Waktu masih menunjukkan pukul 20.00, tetapi Nolan dan Sea memutuskan ke rumah Dita setelah makan malam. Keduanya tak membawa serta An, sebab gadis kecil itu tak mau lepas dari Rasi. Sesampainya di rumah Dita, Sea dan Nolan berbincang sebentar dengan wanita itu. Kemudian mereka memutuskan naik ke lantai atas. Sea membuka pelan pintu kamarnya, Dita sepertinya sudah merapikan ruangan itu. Seprai dan meja riasnya terlihat bersih mengilap.
"Aku dulu sering liatin Mas Nolan dari sini," kata Sea sambil berjalan menuju jendela dan menyingkap gordennya.
"Iya, aku juga sering liat kamu berdiri di sini kalau mau buka pagar." Nolan ikut berdiri di depan jendela bersama Sea.
"Apa yang Mas pikirkan tentangku saat itu?" tanya Sea menoleh ke arah suaminya.
"Kurang kerjaan, ngapain liatin orang dari balik jendela. Kenapa enggak langsung aja samperin?"
Jawaban Nolan membuat Sea tertawa. Ia lalu memeluk lengan Nolan dan menyandarkan kepala di sana.
"Apa saat itu Mas udah ada rasa suka ke aku?"
"Sepertinya belum, aku tidak memikirkan wanita saat itu. Aku hanya fokus pada studi, gimana caranya biar bisa lulus dengan cepat."
"Ternyata Mas Nolan flat banget, enggak asyik!" Sea menyeru sembari memukul lengan Nolan, membuat pria itu tertawa.
Detik berikutnya, tak ada lagi perbincangan di antara mereka berdua. Sea fokus melihat ke arah rumah mertuanya, Nolan pun melakukan hal sama. Di rumah itu, hidup Nolan banyak berubah. Ia mendapatkan kemewahan dan kehangatan di sana. Tak perlu lagi bingung besok mau makan apa, sebab Saphan sudah menjamin semuanya.
Beda dengan kehidupan sebelumnya, bapak Nolan hanya seorang buruh kasar. Bekerja bila ada panggilan saja. Selebihnya banyak menganggur di rumah. Yeti kala itu sibuk mencari uang tambahan menjadi tukang cuci keliling dengan upah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
"Aku kadang tidak menyangka akan memiliki kehidupan seperti sekarang. Kemewahan, jabatan, serta kamu," ucap Nolan memecah keheningan.
"Nah, kalau hal berat saja mampu Mas lewati, kenapa Mas malah takut menghadapi penyakit ini? Pengobatan makin canggih, Mas. Aku yakin Mas bisa bertahan." Sea melepaskan lengan Nolan. Ia lalu kembali menutup jendela, tak sengaja matanya menatap sosok Rasi di seberang sana. Pria itu terlihat menyingkap gorden, kemudian menutupnya kembali dengan cepat.
"Barusan, tuh, Rasi, ya, Mas?" tanya Sea sambil melirik Nolan. Wanita itu memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.
"Iya, kayaknya. Kamu lihat juga?" Nolan balik bertanya membuat Sea mengangguk.
"Jangan-jangan An nangis, ya, Mas? Aku ke sana buat mastiin, ya?"
"Nggak usah, Hun! An pasti sudah Rasi bawa ke sini kalau memang rewel. Aku hanya ingin berdua saja denganmu malam ini."
Ucapan Nolan membuat Sea mengangguk, wanita itu kemudian izin ke kamar mandi dan berganti pakaian. Setelah itu, Sea duduk di depan meja rias dan mengaplikasikan produk kecantikan ke wajahnya. Mulai dari krim pembersih, penyegar, sampai serum anti penuaan dini. Nolan yang baru selesai berganti pakaian, berdiri di samping Sea sambil sesekali tersenyum melihat pantulan wajah istrinya itu dari cermin.
"Mas mau aku bersihin juga mukanya?" tanya Sea setelah selesai dengan kegiatannya.
"Tidak usah, aku barusan sudah cuci muka pakai sabun."
"Sabun mandi, loh, itu!" Sea memekik keras sambil berdiri. "Aneh-aneh aja kamu, Mas!"
"Yang penting ada busanya."
Sea tertawa mendengar ucapan Nolan, ia kemudian menuju tempat tidur sebab sudah merasa lelah. Wanita itu ingin segera merebahkan tubuh. Namun, baru saja Nolan hendak menyusul Sea ke tempat tidur, ia mendapat telepon dari dokter jaga IGD. Rekan Nolan itu memberi tahu bahwa ada pasian dengan kasus usus buntu pecah, sedangkan dokter bedah yang piket malam itu terpaksa pulang satu jam lalu sebab istrinya meninggal.
Dari hasil laporan rekannya, Nolan memutuskan segera ke rumah sakit saat itu juga. Sebagai penanggung jawab dokter bedah, ia merasa harus menangani pasien yang keadaanya tengah parah tersebut.
"Mas mau ke rumah sakit sekarang?" tanya Sea setelah mendengar Nolan berkata pada lawan bicaranya di telepon bahwa ia akan ke rumah sakit saat itu juga.
"Iya, ada pasien yang usus buntunya pecah, sedangkan dokter piketnya lagi mendapat musibah. Aku pergi sekarang, ya?"
Nolan bicara sambil sibuk mengambil pakaian dari tas. Ia masuk ke kamar mandi dan mengganti pakaian di sana. Tak lama pria itu kembali ke hadapan Sea, sedangkan Sea masih duduk di atas tempat tidur.
"Selesai operasi aku langsung pulang, ok?" Nolan berkata sambil memakai arloji.
"Kalau gitu, aku balik ke rumah orang tuamu, ya, Mas. Mau tidur di sana aja sama An." Sea kemudian beranjak.
"Maaf, ya, Hun." Nolan menjegal lengan Sea ketika wanita itu hendak melangkah. Sea hanya mengangguk sembari melempar senyum.
"Ganti dulu bajunya kalau mau ke rumah mama, pakai yang lebih tertutup!"
Sea mengangguk, ia juga berpikir tidak mungkin ke rumah mertuanya mengenakan gaun malam yang pendek nan tipis. Wanita itu dengan cepat mengganti pakaian dan pergi ke rumah Yeti setelah pamit pada Dita.
Pintu rumah Yeti belum dikunci, Sea bisa masuk tanpa menekan bel. Wanita itu juga mendapati Dita masih menonton televisi.
"Hai, Sea! Ada yang ketinggalan?" tanya Yeti menyapa Sea yang berjalan ke arahnya.
"Enggak ada, Ma. Aku mau tidur di sini aja, soalnya Mas Nolan mendadak harus ke rumah sakit," jawab Sea tidak semangat.
"Ada apa Nolan mendadak pergi ke rumah sakit?"
"Mas Nolan harus operasi pasien yang mengalami pecah usus buntu, Ma."
Yeti menghela napas pelan, sebagai seorang istri beliau bisa merasakan kekecewaan Sea. Pantas saja dulu Saphan sempat beberapa kali bertanya pada Nolan tentang kesiapannya menjadi dokter. Saphan bilang, Nolan harus mampu totalitas dalam mengemban tugas sebagai tenaga kesehatan. Ia harus siap sedia bila dibutuhkan kapan saja.
"Ya sudah, sana ke kamar Rasi! An sudah tidur di sana, nanti biar Rasi tidur di kamar tamu saja."
Sea pamit dari hadapan Yeti, ia berjalan gontai menuju lantai atas rumah tersebut. Sea masuk ke kamar Rasi setelah mengetuk pintu tiga kali. Wanita itu mendapati Rasi sedang duduk menghadap laptop yang tengah menyala.
"Eh, kenapa balik lagi?" Rasi berdiri menghampiri Sea yang berdiri dekat tempat tidur.
"Mas Nolan ke rumah sakit lagi."
"Ngapain? Mas Nolan udah berubah, kan?"
Sea tertawa, ia lalu menceritakan kenapa Nolan harus kembali ke rumah sakit. Wanita itu juga katakan Nolan akan segera pulang setelah urusannya selesai.
Setelah itu, Sea yang memang membawa laptop naik ke atas tempat tidur dan duduk di samping An yang tengah terlelap. Ia memutuskan akan melanjutkan menulis ceritanya sebelum tidur. Rasi pun kembali fokus pada laptop. Ia sedang memilih rancangan produk pakaian olahraga yang akan diproduksi konveksi milik papanya.
Dalam ruangan bercat putih itu, Sea dan Rasi tidak saling bicara. Mereka larut dalam kegiatan masing-masing. Namun, Rasi beberapa kali melirik Sea, ia bahkan sempat tertegun menatap Sea yang tetap terlihat cantik ketika sedang mengetik.
Hingga akhirnya, wanita itu tertidur di samping An dengan laptop yang masih menyala. Rasi segera mendekat ke arah Sea. Rupanya Sea sudah menyimpan tulisannya, hanya belum mematikan laptop saja.
Rasi perlahan mengangkat laptop yang ada di ujung kaki Sea yang tengah berbaring. Ia pindahkan laptop tersebut ke meja. Rasi kemudian kembali ke tempat tidur dan menyelimuti Sea hingga sebatas pinggang.
Rasi memandangi wajah Sea yang tengah terlelap, meski mulutnya terbuka, bahkan terdengar dengkuran halus dari bibir Sea, wanita itu tetap memikat Rasi. Tanpa sadar Rasi yang sedang berdiri membungkukkan dirinya agar bisa mendekat ke wajah Sea. Bibir Rasi hampir saja mengecup kening Sea seandainya An tak merengek. Di saat seperti itu, Dita masuk setelah mengetuk pintu. Wanita itu datang membawa susu untuk An.
"An kalau malam suka minum susu formula soalnya, jadi Mama siapkan tadi." Yeti langsung memasukkan botol ke mulut An dan langsung An isap penuh minat. Balita itu bahkan sudah bisa memegang botol meski dalam keadaan mata terpejam.
"Aku ke kamar bawah dulu, ya, Ma."
Rasi pamit setelah merapikan laptopnya dan laptop Sea. Ia pergi membawa bantal kesayangannya, meski belum tentu pria itu dapat tidur dengan nyenyak. Pikirannya sedang kacau sebab terus-menerus dihantui oleh Sea.
Rasi masuk ke kamar tamu yang jarang dihuni, tetapi ruangan tersebut tetap bersih dan nyaman. Benar saja, pria itu tak dapat langsung terpejam, ia memilih berdiri di depan jendela dan membuka benda tersebut. Pria itu juga menyulut rokok untuk menikmati kesunyiannya.
"Harusnya gue enggak terus-menerus penasaran sama Sea!" Rasi bicara sendiri sambil membuang puntung rokok ke luar jendela.
"Ayolah! Jangan gila, otak! Sea itu udah milik kakak gue!" Rasi kembali menyulut rokok dan menyesapnya dengan gelisah. Baru habis setengah sudah ia lempar ke luar jendela.
Baru Rasi akan menyulut rokok ketiganya, pintu kamar diketuk menyusul suara Dita memanggil nama Rasi. Rasi lekas memasukkan kembali gulungan tembakau tersebut ke tempatnya. Ia lalu berjalan ke arah pintu dan membuka benda tersebut.
"Kenapa belum tidur?" tanya Yeti begitu berhadapan dengan Rasi.
"Belum ngantuk, Ma."
Yeti kemudian berjalan menuju tempat tidur dan duduk di tepinya. Beliau pun menyuruh Rasi duduk di sampingnya.
"Kamu habis merokok, ya?"
"Iya, Ma. Sedikit."
"Rasi, Mama, kan, sudah bilang jangan merokok di dalam kamar. Apalagi malam-malam begini," kata Yeti sambil merangkul bahu putranya.
"Enggak bisa tidur, Ma. Jadi iseng." Rasi berusaha membuat pembelaan diri.
"Enggak bisa tidur karena memikirkan Sea?" Pertanyaan Yeti membuat Rasi membelalakkan mata. Ia lekas menggeleng sambil tertawa masygul.
"Jangan bohong sama Mama!"
Sejujurnya, Yeti tadi melihat Rasi yang sedang membungkuk di hadapan Sea. Posisi Rasi terlihat seperti hendak mencium kening Sea. Yeti selama ini pun sering mengamati tingkah Rasi pada Sea. Wanita itu menangkap sorot lain dari mata Rasi saat menatap Sea. "Sejak kapan, Ras?" Yeti meraih tangan Rasi untuk ia genggam. "Kamu enggak bisa bohong sama Mama. Meski Mama enggak bisa bantu apa-apa, seenggaknya kalau cerita kamu bisa sedikit mengurai sesak dalam dada."
Sebelum Sea menikah dengan Nolan, Yeti sempat berpikir bahwa Rasi mencintai wanita itu. Yeti awalnya mengira Nolan akan menolak perjodohan dengan Sea, tetapi ternyata putra pertamanya itu malah menerima. Sejak saat itu, Yeti sering dihantui rasa bersalah pada Rasi.
"Maafkan Mama yang enggak bisa bantu menyembuhkan luka hati kamu, Ras!" Suara Yeti bergetar menahan tangis. Biar bagaimana, Rasi adalah darah dagingnya. Yeti juga ingin Rasi bahagia.
"Ma, aku baik-baik aja. Percaya sama aku!"
Yeti menoleh pada Rasi dan menatap lekat pria itu. Rasi memang lebih ceria dari Nolan. Pria itu pun lebih pintar mengekspresikan perasaan pada Dita dibanding Nolan. Sudah dewasa pun, Rasi masih sering tidur di pangkuan Dita.
"Mama mau Rasi bahagia juga. Temukan wanita yang pantas mendapatkan cintamu, Nak!"
Rasi mengangguk, lalu memeluk Yeti. Air mata Yeti kali ini tak dapat dibendung, ia menangis tanpa suara untuk kesakitan yang Rasi alami. Rasi memang tak menjelaskan apa-apa, tetapi Yeti bisa mengartikan perasaan Rasi lewat gerak tubuh dan sorot matanya saat memandang Sea. Ada cinta dan kasih untuk Sea dalam mata Rasi.
"Rasi pasti bahagia, Ma. Kalau udah waktunya pasti Rasi bawa seseorang ke hadapan Mama." 'Meski gue enggak yakin bisa secepet itu lupain Sea. Di saat gue makin pengen deket sama dia.'
Namanya Rasi bagus ya ...
Comment on chapter TAMAT