“Enggak ada kado yang lebih indah buat seorang anak, selain kehadiran orang tua di hari jadinya, Nolan.” Bellin membuyarkan lamunan Nolan. Membuat pria itu segera menenggak lagi air dalam gelasnya.
“Iya, saya ada rencana pulang,” ucap Nolan sambil beranjak dari duduknya. Ia berjalan ke dekat jendela, mengintip ke luar lewat celah tirai lipat. Langit di luar sangat cerah. “Tapi tetap, saya harus membawa kado, kan?” ucapnya lagi.
“Boneka beruang yang besar bisa jadi pilihan. Kasih nama lengkap An di bagian depannya.” Bellin memberi saran yang membuat Nolan mengangguk-angguk.
“Bisa kamu pesankan boneka itu?” tanya Nolan, lalu mendekat ke arah Bellin. “Dan, terima kasih, masih mau berteman dengan saya, Bellin.” Nolan berkata sungguh-sungguh pada Bellin. Ia tak enak hati sebab sudah banyak melibatkan Bellin dalam urusan pribadinya.
“Ngomong apa, sih? Pasti aku belikan boneka untuk An. Sekalian aku belikan gaun tidur untuk Sea, biar kamu kepincut lagi sama dia.” Bellin bicara dengan nada tinggi. “Sekarang, aku pamit dulu. Jangan lupa, kamu ada jadwal periksa sore ini.” Bellin lalu mengambil kotak makan di meja Nolan dan pergi setelahnya.
Nolan melihat arloji, ia memutuskan segera bersiap untuk operasi yang akan dilangsungkan beberapa menit lagi. Pria itu keluar dari ruangannya sambil memikirkan An. Ia harap bisa melihat si buah hati hingga tumbuh dewasa. Akan tetapi, penyakit yang dia derita mematahkan keinginan itu.
Nolan terdeteksi penyakit jantung satu tahun sebelum pernikahannya dengan Sea. Saat itu, ia ingin menolak dijodohkan dengan wanita berparas cantik tersebut. Namun, ia tak mau membuat orang tua kecewa. Nolan tak sanggup mematahkan kebahagian mereka.
Sea memang jarang berprestasi, tetapi ia cukup ramah dan sangat sopan terhadap orang tua. Hal itu menjadi pertimbangan pula saat Nolan menerima perjodohan dengan Sea. Diam-diam pria itu pun sering memperhatikan Sea. Dulu, dari balik jendela kamarnya. Nolan kerap kali melihat Sea sedang mencuci mobil di teras rumahnya.
Namun, penyakit yang Nolan derita, membuatnya tidak cukup percaya diri mendeklarasikan cinta pada Sea. Hingga ia hanya mampu menampakkan kebencian agar Sea tak jatuh hati padanya.
Melangsungkan operasi selama dua jam, Nolan keluar dari ruangan dengan senyum semringah. Ia bahagia karena mampu menyelesaikan tugas dengan baik. Pria itu kemudian kembali ke ruang pribadi untuk menaruh jas putih. Setelah itu barulah memeriksakan kesehatannya.
“Hasil lab kamu masih perlu di waspadai. Masih diet lemak dan garam, kan?” tanya profesor ahli jantung yang baru selesai memeriksa Nolan.
“Masih, Prof. Saya teratur memesan makanan sehat.” Jawaban Nolan membuat pria berusia lanjut di hadapannya itu mengerutkan kening. Kenapa harus memesan, bukankah bisa minta tolong istri yang menyiapkan.
“Olahraganya, bagaimana? Masih sering dilakukan juga, kan?” tanya profesor itu lagi, membuat Nolan mengangguk. “Bagus, tidak perlu saya jabarkan lagi olahraga apa yang baik untuk kesehatan jantung, ya?”
“Ya, Saya, paham, Prof.” Nolan mengangguk.
“Lalu, kapan mau pasang ring jantung?” profesor ahli jantung tersebut sampai menurunkan kacamata. Beliau kemudian, menatap lekat ke arah Nolan yang duduk di hadapannya. “Hanya itu cara satu-satunya membuat usiamu bisa bertahan lama,” katanya sembari memakai lagi kacamata dengan posisi normal.
“Umur yang menentukan Tuhan. Kalau memang sudah waktunya saya pulang, ya, tidak ada gunanya pasang ring itu,” kata Nolan dengan suara pelan.
“Tidak seperti itu, Nolan. Dari hasil pemeriksaan jantung dan pembuluh darah besar dengan menggunakan gelombang ultrasound tempo hari, jantung kamu masih berfungsi cukup baik.” Profesor meyakinkan Nolan. “Usia kamu masih muda. Sudah kewajiban kita untuk merawat tubuh yang Tuhan beri dengan baik.” Pria dengan rambut sudah memutih itu terus-menerus membujuk Nolan.
“Nanti saja saya pikirkan lagi, Prof,” ucap Nolan membuat profesor bernama Pras geleng-geleng.
“Nolan, rumah sakit ini butuh dokter sepertimu. Ayolah, segera kasih saya jawaban. Anakmu juga masih kecil, dia butuh kehadiranmu lebih lama,” kata profesor sambil beranjak dari duduk dan mendekat ke kursi yang Nolan duduki. Pria itu sedikit membungkuk, dan merangkul bahu Nolan. “Teknologi kian canggih. Manfaatkan hal itu,” ucapnya tepat di telinga Nolan.
“Baik, Prof. Saya nanti kasih jawaban,” ujar Nolan lalu pamit dari ruangan tersebut.
Nolan kembali ke ruangannya dengan perasaan aneh dalam diri. Tiba-tiba, ia takut akan kematian. Bayangan meninggalkan An dan Sea menghantuinya sejak semalam. Hingga akhirnya, pria itu menelepon Rasi. Berbincang mengenai pesta ulang tahun An.
Sementara itu di kamarnya, Rasi baru saja pulang dari toko. Ia saksama mendengarkan perkataan Nolan. Menyahuti apa yang harus ia jawab.
“Ok, Mas. Nanti gue siapkan pesta untuk An dengan konsep sesuai keinginan Sea.” Rasi berjanji akan mengurus pesta ulang tahun An dengan spesial.
Nolan lalu mengakhiri panggilan, membuat Rasi saat itu juga pergi ke rumah Sea. Pria itu takut lupa dengan apa yang akan ia bahas pada Sea. Rasi bahkan mengesampingkan rasa lelahnya.
Tiba di tempat yang dituju, Rasi mendapati Sea sedang fokus menatap layar laptop. Wanita itu duduk di teras, pada kursi yang menghadap meja persegi.
“Sea, lagi apa?” tanya Rasi sambil mengacak pucuk kepala wanita itu. Membuat rambut Sea sedikit berantakan.
“Baru datang udah bikin kaget.” Sea mengomeli Rasi. Ia pun merapikan kembali rambutnya.
Rasi tertawa, lalu duduk di salah satu kursi yang ada di sana. “Lagi ngerjain novel?” Rasi menebak sendiri kegiatan Sea. Sea mengangguk, ia tiba-tiba teringat sesuatu.
“Rasi, ciri-ciri jatuh cinta itu kayak apa, sih?" tanya Sea membuat Rasi melebarkan mata.
“Kenapa tiba-tiba nanya hal itu?”
Rasi hanya menoleh sekilas, ia bingung mau memberikan jawaban apa. Lalu, pria itu malah mengalihkan pembicaraan. "Kamu mau konsep kayak gimana, Sea, buat acara ulang tahun An?" Rasi sedang melihat-lihat konsep ulang tahun dari hasil karya beberapa penyelenggara acara lewat ponselnya.
"Enggak penting konsepnya apa, yang terpenting itu kehadiran Mas Nolan, Ras." Sea menimpali ucapan Rasi sambil menerawang, ia selalu merasakan denyut nyeri dalam dada setiap menyebut nama Nolan.
"Mas Nolan pasti pulang, makanya kamu pikirin dulu mau konsep yang kayak gimana. Penyelenggara acaranya temanku semua, nih. Rekomendasi banget, deh," ucap Rasi sambil terus menggulir layar ponsel meneliti gambar dekorasi ulang tahun anak.
Sea tak menjawab, membiarkan keadaan hening di antara dirinya dan Rasi. An makin besar dan Nolan belum juga kunjung sadar. Wanita itu bahkan sudah membuka buku harian Nolan. Baru membaca halaman pertama saja Sea sudah ditimpa sesak di dada.
Bapak, kenapa pergi meninggalkan Nolan? Tulisan khas anak kecil tertera pada lembar pertama buku bersampul coklat itu. Titik-titik hitam menghiasi permukaan kertas, tintanya pun sebagian sudah luntur. Gambar anak kecil diapit orang tuanya mungkin adalah deskripsi dari Nolan, Yeri dan bapak Nolan. Sangat sederhana, tetapi entah mengapa cukup kuat menusuk hati Sea, membuatnya sakit di seluruh titik.
"Sea, mau konsep kayak apa? Waktunya makin mepet, loh!" Rasi meninggikan suaranya membuat Sea menoleh.
"Apa cinta memang sesakit ini, Rasi?" Sea memegangi dada kirinya. Hatinya gundah gulana menghadapi sikap Nolan. Meski kata Bellin, Sea pasti bisa mengubah pemikiran Nolan yang keliru.
Rasi mengembuskan napas. Cinta dalam hati memang sangat sakit, Sea. Sama halnya dengan cinta tanpa balas.
Dan, jatuh cinta itu seperti Rasi pada Sea. Sayang semua itu belum bisa Rasi ungkap. Atau memang tak akan pernah terungkap.
"Kamu pernah suka sama seseorang, lalu, ditolak, enggak? Rasanya sakit, Ras."
Aku tahu rasanya, Sea. Sangat tahu. Rasi beranjak dari duduk, lalu mendekat ke arah Sea. Ia letakkan telapak tangan di pucuk kepala Sea. "Jangan dulu mikirin itu, ya. Kita pikirin dulu ulang tahun An. Kita fokus ke An, ok?" Rasi membujuk Sea.
Entah mengapa, Sea tak marah diperlakukan seperti itu oleh Rasi. Wanita itu malah menyandarkan kepalanya di perut Rasi. "Iya, mana coba, aku mau lihat konsep ulang tahunnya."
Semangat sea
Comment on chapter Bab 1