Rasi sengaja pulang paling akhir dari panti, sebab ingin menyelesaikan urusan dengan anak-anak. Ia hendak membahas perihal hadiah yang sudah dijanjikannya. Keinginan anak-anak untuk nonton bioskop tak Rasi kabulkan, sebagai gantinya ia hadiahkan sepatu roda pada mereka. Setelah urusan selesai, barulah Rasi pulang. Raras meminta Rasi mengantar Bellin, awalnya pria itu menolak, tetapi tak tega juga melihat kondisi Bellin.
Selama perjalanan tak ada obrolan antara kedua orang itu. Sesekali mereka hanya saling melirik, lalu kembali membuang pandangan ke samping jendela mobil. Hingga sampai di tempat tujuan, Bellin tak lantas turun, membuat Rasi keheranan.
"Sana turun, udah sampe," seru Rasi.
"Aku enggak bakal rusak rumah tangga Nolan dan Sea. Asal kamu tahu, aku udah sering ditolak sama Nolan, dan sekarang aku lebih pengen mereka sama-sama bahagia aja."
Pemaparan Bellin membuat Rasi menoleh ke arah wanita itu. Bellin lalu bercerita, saat SMA dirinya sempat menyatakan cinta pada Nolan, tetapi pria itu menolaknya begitu saja. Perasaannya hingga kini memang masih tertuju pada Nolan, meski sepenuhnya sudah rela dengan keadaan ini.
"Bulan depan aku mau ke Jepang buat lanjutin studi ngambil spesialis bedah mulut. Makanya, tadi pagi, tuh, niatnya mau bersiin akuarium si buaya. Eh, pas kuangkat malah jatoh akuariumnya.
"Pas mau kuberesin, aku malah jatoh sampe telapak tangan kiriku numpu ke atas pecahan beling, sobek, deh, jadinya, nih, tangan."
Bellin menghela napas, lalu melirik ke arah Rasi. Ia tersenyum dan mengusap punggung tangan pria yang masih memegang setir itu.
"Sesayang itu kamu sama Sea, ya, sampe enggak mau dia disakitin Nolan."
Rasi balas menoleh ke arah Bellin, ia pun tersenyum. Bellin menarik tangannya dari punggung tangan Rasi, sepertinya misi perdamaian yang dia lakukan berhasil.
"Elo pergi karena mau hindarin Mas Nolan?" tanya Rasi.
"Salah satunya, iya. Kayaknya kalau deket terus aku bakal sulit, sih, berenti suka sama dia. Aku bener-bener butuh waktu buat terbiasa tanpa Nolan."
Rasi mengangguk, lalu Bellin meraih tangan pria itu untuk digenggamnya. Rasi cukup terkejut dengan aksi Bellin, matanya sampai melebar sempurna dan hal itu membuat Bellin tertawa.
"Jangan baper, aku cuma melakukan misi perdamaian sama kamu." Bellin kemudian melepaskan tangan Rasi. Lalu wanita itu turun dari mobil setelah mengucap terima kasih karena Rasi sudah mengantarnya hingga apartemen.
Bellin aja bisa berdamai dengan dirinya, gue juga harus bisa.
Rasi lalu segera tancap gas, ia tiba di rumah saat keadaan sudah sepi. Hanya pelayan yang membukakannya pintu, yang lain sepertinya sudah tidur. Rasi memutuskan istirahat di kamar tamu saja. Pria itu tak langsung tidur setelah membersihkan diri dan menghabiskan dua batang rokok, ia malah bertukar pesan dengan teman semasa kuliahnya yang kini jadi pelanggan tetap toko kainnya.
Aro
[Kalau gitu, besok gue ke toko, ya. Sekitar jam dua, elo harus ada di sana]
Pesan dari Aro kembali masuk setelah Rasi bilang kain yang temannya itu inginkan sudah tersedia di toko. Aro sendiri adalah vendor kaus, hoodie, dan jaket yang cukup terkenal di Bogor.
Rasi membalas ok pada Aro, pria itu juga menanyakan kabar Nando. Dari balasan Aro, Rasi tahu bahwa keadaan temannya itu mulai membaik. Aro pun mengajak Rasi untuk ikut menengok Nando besok.
Rasi belum mengiakan ajakan Aro, sebab besok Rasi harus mengantar Saphan untuk chek up. Setelah acara bertukar pesan selesai, barulah Rasi merebahkan diri ke atas tempat tidur. Sosok Bellin tiba-tiba memenuhi kepalanya.
"Gue akuin, elo emang berhati luas, Bell. Bisa ngelepasin perasaan lo ke Mas Nolan dengan mengupgrade diri buat jadi lebih baik." Rasi bicara sendiri hingga akhirnya ia tidur dan bangun ketika Dita mengelus lembut pipinya.
"Sudah siang, tumben harus dibangunkan," kata Yeti setelah Rasi membuka mata dan duduk.
Rasi mengucek matanya, ia sisir rambutnya dengan jari lalu menggeliatkan badan agar otot-ototnya menjadi lemas. Yeti hanya tertawa pelan melihat aksi Rasi, kebiasaannya ketika bangun tidur itu tak pernah hilang sedari kecil.
"Semalam chatting sama Aro, jadinya aku baru bisa tidur pas udah jam satu."
Yeti sudah tahu siapa Aro, begitu pun dengan Nando. Mereka tiga serangkai saat kuliah, meski Aro tak sampai lulus menyelesaikan pendidikannya sebab sibuk menjadi artis saat itu.
"Nanti mau ke rumah sakit jam berapa?" tanya Rasi.
"Jam empat sore, ya. Kamu memang enggak capek kalau harus nganter papa?"
"Enggak, dong. I'm super hero!"
Yeti tertawa melihat aksi Rasi mengangkat lengan, memperlihatkan ototnya yang memang padat berisi. Wanita itu sampai lupa mengantarkan air hangat untuk Saphan.
"Mama lupa buat kasih minum ke papa. Kamu cepetan mandi, abis itu kita sarapan bareng." Yeti lalu pergi dari ruangan itu dengan berlari, ia takut Saphan mengambil air sendiri.
Benar saja, saat Yeti sampai dapur, Saphan tengah meminta gelas pada pelayan yang tengah membuat teh manis. Yeti segera merebut mug dari tangan Saphan. Tempo hari, tangan Saphan pernah tersiram air panas dari dispenser saat mengambil air sendiri.
"Mas, maaf, ya. Barusan saya malah ngobrol sama Rasi. Yuk, Mas balik ke meja makan, biar saya yang ambil air minumnya."
Yeti sudah bersiap mendorong kursi roda Saphan, tetapi pria itu mengangkat tangan, tanda ia menolak apa yang hendak Yeti lakukan. Saphan sudah biasa menggerakkan sendiri kursi rodanya. Terlebih beberapa waktu ini, rasanya pria itu merasa semangat menjalani hari-harinya. Berkat adanya An, dan keharmonisan Sea dan Nolan.
Hingga Saphan tiba di ruang makan, Sea, Nolan dan An pun sudah duduk di sana. Tak lama Yeti pun bergabung, membawa minuman untuk mereka semua.
"Aduh, cucu Nenek udah cantik. Mau ke mana, nih?" tanya Yeti sambil melirik ke arah An yang duduk di pangkuan Nolan. Gadis cilik itu balas tersenyum sambil menatap penuh minat pada kentang goreng di hadapannya.
"An mau ikut Dady ke apartemen, Nek." Sea dengan suara yang dibuat mirip anak kecil menjawab tanya Dita.
"Mau ngapain ke sana, Mas?" Raut riang Yeti tiba-tiba berubah saat mendengar ucapan Sea. Ia takut Nolan kembali berubah seperti kemarin.
"Mau ambil pakaian, Ma. Mau saya pindahkan ke rumah." Jawaban Nolan membuat Yeti tersenyum. Ia lega dengan keputusan Nolan.
Saphan pun mengangguk-angguk sambil tersenyum. Pria itu menggerakkan tangannya ke arah An. An pun mengangkat-angkat pantatnya seolah-olah hendak beranjak.
"Eh, tuh, kakek manggil An. Kakek, An di sini," ujar Nolan kemudian beranjak membawa An untuk mendekat ke arah Saphan.
"Kiss kakek-nya, An." Nolan sengaja mendekatkan An ke hadapan Saphan.
An menurut, gadis cilik itu mencium kedua pipi Saphan. Saphan tertawa sambil menutup mulutnya dengan tisu yang baru ia ambil dari pangkuannya. Benda tersebut selalu ada di dekatnya setiap saat.
Nolan kembali membawa An duduk, bersamaan dengan Rasi yang juga bergabung di tempat itu. Rasi menyapa An, ia acak pucuk kepala An. Ingin hati mengabaikan Sea, tetapi harum parfum wanita itu saja membuat Rasi meliriknya.
'Ras, kapan mau sadar, sih? Bener kata Bellin, bakal susah lupa kalau saban ari ketemu mulu gini.'
Rasi lalu duduk di samping Yeti. Mereka memakan hidangan pagi itu tanpa ada yang bicara. Hingga kegiatan selesai, Nolan dan Sea pamit lebih dulu sebab ingin mengambil barang yang tertinggal di kamar. Sementara itu, An dititipkan pada pelayan karena Rasi pun lupa membawa ponselnya. Yeti yang sedari acara sarapan berlangsung memperhatikan raut wajah Rasi yang terlihat murung, segera menyusul pria itu ke kamar.
"Kok, malah bengong, Ras?" Yeti masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu. Ia dapati Rasi yang malah sedang berdiri di hadapan jendela, menatap ke arah luar.
"Ma, aku mau pindah, ya, dari sini. Aku mau nempatin rumah yang di Bintaro aja. Boleh, enggak, Ma?" ucap Rasi, meski rasanya ia berat mengucapkan hal itu.
Yeti diam, ia tak rela berjauhan dengan anak bungsunya tersebut. Kondisi Saphan yang tidak normal membuatnya ingin selalu dekat dengan anak-anaknya. Rasanya sepi hanya tinggal berdua dengan Saphan, meski ada pelayan.
"Apa kamu udah tidak suka tinggal sama wanita tua ini?"
"Bukan aku enggak suka lagi tinggal sama Mama dan papa, tapi kapan aku bisa lupa sama Sea kalau selalu interaksi kayak gini?"
"Tapi, Sea juga, kan, jarang kemari. Dia dan Mas Nolan hanya menginap bukan menetap."
"Iya, sih, Ma. Tapi, kalau di Bintaro seenggaknya frekuensi ketemu sama Sea pasti lebih sedikit. Jarak dan waktu mungkin bisa melebur perasaan aku ke dia."
Penjelasan Rasi membuat Yeti mengangguk, meski berat mengiyakan keputusan putranya itu. Rasi merangkul bahu Yeti, ia kemudian menciumi pucuk kepala wanita yang memiliki tubuh lebih pendek darinya itu.
"Aku bakal sering telepon, Ma. Mama juga boleh panggil aku kapan pun Mama butuh." Rasi mencoba menghibur Dita, ia harapan Yeti pun mengerti keputusannya.
"Mama butuh kamu setiap hari, Ras. Dengan kondisi papa seperti saat ini, Mama butuh kalian." Yeti bicara penuh penekanan. Ia akan merasa sulit bila berjauhan dengan kedua anaknya.
Rasi diam, ia sadar telah melukai hati Yeti. Namun, ia juga ingin merawat hatinya agar tak selalu jatuh pada Sea setiap waktunya.
"Tapi, Mama juga mau kamu nyaman. Kalau memang pindah rumah membuatmu bisa berdamai dengan diri, Mama cuma bisa mendukung."
Perkataan Yeti membuat Rasi mengembangkan senyum. Ia menggeser bahu Yeti, lalu kembali meraihnya untuk dipeluk.
"Makasih, Ma. Udah ngertiin aku. Mama bisa hubungi aku kapan pun Mama butuh," ujar Rasi.
"Mama harap, kamu bisa berdamai sama diri kamu, Ras. Cari wanita lain, obati luka hatimu."
"Rasi bakal usahain, Ma. Makanya Rasi butuh waktu buat tinggal sendiri."
Baru saja Yeti akan menimpali ucapan Rasi, pelayan rumah berteriak memanggil nama Yeti. Yeti pun refleks berlari dan mendapati pekerjanya itu di depan pintu kamar.
"Bapak jatuh dari kursi roda, Bu." Kabar dari pelayan tersebut membuat Yeti dan Rasi segera menuju ruang tamu.
"Tadi, saya sedang ke dapur mengambil lap. Saya tinggalkan An sebentar, sepertinya bapak hendak mengejar An yang sedang berjalan menuju pintu utama." Pelayan itu menjelaskan kejadian yang dialami Saphan ketika Rasi mengangkat tubuh ayahnya itu untuk dibaringkan ke kursi.
Di saat seperti itu, Nolan dan Sea datang. Keduanya bertanya ada apa dan mendapat penjelasan dari Yeti. Nolan menyarankan agar Saphan dibawa ke rumah sakit saja, agar mendapat pemeriksaan lebih rinci.
Nolan pun cekatan menyiapkan mobil, lalu kembali ke ruang tamu untuk menggotong tubuh Saphan bersama Rasi. An sengaja dititipkan pada Yeti, sebab Sea dan Dita pun ikut ke rumah Sakit.
Dalam perjalanan, Saphan sempat mengeluh kesakitan di bagian lutut hingga tak lama pria itu tertidur di pangkuan Yeti.
Papa harus bertahan, Pa. Rasi yang duduk di samping Dita terus mengusap kaki Saphan yang berada di pangkuannya. Yeti pun tak henti mengelus kepala Saphan. Sea yang duduk di kursi depan juga sesekali menengok ke belakang, sedangkan Nolan fokus menyetir.
Namanya Rasi bagus ya ...
Comment on chapter TAMAT