"Tapi, bukan dengan cara menyakiti, Sea, Nolan! Kamu, tuh, sakit jantung apa sakit jiwa?" ucap Bellin diakhiri tawa meledek.
"Jantung?" Sea bergumam pelan sambil memegangi dadanya. Wanita itu kembali mengingat, bila pulang ke rumah, Nolan selalu tak mau memakan makanan yang ia sediakan. Apa itu karena memang Nolan sangat menjaga pola makan.
"Kamu tahu, kan, Bell, dulu mama sempat mencoba bunuh diri setelah kematian papa. Andai hari itu, Bu Raras tidak datang ke rumah kami. Mungkin saya akan menjadi yatim piatu sekarang. Saya tidak mau Sea seperti mama, dia akan luka bila mencintai saya tetapi kenyataannya saya tidak bisa menemaninya lebih lama di dunia." Kalimat panjang lebar Nolan, membuat Sea makin merasa bahwa cintanya pada Nolan memang tak salah. Nolan adalah pria tepat yang orangtua pilihkan untuknya. Hanya saja, Nolan terlalu naif.
"Akan lebih mudah bagi Sea menjalani semuanya bila dia tidak mencintai saya, dia bisa cepat bangkit dan menemukan cinta yang baru." Bahkan, Nolan harus menahan desakan dalam dada saat mengucap kalimat itu.
"Kamu kira saya tidak tersiksa selalu menahan rindu pada Sea? Kamu kira saya baik-baik saja jauh dari An? Saya bahkan merindukan Sea saat ini, Bell!" Nolan menyentak Bellin sambil memegangi dada kiri yang terasa nyeri.
Sea yang dengan jelas mendengar semua perkataan Nolan, ingin sekali beranjak dari duduk dan menghampiri Nolan. Sea ingin membuka pikiran Nolan, bahwa semua masih bisa diperbaiki. Tuhan mendatangkan sakit pasti dengan obatnya. Apa pun caranya, pasti selalu ada kesempatan bagi manusia untuk mengupayakan kehidupan yang lebih baik.
Namun, Sea sadar tak bisa gegabah dalam hal ini. Nolan berbeda, pada dasarnya dia memang keras kepala. Yeti berkali-kali mengingatkan Sea akan hal itu.
"Ya, kalau rindu tinggal pulang, sayangi Sea dan An dengan cara yang baik," ucap Bellin membuat Nolan membuang napas kasar lalu menyandarkan punggung pada kursi.
“Kamu tidak mengerti posisi saya, Bellin. Lebih baik saya pergi.” Nolan pun beranjak. Tak lupa membawa dua jepit rambutnya.
Setelah kepergian Nolan, Bellin pindah ke meja Sea. Tak lupa Bellin juga membawa buku catatan harian Nolan untuk diberikan pada Sea.
"Kamu baik-baik aja, kan, Sea?" tanya Bellin membuat Sea mengangguk.
"Maaf Bellin, aku pernah mengira kalau kamu dan Mas Nolan itu pacaran." Sea bicara sambil memijat pelipisnya. Ia benar-benar pusing saat ini. “Mas Nolan ternyata juga tersiksa,” gumamnya dengan setitik air menetes dari mata.
Bellin tertawa. "Aku sama Nolan pernah tinggal di panti asuhan yang sama, Sea. Suami kamu itu sebenarnya hebat, baik. Biaya kuliahku banyak dibantu sama dia."
Sea melebarkan mata, ia tak pernah tahu hal itu. Sea memang tahu, Nolan bukan putra kandung ayah mertuanya.
"Nggak ada yang kasih tahu kamu tentang masa lalu Nolan?”
Sea menggeleng kembali. “Aku hanya tahu, Mas Nolan itu, anak tiri dari Papa Saphan.”
Bellin lalu mengeluarkan buku milik Nolan dari tas sandangnya. Setahu Bellin, Nolan mulai sering menulis kesehariannya pada buku itu sejak usia sepuluh tahun.
"Ini buku harian Nolan, mungkin kamu akan banyak tahu tentang dia dari sini. Aku yakin kamu bisa membuat pola pikir dia berubah, nggak sinting kaya sekarang."
Sea tertawa, Bellin ini lucu sekali. Setelah mereka berbincang sebentar, keduanya sepakat pergi dari kafe. Hati Sea sedikit lega, meski keseluruhan sesak dalam diri belum hilang. Ia masih harus mencari waktu terbaik untuk bisa membuat Nolan memupus segala pemikirannya yang keliru.
Sampai rumah, Sea berpikir untuk membuatkan Nolan menu makan sehat. Dari Bellin, Sea juga tahu kalau Nolan sering memesan makanan khusus. Untuk itu, Sea mengirim Bellin pesan berisi permintaan tolong agar dokter gigi itu, membantu rencananya.
Bellin
[Iya, aku siap jadi perantara. Nolan makan siang setiap jam satu. Kamu bisa antar sebelum jam segitu]
Esoknya, pagi-pagi Sea sudah belanja sayur dan buah. Ia bahkan, langsung berkutat di dapur begitu sampai rumah.
Sementara itu, di ruang tengah, An tertawa menampakkan dua gigi barunya di bagian depan. Gadis cilik itu terus-menerus mengangkat bokong saat duduk di pangkuan Dita. Bukan tanpa sebab, putri dari Nolan dan Sea itu berlaku demikian. Rasi tengah menggodanya, menyodorkan apel merah pada sang ponakan.
“Jangan digoda gitu terus dong, Om,” ucap Yeti sambil menahan tubuh An agar tak jatuh.
“Dianya juga suka, Mam.” Rasi menyela ucapan Yeti sambil tertawa. Ia gemas menanggapi ekspresi An yang sepertinya mulai kesal karena tak kunjung dapat meraih apel dari tangannya.
Namun, ekspresi An mulai berubah. Bibirnya mulai melengkung ke bawah dengan suara merengek yang khas.
“Rasi, ini anaknya udah mau nangis. Sana, deh, kamu!” Yeti mengusir sang putra, tetapi Rasi malah menggelitik perut An.
Bukan tertawa, An malah menangis kencang. Rasi bingung, tak biasanya gadis cilik itu cengeng. Sea yang sedang di dapur mencuci sayuran, gegas meninggalkan kegiatannya untuk melihat keadaan sang putri.
“Anak Mommy kenapa, Sayang?”
Sea dengan suara lembut menenangkan An, ia raih tubuh putrinya dari pangkuan sang ibu mertua. Ajaib, An langsung diam. Gadis kecil itu menyembunyikan wajah pada ceruk leher sang ibu.
“Ajaib, dia langsung diem, dong, digendong emaknya,” ucap Rasi dengan mata melotot.
“Semua anak memang begitu, kamu saja waktu kecil gitu, kok.” Yeti menyela ucapan Rasi.
“Kalau Mas Nolan, gimana, Ma?” tanya Sea yang masih berdiri sambil menepuk pelan punggung An yang makin tenang.
“Mas Nolan nyaris tidak pernah mengamuk, sih. Dia, selalu tenang, bahkan, seluruh keluarga dan tetangga juga aneh sama Mas Nolan. Mungkin dia mengerti Mama yang harus bekerja, jadi, dia selalu baik.” Yeti bercerita dengan pandangan yang menerawang. Seolah tengah mengingat sesuatu.
“Ma, boleh, aku tanya sesuatu tentang Mas Nolan?” tanya Sea
“Eh, nanti aja tanya-tanyanya. Mama mesti balik buat urus papa.” Rasi bicara sambil menggandeng lengan Yeti, membuat wanita yang melahirkannya itu berdiri. “Ayo, Ma. Kita terlalu lama meninggalkan papa,” katanya lagi.
Yeti dan Rasi akhirnya pamit, Sea sedikit kecewa sebab belum juga bisa mengungkap masa lalu apa yang dialami sang suami. Buku harian Nolan yang Bellin berikan pun belum Sea baca. Ia terlalu takut menemukan kenyataan menyedihkan tentang pria itu.
“Sea, sayurnya mau dibuat apa?” Dita yang masih mengenakan celemek datang menghampiri dengan benak dipenuhi tanya. Tak biasanya Sea memasak, bahkan hendak mengolah sayuran yang selama ini jarang ia suka.
“Nanti Sea bereskan, Sea mau menidurkan An, dulu,” sahut Sea kemudian pamit ke kamar hendak memberikan ASI pada An.
Setelah An lelap tidur, Sea menciumi gadis kecil itu. “Bantu Mommy buat bisa yakinin Daddy, An. Bahwa, kita berdua, sayang sama Daddy.” Sea kembali mengecup dahi An yang dipenuhi titik keringat. Ia lalu pergi meninggalkan ruangan itu dengan mengendap-endap.
Selesai memasak, Sea langsung mengantar makanan tersebut ke rumah sakit. Bellin sudah menunggunya di pos satpam dengan senyum lebar.
"Titip ya, Bell." Sea menyerahkan tas kanvas berisi makanan untuk Nolan.
"Beres," jawab Bellin, lalu Sea memilih pamit.
Setelah sea pergi, Bellin langsung ke ruangan Nolan. Pria itu pun gegas menikmati makan siangnya. Nolan mengunyah makannya dengan pikiran berkelana. Semalam, ia tak dapat tidur nyenyak akibat Yeti menelepon meminta Nolan untuk pulang. Wanita yang telah melahirkannya itu bilang, gigi An sudah tumbuh dan pekan depan putrinya itu akan berulang tahun.
Nolan kembali menyuapkan brokoli ke dalam mulut, Bellin yang melihat tingkah sang sahabat merasa heran dengan kelakuan pria itu siang ini. Apa Nolan bisa merasakan yang lain tentang makanannya. Makanan itu dibuat Sea, bukan Bellin pesan dari tempat langganan Nolan.
“Kamu kenapa kaya orang linglung? Jangan bilang udah positif sakit jiwa?” kata Bellin sambil menyipitkan mata.
Nolan tak menjawab, kali ini ia masukan potongan wortel ke dalam mulut tanpa melihat isi kotak itu. Ia tak terlalu menikmati makanannya siang ini, meski tak bisa dipungkiri rasanya lebih enak dari hari-hari lalu.
“Kamu lama-lama kaya zombi,” ucap Bellin sambil berdiri. Awalnya wanita itu ingin pergi, tetapi perkataan Nolan menahannya.
“Rasa makanan hari ini beda, pesan dari siapa?” Ia sudah selesai dengan kegiatannya. “Kotaknya juga bisa berwarna gini, biasanya bening saja,” kata Nolan sambil meneliti kotak makan yang sepertinya pernah ia lihat di suatu tempat. Namun, entah di mana.
“Protes terus bisanya, tinggal makan juga, rese!” Bellin mencibir.
Nolan menenggak minuman dari gelasnya. Ia lalu mengeringkan bibir menggunakan tisu dan menyandarkan punggung ke kursi.
“Kado apa yang cocok untuk saya kasih ke anak usia satu tahun?” Nolan bicara sambil matanya menerawang pada langit-langit ruangan.
"Siapa yang ulang tahun?" Bellin balik bertanya.
“Anak saya, Minggu depan ulang tahun, saya harus pulang.” Nolan mengambil ponsel dari saku jas putihnya. Semalam Yeti mengirimi foto An yang sedang digendong Sea.
Salahkah sikapku yang seperti ini, Sea?
Namanya Rasi bagus ya ...
Comment on chapter TAMAT