Read More >>"> Cinta (Puisi dan Semi Novel (Kitab Keempat Bagian 5) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta (Puisi dan Semi Novel
MENU
About Us  

Syeikh Abbas berdiri dengan tiba-tiba dan wajahnya memucat. Ia membentak semua yang berdiri di sekelilingnya dengan suara berat, “Apa yang telah menimpamu, hai anjing-anjing kudisan? Apakah hatimu sudah keracunan dan kehidupan di badanmu sudah membeku? Kenapa kalian tidak segera mencabik-cabik si bocah kufur yang mengoceh tak karuan ini? Apakah jiwa setan ini telah mengepung jiwamu? Apakah kekuatan sihirnya yang berasal dari neraka jahanam itu telah membelenggu tanganmu sehingga kalian tidak dapat melepaskannya?”

 

Sehabis berkata, Syeikh Abbas mencabut pedang di pinggangnya. Seorang laki-laki penduduk desa berbadan tegap segera maju dari tengah-tengah kerumunan orang seraya berkata, “Sarungkan pedangmu tuanku! Barangsiapa membunuh dengan pedang ia pun akan binasa dengan pedang pula!”

 

Tubuh Syeikh Abbas menggigil dengan hebat hingga pedangnya jatuh dari genggaman. Kemudian. ia berteriak, “Apakah seorang pembantu tak berdaya layak menentang tuannya dan menguasai kenikmatannya?; dan orang tersebut menjawab, “Seorang pembantu yang baik tidak akan bersekutu dengan tuannya dalam perbuatan jahat. Pemuda ini hanya mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak memberitahu orang-orang yang mendengarnya kecuali sebuah hakikat.”

 

Yang lain lagi tampil ke depan dan berkata, “Pemuda ini tidak mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan hukum. Lalu, kenapa kamu menyiksanya?”

 

Terdengar seorang perempuan yang berteriak dengan suara melengking. “Pemuda ini tidak menodai agama dan tidak mengolok-olok Tuhan. Lalu, kenapa kamu mengatakan ia kufur?”

 

Keberanian Rachel bangkit. Ia maju ke depan seraya berkata, ”Pemuda ini berkata atas nama lidah-lidah kami dan mengadukan keadaan kami. Maka, barangsiapa yang menimpakan keburukan kepada dirinya, dia adalah musuh kami.”

 

Syeikh Abbas menggertakkan gigi-giginya. Katanya, “Kamu juga ikut-ikutan memberontak, hai janda yang hina? Apakah kamu lupa kejadian yang menimpa suamimu lima tahun yang lalu ketika ia memberontakku?”

 

Mendengar itu Rachel menjerit, badannya menggigil bagaikan orang yang mengetahui rahasia yang mengerikan. Ia menoleh ke arah kerumunan orang dan berteriak dengan suara lantang, “Pernahkah kalian mendengar seorang pembunuh yang mengakui perbuatannya di saat ia sedang marah? Bukankah kalian masih ingat bahwa suamiku didapati terbunuh di ladang lima tahun yang lalu? Kalian mencari pembunuhnya tapi tak seorang pun yang tahu, karena ia bersembunyi di belakang tembok bangunan ini. Tidakkah kalian ingat bahwa suamiku adalah seorang pemberani? Ia ungkapkan kebobrokan Syeikh Abbas, ia ungkapkan tingkah lakunya dia, ia memberontak atas kekasarannya. Lihatlah ia (Syeikh Abbas) dan bacalah dosa-dosanya, tergores di wajahnya yang kepucatan. Lihatlah, dia menggigil ketakutan. Perhatikan bagaimana ia menutup wajah dengan tangannya agar ia tak melihat mata kalian yang memandang tajam kepadanya. Lihatlah, seorang tuan tanah yang perkasa sedang menggigil bagaikan sebatang bambu yang lentur. Lihatlah, seorang raksasa yang sedang gemetar ketakutan di depanmu bagaikan seorang hamba sahaya yang bersalah. Sesungguhnya, Tuhan telah memperlihatkan kepadamu semua rahasia pembunuh yang kalian takuti ini. Dia telah menjelaskan jiwa seorang penjahat yang membuatku menjanda di tengah kehidupan ini dan meninggalkan anakku sebagai anak-yatim di antara anak-anakmu.”

 

Kata-kata Rachel yang diucapkan dengan jelas ini membahana bagaikan halilintar di kepala Syeikh Abbas. Suara hiruk-pikuk para lelaki dan suara bising dari para perempuan bergelombang mengepung kepalanya bagaikan kilatan-kilatan api. Sang pendeta meminta Syeikh Abbas duduk kembali, lalu memanggil pengawal dan memerintahkan, “Tangkap perempuan yang telah menuduh tuanmu berbuat curang. Seret pemuda yang kufur itu ke sel penjara. Siapa yang menghalang-halangi berarti ia bersekutu dengannya. Ia tidak boleh datang ke rumah peribadatan.”

 

Tak seorang pun melaksanakan perintah sang pendeta. Mereka diam membeku sambil memandang Kahlil yang masih terbelenggu, juga Miriam dan Rachel yang berdiri tegar di samping kiri dan kanannya, seakan-akan keduanya sayap Kahlil yang terbuka menjelajahi angkasa. Sang pendeta berkata lagi hingga jenggotnya bergerak karena marah, “Apakah kalian hendak mengingkari nikmat Tuhanmu, hai orang-orang dungu? Apakah kalian hendak mengingkari kemurahan hati tuanmu demi pemuda kufur dan perempuan pembohong ini?“

 

Seorang pengawal yang paling tua menjawab, “Kami telah berbakti kepada Syeikh Abbas dengan sekerat roti dan tempat berlindung, tapi kami sama sekali bukan budak.”

 

Berkata seperti itu, ia sambil melepaskan jubahnya lalu melemparkan ke muka Syeikh Abbas sambil berkata lagi, “Aku tak sudi menghias badanku dengan pakaian hina ini agar jiwaku tidak selalu tersiksa di rumah orang yang gemar menumpahkan darah.”

 

Semua pengawal berbuat serupa, lalu bergabung dengan kerumunan orang-orang yang ada di situ. Wajah mereka membiaskan kebebasan. Setelah pendeta Elias melihat apa yang mereka lakukan dan merasa pengaruhnya sudah runtuh, ia segera keluar dari rumah itu sambil mengumbar sumpah serapah yang ditujukan pada sang waktu yang telah mendatangkan Kahlil ke desa itu.

 

Pada saat itu pula, seorang maju ke arah Kahlil dan melepas belenggu yang mengikatnya, lalu memandang Syeikh Abbas yang menyandar di kursi bagaikan jasad yang beku. Dengan nada yang sarat dengan semangat dan keberanian, ia berkata, “Pemuda yang kau datangkan ke sini dengan tangan terbelenggu, lalu hendak kau hukum layaknya seorang penjahat, justru telah menyinari kalbu kami yang kelam dan mengubah pandangan kami ke Jalan Kebenaran; dan janda yang kau anggap pembohong ini telah menjelaskan kepada kami rahasia yang terbelenggu selama lima tahun. Sedang kami datang ke rumah ini dengan perhitungan dan keputusan adil. Sekarang, hati kami sudah terbuka. Langit telah memperlihatkan kepada kami kejahatanmu yang menakutkan dan kedholiman-kedholimanmu yang keras. Kami akan meninggalkanmu sendirian dan kami tidak akan melecehkan dirimu. Kami tak mau peduli dengan dirimu dan kami tidak akan mengadukan dirimu. Kami akan menjauh dari dirimu sambil memohon kepada langit agar berbuat semaunya kepada dirimu.”

 

Di antara suara-suara bergemuruh di ruangan itu, terdengar sebuah suara yang melengking, “Mari kita keluar dari tempat yang penuh dosa ini. Mari kita pergi ke rumah masing-masing.”

 

Ada lagi yang berkata, “Mari kita ikut pemuda ini ke rumah Rachel untuk mendengar kata-katanya yang penuh hikmah dan suaranya yang merdu.”

 

Ada lagi yang berkata, “Kita lakukan apa yang dikehendaki Kahlil; ia lebih mengetahui kebutuhan dan permintaan kita.”

 

Ada lagi yang berkata, “Apabila kita menghendaki keadilan, lebih baik kita pergi kepada Raja besok hari, lalu kita sampaikan kejahatan-kejahatan Syeikh Abbas; kita minta agar dia dihukum.”

 

Yang lain lagi berkata, “Kita memohon kepada raja agar Kahlil diangkat menjadi pemimpin di desa ini.”

 

Selagi suara itu hiruk-pikuk membumbung dari segala sudut dan jatuh bagaikan anak panah yang lancip di dada Syeikh Abbas yang mengkerut, Kahlil mengangkat lengannya, memberi isyarat agar semua orang diam. Lalu, ia berseru, “Dengar dan lihat, wahai Saudara-saudara! Tak perlu kalian tergesa-gesa. Atas nama kasih sayangku, aku meminta janganlah kalian pergi kepada Emir. Ia tak akan mengadili Syeikh Abbas, karena seorang binatang buas tidak akan menggigit dan menerkam binatang buas lainnya. Tak perlu kalian melaporkan sang pendeta kepada uskup, karena uskup itu tahu bahwa rumah yang ditempatinya juga akan ikut runtuh. Janganlah kalian memintaku untuk menjadi pemimpin desa ini, karena seorang pembantu yang baik tidak mau bersekongkol dengan tuannya yang suka berbuat jahat. Kalau memang kalian mencintaiku dan mengasihiku, biarkan aku hidup di antara kalian; aku akan bergabung dalam suka dan duka dalam kehidupan kalian, aku akan menjadi seorang pengawas yang menyuruh pada perbuatan baik. Marilah kita pergi dari tempat ini dan membiarkan Syeikh Abbas termangu di depan singgasana Tuhan yang telah memancarkan matahari kepada orang yang baik dan buruk.”

 

Setelah berkata begitu, Kahlil keluar dari rumah itu, diikuti oleh semua orang; seakan-akan dalam pribadinya ada kekuatan yang mampu mengubah pandangan manusia.

 

Syeikh Abbas termangu sendirian bagaikan benteng runtuh, gemetar ketakutan seperti komandan yang kalah perang.

 

Sesampainya di halaman gereja, rembulan sudah muncul di bilik lengkung langit dan memancarkan cahaya keperak-perakan di langit. Kahlil mengedarkan pandangan. Dilihatnya wajah-wajah pria dan perempuan terarah kepadanya bagaikan sekumpulan domba yang memandang kepada tukang gembalanya. Jiwanya bergerak-gerak, seakan-akan ia melihat lambang suatu bangsa yang teraniaya pada diri orang-orang desa yang miskin itu, seakan-akan ia melihat lambang negara yang penuh kehinaan lewat gubuk-gubuk kumuh yang dikelilingi salju. Kahlil diam laksana seorang nabi yang mendengar panggilan wahyu. Rona mukanya berubah seketika, matanya melebar, seakan-akan dirinya telah melihat semua umat manusia berjalan sambil menyeret belenggu-belenggu ‘Ubudiah’ (memandang segala kenyataan itu sebagai sebuah takdir) di lembah itu.

 

Ia mengangkat tangannya ke atas; dan dengan suara menyerupai gemuruh ombak, ia berteriak, “Dari relung segala hati, kami menyerumu, wahai kebebasan, maka dengarkanlah suara kami! Dari balik kekelaman ini, kami mengangkat telapak tangan kepadamu, maka sayangilah kami! Di depan singgasanamu yang menakutkan, sekarang kami menggelar baju bapak-bapak kami yang berlumuran darah. Kami menimbun perasaan dengan tanah-tanah kubur yang bercampur tulang-belulang mereka. Kami membawa pedang yang tertancap di jantung mereka. Kami mengangkat anak panah yang menembus dada mereka. Kami lepas rantai yang membelenggu kaki mereka. Kami meneriakkan jeritan yang melukai tenggorokan mereka. Kami melolong meratapi kekelaman yang memenuhi penjara mereka. Kami mendirikan sembah yang memancar dari ketakutan mereka. Maka dengarlah dan simaklah kami, wahai kebebasan. Ratapan jiwa yang bercampur dengan jeritan neraka dan mata air Sungai Nil sampai ke hulu Sungai Eufrat membumbung ke arahmu. Tangan-tangan yang gemetar dicengkeram maut dari ujung tanah Arab sampai kening tanah Lebanon terulur menggapai-gapai ke arahmu. Mata yang mencucurkan cairan-cairan kalbu dari pinggir pantai di teluk sampai ujung padang sahara terangkat kepadamu. Tengoklah dan lihatlah kami, wahai kebebasan.”

 

“Di antara gubuk-gubuk yang dipayungi kemiskinan dan kehinaan, seakan banyak dada berdentingan di hadapanmu. Di rumah-rumah kosong yang teronggok dalam kedunguan yang kelam, sekian banyak hati terlempar kepadamu. Di rumah-rumah yang tertutup dengan kabut kebohongan dan kesewenang-wenangan, sekian banyak jiwa meratap kepadamu. Lihatlah dan kasihanilah kami, wahai kebebasan! Di jalan-jalan kami yang sempit, para pedagang menjual hari-harinya untuk memberi harga tertentu kepada para pencuri, dan tak seorang pun yang menasihatinya. Di ladang kami yang gersang, para petani menggali tanah dengan kuku-kukunya. Lalu, mereka menanaminya dengan benih-benih kalbunya, menyirami dengan air matanya, dan tidak ada yang digarap kecuali pohon-pohon berduri. Di rawa-rawa kami yang gundul, orang-orang Badui berjalan telanjang dan kelaparan, tak seorang pun yang mengasihinya. Bicaralah dan ajarilah kami, wahai kebebasan! Domba-domba kami diberi makanan dahan-dahan berduri sebagai ganti dari bunga-bungaan dan rumput dari gandum. Datanglah dan selamatkanlah kami, wahai kebebasan! Sejak dulu, kegelapan malam selalu mengelilingi jiwa kami. Lalu, kapankah fajar akan menyingsing? Jasad kami berpindah-pindah dari satu penjara ke lain penjara, sedang waktu terus berlalu sambil mencibir kepada kami. Lalu, sampai kapan kami harus membawa cibiran sang waktu? Dari satu beban ke lain beban yang lebih berat, kami mengelana, sedang umat-umat di bumi ini memandang dari jauh sambil tertawa mengejek. Lalu, apakah kita harus terus bersabar menghadapi ketawa umat-umat yang lain? Dari satu belenggu ke lain belenggu, musafir kita berlalu. Tak satu pun dari belenggu itu yang terlepas, dan kita pun tak mampu melepaskannya. Sampai kapankah kita masih dapat hidup?; dan sesembahan orang-orang Mesir, tawanan orang-orang Babilon, kekejaman orang-orang Persia, kepatuhan orang-orang Yunani kepada kesewenang-wenangan bangsa Romawi, kerakusan orang-orang Eropa, lalu sampai titik tujuan? Dari cengkeraman Fir’aun, taring-taring Nebukhadnizar, kuku-kuku Iskandar Agung, pedang-pedang Herodose, cakar-cakar peperangan cabikan setan. Lalu, sampai ke tangan siapakah saat ini kami harus pergi? Kapankah kami sampai ke cengkeraman sang maut sehingga kami dapat beristirahat dalam sepi?”

 

“Dengan kekuatan otot-otot lengan kami, mereka mengangkat tonggak-tonggak rumah peribadatan demi kemuliaan Tuhan mereka. Di atas punggung kami, mereka memindahkan tanah dan kebebasan untuk membangun pagar dan benteng guna memperkokoh penjagaan. Dengan kekuatan badan kami, mereka membangun piramid-piramid untuk mengabdikan nama mereka. Sampai kapankah kita harus membangun istana, gedung-gedung pencakar langit dan kita tidak menetap selain di gubuk-gubuk reyot, gua-gua gelap? Sampai kapankah kita harus mengisi gudang dan lemari, sedang kita hanya memakan bawang putih dan bawang merah? Sampai kapankah kita harus menenun kain lusuh usang? Dengan kebobrokan akhlak dan tipu daya mereka telah membuat kelompok-kelompok keluarga. Mereka menjauhkan seorang dengan yang lain. Sampai kapankah kami harus bertebaran seperti abu di hadapan badai kencang? Sampai kapankah kami harus bergumul seperti anak-anak singa kelaparan di dekat bangkai busuk ini?”

 

“Untuk menjaga singgasana dan ketenteraman hatinya, mereka mempersenjatai orang-orang asing untuk memusuhi orang Arab. Mereka membangkitkan orang-orang Syi’ah untuk membantai orang-orang Sunnni. Mereka memberi semangat orang-orang Kurdi untuk membunuh orang-orang Badui. Mereka memancing keberanian orang-orang Muslim untuk menyerang orang-orang Kristen. Sampai kapankah seseorang akan mengancam tetangganya di atas kuburan orang yang tercinta ? Sampai kapankah salib akan menjauh dari bulan sabit di hadapan Tuhan? Dengarlah kami, wahai kebebasan! Tengoklah dan lihatlah kami, wahai Ibu Kesunyian Alam! Kami bukanlah anak-anak tirimu. Berbicaralah dengan menggunakan lidah salah seorang di antara kami; karena dengan satu tetes air saja, setangkai dahan kering sudah dapat menyala. Dengan menggunakan gemeresik sayap-sayapmu, bangkitkanlah jiwa salah seorang di antara kami. Karena dari segumpal awan saja, halilintar sudah dapat memancarkan sinar menyinari celah-celah lembah dan puncak-puncak gunung. Buyarkanlah mendung hitam ini dengan bangunan-bangunan singgasana yang menjulang tinggi di atas tumpukan tulang-belulang dan tengkorak-tengkorak yang dilapisi dengan emas gosokan dan yang dicampuri dengan darah dan air mata.”

 

“Dengarkan kami, wahai kebebasan!

Sayangi kami, wahai Puteri Athena!

Selamatkanlah kami, wahai Saudara Perempuan Romawi!

Selamatkanlah kami, wahai Sahabat Musa!

Bantulah kami, wahai Kekasih Muhammad!

Ajarilah kami, wahai Mempelai Yesus!

Kuatkanlah hati kami agar kami dapat hidup,

atau kuatkanlah musuh kami hingga kami hancur

dan hidup di alam kedamaian, abadi.”

 

Begitu Kahlil selesai mengungkapkan luapan emosinya di hadapan langit, penduduk desa menatapnya tertegun, dan rasa cinta mereka tumbuh menyatu dengan suaranya seakan ia adalah bagian dari tubuh-tubuh mereka. Setelah terdiam beberapa saat, Kahlil mengarahkan pandangannya ke arah orang yang berkerumun dan berkata dengan lembut, “Malam telah membawa kita ke rumah Syeikh Abbas agar kita dapat menyaksikan terbitnya fajar bersama-sama; kekuasaan telah menangkap kita di hadapan semesta yang dingin sehingga kita dapat saling memahami dan bersatu bagaikan anak-anak ayam yang berlindung di bawah kasih sayang keabadian. Sekarang, marilah kita pulang ke rumah masing-masing dan tidur, agar kita bisa bertemu esok hari.”

 

Selesai mengucapkan kata-kata itu, ia melangkah pergi, mengikuti Rachel dan Miriam ke rumah mereka yang telah mereka lihat dan mereka dengar di malam yang penuh kenangan itu. Mereka merasa bahwa sebuah obor baru telah menyala dan sebuah jiwa baru telah menghidupkan mereka kembali dan membimbing mereka ke jalan yang benar. Dalam waktu satu jam saja, semua lampu telah padam dan kesunyian menyelimuti seluruh desa sementara seluruh penduduk tersesat lelap ke dunia yang penuh mimpi. Namun, Syeikh Abbas tidak dapat tidur sepanjang malam, seakan ia sedang menyaksikan hantu-hantu kejahatannya yang menyeramkan sedang berbaris.

 

Dua bulan telah berlalu. Kahlil masih tetap menaburkan dan mengkhotbahkan isi hatinya ke dalam jiwa-jiwa penduduk desa, mengingatkan mereka akan hak-hak yang mereka miliki serta menjelaskan kebobrokan dan penindasan yang dilakukan oleh para penguasa dan para pendeta. Mereka semua mendengarkan dengan tekun, karena ia adalah sumber kebahagiaan; kata-kata yang diucapkan seakan curahan hujan di ladang-ladang gersang yang kehausan. Di dalam kesendirian, mereka selalu mengulang kata-kata Kahlil seakan ia adalah doa yang harus diucapkan setiap hari.

 

Sementara itu, Pendeta Elias menjadi orang yang terasing dan dikucilkan karena penduduk desa telah tahu bahwa ia adalah sekutu Syeikh Abbas dalam melakukan berbagai kejahatan. Syeikh Abbas merana dalam derita; ia berjalan hilir mudik di dalam istananya seperti harimau yang terkurung. Ia berteriak memanggil para pelayan, tapi yang terdengar hanya pantulan gema dari dinding marmer terhadap suaranya sendiri. Ia memanggil para pengawalnya, tapi tidak ada yang datang kecuali isterinya yang sudah sakit-sakitan karena lama menderita sebagaimana penduduk desa yang lain. Mengikuti perginya musim dingin dan datangnya musim semi, Syekh tua itu mati setelah menjalani penderitaan yang berkepanjangan. Jiwanya dikurung dalam sangkar oleh tindakan-tindakan jahatnya dan dihadapkan ke muka singgasana agung yang keberadaannya dapat kita rasakan tetapi tidak dapat kita lihat. Pendapat para petani desa itu simpang siur mengenai sebab-sebab kematiannya. Sebagian di antara mereka ada yang berkata, “Ingatannya hilang dan ia mati dalam keadaan gila.” Yang lain berkata, “Rasa putus asa meracuni hidupnya karena pengaruhnya telah hilang; ia mati gantung diri.” Sedang perempuan-perempuan yang datang ke rumahnya untuk mengucapkan bela sungkawa bercerita bahwa Syeikh Abbas mati ketakutan. Karena bayangan Samaan Ramy menampakkan diri di depannya dengan mengenakan pakaian yang bersimbah darah, bangkit dari tempat ia dibunuh enam tahun yang lalu.

 

Bulan Nisan mengumumkan kepada penduduk desa, rahasia cinta yang tersembunyi di dalam jiwa Kahlil dan Miriam. Wajah mereka memancarkan kebahagiaan. Hati mereka menari-nari gembira. Mereka bergiliran menyampaikan kegembiraan karena Kahlil sudah resmi jadi tetangga dekat mereka dan menjadi menantu bagi setiap orang di desa itu.

 

Di kala musim panen tiba, para petani ke ladang dan mengumpulkan hasil-hasil panenan di tempat penggilingan Syekh Abbas yang biasanya digunakan untuk merampas hasil panenan dan menumpuknya di gudang sebelum meninggal. Dengan begitu, para petani dapat mengolah tanahnya dengan sungguh-sungguh sehingga gubuk-gubuk di desa itu kini dipenuhi dengan kurma, jagung, gandum, dan zaitun. Kahlil bergabung dengan mereka dalam suka dan duka, membantu mereka mengumpulkan hasil panenan, memeras kurma, dan memetik buah. Ia tidak melebihkan dirinya dari mereka kecuali dalam kecintaan dan semangatnya.

 

Sejak saat itu sampai kini, setiap petani di desa itu dapat mengolah dengan segala jerih payahnya. Dengan senang hati, ia mengumpulkan buah-buahan kebun yang ditanaminya dengan susah payah. Tanah-tanah itu menjadi hak milik yang memang berhak memilikinya, dan buah-buahan kurma menjadi bagian bagi yang telah menanamnya.

 

Sekarang, setengah abad telah berlalu sejak peristiwa itu terjadi dan orang-orang Lebanon telah terbangun. Dalam perjalanan menuju Hutan Suci Cedar di Lebanon, seorang pengembara berdiri sambil mengamati keindahan desa itu, yang duduk bagaikan pengantin di puncak bukit. Ia melihat gubuk-gubuk di situ sudah menjadi rumah-rumah mungil yang dikelilingi ladang-ladang subur dan taman-taman yang asri.

 

Apabila ada yang bertanya kepada penduduknya tentang sejarah Syeikh Abbas, maka ia akan menunjukkan reruntuhan batu-batu dan bekas-bekas tembok yang sudah hancur seraya berkata, “Inilah istana Syeikh Abbas dan itulah sejarah hidupnya.”

 

Apabila ditanya tentang Kahlil, maka ia akan mengangkat tangannya ke langit seraya berkata, “Di sanalah tempat Kahlil yang kami cintai. Kisah hidupnya telah dituliskan Tuhan dengan huruf-huruf yang bercahaya di lembar-lembar hati kami, dan tak akan luntur oleh berlalunya waktu.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
Bertemu Jodoh di Thailand
2019      1067     0     
Romance
Tiba saat nya Handphone Putry berdering alarm adzan dan Putry meminta Phonapong untuk mencari mesjid terdekat karena Putry mau shalat DzuhurMeskipun negara gajah putih ini mayoritas beragama buddha tapi ada sebagian kecil umat muslimnya Sudah yang Sholatnya Sudah selesai yang Sekarang giliran aku yaaku juga mau ibadah ke wiharakamu mau ikut yang Iya yangtapi aku tunggu di luar saja ya Baikl...
Behind The Scene
1116      450     6     
Romance
Hidup dengan kecantikan dan popularitas tak membuat Han Bora bahagia begitu saja. Bagaimana pun juga dia tetap harus menghadapi kejamnya dunia hiburan. Gosip tidak sedap mengalir deras bagai hujan, membuatnya tebal mata dan telinga. Belum lagi, permasalahannya selama hampir 6 tahun belum juga terselesaikan hingga kini dan terus menghantui malamnya.
ORIGAMI MIMPI
26140      2997     55     
Romance
Barangkali, mimpi adalah dasar adanya nyata. Barangkali, dewa mimpi memang benar-benar ada yang kemudian menyulap mimpi itu benar-benar nyata. Begitulah yang diyakini Arga, remaja berusia tujuh belas tahun yang menjalani kehidupannya dengan banyak mimpi. HIngga mimpi itu pula mengantarkannya pada yang namanya jatuh cinta dan patah hati. Mimpi itu pula yang kemudian menjadikan luka serta obatnya d...
Ketos in Love
751      454     0     
Romance
Mila tidak pernah menyangka jika kisah cintanya akan serumit ini. Ia terjebak dalam cinta segitiga dengan 2 Ketua OSIS super keren yang menjadi idola setiap cewek di sekolah. Semua berawal saat Mila dan 39 pengurus OSIS sekolahnya menghadiri acara seminar di sebuah universitas. Mila bertemu Alfa yang menyelamatkan dirinya dari keterlambatan. Dan karena Alfa pula, untuk pertama kalinya ia berani m...
The Eternal Love
18368      2651     18     
Romance
Hazel Star, perempuan pilihan yang pergi ke masa depan lewat perantara novel fiksi "The Eternal Love". Dia terkejut setelah tiba-tiba bangun disebuat tempat asing dan juga mendapatkan suprise anniversary dari tokoh novel yang dibacanya didunia nyata, Zaidan Abriana. Hazel juga terkejut setelah tahu bahwa saat itu dia tengah berada ditahun 2022. Tak hanya itu, disana juga Hazel memili...
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
5055      938     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Gue Mau Hidup Lagi
340      212     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
HAMPA
360      245     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
The Reason
8408      1617     3     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
The Past or The Future
385      303     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?