Read More >>"> Cinta (Puisi dan Semi Novel (Kitab Keempat Bagian 3) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta (Puisi dan Semi Novel
MENU
About Us  

Sementara Miriam mengharapkan keberadaan Kahlil di situ cukup lewat pandangan-pandangan matanya yang lembut; dan dengan tarikan-tarikan nafas yang dalam, ia berharap Kahlil membatalkan kepergiannya; sebab semenjak Kahlil sang pemuda masuk ke rumah yang kecil ini dalam keadaan antara hidup dan mati, Miriam merasakan ada kekuatan tinggi di dalam jiwanya, membangkitkan kehidupan dan cahaya di hatinya, mengirimkan perasaan baru untuk mencintai kesucian jiwa. Baru sekali itulah selama hidupnya, Miriam merasakan sentuhan perasaan aneh yang membuat kalbu kegadisannya yang masih suci bagaikan sekuntum bunga putih menghirup titik-titik embun pagi dan menebarkan bau harum semerbak. Tidak ada yang lebih suci dan segar dari kasih sayang yang tersembunyi di hati seorang gadis, di saat sadar tapi lengah. Setiap bilik-bilik dadanya dipenuhi dengan simfoni yang berkekuatan sihir. Membuat perjalanan hari-harinya bagaikan mimpi seorang penyair dan malam-malamnya bagai malam para nabi. Di antara banyak rahasia alam, tidak ada yang lebih kuat dan lebih indah dari hasrat yang merubah sikap diam jiwa yang perawan kepada gerak-gerak jiwa yang mematikan kenangan hari-hari yang telah lalu, lalu hidup bersama harapan hari-hari yang akan datang.

 

Gadis-gadis Lebanon mempunyai keistimewaan dari gadis-gadis lain dalam hal kekuatan rasa kasihnya dan kelembutan perasaannya; karena corak pengetahuannya untuk berkembang justru mengalihkan jiwanya untuk meminyaki rahasia-rahasia hatinya. Gadis-gadis Lebanon dapat diumpamakan seperti sumber mata air yang memancar dari perut bumi di dataran rendah. Ia tidak mendapatkan aliran sungai yang tenang. Permukaannya membiaskan cahaya rembulan dan kelip-kelip bintang.

 

Kahlil dapat merasakan getar jiwa Miriam yang bergelombang meliuk-liuk di sekitar jiwanya. Ia tahu di sana ada cahaya suci mengelilingi kalbunya dan menyentuh hati Miriam. Untuk pertama kalinya, Kahlil merasakan kegembiraan layaknya anak kecil yang hilang lalu mendapatkan ibunya; tapi segera ia mencemoohkan dirinya. Jiwa yang sudah terpaut saling mengerti dan mengetahui ini akan segera buyar bagaikan kabut yang disapu hari-hari putih. Ia segera menghibur dirinya dengan berkata dalam hati, “Rahasia apakah yang menari-nari dalam diri kita saat kita sedang lengah? Ilham-ilham macam apakah yang mendorong kita menyusuri jalan berliku-liku sehingga badan kita terbungkuk-bungkuk, menghadapkan kita di dekat wajah mentari? Kita berdiri dengan sukaria. Mengangkat kita ke puncak gunung, membuat kita tersenyum sambil mencucurkan air mata; dan di lain saat, menghempaskan kita ke relung jurang sehingga kita menjerit ketakutan. Kehidupan seperti inikah yang memeluk kita di suatu hari dan lain hari mendera kita? Bukankah kemarin kita menjadi orang yang sangat dibenci dan disiksa oleh para pendeta di rumah peribadatan? Ataukah aku tidak menerima penyiksaan dan ejekan hanya demi hakikat yang dibangkitkan langit dalam jiwaku? Bukankah sudah kukatakan kepada para pendeta bahwa kebahagiaan adalah kehendak Tuhan dalam diri manusia? Mengapa aku menutup mata dan memalingkan muka dari cahaya yang memancar dari mata gadis ini? Aku orang usiran dan dia orang miskin; tetapi hanya dengan memotong roti, manusia dapat hidup. Ataukah kehidupan ini bukan dunia? Ataukah kita ini bukan orang miskin sebagaimana pepohonan di antara musim panas dan musim dingin? Apakah yang bakal dikatakan Rachel kalau ia tahu bahwa jiwa anak gadis satu-satunya telah terpaut dalam sepi dan bergandengan tangan di sekitar cahaya tinggi? Apakah yang bakal dilakukan Rachel seandainya ia tahu bahwa pemuda yang ia selamatkan dari kuku-kuku maut hendak menjadi pendamping anak gadisnya?; dan apa yang bakal dikatakan penduduk desa yang hidup sederhana ini apabila mereka tahu bahwa seorang pemuda yang dididik di rumah peribadatan, lalu keluar dari situ karena diusir, datang ke desa mereka untuk hidup berdampingan dengan seorang gadis cantik rupawan? Apakah mereka tidak akan menutup telinga apabila kukatakan kepada mereka bahwa orang-orang yang dapat keluar dari rumah peribadatan untuk hidup di tengah-tengah mereka, bagaikan burung lepas dari sangkar yang kelam ke cahaya dan kebebasan?; dan apakah yang dikatakan Syeikh Abbas yang hidup di tengah-tengah para petani dan orang-orang miskin bagaikan raja di tengah-tengah budak belian apabila ia mendengar ceritaku?; dan apakah yang bakal dikatakan pendeta kampung apabila mempelajari penyebab diriku diusir dari rumah peribadatan?”

 

Kahlil berkata kepada dirinya sendiri sambil duduk di dekat perapian mengamati lidah-lidah api yang meliuk-liuk seperti perasaannya. Sedang Miriam memancarkan pandangannya ke arah Kahlil sambil membaca mimpi-mimpi lewat rona wajahnya. Ia mendengarkan gema pikirannya yang keluar dari dadanya. Ia dapat merasakan benang-benang bisikan yang berputar-putar di sekitar hatinya.

 

Di senja hari, Kahlil berdiri termanggu di dekat jendela yang menghadap ke tengah lembah. Pepohonan dan permukaan tanah dilapisi dengan salju, layaknya mayat-mayat yang dibungkus kain kafan. Miriam datang memandang langit. Kahlil memandang Miriam; dan ketika matanya bertatapan dengan mata Miriam, ia menarik nafas panjang dan berat, lalu mengalihkan pandangannya sambil memejamkan mata. Seakan-akan jiwanya telah terlepas dari badan lalu berenang ke ruang-ruang tak bertepi berusaha mencari kata-kata yang dapat diucapkan. Setelah beberapa saat mereka berdiam diri, Miriam memberanikan diri bertanya, “Apabila salju itu telah mencair dan jalan-jalan mulai terkuak, ke mana engkau akan pergi?”

 

Kahlil menjawab sambil membuka matanya memandang langit yang jauh, “Akan kuikuti jalan membentang yang aku sendiri tak tahu.”

 

Jiwa Miriam menggelepar. Lalu, ia berkata dengan tarikan nafas yang berat, “Mengapa kamu tidak menetap saja di desa ini dengan tetap berdekatan dengan kami? Bukankah kehidupan di sini lebih baik daripada tempat asing yang jauh letaknya?”

 

Jantung Kahlil bergetar karena kata-kata Miriam yang lembut dan simfoni suaranya merdu. Kahlil menjawab, “Penduduk desa ini tidak mau menerima orang usiran dari rumah peribadatan sebagai tetangga mereka. Mereka tidak akan memperkenankannya menghirup udara yang membuat mereka hidup. Sebab mereka menganggap musuh para pendeta adalah orang yang kufur kepada Allah dan hamba-hamba-Nya yang suci.”

 

Miriam mendesah, ia diam membisu. Suatu hakikat terluka telah membuatnya tak mampu bicara. Pada saat itu, Kahlil menyangga kepalanya dengan tangan seraya berkata, “Miriam, penduduk desa ini telah belajar dari para pendeta untuk membenci seseorang yang memikirkan kebebasan. Akhirnya, mereka hanya meniru. Mereka menjauhi orang-orang yang hendak menjalani hidup ini dengan kesadarannya, bukan sekedar ikut-ikutan. Apabila aku tetap berada di desa ini dan kukatakan kepada mereka untuk bersembahyang menurut jiwa kita, tidak seperti yang dikehendaki para pendeta dan paderi (rohaniwan), karena Allah tidak mau disembah oleh orang bodoh yang hanya mengikuti orang lain, tentu mereka akan berkata bahwa aku orang kufur yang merongrong pemerintah yang telah diletakkan Tuhan lewat tangan para pendeta. Apabila kukatakan kepada mereka untuk selalu seperti kehendak jiwa yang ada di relung diri, tentu mereka akan berkata bahwa aku ini orang jahat yang menghendaki diri kita mengingkari wasiat-wasiat yang telah dipancangkan Allah di antara langit dan bumi.”

 

Kahlil memandang tepat di mata Miriam. Dengan suara mendentingkan nada-nada yang ganjil, ia berkata lagi, “Tapi di desa ini ada kekuatan sihir yang melingkupi diriku dan bergelantungan pada jiwaku. Kekuatan agung yang membuatku lupa pedihnya penyiksaan para pendeta. Di desa inilah jiwaku merah merekah. Di desa inilah kujumpai wajah maut bertatapan dengan wajahku. Di desa inilah jiwaku merengkuh jiwa Allah. Di desa ini, ada sekuntum bunga yang tumbuh di dalam jiwaku. Semerbak bau wewangiannya memenuhi rongga hatiku. Apakah aku harus meninggalkan bunga itu, lalu pergi karena ancaman dasar-dasar agama yang juga telah menjauhkan diriku dari rumah peribadatan suci? Ataukah aku harus tetap di sampingnya sambil menggali kubur untuk memendam pikiran dan mimpi-mimpiku di antara duri-duri yang mengelilinginya? Apakah yang harus kulakukan Miriam?”

 

Miriam mendengarkan semua kata-kata Khalil. Badannya bergetar seperti batang-batang ilalang yang bergerak-gerak dihembusi semilir angin. Cahaya di hatinya berpijar-pijar. Perasaan malu mengelukan lidahnya. Perasaan berbunga mengelus pipinya. Ia berkata, “Kita berdua berada di antara dua tangan kekuatan tersembunyi yang adil dan penuh kasih sayang. Kita biarkan kekuatan itu berbuat semaunya terhadap kita.”

 

Setelah detik itu, perasaan Kahlil benar-benar telah menyatu dengan perasaan Miriam. Jiwa keduanya jadi satu cahaya yang membara. Kemilau sinarnya memancar dan mengepulkan asap-asap dupa. Sejak permulaan zaman sampai saat ini, kelompok manusia yang mewarisi kedudukan terhormat terus berkesinambungan dan bergabung dengan para pendeta dan pemimpin-pemimpin agama. Dengan cakar-cakarnya yang meruncing, kelompok ini mencengkeram semua leher manusia. Hal seperti ini tidak akan sirna kecuali dengan sirnanya kedunguan dari alam ini, yaitu di saat akal setiap lelaki menjadi raja dan hati setiap perempuan menjadi pendeta.

 

Anak-anak yang mewarisi kehormatan itu membangun istana dengan jasad orang-orang miskin; sedang para pendeta membangun Haikal di atas kuburan orang-orang yang mau percaya dan tunduk. Sang raja mencengkeram petani miskin, sedang sang pendeta mengulurkan tangannya ke kantong petani. Para hakim memandang dengan muka cemberut kepada anak-anak ladang. Pembesar-pembesar agama membuang muka; dan di antara singa yang cemberut dan serigala yang tersenyum, sekawanan domba tentu akan lenyap.

 

Sang hakim mengaku sebagai panutan undang-undang. Sang pendeta mengaku sebagai panutan agama; dan di antara keduanya, sekian banyak jasad dan jiwanya akan lenyap. Seorang anak yang mewarisi kehormatan di Lebanon akan berdiri di samping istananya seraya berteriak kepada rakyat Lebanon, “Sang raja telah menunjukku sebagai wali jasad-jasadmu.”; dan sang pendeta berdiri tegak di depan altar seraya berbisik, “Allah telah menunjukku sebagai penghubung jiwa-jiwamu sekalian.” Sedang rakyat Lebanon hanya akan diam terpaku sebab hati yang sudah tertutup debu tidak dapat retak dan mayat-mayat tak dapat menangis lagi.

 

Syeikh Abbas menjadi wali, hakim, dan sekaligus raja di desa itu. Ia menyenangi para pendeta rumah peribadatan suci. Ia menjaga ajaran-ajaran dan adat-istiadat mereka karena mereka juga membantunya dalam membunuh kepandaian dan menghidupkan ketaatan di dalam jiwa orang-orang yang menggarap ladang serta sawahnya.

 

Sore itu, di saat Kahlil dan Miriam duduk berdampingan di singgasana cinta, dan Rachel memandang keduanya dengan pancaran kasih seakan hendak mengetahui bilik-bilik tersembunyi di dalam jiwa mereka, Pendeta Elias, seorang pendeta di desa itu, pergi memberitahu Syeikh Abbas bahwa pendeta yang bertakwa telah mengusir seorang pemuda jahat yang memberontak dari rumah peribadatan.

 

Orang-orang yang ingkar dan kufur ini telah datang di desa itu sejak dua minggu yang lalu; ia kini menetap di rumah Rachel, janda Samaan. Tidak sampai disitu saja kabar yang disampaikan pendeta Elias, ia menambahi, “Setan yang diusir dari rumah suci tidak dapat berubah menjadi malaikat di desa ini. Pohon tin yang dipotong petani lalu dilemparkan ke api tidak akan menghasilkan buah segar. Kalau kita menghendaki desa ini tetap selamat dari virus-virus yang menjijikkan, kita harus mengusir pemuda itu dari rumah kita, dari kebun kita, sebagaimana para pendeta telah mengusirnya dari rumah peribadatan.”

 

Syeikh Abbas bertanya, “Bagaimana kau bisa tahu bahwa pemuda ini akan menjadi aib yang menjijikkan di desa ini? Tidakkah lebih baik membiarkannya tetap di sini dan kita jadikan penjaga kebun atau penggembala sapi? Kita sangat membutuhkan para pekerja. Apabila ada jalan yang dapat mengumpulkan para pemuda yang kuat otot-otot lengannya, jalan itu akan kita tempuh dan tidak kita biarkan begitu saja.”

 

Sang pendeta tersenyum menyerupai senyum seekor ular. Lalu, ia berkata sambil menyisir jenggotnya yang tebal dengan menggunakan jari-jarinya, “Seandainya pemuda itu bekerjanya baik, tentu para pendeta tidak akan mengusirnya. Padahal, tanah milik rumah peribadatan amat luas dan domba-dombanya sampai tak terhitung banyaknya. Para penyewa tanah yang menetap di rumahku kemarin malam bercerita kepadaku bahwa pemuda itu meneriakkan tanda-tanda kekufuran kepada para pendeta yang disertai dengan kata-kata memberontak yang menunjukkan kekotoran dan kekurangajarannya. Sudah beberapa kali ia berani melakukan itu dan berkhotbah kepada mereka, “Kembalikan kebun-kebun milik rumah peribadatan dan harta bendanya kepada penduduk desa yang miskin. Menyebarlah kemana-mana karena hal ini lebih baik daripada melakukan sembahyang.” Mereka juga memberitahukan bahwa dampratan yang keras, cambukan-cambukan yang merobek-robek kulit dan sel penjara yang kelam tidak semampu memperbaiki kelakuan pemuda itu. Bahkan, setan-setan semakin mencengkeram jiwanya seperti sampah di tong yang dipenuhi lalat.”

 

Mendengar semua itu, Syeikh Abbas berdiri tegak bagaikan singa yang mundur selangkah sebelum menerkam mangsanya. Beberapa saat ia berdiam diri sambil menggertakkan gigi-giginya. Badannya bergetar marah. Kemudian, ia berjalan ke arah pintu seraya berteriak memanggil pembantu-pembantunya dengan suara lantang. Tiga pembantunya datang mendekat dan berdiri di depan Syeikh Abbas, siap melaksanakan perintah. Ia berkata, ”Di rumah Rachel, si Janda Samaan Ramy, ada seorang pemuda mengenakan pakaian pendeta tapi berlumuran dosa. Pergilah sekarang juga ke sana, belenggu tangannya dan seret ke sini. Apabila perempuan itu mencegah kalian, cengkeram badannya, pegang rambutnya, dan seret dia di atas salju. Karena orang yang membantu penjahat tentu dia juga jahat.”

 

Pembantu-pembantu itu menganggukkan kepala lalu segera keluar untuk membereskan perintah tuannya. Syeikh Abbas dan sang pendeta tetap di sana dan membicarakan apa yang seharusnya mereka perbuat terhadap pemuda usiran dari rumah peribadatan dan Rachel si janda. Siang telah berlalu dan malam mulai menyebarkan bayang-bayang kegelapan di antara gubuk-gubuk yang dikelilingi salju. Bintang gemintang tampak berkedip-kedip di langit yang hitam dan dingin seakan juga menampakkan keabadian dari balik ketakutan dan maut. Para petani menutup pintu dan jendela lalu menyalakan lentera. Mereka duduk bercengkerama di dekat perapian tanpa mengindahkan bayang-bayang malam yang mengelilingi rumah mereka.

 

Pada saat Rachel, Miriam dan Kahlil sedang duduk-duduk di meja makan menikmati santap malam, tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Pembantu-pembantu Syeikh Abbas langsung masuk ke dalam rumah. Rachel memandang cemas. Miriam menarik nafas dengan gemetar, sedang Kahlil tetap tenang-tenang saja, seakan jiwanya yang besar telah tahu kedatangan orang-orang itu sebelum mereka benar-benar datang. Salah seorang pembantu datang mendekat, tangannya mencengkeram pundak Kahlil dengan kasar lalu berkata dengan berat, “Bukankah kau pemuda yang diusir dari biara?”

 

Kahlil menjawab dengan tenang, “Ya, benar. Aku. Lalu apa mau kalian?”

 

Orang itu menjawab, “Kami akan menangkap dan membawamu ke rumah Syeikh Abbas. Apabila kamu melawan, kami akan menyeretmu di atas salju seperti anak domba yang disembelih.”

 

Wajah Rachel memucat berkerut. Lalu, ia berkata dengan gemetar, “Dosa apakah yang dilakukan Kahlil terhadap Syeikh Abbas? Mengapa kalian hendak membelenggu dan menyeretnya?”

 

Miriam ikut angkat bicara. Suaranya bercampur dengan nada memohon dan meminta belas kasihan, “Dia sendirian sedang kalian bertiga. Sungguh suatu perbuatan dungu kalian bermaksud menyiksanya.”

 

Laki-laki itu berteriak karena diguncang kemarahan, “Adakah di desa ini seorang perempuan yang berani membantah kehendak Syeikh Abbas?” Katanya sambil bermaksud mengikat Kahlil. Kahlil diam mematung. Rona wajahnya tidak berubah. Bahkan kepalanya tegak terangkat bagaikan benteng yang berdiri tegar menghadang angin puyuh. Ia menyunggingkan seulas senyum kedukaan seraya berkata, “Aku kasihan kepadamu semua. Karena kalian adalah alat yang kuat tapi buta, berada di tangan orang bermata lemah. Kalian hamba kedunguan; dan kedunguan adalah lebih hitam dari kulit orang hitam yang paling putih dan lebih tunduk pada kekerasan. Kemarin aku seperti kalian, tapi besok kalian akan seperti diriku. Sedang sekarang di antara kita terbentang jurang yang dalam dan kelam menyedot seruanku dan menutup hakikatku sehingga kalian tidak mendengar dan melihat. Nah, silahkan lakukan sekehendak kalian kepada diriku. Silahkan ikat lenganku!”

 

Setelah mendengar kata-kata itu, mata para pembantu itu jadi membeku, badan mereka gemetar, mereka diam terpaku; seakan-akan suara Kahlil yang melantun merdu itu telah mencabut kekuatan di badan mereka. Perasaan lengah bangkit di relung hati mereka; tetapi kembali tersentak sadar; seakan-akan gaung suara Syeikh Abbas berdengung-dengung di telinga mereka; seakan-akan suaranya mengingatkan kepentingan apa mereka diutus ke situ. Mereka segera maju dan mengikat lengan Kahlil. Lalu, keluar dengan diam, sambil memendam perasaan duka. Rachel dan Miriam mengikuti di belakang mereka menuju rumah Syeikh Abbas, seakan anak-anak perempuan Yerusalem yang mengiringi Yesus ke Gunung Kalvari.

 

Setiap kali ada berita, baik besar maupun kecil, segera menyebar dengan cepat di antara para petani di desa kecil itu. Keadaan mereka yang jauh dari kesibukan hidup bermasyarakat membuat mereka mudah menyimak setiap peristiwa yang terjadi di sekitar mereka yang sangat terbatas. Di musim dingin, kebun-kebun dan ladang-ladang terlelap dalam selimut salju. Kehidupan memencil ketakutan sambil menghangatkan badan di sekitar perapian. Orang-orang desa amat suka dan gemar mengorek berita agar hari-hari yang kosong itu dapat terisi dan ada yang mereka perbuat di malam-malam yang dingin dengan cara mereka-reka peristiwa.

 

Tidak lama setelah pembantu Syeikh Abbas menangkap Kahlil pada malam itu, kabar penangkapan sudah menyebar bagaikan wabah penyakit yang berjangkit di antara penduduk desa. Jiwa mereka penasaran ingin tahu. Akhirnya, mereka meninggalkan gubuk dan keluar dari segala penjuru bagaikan pasukan tentara yang berhamburan. Selagi pemuda yang dibelenggu belum sampai di rumah Syeikh Abbas, laki-laki, perempuan, dan anak-anak sudah berkerumun di sekitar rumah yang luas itu. Masing-masing mengulurkan leher agar dapat melihat si kufur yang terusir dari rumah peribadatan untuk melihat Rachel dan anaknya Miriam yang telah bersekongkol dengan jiwa-jiwa penjahat yang hendak menyebar racun dan sumber-sumber api neraka di langit desa mereka.

 

Syeikh Abbas duduk di sebuah kursi, sedang pendeta Elias bersila di sampingnya. Para petani dan buruh-buruh kerja berdiri bergerombol sambil memandang seorang pemuda dengan tangan terbelenggu yang berdiri di hadapan mereka dengan kepala mendongak ke atas, bagaikan gunung yang berdiri di tengah lembah; sedang Rachel dan Miriam berdiri di belakangnya. Bayang-bayang ketakutan menggoda hatinya. Pandangan yang tajam dari orang-orang yang hadir di situ sangat menyiksa jiwanya; tapi apakah yang dapat diperbuat sebuah ketakutan di dalam hati seorang perempuan yang melihat kebenaran lalu mengikutinya?; dan apakah yang dapat diperbuat pandangan-pandangan mata yang tajam di hati seorang gadis yang mendengar panggilan cinta, lalu ia bangkit berdiri?

 

Syeikh Abbas memandang sang pemuda dan dengan suara yang menyerupai gelombang ombak ia bertanya, “Siapa namamu?”

 

“Namaku Kahlil,” jawab sang pemuda.

 

Syeikh Abbas melanjutkan, “Siapa saja keluargamu? Di mana tempat kelahiranmu?”

 

Kahlil memandang pada petani yang juga memandangnya dengan gurat-gurat kebencian dan rasa jijik. Kahlil menjawab, “Orang-orang fakir dan miskin yang teraniaya adalah keluargaku dan kerabatku. Negeri yang luas ini adalah tempat kelahiranku”.

 

Syeikh Abbas tersenyum mencemooh. Ia berkata, “Orang-orang yang kau sebutkan itu justru menginginkan kau dihajar; dan negeri yang kamu akui sebagai tumpah darahmu ini enggan jika menjadi penduduknya.”

 

Urat-urat Kahlil bergetar. Lalu, ia berkata, “Suatu bangsa yang bodoh akan mencengkeram rakyat-rakyatnya dan menyerahkan mereka pada kekerasan orang-orang yang bertindak sewenang-wenang. Negeri yang bercampur dengan kehinaan adalah negeri yang mencampakkan orang-orang yang justru mencintainya; tapi apakah seorang anak saleh akan meninggalkan begitu saja ibunya yang sedang merintih kesakitan? Apakah seorang penyayang akan membiarkan saudaranya yang sedang menderita? Orang-orang miskin yang telah menyerahkan diriku kepadamu saat ini dengan tangan terbelenggu adalah orang-orang yang kemarin menyerahkan leher mereka yang menanam benih-benih hati mereka di ladangmu dan yang menumpahkan darah di badan mereka ke telapak kakimu. Negeri yang enggan bila aku jadi salah seorang penduduknya adalah negeri yang tak mau membuka tanah untuk tukang fitnah dan menelan orang-orang yang rakus.”

 

Syeikh Abbas tertawa terbahak-bahak, seakan hendak menenggelamkan jiwa Kahlil dan menghentikan denyutannya agar tidak mengimbas ke jiwa orang-orang yang mendengarnya saat itu. Kemudian, ia berkata, “Bukankah engkau penggembala sapi milik rumah peribadatan, hai bocah tak tahu malu?”
 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
Bertemu Jodoh di Thailand
2019      1067     0     
Romance
Tiba saat nya Handphone Putry berdering alarm adzan dan Putry meminta Phonapong untuk mencari mesjid terdekat karena Putry mau shalat DzuhurMeskipun negara gajah putih ini mayoritas beragama buddha tapi ada sebagian kecil umat muslimnya Sudah yang Sholatnya Sudah selesai yang Sekarang giliran aku yaaku juga mau ibadah ke wiharakamu mau ikut yang Iya yangtapi aku tunggu di luar saja ya Baikl...
Behind The Scene
1116      450     6     
Romance
Hidup dengan kecantikan dan popularitas tak membuat Han Bora bahagia begitu saja. Bagaimana pun juga dia tetap harus menghadapi kejamnya dunia hiburan. Gosip tidak sedap mengalir deras bagai hujan, membuatnya tebal mata dan telinga. Belum lagi, permasalahannya selama hampir 6 tahun belum juga terselesaikan hingga kini dan terus menghantui malamnya.
ORIGAMI MIMPI
26140      2997     55     
Romance
Barangkali, mimpi adalah dasar adanya nyata. Barangkali, dewa mimpi memang benar-benar ada yang kemudian menyulap mimpi itu benar-benar nyata. Begitulah yang diyakini Arga, remaja berusia tujuh belas tahun yang menjalani kehidupannya dengan banyak mimpi. HIngga mimpi itu pula mengantarkannya pada yang namanya jatuh cinta dan patah hati. Mimpi itu pula yang kemudian menjadikan luka serta obatnya d...
Ketos in Love
751      454     0     
Romance
Mila tidak pernah menyangka jika kisah cintanya akan serumit ini. Ia terjebak dalam cinta segitiga dengan 2 Ketua OSIS super keren yang menjadi idola setiap cewek di sekolah. Semua berawal saat Mila dan 39 pengurus OSIS sekolahnya menghadiri acara seminar di sebuah universitas. Mila bertemu Alfa yang menyelamatkan dirinya dari keterlambatan. Dan karena Alfa pula, untuk pertama kalinya ia berani m...
The Eternal Love
18368      2651     18     
Romance
Hazel Star, perempuan pilihan yang pergi ke masa depan lewat perantara novel fiksi "The Eternal Love". Dia terkejut setelah tiba-tiba bangun disebuat tempat asing dan juga mendapatkan suprise anniversary dari tokoh novel yang dibacanya didunia nyata, Zaidan Abriana. Hazel juga terkejut setelah tahu bahwa saat itu dia tengah berada ditahun 2022. Tak hanya itu, disana juga Hazel memili...
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
5055      938     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Gue Mau Hidup Lagi
340      212     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
HAMPA
360      245     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
The Reason
8408      1617     3     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
The Past or The Future
385      303     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?