KEBIJAKSANAAN & KEBENARAN
Tradisi kuno, mengatakan bahwa filsuf atau philosophos atau philo-sophos/philosophia adalah seorang pencinta kebenaran. Dalam Phaidros dikatakan bahwa nama orang bijaksana terlalu luhur untuk memanggil seorang manusia dan lebih cocok untuk seorang Allah. Seorang yang mempunyai kebijaksanaan sebagai milik definitif sudah melampaui kemampuan insani dan telah melangkahi batas-batas yang ditentukan untuk nasibnya sebagai manusia. Manusia harus menghormati batas-batas yang berlaku bagi status insaninya. Kebijaksanaan bukanlah milik kita secara komplit dan definitif. Karena manusia bukanlah seorang Allah, mereka harus puas dengan mencari, mengejar, dan mengasihi kebijaksanaan sebagai tugas yang tak akan pernah selesai.
Seorang filsuf Yunani – Empedekles dalam ajaran mengenai cinta dan benci mengatakan bahwa ada dua prinsip yang mengatur perubahan-perubahan dalam alam semesta dan dua prinsip itu berlawanan antara cinta (Philotes) dan benci (Neikos) sebagai cairan halus yang meresapi semua benda lain yang tak jasmani sifatnya. Cinta menggabungkan anasir-anasir dan benci menceraikannya.
Empedekles telah membaginya dalam empat zaman yang berlangsung terus-menerus:
Zaman Pertama: Pada zaman ini, cinta adalah dominan dan menguasai segala-galanya. Alam semesta adalah sebuah bola di mana semua anasir tercampur secara sempurna dan benci dikesampingkan ke ujung.
Zaman Kedua: Saat ini dan abad ini merupakan zaman kedua. Benci mulai masuk untuk
menceraikan anasir-anasir, dan alam semesta dikuasai oleh cinta dan sisanya dikuasai oleh benci. Semua benda mempunyai kemantapan, tetapi makhluk-makhluk hidup dapat mati dan lenyap.
Zaman Ketiga: Apabila perceraian anasir-anasir selesai – benci adalah dominan dan menguasai
segala-galanya. Keempat anasir: api, udara, tanah, air, yang sama sekali terlepas satu sama lain, merupakan empat lapisan konsentris. Tanah dalam pusat dan api pada permukaan. Cinta dikesampingkan ke ujung.
Zaman Keempat: Sekarang cinta pada gilirannya masuk ‘kosmos’ sehingga timbul lagi situasi
yang sejajar dengan zaman kedua. Manakala cinta akhirnya menjadi dominan, maka zaman ini akan kembali ke zaman pertama.
Aristoteles berpendapat bahwa rasio manusia mempunyai dua fungsi. Di satu pihak, rasio memungkinkan manusia untuk mengenal kebenaran sebagai rasio teoritis. Di lain pihak, rasio dapat memberikan petunjuk supaya orang mengetahui apa yang harus diputuskan dalam keadaan tertentu sebagai rasio praktis:
Ø Kebijaksanaan Teoritis (Sopia): Sebagaimana dengan tiap-tiap keutamaan, kebijaksanaan teoritis
(orang yang terpelajar) merupakan suatu sikap tetap dan hanya sedikit individu yang memiliki kebijaksanaan teoritis ini. Jika mengenal kebenaran hanya sekali-kali saja, itu dinamakan
keutamaan. Jalan menuju kebijaksanaan teoritis ini adalah suatu perjalanan panjang yang meliputi seluruh pendidikan ilmiah.
Ø Kebijaksanaan Praktis (Phronesis/Prudentia/Prudence): Adalah sikap jiwa yang memungkinkan manusia untuk mengatakan yang mana dari barang-barang konkret boleh dianggap tidak lepas dari keutamaan moral. Tiap-tiap orang hidup menurut keutamaan, meski memiliki kebijaksanaan praktis juga. Kebijaksanaan Praktis harus menunjukkan jalan tengah. Keutamaan moral yang sejati selalu disertai dengan kebijaksanaan praktis.
Dalam ‘Ethica Nicomachea’ Aristoteles, dikemukakan tentang ‘Kebahagiaan Manusia’, yaitu ‘Memandang Kebenaran (Theoria)’. Belumlah cukup jika dikatakan bahwa kebahagiaan merupakan tujuan tertinggi dalam hidup manusia. Banyak yang mengatakan kebahagiaan dengan berbagai-bagai cara. Ada yang berpendapat bahwa kebahagiaan adalah kesehatan, sedangkan yang lain mengatakan bahwa kekayaan, kehormatan adalah kebahagiaan.
Aristoteles menjelaskan bahwa kebahagiaan harus disamakan dengan suatu aktivitas, bukan dengan potensialitas belaka, karena Aktus mempunyai prioritas terhadap potensi. Suatu makhluk mendapat kesempurnaannya bukan karena potensi begitu saja, melainkan karena potensi sudah mencapai aktualitasnya. Tidak mungkin pula kita mencari kebahagiaan manusia dalam suatu aktivitas yang terdapat juga pada makhluk-makhluk yang bukan manusia. Kebahagiaan manusia terdiri dari suatu aktivitas yang khusus untuk manusia saja dan mengakibatkan kesempurnaannya. Kesempurnaan mata ialah melihat. Kesempurnaan makhluk hidup ialah mengembangkan physisnya. Kesempurnaan manusia adalah aktualisasi dari kemungkinan tertinggi yang hanya terdapat pada manusia saja, yaitu rasio. Itulah sebabnya manusia sama saja dengan menjalankan aktivitas yang spesifik baginya, yaitu pemikiran. Bagi umat manusia, kebahagiaan ialah memandang kebenaran (Theoria/Contemplation).
Agar manusia sungguh-sungguh bahagia, tidaklah cukup jika aktivitas tertinggi manusia dijalankan dengan sembarangan saja. Manusia hanya disebut bahagia jika ia menjalankan aktivitasnya dengan baik. Atau, seperti dirumuskan oleh Aristoteles sendiri, supaya manusia bahagia – ia harus menjalankan aktivitasnya ‘menurut keutamaan’ (Arete), yang dapat membuat manusia menjadi bahagia. Keutamaan rasio, tetapi juga manusia seluruhnya. Manusia bukan saja merupakan makhluk intelektual, melainkan juga makhluk yang mempunyai perasaan-perasaan, keinginan-keinginan, nafsu-nafsu, dan lain sebagainya. Pemikiran yang disertai keutamaan belum bisa disebut kebahagiaan kalau hanya berlangsung beberapa detik saja atau sesekali saja. Hidup menurut keutamaan (obyektif) dapat menyebabkan keutamaan pribadi sehingga untuk selanjutnya perbuatan-perbuatan akan dilakukan karena ‘keutamaan’.
Keutamaan dapat menyempurnakan rasio sendiri dan keutamaan dapat mengatur watak intelektual manusia (perasaan-perasaan, nafsu-nafsu, dan lain sebagainya). Keutamaan selalu merupakan sikap pertengahan antara kelebihan dan kekurangan sebagai jalan tengah, meski tidak dapat ditentukan dengan cara yang sama untuk semua orang. Dengan perkataan lain, jalan tengah harus dipandang subyektif dan bukan obyektif. Tidak mungkin mengukur pertengahan antara dua sikap ekstrem dengan cara matematis. Juga faktor-faktor pribadi harus dipertimbangkan, ditentukan pada umumnya, dicocokkan dengan orang masing-masing. Rasio menetapkan pertengahan itu dan rasio harus melakukannya – sebagaimana seorang yang bijaksana dalam bidang praktis akan menentukan pertengahan itu dan bukan suatu persoalan teoritis. Manusia boleh disebut bahagia, jika ia dapat menjalani pemikiran disertai keutamaan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Artinya, kebahagiaan adalah keadaan manusia yang bersifat stabil.
Unsur-unsur lain lagi ialah tidak termasuk hakikat kebahagiaan sendiri. Manusia harus senang, kesenangan atau rasa bahagia yang subyektif dalam menjalankan kebahagiaan itu. Kebahagiaan adalah tidak sama dengan kesenangan. Semuanya itu hanya merupakan syarat supaya kebahagiaan dapat direalisasikan. Tidak ada cara yang lebih luhur daripada seorang filsuf yang selalu memandang ide-ide sebagai aktivitas manusia yang tertinggi dan memiliki hidup yang bahagia. Karena rasio merupakan unsur Ilahi dalam diri manusia dan filsuf akan memelihara hidup Ilahi dengan mengabaikan hal-hal yang manusiawi belaka serta menjadi karib dengan Allah.