“Udah bisa fokus pilih konsep untuk ulang tahun An?” tanya Rasi setelah beberapa saat kepala Sea bersandar di perutnya.
Sea kembali duduk tegak, lalu mengangguk. “Pakai konsep rumah sakit gimana, Ras? Jadi, yang cowok kita kasih jas putih yang cewek kasih topi suster.” Sea menoleh pada Rasi membuat pria itu kembali duduk.
“Boleh juga, tuh. Buat bingkisannya mau apa?” Rasi kembali membuka layar ponsel. Bersiap menghubungi EO milik kawannya.
“Untuk bingkisan, aku juga pengennya mainan alat medis,” kata Sea sambil meraih ponsel di meja, lalu mencari foto dalam galeri. “Ini aku lihat di toko mainan anak, aman kok buat batita,” ucapnya saat Rasi baru saja membuka mulut seperti hendak protes. “Aku juga punya anak, udah pasti mikirin keselamatannya saat bermain.” Sea meyakinkan Rasi.
“Ok, berarti kamu urus soal bingkisan. Aku urus kostum dan acara. Buat katering minta tolong ke mamamu bisa, kan?” Rasi bicara sembari mengetik pesan untuk temannya.
“Mama pasti bisa. Kenalannya banyak yang buka katering dan rasanya enak-enak,” ucap Sea. Lalu, ia berdiri dan berjalan menuju dapur. Wanita itu mengambil minuman ringan dari lemari pendingin dan menuangkannya ke dalam gelas. Sea juga memberikan beberapa potong es batu.
Tak lama, wanita berambut panjang itu kembali ke hadapan Rasi membawa segelas besar minuman dingin dan satu stoples keripik jagung. Ia mempersilakan Rasi menikmati makanan itu.
“Tumben banget baik gini,” ucap Rasi sambil mengambil gelas dari Sea. Kemudian pria itu menenggak minuman dengan rakus sampai menghabiskan setengahnya. Bahkan Rasi sendawa setelahnya.
“Pelan-pelan, Ras. Aku enggak mau dengar ada orang mati sehabis minum cola!” Sea mengomeli cara minum Rasi.
“Depan kamu doang aku kayak gini.” Rasi malah cengar-cengir sambil meletakkan gelas ke atas meja.
“Biar begini juga aku tetap kakak ipar kamu! Sopan dikit, lah!” Sea menyentak Rasi. Ia paling kesal mendengar orang sendawa setelah makan atau minum.
Rasi menggigit bibir bawahnya sambil menyandarkan punggung pada kursi. Iya, dia kakak ipar gue. Gue suka lupa, menginginkan Sea adalah hal mustahil.
“Gimana, kamu udah dapat penyelenggara acara yang bagus?” tanya Sea membuyarkan lamunan Rasi. “Mahal, enggak? Nanti aku kirim uangnya ke rekening kamu.” Sea sudah siap-siap saja membuka aplikasi mobile banking.
“Mas Nolan udah kasih aku uang, Sea. Bahkan untuk katering dan bingkisan juga lebih dari cukup. Justru, aku yang mesti kirim uang ke rekening kamu.” Penjelasan Rasi membuat mata Sea memelotot. Ia bahkan menutup mulutnya yang tengah menganga.
“Jadi, kamu melakukan ini karena disuruh Mas Nolan?” Sea berteriak membuat Rasi refleks menutup mulut wanita itu.
“Enggak usah teriak juga kali.” Rasi lekas kembali melepaskan tangan dari mulut Sea. “Nanti An bangun, gimana?”
Sea kembali teringat sesuatu tentang Nolan. Ia rasa sekarang adalah waktu yang pas untuk menanyakan tentang masa lalu Nolan.
“Ras, tolong ceritakan masa lalu Mas Nolan yang pernah tinggal di panti ke aku,” kata Sea seraya memegang lengan Rasi. “Aku udah tahu tentang sakit yang Mas Nolan derita, jadi jangan sembunyikan apa-apa lagi dari aku,” ujar wanita yang memakai soft lens hijau itu dengan nada penuh permohonan. Sea sampai mengatupkan kedua tangan di bawah dagu.
“Aku mohon, Rasi. Aku enggak mau pernikahan kami seperti ini. An butuh sosok ayah, aku pun enggak mau selalu merasakan kekosongan di sini.” Sea menunjuk dada kirinya.
Rasi menghela napas panjang. Sebetulnya ia sudah berjanji pada Nolan untuk tidak menceritakan masa lalu kakaknya itu pada siapa pun, termasuk Sea. Namun, Rasi juga tak tega melihat keadaan Sea yang terlihat sedih.
“Ras, tolonglah.” Sea kembali memohon, membuat Rasi makin tak tega.
“Ayah Mas Nolan meninggal saat usia Mas Nolan sembilan tahun,” ucap Rasi, mengawali ceritanya. “Tiga bulan kemudian, mama sakit. Kamu tahu, kan, aku dan Mas Nolan hanya satu ibu, tapi beda ayah?” ucap Rasi lagi, membuat Sea mengangguk.
“Nah, saat mama sakit bahkan hampir bunuh diri, datanglah teman mama yang merupakan pengurus panti asuhan. Sejak saat itulah, Mas Nolan dan mama pindah ke panti.” Perkataan Rasi mulai membuat Sea paham.
“Lalu, papa yang memang donatur tetap di panti itu, bertemu dengan mama saat berkunjung ke sana. Sampai akhirnya, papa memutuskan menikahi mama. Papa juga sayang sama Mas Nolan, karena dia penurut dan pintar.” Penjelasan Rasi makin dipahami Sea.
“Aku kira Mas Nolan enggak pernah melewati masa sulit dalam hidupnya, Ras.” Sea meremas pinggiran rok yang dipakainya. “Kamu juga tahu perihal Mas Nolan sakit dan alasan dia menjauhiku?” Sea menatap penuh tudingan pada Rasi.
Rasi hanya mengangguk. Ia tak mungkin bilang pada Sea bahwa Nolan pun meminta Rasi membuat Sea jatuh cinta padanya. Rasi memang mencintai Sea, tetapi ia juga cukup tahu diri.
“Aku mau buat Mas Nolan mengubah cara berpikirnya, Ras. Aku pasti menemani Mas Nolan sampai kapan pun.” Ucapan Sea membuat Rasi merasakan denyut nyeri di dada kiri. Namun, pria itu tetap menampilkan senyum terbaiknya.
"Maaf, ya, Sea, aku baru jujur sekarang."
"Enggak apa-apa, mungkin memang sekarang waktunya."
“Aku dukung kamu, Sea. Bilang aja kalau kamu butuh apa-apa,” ucap Rasi sungguh-sungguh. Rasi berpikir, ia harus mulai bisa merelakan perasaannya pada Sea. Ia akan bahagia bila Sea pun bahagia. Bagi Rasi, mencintai Sea bukan berarti dirinya harus memiliki wanita itu.
“Makasih, Ras. Meski kamu menyebalkan. Aku tahu, kamu sebetulnya baik.” Sea balas berkata penuh kesungguhan.
“Sama-sama,” ucap Rasi, pendek. Kemudian, pria itu menatap arloji pada pergelangan tangan. “Aku pulang, deh, udah selesai juga, kan, urusan kita. Tinggal eksekusi.” Rasi kemudian menenggak habis minumannya, lalu pergi dari rumah Sea.
Setelah sampai rumah, Rasi mengirim pesan pada Nolan. Ia katakan pada sang kakak bahwa urusan ulang tahun An sudah beres.
Sementara itu, Nolan baru membuka pesan dari Rasi keesokan harinya ketika sedang makan siang. Nolan pun lekas membalas, ia katakan terima kasih pada sang adik. Selanjutnya Nolan kembali fokus pada makanan.
Selesai makan, Nolan meneliti tempat bekal yang dipegangnya. Ia seperti pernah melihat bentuk, warna, bahkan merek dari benda tersebut. Namun, memorinya tak dapat mengingat dengan jelas di mana ia melihatnya.
“Cuma kotak bekal aja sampe sedalam itu kamu mikirinnya, Nolan.” Bellin yang memang sedari tadi ada di ruangan Nolan mencibir perbuatan rekannya itu.
“Lebih baik pikirin An. Kamu bukannya cepetan pulang, ikut siapin semua keperluan ulang tahun bareng istrimu,” kata Bellin lagi, membuat Nolan menatap lurus pada wanita itu.
“Bawel, saya tahu apa yang harus saya lakukan.” Nolan bicara nyaris tanpa suara, tetapi tetap bisa didengar Bellin.
“Kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan. Semua yang kamu lakukan itu salah!” Bellin menyentak sambil memutar bola mata.
“Kamu tahu apa, sih, soal hidup saya?” ucap Nolan tak kalah sengit. Ia dan Bellin bertemu saat di panti. Bila Nolan saat usia sembaialan tahun datang ke tempat itu, sedangkan Bellin sudah sedari bayi merah tinggal di sana.
“Aku tahu semuanya, termasuk sakit jiwa —” Belum sempat Beliin meneruskan kalimatnya, ponsel dalam saku jas putihnya berbunyi.
“Dokter Bellin, ada titipan makan siang untuk dokter. Saya di depan ruangan dokter.” Bellin membaca dengan suara lantang isi pesan yang dikirim oleh satpam rumah sakit yang sudah sangat akrab dengannya.
“Ada juga yang tertarik sama kamu, Bellin.” Nolan meledek Bellin, membuat wanita itu kesal. Bellin lalu mendekat ke depan meja Nolan. Kemudian, ia mengambil bingkai foto berisi potret pernikahan Nolan dan Sea. Ia lalu melempar benda itu pada Nolan. Beruntung tangan Nolan sigap menangkap.
“Bellin, kalau rusak bagaimana?” Nolan membentak Bellin, sedangkan Bellin hanya tertawa kemudian berlalu dari ruangan Nolan.
Nolan memandangi potret Sea dalam bingkai. Senyum Sea sangat lebar, ia terlihat bahagia dibalut gaun Ivory tanpa lengan yang menampakkan bahu putihnya.
“Sea, kamu memang sangat cantik.” Nolan bergumam lalu memeluk bingkai foto itu dan menyandarkan punggungnya ke kursi.
Namanya Rasi bagus ya ...
Comment on chapter TAMAT