon lama.
“Kamu ini, terima kasih banyak ya!”
Mahdi mengangkat bahu. Aku mengambil flashdisk tersebut lalu memasukkan ke dalam tas warna hitam pekat yang kubawa hari ini.
“Kenapa tidak dikirim saja? Repot-repot ke sini hanya untuk mengantar flashdisk. Bagaimana anak istrimu?”
“Sekalian jalan-jalan, Kak,” Mahdi meneguk kopi yang sudah mulai hangat. “Aku belum pernah melintasi jalan ke barat Aceh, ternyata sangat indah sekali ya? Aku pun ingin berkunjung ke rumah kakak, siapa tahu bisa lebih kenal dekat dengan keluarga kakak dan kita jadi saudara,”
Aku mengiyakan permintaan Mahdi tanpa kupikirkan bencana apapun yang terjadi setelah ini. Soal Mak Sari maupun Dara sudah pasti menerima dengan lapang dada kedatangan Mahdi. Apalagi, Dara akan lebih merana batin melihat Mahdi. Mahdi termasuk pemuda kota besar yang memiliki wajah rupawan di usianya yang sudah berkeluarga. Orang tidak akan tahu Mahdi sudah punya istri dan anak. Dari postur tubuh atletis, Mahdi bisa menarik perempuan mana pun ke dalam pelukannya. Mahdi memiliki kriteria yang diinginkan perempuan, termasuk golongan Dara yang suka berganti pacar. Sayangnya, Dara tidak akan menyukai Mahdi jika mengetahui Mahdi seorang sopir taksi bandara.
Mahdi datang menjumpaiku tentu saja tidak ada niat apa-apa. Laki-laki ini biar tidak pernah kuliah di perguruan tinggi, karena menetap di lingkungan kota dan punya banyak teman yang berpendidikan sehingga mampu beradaptasi dengan mudah. Mahdi bisa menempatkan dirinya bersamaku sebagai penumpang taksi, sebagai teman, sebagai kakak bahkan sebagai perempuan.
Aku mengenal Mahdi hanya sekali dari bandara ke Banda. Mahdi seolah-olah sudah mengenalku sejak lama. Mahdi tidak sungkan-sungkan menceritakan masalah hidup bersama keluarganya. Ada rasa nyaman yang Mahdi dapatkan saat bersama denganku. Aku tidak tahu pasti. Mahdi bisa saja beranggapan demikian karena dia butuh seorang kakak dalam hidupnya. Aku tidak mau melebih-lebihkan anggapan tanpa dasar. Bagiku, Mahdi akan menjadi teman dan kenalan yang telah menolongku. Tidak ada yang tahu kelakuan orang lain yang menemukan flashdisk ini jika bukan Mahdi. Bisa jadi mereka sudah menggunakan beberapa foto kami di dalamnya untuk keperluan tertentu. Tidak ada foto yang vulgar, tetapi rekayasa teknologi bisa membuat semua foto kami di dalamnya terlihat sangat penuh birahi. Data-data lain memang tidak begitu penting bagiku, hanya foto saja yang kutakut disalahgunakan. Mahdi, membuat segalanya menjadi positif kembali.
Aku dan Mahdi sudah berada di dalam mobil menuju rumahku saat sebuah pesan singkat masuk ke smartphoneku.
Ada orang lain lagi? – Haikal.
***