Dua hari setelah Rasi membicarakan perihal ulang tahun An dengan Sea, pria itu membuat janji temu dengan Nolan. Awalnya Rasi mengajak kakaknya untuk berjumpa di restoran, tetapi Nolan menolak. Ia malah menyuruh Rasi datang ke apartemen yang selama ini ia tinggali.
Rasi datang pukul 20.30, tepat ketika Nolan baru beberapa menit tiba di unitnya. Wajah Nolan terlihat pucat ketika Rasi datang. Pria itu juga tampak kurus dalam pandangan Rasi.
"Lo udah chek up lagi, kan, Mas?" tanya Rasi sambil meneliti wajah Nolan.
"Udah, beberapa hari lalu saya habis periksa. Semua baik-baik saja," jawab Nolan.
"Muka lo pucat banget, Mas!" Rasi yang duduk bersebelahan dengan Nolan pada sofa panjang, meletakkan punggung tangannya di dahi Nolan. "Tapi, enggak panas," ucap Rasi, sangat pelan.
"Saya memang baik-baik saja!" Nolan sedikit meninggikan suaranya.
"Muka lo pucat!" Rasi balas bicara dengan nada tinggi.
"Saya hanya kelelahan saja, hari ini banyak menangani pasien. Jadwal saya di luar dugaan." Nolan bicara sambil memijat pangkal hidungnya. Tenggorokannya pun terasa sakit. Mungkin karena kurang minum.
"Pasti dokter nyaranin lo buat pasang ring, kan?" Rasi berusaha menebak apa yang terjadi ketika Nolan diperiksa kemarin.
"Iya, kan, Mas? Dan lo pasti nolak lagi?" ucap Rasi lagi sambil menonjok pelan rusuk Nolan.
Nolan hanya mengangguk sebagai jawaban. Perbuatannya itu, membuat Rasi memukul udara di hadapannya. Rasi tak habis pikir dengan cara Nolan menghadapi penyakitnya ini. Kakaknya itu terlalu pasrah atas apa yang menimpanya.
Masih jelas dalam ingatan Rasi, setahun lalu, dirinya menemukan Nolan pingsan di apartemennya ini. Kala itu, Rasi langsung membawa Nolan ke rumah sakit.
Selang beberapa hari dari kejadian pingsannya Nolan, Rasi dapat kabar bahwa Nolan mengidap sakit jantung. “Saya minta kamu rahasiakan ini dari siapa pun, Ras. Termasuk Sea dan keluarganya.” Ucapan Nolan pun hingga kini masih Rasi pegang teguh.
Hingga dua pekan jelang pernikahan Sea dan Nolan, Rasi kembali menemui kakaknya itu di rumah sakit. Rasi hanya ingin tahu, kenapa Nolan malah ingin merahasiakan sakitnya dari Sea.
“Saya tidak mau Sea mengasihani saya, Ras.” Jawaban Nolan kala itu tak bisa dipahami Rasi. Harusnya Nolan terbuka pada Sea, siapa tahu wanita itu justru menjadi obat paling mujarab untuk Nolan.
"Rasi! Kok, malah bengong, sih?" Nolan memukul bahu Rasi. Membuat lamunan pria itu buyar.
"Kamu mau minum apa? Biar saya buatkan." Nolan kemudian berdiri, melangkah menuju dapur bersih yang masih terhubung dengan ruang tamu. Hanya disekat oleh sebuah rak buku.
Dua tahun yang lalu, Nolan memutuskan membeli apartemen ini. Ia sengaja tak memilih komplek perumahan dengan alasan agar memiliki ruang bebas untuk bergerak. Privasinya bisa lebih terjaga, begitu alasan Nolan saat Yeti dan Saphan bertanya mengapa malah ingin tinggal di apartemen.
Baru saja Rasi akan berdiri hendak menyusul Nolan ke dapur, matanya malah tertuju pada foto pernikahan Nolan dan Sea yang menggantung di dinding. Rasi melempar punggungnya ke kursi, menikmati rupa Sea yang sedang tersenyum dalam potret.
Dua tahun lalu, Rasi sebetulnya memiliki niat untuk mengutarakan perasaannya pada Sea. Ia yang kala itu sudah dipercaya oleh orang tua untuk mengelola toko kain dan konveksi, makin percaya diri untuk mengungkap cinta pada wanita yang diam-diam ia suka.
Namun, niatnya urung begitu mendengar bahwa Sea akan dijodohkan dengan Nolan. Saat itu Rasi sempat murung, ia bahkan tak pulang ke rumah selama satu bulan. Rasi merasa terpuruk. Cintanya pada Sea yang tercipta sejak remaja, harus ia relakan begitu saja demi kelancaran perjodohan Nolan dan Sea. Belum lagi berita yang ia dengar dari teman-teman Sea lewat pesan grup alumni. Kabar itu mengatakan bahwa Sea memang sejak lama mengidolakan Nolan. Rasi bertambah yakin harus mengubur perasaannya pada Sea.
"Nih, coklat panas aja, ya, minumnya!" Lagi-lagi lamunan Rasi buyar oleh ucapan Nolan. Pria yang tengah memakai kacamata itu, meletakkan cangkir berisi minuman coklat yang masih mengepulkan uap tipis ke hadapan Rasi.
"Makasih, Mas. Harusnya gue bikin sendiri aja," ucap Rasi sambil meletakkan telapak tangan di atas cangkir. Ia bisa merasakan kehangatan menjalar di tangannya.
"Mama sehat, kan, Ras?" tanya Nolan, malah mengalihkan pembicaraan.
"Sehat, cuma papa aja yang makin payah kayaknya." Rasi menerangkan apa yang tengah dialami Saphan.
"Tapi, papa masih sering kontrol, kan?" tanya Nolan lagi.
Rasi mengangguk, ia lalu menyesap minumannya penuh minat. "Enak banget, Mas. Beli di mana coklatnya?" tanyanya setelah meletakkan kembali cangkir ke atas meja.
"Itu kayaknya punya Bellin, dia kemarin habis dari sini." Jawaban Nolan membuat kedua alis Rasi bertaut.
"Bellin sering ke sini, Mas?" tanya Rasi, dengan mata memicing.
"Tidak sering. Kalau ada perlu saja. Kemarin dia antar pakaian saya yang baru dicuci," jawab Nolan seraya menyandarkan punggung ke kursi.
"Sejak kapan Bellin punya usaha laundry?" Rasi menggeleng sambil menunjuk wajah Nolan. "Jangan terlalu deket sama dia. Biar gimana, Bellin itu wanita."
"Siapa bilang pria? Saya dan dia berteman sejak kecil." Nolan menangkap telunjuk Rasi yang masih tertuju pada wajahnya.
"Enggak ada pertemanan yang murni antara cowok dan cewek, Mas. Kalau enggak si cewek yang baper, ya, bisa jadi cowoknya," tutur Rasi membuat Nolan melepaskan telunjuk adiknya itu.
Nolan tertawa masygul. "Seperti kamu ke Sea juga, ya?" ucap Nolan membuat air muka Rasi berubah tegang. "Kamu suka, kan, Ras sama Sea?" kata Nolan lagi.
Rasi menggeleng cepat. "Jangan memutar balikkan fakta! Kita lagi ngomongin Mas dan Bellin. Mas Nolan tetap harus jaga jarak sama cewek itu!" Rasi menekan setiap kalimat yang diucapkannya.
Rasi tidak bisa menerima andai Nolan menduakan Sea. Dirinya sudah merelakan Sea untuk Nolan, jelas pria itu tak ikhlas bila Sea disakiti.
"Yang saya cintai hanya Sea. Kamu tahu itu, kan, Ras?" Meski saya tak pandai menunjukkan cinta itu.
Pengakuan Nolan membuat Rasi mengangguk. Hanya saja, pria itu merasa Nolan terlalu menyia-nyiakan Sea selama ini. Meski segala kebutuhan dan kenyamanan Sea selalu Nolan penuhi. Namun, nyatanya Sea tetap merasakan kesedihan.
"Mas nanti pulang, kan, saat An ulang tahun?" Rasi akhirnya mengutarakan maksud dan tujuannya datang menemui Nolan. Ia pun sebetulnya ingin bilang pada Nolan bahwa Sea sudah tahu perihal penyakitnya. Namun, ia berpikir ada baiknya Sea saja yang nanti memberi tahu Nolan.
Nolan mengangguk. "Tentu saja, Ras. Saya juga tidak mau kehilangan momen pertama hari jadi An."
"Mas juga bisa, kan, mulai menjalin hubungan baik dengan Sea?" Ucapan Rasi langsung dihadiahi gelengan oleh Nolan.
"Kasian Sea, Mas!"
"Lebih kasihan lagi kalau Saya nantinya meninggalkan dia, Ras! Dia tidak boleh bergantung pada saya!"
"Kita bisa upayakan yang terbaik untuk kesehatan, Mas. Pasang ring sesuai anjuran dokter!"
Nolan menggeleng, ia masih belum siap untuk hal itu. Dulu saja, bapak tetap meninggal meski melakukan pasang ring. Umur manusia sudah diatur Tuhan, jadi untuk apa memasang benda tersebut pada organ tubuh bila akhirnya meninggal juga. Begitu pikir Nolan.
"Jangan pasrah gini, dong, Mas!" Rasi menyentak Nolan, membuat sang kakak membalasnya dengan sorot mata tajam.
"Daripada kamu sibuk meminta saya memasang ring. Bagaimana kalau kamu saja yang mengupayakan diri agar Sea jatuh cinta sama kamu?" Saran dari Nolan lekas ditertawakan Rasi.
"Jangan gila, Mas! Sea cuma cinta sama lo. Sejak kemarin, hari ini, hingga hari-hari esok!" Rasi berteriak, pria itu sangat kesal pada Nolan.
Nolan mengembuskan napas pelan, ia memejamkan mata lalu mengusap kasar wajahnya. "Maaf, Ras. Tidak seharusnya kita jadi debat gini," ucap Nolan menyesali perbuatannya.
"Gue cuma mau elo sama Sea bahagia. Enggak saling menyakiti kayak sekarang." Rasi bicara tanpa menoleh pada kakaknya.
"Terima kasih udah peduli sama saya." Nolan bicara sambil merangkul bahu Rasi. "Tidak usah pulang, tidur di kamar sebelah. Bersih, kok, ruangannya!" Setelah itu, Nolan pamit lebih dulu ke kamarnya untuk istirahat.
Rasi tertawa, seolah-olah meledek dirinya sendiri. "Cinta dalam diam, ngenes banget lu, Ras!" Pria itu kemudian beranjak dari sofa setelah mengatai diri sendiri. Ia masuk ke kamar yang memang sering ditempatinya bila berkunjung ke apartemen Nolan.
"Dialog dalam hati, tanpa kata yang terucap pada Sea." Rasi bergumam sambil duduk di tepi tempat tidur. "Selamanya perasaan ini hanya akan tersimpan rapi di sini, Sea," kata Rasi lagi sambil menyentuh dada kirinya.
"Aku cuma bisa dengan cara ini menunjukan kasih sayang ke kamu. Semoga Mas Nolan mau berubah setelah ini." Rasi bicara pada diri sendiri sambil merebahkan tubuh, hingga di menit berikutnya ia mulai tertidur lelap.
Semangat sea
Comment on chapter Bab 1