Nolan siang itu masuk ke ruangan Bellin sembari membawa sesuatu di tangannya. Saat tiba di hadapan Bellin, Nolan menunjukkan dua jepit rambut pada wanita itu.
"Buatku, nih?" tanya Bellin, menatap jepit rambut dengan mata berbinar.
"Bukan, Saya minta pendapat. Jepit mana yang lebih bagus." Nolan dengan cepat meralat ucapan Bellin.
“Dua-duanya bagus, jalan pikiran kamu saja yang buruk,” kata Bellin.
“Yang mana yang cocok buat dia?” tanya Nolan lagi.
Bellin memutar bola mata sambil mengembuskan napas kemudian berdiri. Iantas melipat tangan di dada dan memicing ke arah Nolan. “Kamu sampai kapan, sih, mau mainin hati Sea?”
Nolan tersenyum miring, “Kita lagi nggak bahas dia, Bell.”
“Aku kalau jadi Sea pasti nggak bakal bisa bertahan sampai sejauh ini.” Bellin menatap sinis ke arah Nolan.
“Jelas nggak bisa, dia Sea. Kamu, Bellin,” kata Nolan pelan.
“Udahlah, aku mumet kalo kamu udah datang sintingnya kaya gini. Aku mau keluar dulu."
Bahkan Bellin tak menjawab pertanyaan Nolan yang memintanya membandingkan mana jepit rambut yang lebih bagus. Bellin keluar dari ruangannya sambil menggerutu tak jelas. Hingga ia masuk ke lift, dan tak sadar ada seorang pria yang terus meliriknya dari samping.
Bellin tak peduli pada lirikan pria itu, perhatiannya teralih begitu pintu lift terbuka. Terlebih ketika ia mendapati pesan masuk dari Sea.
Sea Nolan
[dokter, saya sedang di kantin rumah sakit. Bisa kita bertemu? Saya yang ke ruangan dokter, atau dokter yang kesini?]
Beliin dengan cepat membalas pesan Sea. Ia katakan, bahwa dirinya yang akan menemui Sea.
”Kita liat, Nolan. Seberapa seru permainan ini. Kamu yang memulainya, "gumam Bellin sambil terus berjalan ke arah kantin.
Ketika Bellin tiba di tempat yang dituju, Sea sudah duduk manis menunggunya. Mata Sea terlihat sembab, bukti bahwa dia pasti habis menangis. Bellin berusaha ramah, menyalami Sea dan menanyakan keadaan An.
“Bellin, sekali lagi aku tanya ke kamu. Ada hubungan apa kamu sama Mas Nolan?” Sea langsung saja mengutarakan rasa ingin tahunya.
“Bell, aku mohon. Anakku udah makin besar, Mas Nolan jarang pulang dan nggak pernah kasih kabar langsung ke aku.” Sea menelan ludah, membasahi tenggorokan yang terasa sakit.
Beliin belum menjawab, ia sedang menyusun kalimat pas dalam otaknya. Wanita itu takut salah bicara, dan malah membuat suasana makin keruh.
“Kamu tahu, Bell, di sini, tuh,” ucap Sea seraya menunjuk dada kirinya. “Sakit, sesak, berat. Aku nggak kuat lagi, Bellin,” kata Sea selanjutnya membuat Bellin iba.
“Kasih tahu aku Bellin, apapun yang terjadi. Sesakit apa pun aku akan terima,” ucap Sea, pasrah dengan keadaannya.
“Cuma kamu dan Rasi yang deket sama Mas Nolan. Aku nggak tahu lagi, dengan cara apa untuk bisa mengungkap sikap dingin Mas Nolan selama ini."
Sea terus bicara, menumpahkan segala risaunya. Kesal yang selama ini menumpuk, ia urai satu-persatu di hadapan Bellin.
Bellin dalam diamnya, meresapi semua keluh kesah Sea. Hingga akhirnya ia memantapkan hati, Bellin akan ingkar janji pada Nolan demi membuat Sea tak lagi menerka-nerka.
“Aku nggak pinter menjelaskan keadaan, Sea. Aku takut mulutku ini nggak jujur dengan mengurangi atau melebihkan fakta yang aku tahu. Tapi, aku bisa nolong kamu dengan cara lain,” papar Bellin.
Sea tersenyum lebar, ia jelas senang dengan respons yang diberikan Bellin. Sebentar lagi ia akan tahu kenapa selama ini Nolan begitu tak peduli terhadapnya.
“Sore ini kita ketemuan di kafe, nanti aku kirim lewat pesan alamatnya. Aku bakal bawa Nolan ke sana, kamu cukup duduk deket kursi kita. Aku akan pancing Nolan supaya cerita semua kenyataan yang dia sembunyikan selama ini. Gimana?” tanya Bellin.
“Iya, Bellin. Aku setuju. Makasih, ya, makasih,” ucap Sea dengan mata berkaca-kaca tetapi bibir mengulas senyum.
“Jangan bilang makasih dulu, sampe aku bisa bikin kamu tahu semua yang Nolan sembunyikan selama ini." Bellin.
menyanggah ucapan Sea.
Sea tertawa, Bellin nyatanya sungguh baik. Mereka bahkan sempat memesan minuman, berbincang sebentar sebelum akhirnya Sea memutuskan pamit.
Bellin sendiri, begitu kembali ke ruangannya lekas mengusir Nolan yang sedang menulis sesuatu dalam buku lusuh yang sudah ia miliki sejak dulu. Zaman kian modern, pria itu masih senang menulis catatan harian.
Nolan kaget dengan kedatangan Bellin yang tiba-tiba. Buku keramat berisi seluruh curahan hati Nolan pun jatuh ke bawah meja Bellin.
"Sana keluar!" Bellin berteriak membuat Nolan menggeleng. Pria itu hendak membungkuk mengambil buku, tetapi Bellin malah menyuruhnya berdiri.
"Kamu mau tahu jawabanku tentang kedua jepit rambut itu, kan?" Bellin menunjuk benda yang masih tergeletak di atas mejanya.
"Iya, Saya butuh pendapat seorang wanita," sahut Nolan kemudian kembali fokus ingin mengambil buku. Namun, lagi-lagi ucapan Bellin membuat gerakannya tertahan.
"Sore ini kita ke kafe biasa, yuk? Aku kasih pendapat paling relevan tentang jepit rambut itu," kata Bellin, lalu Nolan terlihat berpikir sejenak.
"Ya kalau kamu mau, kalau nggak ya nggak apa-apa."
"Ya saya mau, sore ini, kan? Saya tidak ada praktik," timpal Nolan. Pria itu kembali hendak membungkuk untuk mengambil bukunya, tetapi Bellin malah menarik lengannya dan mengusirnya. Bellin beralasan sebentar lagi ia akan buka praktik.
Nolan pun akhirnya terpaksa keluar. Ia mengemasi kembali jepit rambutnya. Lalu pergi sambil memasang wajah masam.
"Biar saja Sea tahu semua tentang kamu, Nolan." Bellin meraih buku Nolan dari atas lantai, lalu memasukkannya ke tas.
Bellin memulai praktiknya, menerima beberapa pasien. Kemudian setelah selesai, ia bersiap pergi ke kafe yang dituju. Bellin sengaja datang lebih dulu, ia pun menolak ketika Nolan mengajaknya pergi bersama.
Bellin terlebih dahulu mengatur letak kursi dan meja yang akan dirinya dan Nolan tempati. Ia pastikan obrolannya dengan Nolan bisa didengar Sea. Di saat seperti itu, Sea tiba. Bellin langsung mengatur posisi duduk mereka.
"Kamu duduk di sini, biar bisa denger obrolan aku sama suami kamu.” Bellin menjelaskan rencananya pada Sea.
“Kursinya nggak apa-apa dideketin gini?” tanya Sea, sambil mengedarkan pandangan.
"Tenang, ini kafe milik temen aku. Jadi bebas kuatur semaunya." Ucapan Bellin membuat Sea tersenyum.
Sea gegas duduk di kursi yang disediakan, ia sengaja menutup kepala dengan hoodie dan menunduk seolah-olah sedang sibuk membaca. Tak lama, Nolan tiba. Kehadiran pria itu membuat jantung Sea memacu lebih cepat dari biasanya.
“Kamu mau pesan apa, Nolan?” tanya Bellin.
"Saya air mineral saja, sama salad buah,” jawab Nolan.
Suara Nolan membuat Sea menelan ludah, bahkan pria itu tak pernah bicara banyak pada Sea. Sea berkali-kali mengembuskan napas. Berusaha tenang, meski keadaan tubuh rasanya sudah panas.
"Jadi apa pendapat kamu tentang jepit rambutnya?" tanya Nolan setelah pelayan menghidangkan pesanan mereka.
"Lebih bagus yang motif bunga, sih. Cocok buat karakter dia yang sendu." Bellin mengambil salah satu jepit rambut itu.
"Memangnya Sea terlihat sendu?" tanya Nolan.
Sea yang mendengar hal itu, merasakan lututnya melemas. Nolan menyebut namanya. Hawa panas makin kuat dirasakan Sea, ia ingin saat itu juga memunculkan diri di hadapan Nolan. Meluapkan segala tanya berbalut emosi yang selama ini terpendam.
"Sendu, dan itu karena perbuatan kamu," tegas Bellin.
"Ayolah, Bell. Kamu sudah tahu apa alasan saya melakukan semua ini. Itu karena saya justru terlalu cinta sama Sea." Perkataan Nolan membuat Sea yang mendengarnya melebarkan mata. Bulir hangat tiba-tiba mengalir dari kedua pelupuk mata Sea. Ia makin tak sabar dengan kelanjutan kalimat Nolan.
"Mencintai dia tapi dengan cara menyakitinya, kamu naif, Nolan," kata Bellin sambil menunjuk wajah pria itu.
Bellin terus memancing emosi Nolan agar pria itu mau kembali mencurahkan isi hatinya. Bellin harap, Sea dapat dengan jelas mendengar semua alasan Nolan berbuat buruk pada Sea selama ini.
"Saya tidak mau dia jatuh cinta sama saya, Bell. Kamu tahu, kita bahkan sama-sama tahu, tidak ada orang yang bisa selamat dari penyakit ini."
Air mata Sea makin merebak, ia sampai kesulitan mengambil napas saat leher rasanya dicekik dengan sengaja. Tubuh Sea bergetar, rasanya ingin berbalik, mendekat pada Nolan dan meminta pria itu untuk menjelaskan lebih detail apa maksud dari perkataannya. Namun, Sea harus sabar hingga percakapan Nolan dan Bellin benar-benar ia mengerti.
"Kamu terlalu munafik, Nolan." Bellin mengejek Nolan, membuat pria itu terpantik emosi.
"Biarkan Sea mengira saya membencinya. Biarkan dia mengira saya tidak pernah peduli terhadapnya. Esok atau lusa saat saya pergi, Sea tak perlu sedih menangisi ketiadaan saya, Bellin. Berkali-kali saya kasih tahu kamu hal ini, masih saja kamu tidak mengerti?"
Di tempatnya duduk, Sea menggeleng. Air matanya mengalir makin deras. Jadi, apa arti dari semua ucapan Nolan. Apa pria itu sedang mengidap penyakit parah. Sea tak bisa berpikir jernih, kafe luas itu membuatnya justru merasa sedang berada pada lorong sempit yang mengimpit tubuh. Dada Sea sesak, ia kesulitan mengatur napasnya.
Namanya Rasi bagus ya ...
Comment on chapter TAMAT