Setelah pergi ke toko dan mengecek beberapa bahan yang stoknya mulai menipis, Rasi pergi ke konveksi memastikan seluruh karyawan melakukan pekerjaan dengan baik. Seharian kemarin ia tak berkunjung, memilih melihat pameran lukisan serta sore hari hingga pagi tadi waktunya dihabiskan di rumah mamanya Sea.
Kini, Rasi sedang berada di sebuah kafe menunggu seseorang yang sudah lama tak ia jumpai. Keadaan membuatnya ingin kembali bertemu dengan perempuan itu.
"Nggak ada yang berubah dari elo, Ras," komentar Zarin, perempuan yang sedang Rasi tunggu.
"Ah, masa?" Rasi mengusap wajahnya. "Gue kira udah mirip Nicholas Saputra, loh," seloroh Rasi kemudian.
Zarin tertawa sambil menutup mulutnya dengan lima jari, perempuan yang kini terkenal menjadi seorang penulis dan mempunyai bisnis penerbitan. Zarin lalu bertanya perihal apa yang membuat Rasi 'mengganggu' waktunya itu.
"Gue mau ajuin naskah buat terbit cetak," ucap Rasi, malu-malu. "Bukan punya gue, sih," ralatnya cepat sebelum Zarin berpikir yang tidak-tidak. "Atau elo bisa baca dulu apa tulisannya layak atau enggak?" pinta Rasi selanjutnya.
Zarin mengangguk, ia mengerti maksud Rasi.
"Ok, tinggal kirim via e-mail. Nanti gue bantu," tanggap Zarin membuat senyum Rasi mengembang lebar.
Keduanya kemudian berbincang hal lain sebelum akhirnya mereka memutuskan pulang. Rasio menawarkan mengantar Zarin, tetapi perempuan itu menolak. Bawa motor ternyata dia.
Sementara itu di kediaman Dita, wanita itu merasa bangga pada Sea yang begitu telaten mengurus An. Sea merawat dengan baik putri kecilnya meski Nolan jarang pulang. Dita memaklumi semua itu karena hal pekerjaan, yang terpenting Nolan selalu menelepon setiap hari menanyakan kabar Sea dan An.
“Pinter akting kamu, Mas. Nanyain aku dan An lewat mama supaya mereka tetap mengira kamu suami siaga, kan?” gumam Sea setelah barusan mama menyampaikan rentetan tanya dari Nolan akan keadaan dirinya dan sang buah hati.
Sea kembali fokus pada layar laptop, satu bab baru novelnya hanya mendapat beberapa like dengan komentar datar. Bahkan ada satu akun yang mengeluarkan tanggapan tak sedap atas tulisannya.
‘Tulisan apa ini? Dari bab satu sampai bab 10 datar banget.’
Jemari Sea sudah gatal ingin balas berkomentar, tetapi ia tahan sebab tak mau terlihat buruk di mata para pembaca yang lain. Ia memutuskan membaca kembali cerita yang ditulisnya dari bab satu. Mengangkat tema yang digandrungi, yaitu perjodohan dan cinta setelah menikah.
‘Authornya mungkin masih belajar nulis, kurang jauh mainnya.’
Sea menyerah, ia memilih menutup laptop kemudian beranjak menghampiri box di mana An sedang lelap tidur. Bayi itu kemarin mendapat kiriman baju yang banyak dari Rasi. Katanya dijahit khusus untuk An, dengan bahan terbaik agar nyaman saat dipakai. Salah satunya sedang An gunakan kini.
Dalam sepi yang tiba-tiba menyelusup ke hati, Sea meraih ponsel dari meja rias. Mencoba melakukan panggilan pada Nolan, ada hal yang harus ia sampaikan. Beberapa kali hanya berdering, tak ada jawaban. Sea tak menyerah, ia kembali melakukan panggilan dan akhirnya dijawab oleh lelaki itu. Namun, bukan suara Nolan yang terdengar justru seorang wanita yang bilang bahwa suaminya itu sedang berada di ruang operasi dan tak bisa diganggu.
Hati yang memang sudah remuk redam, rasanya kian hancur. Sea menjatuhkan diri ke atas lantai sambil refleks memegangi dada sebelah kiri. Ia tak bisa terus-menerus seperti ini. Sea ingin mendapat kejelasan, tetapi ia tak mau membuat keluarga tahu akan sifat Nolan. Satu-satunya orang yang bisa diajak bicara tentang masalah ini hanya Rasi. Dialah orang yang paling dekat dengan Nolan.
Esoknya Sea menelepon Rasi, tetapi panggilan pria itu sedang sibuk. Jelas, Rasi sedang berbincang dengan Zarin lewat sambungan telepon.
“Elo udah baca belum sih novel dia? Ancur banget, Ras.” Suara Zarin dalam sambungan telepon masih Rasi dengarkan meski ia sibuk melayani pembeli di toko. Salah satu pegawainya izin tak masuk karena sakit, membuat Rasi akhirnya turun tangan.
“Belum, sih. Gue nggak suka baca.”
Rasi menahan ponsel dengan pundak dan kepala yang dimiringkan, sedangkan tangannya sibuk menghitung uang kembalian milik pembeli.
“Makasih, Bu. Silakan datang kembali,” ucap Rasi pada sang pembeli.
“Ras, elo lagi sibuk masih sempet aja mau bahas novel ini. Siapa sih emang yang nulis? Kayak berarti banget gitu buat lo?”
Pertanyaan Zarin sontak membuat Rasi menjatuhkan ponsel, beruntung panggilan tak mati dan Rasi lekas mengambil benda pipih itu kembali.
“Ada pokoknya, gue tutup dulu deh ya. Ini lagi di toko soalnya.”
Zarin setuju, ia juga bilang lebih baik Rasi membaca dulu novel tersebut agar tahu di mana letak kesalahan si penulis. Rasi setuju, ia akan coba membaca meski sama sekali tak suka akan hal itu.
Baru Rasi akan memasukan ponsel ke dalam laci dan berniat istirahat sejenak, notifikasi pesan membuatnya penasaran untuk kembali mengambil benda pipih tersebut. Alis Rasi bertaut, melihat Sea yang mengiriminya pesan. Hal yang tak terduga, dan langka.
Mommy An
[Terasi, ketemuan di cafe .... SEKARANG!]
Sementara itu di tempatnya berada, Sea dibuat kesal karena hampir 30 menit menunggu kedatangan Rasi. Tahu begini jadinya, tadi dia temui saja pria itu di toko.
“Lama banget, sih!” sembur Sea begitu Rasi tiba dengan wajah cengengesan tanpa dosa. “Kasian An nih,” tambah Sea sambil melirik ke arah stroller di mana An anteng duduk.
“Ih, anaknya anteng begitu. Suka fitnah nih, Mommy,” ledek Rasi kemudian berjongkok di hadapan stroller An yang sedang anteng dengan mainan karet berbentuk bintang laut. “Hai, Cantik. Bajunya muat, ya?” Rasi mengusap pucuk kepala An. Dua bola mata jernih An langsung tertuju pada Rasi, bibir mungil bayi itu terkembang sempurna menampakkan gusi yang membuat Rasi tak kuasa untuk meraih tubuhnya ke dalam pangkuan.
“Jadi anak baik, ya, Sayang,” bisik Rasi di telinga An meski anak itu belum mengerti apa-apa. Entah mengapa hal itu membuat dua mata Rasi terasa basah, ia memalingkan pandangan sejenak agar Sea tak melihat keadaannya.
“Anak lagi anteng malah digendong!” bentak Sea membuat Rasi lekas duduk tanpa menaruh kembali An ke stroller.
“Biarin, dong. Kan kangen,” elak Rasi sambil menjulurkan lidah dibalas mata melotot oleh Sea. “Loncat tuh mata!” sindir Rasi kemudian tergelak membuat An dalam gendongan ikut tertawa.
"Andai yang saat ini gendong An itu Mas Nolan." Sea refleks memegangi dada sebelah kiri yang berdenyut nyeri.
“Ada apa sih ngajak ketemu di sini?” todong Rasi tanpa basa-basi.
“Mau ngomongin Mas Nolan.” To the point akan membuat urusan lebih cepat selesai.
“Mas Nolan kenapa?” Rasi selama ini pasti tahunya sang kakak memperlakukan Sea dengan baik.
“Kalian nyadar nggak sih perlakuan Mas Nolan ke aku tuh nggak baik?” Mata Sea mulai memerah, protesnya mulai ia tunjukkan.
“Nggak baik gimana, sih? Karena dia jarang pulang? Bukannya kamu yang nggak mau diajak ke Singapura?” Rasi mengeraskan rahang, entah kenapa tak suka saja bila kakak kesayangannya dituduh tak baik seperti itu.
“Aku nggak pernah bilang gitu, dan Mas Nolan nggak pernah ajak aku ke sana!” bantah Sea merasa dipojokkan.
“Jangan ngaco dong, Sea. Dia kerja buat kamu sama An. Jangan dituduh nggak-nggak gitu!” desis Rasi membela sang kakak.
Sea tertawa, percuma saja ternyata mengajak Rasi bicara. Beruntung makanan dan minuman yang Sea pesan sudah tandas sejak tadi. Ia tak perlu merasa kehilangan selera makan.
Sea berdiri, dengan kasar mengambil An dari pangkuan Rasi dan memindahkannya ke stroller. “Makasih buat waktunya!” tekan Sea lalu mendorong stroller, lebih baik pulang. Ia memang benar-benar harus sendiri menguak kebenaran tentang Nolan.
Rasi memukul udara di hadapannya, benar-benar merasa tak bisa lagi memperbaiki keadaan sesungguhnya. Hanya pasrah akan bom waktu yang entah kapan akan meledak. Ia gasak wajah dengan kasar, lalu meremat kuat rambutnya. Ponselnya berdering nyaring, lekas Rasi jawab panggilan itu.
“Gimana? Beres? Berhasil, kan?” tanya Rasi dengan nada penuh penekanan seolah mengancam lawan bicaranya di seberang sana tidak melakukan kesalahan.
“Jangan berharap lebih,” sahut suara serak perempuan dalam sambungan telepon. “Pemilik skenarionya bukan saya!”
Telepon dimatikan oleh si pemanggil, membuat Rasi memejamkan mata dan gegas pergi untuk memberi wanita itu pelajaran. Bagaimana caranya menutup panggilan dengan baik.
Semangat sea
Comment on chapter Bab 1