Clarin mempercepat langkahnya. Ia berlari kencang di bawah gerimis yang mulai turun. Ia menyesal karena tidak membawa payung tadi. Ia pikir cuaca hari ini akan cerah seperti kemarin. Clarin berteduh di pos satpam, ia mulai kedinginan. Ia melipat dua tangannya berharap dingin itu dapat berganti menjadi hangat.
"Nih pakai," ucap seseorang dari belakang sambil memakaikan jaket pada Clarin. Clarin menoleh ke belakang, Niko. Ia terkejut Niko berdiri di sampingnya. Ia memelototi Niko yang telah basah kuyup. Clarin hendak bertanya kenapa Niko di sini, namun diurungkannya niatnya itu. Clarin merapatkan jaket Niko.
"Kenapa di sini?" tanya Clarin singkat.
"Enggak baik ninggal orang jantungan sendirian. Ntar dikira gue pembunuhan berencana ke lo," cetus Niko pada Clarin yang kini telah mengenakan jaketnya. Clarin yang mendengar itu melotot lebar.
"Terimakasih," ucap Clarin masih dengan gigi gemeletuk. Sesekali Clarin meniup telapak tangannya untuk menghangatkan. Niko hanya menggelengkan kepala. Ia melihat Clarin lekat-lekat. Clarin yang kedinginan saat ini menjadi pemandangan menarik bagi Niko. Niko segera menarik tangan Clarin dan menggenggamnya erat. Alih-alih menolaknya, Clarin malah membiarkan Niko memegang tangannya. Ia sangat kedinginan saat itu. Tangan Niko terasa hangat di saat hujan seperti ini.
"Masih dingin?" tanya Niko memastikan. Clarin menggeleng pelan. Ini lumayan, tidak sedingin tadi, batinnya.
"Terimakasih Nik, kalau lo enggak ke sini mungkin gue bakal sendirian nunggu hujan berhenti. HP gue low-batt, jadi enggak bisa kasih kabar ke Atlas. Semoga aja dia sudah tidur."
"Kalian berdua pacaran?" tanya Niko ke Clarin. Clarin menoleh shock dengan wajah tak percaya. Cepat-cepat ia membalas, "Hah?! Lah, kenapa jadi ngegosip tiba-tiba gini? Lo kayak anak satu sekolah yang bolak-balik tanya hal itu terus ke gue sama Atlas."
"Karena kalian dekat dan sering berdua ke mana-mana. Tinggal lo jawab aja kan, enggak usah ribet," katanya berusaha mendesak Clarin menjawab.
"Enggaklah, enggak mungkin kami pacaran. Atlas lebih suka cewek feminim. Dia juga suka orang lain." Niko menatap Clarin serius, "Oh, berarti lo yang suka sama Atlas?" tanyanya dengan nada serius. Clarin tersentak kaget, "Enggak. Gue cuma sahabatan sama dia. Kita udah lama berteman, jadi kesannya kayak orang pacaran gitu kalau ketemu."
"Alasan lo masuk cheers apa, atau mungkin untuk siapa kali ya?" selidik Niko yang kini bertanya alasan Clarin masuk cheerleader. "Banyak anak basket kemarin kaget lihat lo latihan cheers dan nari-nari di lapangan. Gue juga kaget sih, menurut gue lo bukan tipe cewek yang mau nari-nari di tengah lapangan buat nyemangatin orang lain," jelas Niko panjang. Clarin menjawab Niko santai, "Enggak untuk siapa-siapa. Kenapa emang? Lo pasti mikir orang tomboy kayak gue, masuk cheers enggak cocok banget."
"Enggak juga. Boni kasih tahu gue, kalau lo udah gabung di klub atletik sekolah. Tapi sekarang mendadak pindah ke cheers, aneh aja. Kenapa pindah ke cheers? Oh atau jangan-jangan lo punya crush anak basket dan lo mau diam-diam memperhatikan crush lo dari barisan cheers gitu?" karang Niko atas alasan Clarin. Clarin menggeleng dan langsung menyanggah tebakan Niko, "Enggaklah Nik. Gue enggak punya crush anak basket. Gue tetap ikut klub atletik, jadi gue ikut dua ekstra. Kalau klub lari kan, latihannya waktu ada olimpiade-olimpiade aja. Jadi enggak seberapa capek."
Niko terdiam lama. Ia tak tahu harus bertanya apa lagi pada Clarin. Ia kemudian memandangi hujan turun di depannya. Sesekali ia melihat Clarin yang mulai mengantuk, sedangkan hujan belum juga reda.
"Cla, kalau hujannya reda gue antar pulang ya," kata Niko membuyarkan keheningan di antara mereka. Clarin sudah pulas tidur dengan kepala menunduk. Niko memindah kepala Clarin di bahunya. Tak lama sesudah itu, hujan reda. Clarin masih lelap dalam tidurnya. Niko sebenarnya ingin membangunkannya, namun karena Clarin baru saja tidur, ia mengurungkan niatnya itu. Ia membiarkan Clarin tidur sedikit lebih lama.
Tepat pukul sepuluh Clarin bangun dan terkejut memandang suasana sudah gelap. Ia melirik Niko yang duduk diam di sampingnya. Clarin memukul tangan Niko dan berkata, "Niko, kenapa kita masih di sini? Hujannya kapan berhenti? Kenapa gue enggak dibangunkan?" protes Clarin panjang lebar. "Ayo buruan pulang. Atlas pasti bingung nyari gue," ucap Clarin gusar. "Paling juga udah tidur di kasur." Tanpa diminta Clarin segera naik ke motor Niko, "Bawel. Udah buruan, kasihan Atlas." Niko segera naik ke motornya.
*
"Mas Atlas itu kayaknya Mbak Clarin. Dibonceng cowok Mas," ucap Irma. Atlas langsug mendekat di jendela. Ia melihat Clarin sedang ngobrol dengan seorang cowok. Siapa cowok itu, tanya Atlas dalam hati. Atlas keluar dari ruang tamu dan menunggu Clarin di teras. Clarin yang akan masuk ke rumah dikejutkan oleh Atlas, "Atlas, lo masih di sini?" tanya Clarin kaget. Ia menyangka Atlas sudah pulang dan tidur. Karena tidak biasanya Atlas betah tidur malam-malam. "Tumben belum tidur?" tanya Clarin. Atlas mengabaikan pertanyaan Clarin ia bertanya soal cowok yang membonceng Clarin tadi, "Lo gila ya Cla!! Lo ke mana aja sih? Gue dan Irma bingung banget. Kami khawatir, kami takut lo kenapa-kenapa."
"Gue enggak apa-apa. Kan gue sudah bilang, gue lagi cari botol vitamin gue yang hilang di ruang ganti cheers tadi. Lo kan juga sudah disuruh Nila pulang duluan."
"Iya tapi gue kira sebentar carinya. Kalau sampai malam gini, gue bisa bantu lo cari vitamin tadi supaya lebih cepat ketemu. Kalau sampai malam ya bahaya Cla," omel Atlas masih memarahi Clarin. "Terus kenapa telepon gue enggak diangkat? Ada HP buat ngabarin gue tapi gue enggak dikabarin."
"Sorry banget Tlas, gue mau ngabarin lo tapi keburu low-batt. Besok enggak gue ulangi kok, janji," kata Clarin berusaha menghentikan temannya itu mengomel.
"Ya bagus. Terus tadi siapa yang ngantar lo pulang? Dia cowok ya, siapa namanya?" tanya Atlas bertubi-tubi. Clarin melepas sepatunya, "Namanya Niko. Dia yang suaranya mirip lo." Atlas memperhatikan baju Clarin yang sedikit basah, "Tadi kehujanan? Baju lo basah Cla, astaga," decak Atlas sambil menggelengkan kepalanya.
"Eh, iya nih. Tadi gue sempat kehujanan. Jadi gue nunggu sebentar di pos satpam, enggak tahunya ketiduran. Niko enggak bangunin gue Tlas. Dia nunggu gue bangun baru diantar pulang."
"Ckckck, gue dari tadi nunggu lo enggak pulang-pulang. Barusan aja gue mau berangkat nyari. Lo paling enggak usaha Cla, pinjam HP-nya Niko kan bisa. Biar enggak bikin orang rumah khawatir," omel Atlas panjang lagi. Clarin hanya mengangguk kalau Atlas mulai memarahinya. Ini juga salahnya sendiri, gara-gara obat dan hujan yang enggak berhenti. Niko juga enggak bangunin dia tadi.
"Mending sekarang lo ganti baju, terus mandi. Habis mandi, gue bawa'in susu cokelat, udah makan belum?"
"Belum."
"Kalau gitu gue buatin mi kuah. Jangan tidur sebelum mi kuah matang. Tunggu sebentar ya!" kata Atlas semangat. Ia berlalu ke dapur dan membuat mi kuah. Hujan dan dingin memang paling cocok menyantap mi kuah. Tak lupa ia membuatkan Clarin susu cokelat.
"Irma, ada simpan bawang goreng enggak?" tanya Atlas. Atlas tak lupa menaburi mi kuah Clarin dengan bawwang goreng karena ia tahu jika temannya itu sangat menyukai bawang goreng. Tekstur bawang goreng Irma yang renyah memang menggiurkan. Sesudah itu, Atlas membawa masakannya ke kamar Clarin bersama dengan segelas susu hangat yang telah ia buat.
"Kilat banget Tlas, cepet banget masaknya," komen Clarin. Ia merasa sangat beruntung punya sahabat seperti Atlas. Clarin melahap mi kuahnya rakus, "Ya ampun Cla, santai kali makan-nya. Enggak ada yang mau ngerebut juga. Gue udah makan tadi sama kare di rumah. Oh iya soal Niko, suaranya beneran mirip gue?" tanya Atlas masih belum yakin. Clarin berusaha menelan cepat makanannya, "Iyap. Kalau mau tahu, tanya ke orangnya langsung. Biar sekalian kamu dengar sendiri. Gini, kalau muka kalian mirip gue pasti susah beda'in kalian. Untung cuma suara aja yang sama."
"Kebetulan aja kali sama. Lagian Cla, jangan aneh-aneh. Dari kecil gue enggak punya saudara kembar. Jadi enggak mungkin tiba-tiba punya. Lo kan, yang kenal gue paling lama. Kalau pun ada, gue pasti udah cerita ke lo. Lagipula Papa, Mama enggak pernah sebut-sebut soal kemmbaran. Lo pasti kena efek sinetron di TV."
"Ya mana tahu. Lo tanya aja deh, ke tante dan om," kata Clarin sambil berusaha menyeruput kuah mi miliknya yang tinggal sedikit. Atlas membuka teras kamar Clarin. Ia memandang keluar, menatap kamarnya yang kosong. Hanya sebatas jalan setapak kecil yang menghubungkan dua ruang kamar mereka. Namun, jalan setapak itu memudahkan Atlas mengunjungi Clarin lebih leluasa. Atlas tinggal membuka balkon kamarnya dan tinggal berjalan beberapa langkah di jalan setapak itu lalu ia akan sampai tepat di kamar Clarin. Jalan setapak terbuat dari cor-coran semen biasa, lalu dibatasi pagar kecil depan kamar Clarin. Awalnya yang memberi usul itu adalah Clarin. Ia juga dapat keuntungan banyak dari jalan setapak itu. Kadang kalau ia sedang bosan di kamarnya, ia pergi ke kamar Atlas, sekedar untuk mengganggu Atlas yang serius mengerjakan pe-ernya. Lain waktu Atlas yang main ke kamar Clarin untuk menonton DVD atau untuk karaoke sebentar. Meski begitu Atlas lebih sering mengunjungi Clarin. Lebih-lebih kalau Clarin sakit. Ia rela hujan-hujan sebentar untuk menjenguk Clarin yang berada di seberang kamarnya.
"Tlas, kayaknya gue mulai pilek ini," ujar Clarin membuyarkan lamunan Atlas. "Haaatcih!!" Clarin bersin dengan keras. "Ya ampun Cla, ini akibatnya kalau kelamaan hujan-hujan. Enggak bawa payung, jas hujan, HP enggak dibawa. Udah mending sekarang lo istirahat. Jangan banyak gerak. Besok kalau masih enggak enak badan, enggak perlu masuk dulu. Nanti gue ijin ke guru piket."
"Haaaattcciiih!!!" bersin Clarin lagi. Ia merasa sangat lemas hari ini. Sepertinya ia kelelahan karena tadi ada latihan cheers itu. Malam itu Atlas tidak kembali ke kamarnya. Ia berada di kamar Clarin dan menungguinya, kalau-kalau Clarin butuh bantuannya. Ia duduk di sofa, sambil memikirkan kata-kata Clarin soal kembarannya itu. Atlas tidak pernah mendengar apapun soal kembarannya. Ia juga tidak tahu bila ia punya kembaran. Ia mencoba mengingat kembali, segala hal yang pernah ayah dan ibunya ceritakan. Namun tidak ada yang berhubungan soal kembarannya.