"Kau duduk di sini?" tanyanya dengan suara serak dan berat. Membuyarkan lamunan Kasih.
"Ah, iya." Gelagapan dan sedikit kebingungan Kasih menengok kursi kosong di sebelahnya dan segera duduk. Kasih tersenyum tipis kaku dan menyadari beberapa detik kemudian cowok itu masih berdiri di dekatnya. Kasih keheranan dan menyadari kalau ia melupakan satu hal.
"Maaf ya merepotkan, terimakasih sudah membantu." Kasih mengukir senyum semanis mungkin walau ia rasa bibirnya mengering. Senyum palsu yang sudah lama ia tampilkan. Anehnya cowok itu tidak beranjak pergi sedikit pun. Kasih mulai berpikir keras apa dia melupakan sesuatu yang penting.
"Berapa nomor kursimu?" pungkasnya dengan ekspresi datar sambil memiringkan kepala. Satu tangannya masih menggantung dari atas bagasi kereta. Memamerkan tato bergambar serigala yang keluar dari jaket hitam kulit hingga ke pergelangan tangan ditambah sebuah gelang silver yang melingkar.
Celana hitam panjang dengan bagian lutut yang sobek dan bolong membuat laki-laki itu tampak aneh dan sangat menyeramkan. Kasih agak kesal dengan laki-laki ini karena masih mengganggu dirinya.
"Nomor kursiku ...." Dengan agak malas, Kasih melihat nomor bangku di tiket. Setengah terkejut menyadari kalau ia di nomor 11A. Apakah itu berarti laki-laki itu duduk di sampingnya? Ia menelan ludahnya yang terasa pahit sekali.
"Maaf maaf," gelaknya kecil sambil menggeser tubuhnya ke kursi di dekat jendela.
Tanpa pikir panjang, laki-laki itu langsung duduk di sampingnya. Kasih mencoba menahan rasa kaget dan tidak nyamannya. Jantungnya berdegup sangat kencang. Kilas balik memori mulai menghantuinya lagi. Napas berat yang mengejek. Genggaman yang kuat dan besar. Tembok tinggi dan sulit ditembus.
Kasih merasa seperti kelinci kecil ketakutan. Ia menahan napas, mencoba setenang mungkin lalu mengambil napas panjang lalu mengembuskannya. Berulang-ulang dia lakukan. Berharap akan baik-baik saja.
"Maaf aku membuatmu tidak nyaman karena duduk di sampingmu.”
Kasih terhenyak mengapa laki-laki itu meminta maaf padanya. Ya walaupun ia memang tidak nyaman tapi itu bukan salahnya. Memang sudah dari sananya begitu.
“Tidak perlu minta maaf,” pungkas Kasih. Menoleh ke arah laki-laki itu walau ia enggan.
“Aku akan pindah ke kursi belakang yang kosong.”
Kasih terkejut. Ia jadi merasa bersalah. Sesaat sebelum laki-laki itu berbalik arah pergi, Kasih menahan gerakannya. “Tidak perlu. Aku ….” Kasih menelan ludahnya. “Aku ingin punya teman duduk. Jadi tidak perlu pindah.”
Laki-laki itu berhenti sejenak lalu kembali duduk. Kasih menghela napas lega meski sebenarnya ia berbohong. Ya, dia sudah terlalu sering berbohong dan itu membuatnya sakit.
Laki-laki itu menyodorkan sebuah botol minuman air putih dan roti coklat yang tampak enak. “Perkenalkan namaku Saka, siapa namamu?”
Kasih terheran tapi ia tidak ingin menolak rezeki yang datang pada dirinya. Apalagi ia tidak sempat makan siang tadi. Ia menelan gengsinya mentah-mentah. “Namaku Kasih. Salam kenal,” senyum Kasih sembari menerima pemberian itu tanpa malu.
Saka membalas senyumnya balik. Di mata Kasih laki-laki aneh dan menyeramkan itu berubah menjadi lembut dan baik. Bukan karena makanan dan minuman itu kok. Ya meskipun itu salah satu alasannya. Rasa takut dan cemasnya juga sudah hilang. Jadi tidak masalah lagi.
Kereta mulai melaju cepat di antara gedung-gedung tinggi di ibukota Jakarta. Kadang juga melewati perumahan kumuh yang kecil dan rapat tidak teratur. Banyak sampah yang bertebaran menumpuk di pinggir rel kereta.