Niko memarkir sepedanya di halaman rumah. Dia sampai di rumahnya sangat larut. Bi Harum berdiri di depan pintu rumahnya menanti Niko masuk ke rumah, "Asataga, Mas Niko kenapa larut sekali pulangnya. Saya belum bisa tidur karena khawatir dengan mas Niko. Dari mana saja toh Mas?" tanya Bi Harum pada Niko. Niko menajwabnya santai, "Enggak dari mana-mana Bi Harum. Tadi habis mengantar teman cewek pulang. Kita tadi kehujanan dan sempat berteduh dulu baru lanjut jalan Bi. Bi Harum masak enggak?" tanya Niko. Bi Harum segera menjawab, "Ya masak toh Mas, bolak-balik sayurnya saya panasi supaya Mas Niko bisa makan selagi hangat. Ternyata Mas Niko lama sekali pulangnya."
"Maaf ya Bi Harum, gara-gara saya Bi Harum jadi kerepotan begini."
"Enggak apa Mas, ini Mas silakan dimakan. Enggak usah keburu-buru makannya," kata Bi Harum mengingatkan Niko. Niko mengambil sendok dan garpu. Ia segera melahap makan malamnya dengan penuh nafsu. Sesekali Bi Harum menoleh ke Niko. Terlihat bahwa hari ini Niko nampak senang. "Mas, lagi bahagia toh?" tanya Bi Harum. Niko menggeleng dan berusaha menyembunyikan senyumnya, "Enggak apa, Bi. Masakan Bi Harum enak hari ini." Niko berdiri dan masuk ke kamar membawa makan malamnya. Bi Harum masih termangu di meja makan. Tidak seperti biasa Niko terlihat senang seperti ini. Niko membuka HP-nya yang lowbatt tadi. Ia membuka foto Clarin yang diambilnya diam-diam saat latihan cheers tadi. Clarin terlihat cantik berdandan seperti itu. Niko tersenyum kecil dan segera menutup foto itu. Untung saja ia tidak diperhatikan teman-teman basketnya saat memfoto Clarin tadi. Ia meletakkan HP-nya di meja dan mengisi daya baterainya. Niko beranjak ke kasur dan mulai beristirahat.
*
"Cla, lo yakin mau masuk sekolah? Udah sembuh emang?" tanya Atlas ke Clarin. Ia sangat khawatir pada sahabatnya yang masih kelihatan pucat itu. Clarin berusaha mengunyah makanannya lambat. Ia sebenarnya tidak ingin masuk hari ini. Badannya masih lemas, dan belum cukup memiliki tenaga. Tapi ia akan tertinggal banyak pelajaran.
"Enggak apa. Aku sudah agak mendingan. Nanti juga sembuh-sembuh sendiri." Clarin menyendokkan sesuap nasi terakhir ke mulutnya.
"Kita naik sepeda ya. Gue yang nyetir. Daripada jalan, nanti lo lebih capek. Malah yang ada gue gendong lo ke sekolah. Gue siapin sepeda dulu," ucap Atlas lalu pergi ke garasi Clarin. Ia mengeluarkan sepeda Clarin, kemudian segera mengecek ban maupun remnya. Clarin keluar membawa tasnya dan tas Atlas. "Enggak usah Tlas, kita jalan aja," kata Clarin menolak. "Janganlah Cla, masa' iya gue biarin lo jalan. Udah nurut aja." Clarin mendekati Atlas yang sedang memompa ban sepeda, "Emang udah bisa naik sepeda? Terakhir kali naik, waktu ulang tahun Emily. Itu juga gue yang bonceng. Enggak usah memaksakan diri. Kita jalan aja," pinta Clarin meyakinkan Atlas. "Kali ini aja Cla, percaya sama gue. Gini-gini gue pernah usaha naik sepeda, meski gagal. Tapi tenang, gue udah lihat tutorial naik sepeda di Youtube. Gampang ternyata," ucap Atlas percaya diri.
"Kapan lihat di Youtube-nya?" tanya Clarin berjaga-jaga.
"Dua tahun lalu."
"Haaah!!? Enggak usah aneh-aneh Tlas, yang ada kita kecelakaan tunggal ntar'. Gue udah baikan, jadi kita jalan aja. Daripada nanti lo juga kecelakaan," protes Clarin sambil memukul pundak Atlas.
"Buruan Cla, naik. Gue bonceng. Bentar lagi bel masuk loh. Kalau kita jalan, bisa telat dan bakal manjat pagar lagi. Dengan kondisi lo yang lesu gini, mana bisa jalan cepet? Udahlah, jangan protes mulu. Buruan naik!" paksa Atlas. Mau tidak mau Clarin naik dibelakang boncengan. Atlas mulai mengayuh sepeda. Agak tidak terarah, belok kanan-kiri dan Clarin seperti biasa, "Atlas yang bener nyetirnya. Awas itu, Tlas!! Astaga, itu tadi polisi tidur, main ngebut aja. Tlas, jangan aneh-aneh. Jalannya lurus jangan sok dibelok-belokin. Ntar' jatuh gue makin sakit."
Akhirnya mereka pun sampai disekolah tepat waktu meski sepanjang jalan Atlas mendengarkan Clarin mengomel tida henti. Atlas memarkir sepedanya dekat pagar sekolah. Seusai parkir, bel sekolah berbunyi. Atlas menggandeng Clarin ke kelas. Ia takut bila Clarin tiba-tiba pingsan di koridor sekolah. Kesehatan Clarin memang belum cukup pulih.
"Cla, kalau pusing bilang ya. Nanti gue antar ke UKS, daripada pingsan di kelas. Lo bisa diomelin Bu Yesi kalau sakit tapi maksa masuk gini. Kalau udah diomelin, kepala lo bisa makin pusing. Jadi, sebaiknya kalau bener-bener pusing, langsung bilang gue. Gue enggak bakal ke mana-mana Cla, tenang aja," kata Atlas meyakinkan Clarin. Wajah Clarin masih pucat seperti kemarin. Mungkin seharusnya Clarin istirahat di rumah saat ini.
"Haaatcih!!" bersin Clarin keras. "Haat ... haaat ... hatcih!!" bersin Clarin lagi. Alhasil, tidak satu pun penjelasan Bu Yesi yang masuk dalam kepalanya. Ia kewalahan dengan bersinnya yang berulangkali muncul itu. Atlas menoleh ke belakang melihat Clarin sekilas. Ia merasa bersalah, karena tidak berusaha membujuk Clarin tetap di rumah saja.
"Haaaat ... haatcih!!" kali ini semua anak melihat ke arah Clarin yang bersin, termasuk Bu Yesi. Bu Yesi yang dari tadi sibuk menjelaskan rumus Matematika berhenti sejenak dan bertanya pada Clarin, "Cla, kamu sakit?" tanya Bu Yesi. Clarin menyingkirkan tisu dari hidungnya, "Iya, Bu. Kemarin kehujanan. Tapi harusnya hari ini—haatcih!!" potong Clarin dengan bersin lagi. "Sudah, sudah. Kamu ke UKS sekarang. Istirahat sebentar, kalau masih lemas kamu bisa pulang." Clarin mengangguk. Ia segera bangkit dari kursinya dan berjalan keluar kelas. Ia melangkah dnegan lemas ke UKS. Harusnya tadi ia di rumah saja. Pasti ia tidak akan merepotkan Atlas. Sesampainya di UKS, Clarin langsung berbaring di ranjang. Tubuhnya tidak dapat berkompromi lagi.
Belum lama Clarin tidur, Niko masuk ke UKS hendak mencari minyak kayu putih, perutnya sakit. Ketika masuk, Niko terkejut melihat Clarin terbaring lesu di ranjang. Mungkin, gara-gara kehujanan kemarin, batin Niko. Niko mendekat ke Clarin. Ia memandangi wajah Clarin yang pucat. Wajah pucat ini yang ia lihat saat di ruang ICU waktu itu. Niko meraba dahi Clarin. Demamnya tinggi. Belum lama, Clarin terbangun.
"Niko, lo ngapain di sini?" tanya Clarin lesu. Niko melepas sentuhan tangannya. "Ngambil minyak kayu putih. Teman lo mana? Dia enggak di sini?"
"Atlas di kelas, ikut pelajaran."
"Badan lo panas. Udah bilang ke Bu Biuti?"
"Belum, enggak apalah. Paling bentar lagi turun."
"Ya udah. Gue balik kelas lagi, cepat sembuh!" ucap Niko asal. Ia lalu keluar dari UKS. Kini Clarin kembali sendirian. Ia berusaha memejamakan mata untuk tidur sejenak. Hingga istirahat membangunkan Clarin.
"Clariiiinnn!!!" teriak Atlas dari luar. Atlas berlari ke ranjang UKS, dan memberikan bekal makan Clarin. "Nyantai kali Tlas, jangan kayak orang lebai, geli gue lihatnya."
"Ya ela, nih anak. Gini Cla, gue mau cerita. Ini penting. Dengerin baik-baik, ini soal Nila sama gue. Yang kemarin itu loh, yang di lapangan. Gue udah ngobrol sebentar sama Nila. Jadi kemarin itu gini ....," dan segala tentang Nila mengalir begitu saja dari Atlas. Clarin berusaha menjadi pendengar yang baik. Meski ia tidak tahu apa yang spesial dari cerita Atlas kali itu.
"Gimana Cla, menurut lo? Gue keren kan, bisa seberani itu? Gue enggak nyangka dia mau ngobrol sama gue yang cupu. Tapi keren kali ya, kalau gue beneran pacaran sama Nila. Kayaknya hidup akan lebih berwarna oleh api-api asmara cinta." Atlas bengong melihat Clarin yang mendadak diam melamun, "Cla, Clarin, Cla. Cla, lo kenapa? Gue kecepetan ya ceritanya? Mau gue ulang lagi?" Clarin masih diam seribu bahasa.
"Woi, Clarin!!" teriak Atlas yang membuat Clarin menoleh padanya. "Eh, iya apa tadi?" tanya Clarin balik. "Selalu. Kenapa sih Cla, tiap kali gue cerita Nila ke lo responnya gini, dicuekin? Bukan ngasih dukungan, semangat malah dicuekin gini. Tahu gitu enggak usah cerita tadi."
"Ya maaf, tadi lo tanya apa Tlas?" tanya Clarin pura-pura tidak tahu.
"Gue tadi tanya gimana menurut lo."
"Gimana, gimana maksudnya?" tanya Clarin tidak paham.
"Astaga Cla, udahlah enggak usah. Enggak penting juga. Tuh, bekal lo udah gue bawakan. Dimakan, dihabisin, jangan dibuang kalau enggak habis."
"Iya. Tapi kalau dilihat dari cerita lo, Nila sama lo kan udah dekat, kenapa enggak lo yang tanya soal nomor HPnya. Berarti gue udah enggak dibutuhkan lagi di cheers."
"Haduh jangan, Cla. Gue belum berani kalau tanya-tanya soal nomor HP Nila. Lagian dipikir buat apa, gue yang enggak kenal ama Nila tiba-tiba langsung tanya nomor HP gitu. Gue enggak mau dicap sebagai cowok modusan. Itu enggak cocok dengan IQ gue yang 200 ini." Clarin mendesah pelan. "Ayo dong Cla, gue bener-bener butuh bantuan lo. Nanti kalau udah jadian sama Nila, lo orang pertama yang gue traktir."
"Iya. Ntar' kalau timingnya udah pas, gue bakal langsung tanya ke Nila."
"Thanks, lo emang sahabat yang paling baik, unyu, cantik sedunia."
"Segitu sukanya sama Nila. Dia kan anak baru. Maksud gue, lo belum lama kenal sama Nila, dan udah langsung suka. Iya kalau orangnya baik, kalau jahat giamana?" protes Clarin tertegun melihat kegilaan Atlas itu.
"Lo enggak pernah pacaran. Gini Cla, cinta itu buta. Kayak yang gue alami sekarang ini. Gue jatuh cinta pada pandangan pertama. Istilah bekennya itu, 'love at the first sight'. Nila itu cantik, putih, tinggi, baik lagi. Kalau gue kasih peringkat sih, dia mah jagoan banget. Dia nomor satu di hati."
"Oh ..., gue nomor berapa kalau dia nomor satu?" balas Clarin singkat. Atlas terkejut kemudian buru-buru menajwab, "Lo enggak pakai nomor-nomoran. Lo tetap jadi orang pertama buat gue Cla, enggak usah khawatir dan iri gitu," kata Atlas menenangkan Clarin. Clarin menggeleng dan berkata, "Dih, siapa yang khawatir dan iri, gue cuma tanya. Keanehan lo kali ini udah di puncak kali ya, baru kenal orangnya dan baru ketemu beberapa kali udah langsung suka." Atlas tersenyum mendengar Clarin berakata begitu. Clarin mengunyah nasinya agak lambat. Ia berusaha memaknai kata-kata Atlas tadi. Tiap kali Atlas menyebut nama Nila, rasanya seperti ingin menampar Atlas saat itu. Ia masih menyukai Atlas. Namun, nyatanya ia dan Atlas hanya berhenti di garis friendzone yang tidak pernah selesai.
"Masih panas, Cla?" tanya Bu Biuti pada Clarin.
"Sudah mendingan, Bu," jawab Clarin singkat. "Setelah ini aku balik ke kelas lagi," ujar Clarin. Atlas menoleh tidak terima pada Clarin. Ia menimpali Clarin, "Emang udah enggak panas lagi?" tanya Atlas memastikan. Clarin mencubit tangan Atlas. "Auuuuw!! Ngapain lo nyubit tang—," Clarin menoleh dan menatap Atlas tajam. Sudah begitu Atlas tidak dapat melakukan apapun. "Iya Bu, Clarin langsung ikut pelajaran setelah istirahat selesai," jawab Atlas mantap.
"Ya sudah. Kalau gitu cepat sembuh ya, jangan sakit-sakitan terus. Bulan-bulan ini akan banyak ulangan yang ngantre. Kalau kamu sakit bisa susulan banyak ulangan." Bu Biuti lalu keluar dari UKS. Atlas mengusap-usap lengan bekas cubitan Clarin tadi. Panas dan sakit. Clarin yang melihat Atlas kesakitan justru tertawa.
"Udah nyubit, ketawa lagi. Kalau sampai rumah, lengan gue lebam, lo harus tanggung jawab."
"Ya ela' Tlas, baru gitu. Lebai banget jadi cowok. Jangankan biru, merah juga enggak. Enggak usah sok-sok sakit gitu."
"Enak aja. Cubitan lo itu sama kayak bunuh kecoak pake tangan dan tenaga dalam. Sakitnya beh, baru kerasa beberapa jam kemudian, kayak racun tikus."
"Tlas, Tlas, jadi cowok lembek bener. Ntar' gimana lo bisa nolongin Nila kalau dijahatin orang lain? Yang ada dia kabur dulu daripada ngeri ngelihat lo digebukin," komen Clarin dingin.
"Sembarangan kalau ngomong. Gue emang belum bisa bela diri seperti lo. Tenang aja, nanti kalau gue dan Nila resmi jadian gue bakal belajar bela diri."
"Ckckckck, ya telat lah. Gimana sih? Keburu dia masuk ICU nunggu lo enggak mulai berantem? Siapa yang mau ngajarin cowok manja kayak lo?" sindir Clarin.
"Ada kok. Gue bisa lihat di YouTube. Tenang aja, gue pernah lihat sekali di YouTube. Gampang kok caranya," sela Atlas.
"Haaah?!! YouTube?!! Lo ... itu bener-bener, Tlas. Kawinin aja tuh YouTube!" ucap Clarin kesal. Clarin memukuli Atlas dengan bantal lagi. Itu yang terus mereka lakukan hingga bel istirahat berbunyi.
"Lo jadi balik ke kelas, Cla?" tanya Atlas yang masih khawatir. Clarin mengangguk, "Iyalah. Orang cuman pilek dan enggak enak badan aja. Paling ntar juga sembuh. Enggak enak di UKS sendirian, sepi, enggak ada teman. Kecuali kalau lo mau pura-pura sakit dan nemenin gue di UKS."
"Ya kali gue pura-pura. Kalau lo mau ngakalin guru-guru gue enggak mau ikut-ikut. Itu, lepas dari tanggung jawab gue."
"Nah, udah tahu. Emang sih, orang kayak lo kan egois. Mana pernah berkorban buat temen sendiri. Kayaknya sedikitpun enggak. Paling yang lo perhati'in juga gebetan lo ntar'."
Atlas terdiam sebentar, "Apa'an sih, Cla? Gue pehatian sama lo," ucap Atlas pada Clarin. Clarin tersenyum sinis, "Oh ya? Perasaan dulu ada yang jutekin gue satu minggu gara-gara gue disangka orang ketiga. Hmmm ..., yang bener aja. Pacar lo aja yang enggak tahu apa-apa soal gue tiba-tiba nuduh gue jadi perusak huungan lo. Bisa-bisanya juga lo belain dia Tlas, gue beneran kecewa waktu itu. Ternyata waktu itu gue beneran lo salah-salahin gara-gara dia."
"Ya ela Cla, yang lama-lama enggak usah diingat lagi lah. Ingat yang baik-baik aja," pinta Atlas ke Clarin. "Apa yang baik dari lo?" goda Clarin. "Pasti adalah, tiap orang punya sisi baik dan buruk. Kalau enggak ada lo, enggak mungkin Nila mau nempel sama gue," kata Atlas pe-de. Clarin menatapnya dalam, "Jangan kepede'an. Lo cuman anak nerd yang lebih keren dikit dibanding anak nerd lainnya."
"Ini bukan pe-de. Ini fakta, Cla. Lo harus mengakui ini."
"Terserah dah," kata Clarin mulai lelah berargumen dengan Atlas. Ia dan Atlas ikut pelajaran hari itu dengan bersemangat. Clarin sedikit kurang antusias dengan pembelajaran hari itu. Ia berharap semoga jam Matematika lebih cepat sedikit.
*