Kondisi Nolan membaik pagi harinya. Sekitar pukul 09.00, pria itu dipindahkan ke ruang perawatan. Bersamaan dengan itu, Sea datang membawa sarapan untuk Rasi. Namun, Rasi menolak memakan nasi goreng yang Sea bawa dengan alasan belum ingin makan.
"Lagian aku mau jemput mama, kasian udah nunggu dari tadi." Rasi berdiri dari duduknya, sambil menyimpan tas di pundak.
"Kalau gitu, bawa aja nasi gorengnya." Sea menyodorkan tas kanvas ke hadapan Rasi.
"Enggak usah, kamu kasih aja ke orang lain." Rasi tetap menolak, ia kemudian beralih menatap Nolan. "Gue jemput mama dulu, nanti ke sini lagi, ya, Mas."
Sea merasa kesal dengan sikap Rasi. Ia sudah sempatkan membuat sarapan untuk pria itu, malah ditolak mentah-mentah.
"Atau kamu mau makan setelah jemput mama aja?" tanya Sea, masih berharap Rasi menerima tawarannya.
"Kan udah kubilang, kasih aja ke orang lain. Enggak usah maksa!" Rasi menyeru dengan suara tinggi.
"Kamu kenapa jadi marah-marah?" kata Sea tak kalah sengit.
"Siapa yang marah? Kamu aja yang salah paham." Rasi lalu melangkah meninggalkan ruangan itu tanpa peduli pada Sea yang raut wajahnya sudah berubah sedih.
Napas Sea memburu, ia dengan sengaja menjatuhkan tubuh ke kursi bekas Rasi duduk. Tas kanvas berisi kotak bekal makanan jatuh dari genggaman Sea.
"Rasi kenapa, sih? Sedari malem tiba-tiba dingin gitu." Sea bergumam, tetapi masih bisa didengar Nolan.
"Memang semalam kalian kenapa?" tanya Nolan, jadi penasaran.
"Kita semalam adu mulut juga, dia nyuruh aku pulang, tapi ngomongnya enggak baik-baik kayak biasa."
Nolan pun merasa aneh dengan tingkah Rasi pada Sea. Pria itu biasanya tak lepas menjahili Sea, kali ini sorot matanya saat menatap Sea terlihat dingin.
"Mungkin dia lagi punya urusan sama kerjaan, jadi imbasnya ke kamu. Biarin, ya, nanti juga baik sendiri." Nolan mengulurkan tangan, membuat Sea menyentuh lalu menggenggamnya.
"Maaf, ya, semalam aku pasti bikin kamu panik," ucap Nolan lagi.
"Iya, Mas. Aku jelas panik banget. Makanya, Mas, tuh, jangan ngeyel, deh. Kalau udah ngerasa badannya enggak enak, ya, istirahat. Jangan mentang-mentang udah pasang ring, jadi semaunya."
Nolan tersenyum, ia selalu suka melihat Sea marah-marah seperti itu. Di matanya, kecantikan wanita itu bertambah saat sedang mengomelinya.
"Kenapa senyum-senyum gitu?" Sea menyentak Nolan. Seperti biasa, ia selalu salah tingkah saat Nolan berlaku demikian. Memandanginya sambil tersenyum-senyum.
"Kamu cantik kalau lagi marah-marah," sahut Nolan membuat Sea memutar bola mata.
Sea kemudian membantu Nolan membersihkan badan dan mengganti pakaian. Namun, hati dan pikirannya masih tertuju pada Rasi. Setelah hampir tiga bulan mereka jarang bertemu, sikap Rasi jadi berubah. Hal itu jelas membuat Sea bingung.
Sementara itu, Yeti sudah siap pergi saat Rasi datang, tetapi Rasi meminta Yet menunggu sebentar sebab pria itu ingin mandi lebih dulu. Rasi tak lama dengan kegiatannya, meski setelah rapi, pria penyuka kopi hitam itu memohon pada Dita agar menunggu lagi sebentar.
"Aku laper banget, Ma. Mau makan dulu, ya?"
Yeti hanya geleng-geleng, tetapi wanita itu tetap menyiapkan bahkan menemani Rasi makan. Rasi dengan cepat menghabiskan makanannya, karena Yeti terus-menerus membicarakan Nolan, meski Rasi sudah menjelaskan keadaan kakaknya itu.
"Kamu, sih, larang Mama naik taksi. Sopir kita, kan, udah berhenti kerja, jadinya Mama kelamaan, deh, nengok Mas Nolan." Yeti menggerutu sepanjang jalan, tetapi Rasi malah tertawa-tawa kecil saja.
Bukan tanpa alasan Rasi melarang Yeti naik taksi, ia hanya tak ingin Yeti pergi tanpa ada yang menemani. Bahkan, kalau bisa rasanya Rasi ingin selalu di dekat Yeti. Andai ia tak memiliki kewajiban untuk bekerja.
"Lagian Mas Nolan udah siuman, Ma. Udah ada Sea juga yang jagain." Rasi mencoba menenangkan Yeti.
Hingga mereka sampai di ruangan Nolan, pria itu tengah diperiksa oleh seorang dokter. Yeti bisa dengar sendiri bahwa Nolan pingsan akibat kelelahan. Ia terlalu memaksakan diri dengan memadatkan jadwal operasi.
"Pinter-pinter jaga kondisi, dong. Istri masih muda gini, jangan cepat-cepat mati" ucap seorang pria berjas putih dengan name tag Prof. DR. dr. Sandy Sp.JP FIHA.
"Iya, Prof. Siapa, sih, yang mau mati cepet?" sahut Nolan.
"Tau, nih, seneng banget bikin panik orang." Rasi ikut menimpali ucapan prof. Sandy.
Kemudian mereka berbincang sebentar, lalu prof. Sandy bersama dua orang perawat keluar dari ruangan Nolan. Rasi pun ikut pamit. Ia ada janji temu dengan klien yang memesan seragam untuk acara family gathering sebuah perusahaan.
"Kalau enggak salah, CEO-nya, tuh, alumni SMA kita, angkatan elu, deh, Mas. Namanya Kama. Kenal, enggak?" kata Rasi sebelum pergi.
"Yang badannya tinggi? Ayahnya namanya Gunadi Ansar?"
"Nah, betul. Gue dapet proyek besar dari dia, Mas."
"Syukur, deh. Ya, sudah sana pergi. Jangan bikin orang nunggu. Titip salam buat Kama," ucap Nolan.
"Yang bakal ketemu gue, sih, karyawannya. Bukan Pak Kama langsung," sahut Rasi, kemudian kembali pamit. Ia berpesan pada Nolan agar lebih hati-hati menjaga diri. Rasi juga bilang pada Yeti, nanti sore dia akan kembali menjemput wanita yang telah melahirkannya itu, sedangkan pada Sea, Rasi tak bicara sepatah kata pun. Ia hanya melirik sebentar, lalu pergi tanpa mengulas senyum.
Selama perjalanan, Rasi membayangkan apa yang akan terjadi dengan kehidupan dirinya di masa depan. Pura-pura tak peduli pada Sea nyatanya sungguh menyakiti hatinya sendiri. Ia bisa lihat sorot sendu mata Sea saat tadi mereka sekilas berpandangan. Sea seolah-olah mengharapkan Rasi bicara padanya. Rasi pun melihat Sea seperti hendak bicara, tetapi tertahan karena Rasi lebih dulu pergi.
Tingkah Rasi pada Sea, tak luput dari perhatian Nolan. Ketika Sea pamit untuk makan siang dan mencari minuman segar, Nolan menggunakan waktunya membicarakan soal Rasi pada Yeti.
Awalnya, Nolan hanya bertanya soal kesehatan Yeti. Ia juga katakan agar Yeti selalu terbuka pada Nolan ketika memiliki masalah.
"Ma, Rasi pernah ngenalin perempuan yang dia sukai ke Mama?" tanya Nolan.
Dita mengerutkan kening. "Belum, padahal Mama udah sangat ingin melihat Rasi berkeluarga."
"Apa Mama tahu, siapa perempuan yang Rasi suka?"
Yeti diam, ia tak mungkin bilang pada Nolan bahwa Rasi menyukai Sea. Bisa-bisa Nolan salah paham, atau yang lebih menyeramkan, pria itu melepas Sea untuk Rasi.
"Ma, Mama liat, tidak? Tadi sikap Rasi pada Sea sedikit berbeda. Dia terlihat cuek dan dingin pada istri saya itu."
Bukan hanya Nolan yang berpikir seperti itu. Yeti pun sama, bahkan Yeti sangat tahu apa alasannya.
"Saya jadi berpikir, kalau Rasi itu menyukai Sea. Menurut Mama, gimana?"
Yeti makin bingung harus menjawab apa. Wanita itu tak terbiasa berbohong. Ia biasanya akan diam, ketimbang membicarakan hal dusta.
"Kalau Mama tahu sesuatu, tolong ceritakan sama saya!"
Nolan mendesak Yeti, membuat wanita itu akhirnya bercerita apa yang selama ini Rasi rasakan. Kali ini, ia hanya sedang menghindari Sea. Mencoba membunuh seluruh perasaan untuk istri dari Nolan itu.
"Makanya, Rasi ingin pindah. Dia ingin sejenak mengasingkan diri dari kalian. Tapi, Mama melarangnya."
Belum sampai Nolan menimpali ucapan Yeti, Rasi sudah lebih dulu datang untuk menjemput Yeti. Bersamaan dengan itu, Sea pun tiba di ruangan Nolan.
Yeti akhirnya pamit, sebab Rasi memintanya bergegas. Seperti tadi siang, kali ini, Rasi kembali acuh tak acuh pada Sea. Mata Sea sampai berkaca-kaca memandangi kepergian Rasi. Kondisi Sea, tak luput dari perhatian Nolan. Ia jadi kasihan pada Sea, juga pada Rasi.
Yeti sendiri bertanya pada Rasi, kenapa pria itu bersikap demikian pada Sea. Ia tak tega melihat raut sendu menantunya.
"Aku hanya sedang berusaha menyadarkan diri, Ma. Aku enggak boleh terus-terusan jatuh ke dalam pesona Sea." Hanya itu yang jadi penjelasan Rasi.
Saat tiba di rumah, seorang pelayan memberi tahu bahwa ada kiriman untuk Rasi. Ketika Rasi membuka kotak yang diserahkan pelayan, ia mendapati tiramisu di dalamnya. Lengkap dengan kartu ucapan.
Semoga kali ini rasanya sudah sesuai.
"Dari siapa, Ras?" tanya Yeti.
"Shaline, pemilik kafe itu."
"Gimana kalau kamu sama dia aja?"
"Nggak bisa, Ma. Kita sama Shaline beda cara log in."
"Maksud kamu apa?"
"Shaline seorang muslim, Ma."
Namanya Rasi bagus ya ...
Comment on chapter TAMAT