Hidup mandiri yang Nara rasakan kini bukanlah pilihannya. Nara tak pernah membayangkan bahwa pada akhirnya ia hidup di posisi semenyakitkan ini. Jauh dari kedua orangtua terkadang membuatnya setiap pagi harus terbangun dalam keadaan telah menangis. Bukan merantau, melainkan karena perceraian yang terjadi satu tahun silam. Dimana saat itu umur Nara masih 17 tahun. Memasak, mencuci, makan, menonton, dan aktivitas lainnya ia lakukan sendiri. Tak ada lagi tawa, canda atau sekedar memanggil namanya. Rumah yang dahulu begitu hangat dan ramai, kini menjadi sunyi dan temaram.
Senandung Nara, sosok yang dahulu ceria sekarang berubah menjadi pendiam dan dingin. Setiap siang setelah pulang sekolah, Nara selalu menyempatkan waktu untuk pergi mengajar les privat. Awalnya ia tidak pernah berencana untuk mengajar les, namun karena salah satu tetangganya meminta Nara untuk mengajari anaknya, akhirnya Nara bersedia. Dan dari sanalah tawaran makin banyak sampai Nara lulus sekolah SMA.
“Kenapa lo gak milih buat satu rumah sama bokap lo? Malah tinggal di sini sama abang lo yang bahkan cuman pulang seminggu sekali karena dinas jauh.” Ciko—saudaranya kini tengah menemani kesendirian Nara di malam itu.
“Gue belum siap nerima keluarga barunya, Ko. Dan gue masih belum siap menerima kehidupan gue yang sekarang.” Ucap Nara pelan. Kentara dengan matanya yang berkaca-kaca.
“Tapi daripada lo di sini hidup susah, Nar. Apalagi sekarang lo udah kuliah kan, jarak ke kampus dari sini jauh banget. Gak mungkin juga kalau lo pulang pergi setiap hari? Lagian gue gak bisa selamanya nemenin lo. Lo tahu sendiri, gue bakal pindah ke Jogja bulan depan.”
“Ciko, udah 1 tahun ini gue sama bokap bahkan nyokap gak pernah akur sama sekali! Mereka cuman ngasih uang tanpa nanya gimana kabar gue sekarang.” Gertak Nara seakan tak ingin kalah dari Ciko.
Ciko menghela napasnya, ia bisa merasakan sedikit rasa sakit yang Nara alami selama ini. Tapi jika terpuruk seperti ini, terus melarikan diri dari masalah, tak akan membuat hidupnya berkembang. Bagaimanapun Nara harus keluar dari gelapnya masa lalu, untuk melangkah menuju indahnya masa depan.
Di genggamannya, ada sebuah foto keluarga yang dahulu begitu harmonis. Di sana ada Nara yang masih berumur 6 tahun, kakaknya—Arman yang saat itu berumur 10 tahun serta dua pasangan yang memberi senyum lebar. Nara dan Arman tampak nyaman di pangkuan kedua orangtuanya itu. “Gue belum siap, Ko. Gue berharap apa yang gue alami ini cuman mimpi dan gue pengen segera bangun dari tidur panjang ini.” Jawab Nara menegaskan kalimatnya.
“Lo harusnya ngalah dulu, Nar, demi kesehatan dan masa depan lo.” Desak Ciko. Bukan ikut campur dalam urusan keluarga dan kehidupan Nara. Hanya saja ia begitu khawatir dengan kondisi Nara yang sekarang. Ia tak ingin selepas kepergiannya ke Jogja, Nara berakhir seorang diri di sini, benar-benar sendiri.
“Lo gak bakal ngerti, Ko, apa yang bikin gue berat untuk menerima semua ini. Gue bahkan masih anggap ini semua cuman mimpi, mimpi terburuk gue!” Nara berdiri, memasuki kamarnya dan menguncinya dari dalam.
Ciko hendak mencegah, namun gadis itu terus berjalan dan membanting pintu. Ciko yakin, Nara pasti akan menangis seperti biasanya. Meskipun sudah satu tahun berlalu, Nara selalu merasa perceraian itu baru terjadi kemarin.
Tangis Nara pecah ketika tubuhnya terduduk di atas kasur. Ia memeluk lutut dan menundukkan kepalanya. Pundaknya gemetar hebat kontan dengan air mata yang turun dengan deras. Nara begitu merindukan kedua orangtuanya yang sekarang jauh dari jangkauannya. Ingin sekali Nara mencoba memutar waktu, namun tak bisa. Selamanya pun ia tak bisa mengubah apa yang telah Tuhan hendaki.
Nara tak pernah bermimpi akan hidupnya seperti ini. Segala rencana yang pernah Nara dan keluarganya diskusikan, sekarang semua hanya tinggal kenangan. Begitu juga rumah yang Nara tinggali dengan kakaknya, banyak sekali kenangan yang tak mampu Nara halau dari pikirannya.
“Halaman belakang rumah kita kan luas ya, Pa, nanti biar anak-anak bangun rumah di sana. Biar sampe tua kita bareng-bareng.” Ujar Mama ketika mereka semua berkumpul di halaman belakang yang membentang luas.
Papa menyeruput kopinya, lalu tersenyum dan mengecup kening Nara sekilas. “Yaiyalah, anak papa gak boleh jauh-jauh dari papa. Harus sampe tua sama papa.”
“Wah Arman gak nikah-nikah dong sama Ani anak bu RT kampung sebelah kalau harus sampe tua sama mama Papa.” Ujarnya dengan wajah polos. Kala itu umur Arman masih 12 tahun. Papa dan Mama terkekeh bersamaan. Sementara Nara hanya celingak-celinguk menanggapi.
“Ya nikah dong tapi tinggalnya di sini. Biar nanti tiap sore kita ngumpul bareng sama cucu-cucu papa, mama.” Balas papa yang membuat Arman kembali tersenyum lebar. “Emang kamu beneran suka sama si Ani anaknya bu RT itu?”
Arman menggaruk kepalanya yang tidak gatal seraya menyengir.
“Anak mama ya masih kecil udah jatuh cinta.” Mama mengecup puncak kepala Arman.
Tapi pada kenyataannya, orangtua Nara berpisah sebelum mereka tua. Meninggalkan Arman dan Nara tanpa menetapi janji mereka untuk selalu bersama sampai maut memisahkan. Garis takdir Tuhan memang tidak pernah ada yang tahu sama sekali.
....
Ospek angkatan yang berlangsung selama satu minggu penuh ini akhirnya usai. Penutupan via online diisi dengan berbagai penampilan seni kreasi mahasiswa. Nara yang kala itu masih memakai atribut lengkap ospek, dengan khidmat memperhatikan setiap penampilan. Sesekali ia mengintip ponselnya yang terus berdering memunculkan notifikasi yang meramaikan benda pipih berwarna hitam itu.
KElOMPOK 2 BRAGA
Kak Dion mentor : Jangan dulu keluar ya.. satu penampilan lagi setelah break ini.
Arya : Bang, gue gak kuat mau boker!
Kak Dion mentor : Emang lo ya, maba gak ada akhlak!
Arya : Bang, urusan panggilan alam mana ada sangkut pautnya sama akhlak.
Arya : Suer bang gue dah gak kuat nahan!
Gibran : Hahaha kelihatan banget mukanya Arya lagi nahan di zoom.
Rafi : Ini bukan? (Rafi send picture)
Arya : Sialan di screenshoot! Hapus gak!!
Novita : Hahaha mukanya mood banget. Kalau ketahuan Demis di pin gak tuh?
Kak Dion mentor : Gue gak mau tau, tahan! @arya kalau lo ngilang dari zoom, gue kasih C semua di sertifikat nanti. Biar lo ngulang ospek offline sama maba angkatan 2021!
Arya : Bang aelah jahat banget! Kali ini serius bang, gue gak boong.
Kak Dion mentor : Ah gaada! Lo dah boongin gue 4 kali selama ospek. Bilang boker, ketahuan lagi main game.
Gibran : Lah abang tau darimana Arya main game?
Kak Dion mentor : Dia update status SS game di WA. Kayaknya tuh bocah lupa hide gue dari postingannya.
Rafi : Wkwkwk gak rapih banget lo @arya, mampus-mampusss.
Kekeu : Emang gak ada akhlak udah ini semua orang di grup. Gak mentornya, gak mabanya.
Rafi : Ngakak abiezzzzz gakuaddd
Gibran : Arya mana nih Arya. Ngilang tuh bocah ketahuan main game pas ospek hahahaha.
Nara terkekeh geli ketika membaca tiap teks pesan di grup kelompok ospeknya itu. Kelompok yang sama sekali tidak mencerminkan keformalan. Apalagi mentornya yang asik membuat seisi grup tidak canggung untuk bercanda. Semua anggota grup itu benar-benar random. Meski hanya sebatas kenalan online, namun mereka semua asik diajak berdiskusi.
Di ospek angkatan ini, di dalam kelompoknya ada beragam mahasiswa yang mengambil jurusan yang berbeda. Seperti jurusan pendidikan bahasa Inggris, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, matematika, pendidikan kewarganegaraan, dan masih banyak lagi. Sementara untuk jurusan yang Nara pilih ketika masuk ke kampus pilihannya ini adalah jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Sebab sejak SMA, ia sudah menyukai bahasa Indonesia, terlebih ia pun suka sekali menulis.
KELOMPOK 2 BRAGA
Kak Dion mentor : Kalian jadi nih kumpul?
Novita : Bang, aelah ini kan masih acara, kenapa lo malah ajak kita semua ngobrol sehhh_- katanya suruh perhatiin, nih mentornya sendiri ngajak ngobrol mulu di chat grup.
Kak Dion mentor : Hehe gue gabut BTW. Lagian panitia lain juga ada yang sambil makan. Santai aja, ini kan acara penutupan, happy-happy aja.
Arya : Kamvret bang! Gue gak tahan mau boker!!!!
Nara : Ya ampun Arya, masalah boker belum kelar juga? Wkwkwk
Kak Dion mentor : Gak gue gak baca!
Rafi : Jadi dong, bang. Lo ikut yak! @kak Dion mentor
Gibran : Jadi bang, Novi juga ikut ya?
Gilang : Uhuyyyy jadi yang bener tuh lo sama Novi atau lo sama Nara?
Rafi : Mana nama depannya sama-sama huruf N, ahahah
Gibran : Jangan mulai anjir! Gue sama mereka itu sohib ya! Iya gak? @novi @nara
Nara : Boleehhhh, sohib yow sohib.
Novi : Iya iyaaa
Rafi : Kayak kepaksa gak sih itu jawabnya? :v
Gibran : Dahlah, Fi, lo emang bangke!
Nara : Jangan ngadi-ngadi, Fi. Lo jangan jadi biro jodoh, mending cari buat diri sendiri aja udah.
Gibran : Wkwkwk mampus lo, Fi, ketahuan jomlo ngenesnya.
Rafi : -_-
Arya : Gue pengen boker di cuekin. Ta** ngambek nih! Gak jadi keluar gara-gara kalian semua!
Kak Dion mentor : Perkara berak aja lu ribet Arya!
Arya : Jelas ribet lah, bang! Ini masalah hidup dan mati! LL
Rafi : Pokoknya jam 3 sore jadi bang, di kafe yang kemarin kita udah bahas di grup. Ditunggu teman-teman alam semestaku yang kucin-ta** dan kubanggakan. Saranghae.
Setelah ospek benar-benar usai, Nara berdiri. Meregangkan ototnya yang pegal karena berjam-jam duduk dan fokus pada acara yang berlangsung dari pagi hari. Tubuh itu akhirnya bertemu dengan kasur empuk yang sudah sedari siang didamba-dambakan. Menghirup udara sebanyak mungkin dan tersenyum dengan mata terpejam. Sungguh, momen inilah yang Nara tunggu-tunggu.
Hingga sebuah pesan masuk yang membuat Nara kembali terusik dan tertarik untuk mengecek siapa pengirim pesan tersebut.
Gibran : Jadi ikut kan? Jangan sampe gak ikut ah!
Nara turun dari kasur, merogoh sakunya dan hanya menemukan uang satu lembar berwarna hijau. Sisanya adalah dua buah koin 500 rupiah. Nara terduduk lemas seraya memandang lesu uang yang kini berada di genggamannya. Kebutuhan ospek mendesak membuatnya harus mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Sehingga ia lupa menyisihkan untuk pergi keluar hari ini.
Nara : Gue kagak punya duit buat beli bensin L
Gibran : Aelah jangan mikirin itu. Tenang aja! Kita kan satu jalur. Tadinya juga gue mau nawarin buat pergi bareng.
Nara : Serius? Tapi duh gimana ya.....
Gibran : Udah jangan khawatir, pokoknya nanti gue jemput jam 3 sore setelah shalat ashar.
Matanya melihat pada jam di ponselnya. Masih menunjukkan pukul 2 siang. Nara memutuskan untuk tidur beberapa puluh menit dengan memasang alarm, setelahnya ia akan pergi mandi dan menunggu kedatangan Gibran yang katanya akan menjemput.
......
Namun dari sekian banyak anggota kelompok, hanya beberapa saja yang setuju ikut. Itu pun belum tentu benar-benar hadir. Sesuai waktu dan tempat yang telah disepakati oleh semua yang setuju hadir, Nara dan Gibran kembali pergi bersama menuju kafe tempat semua akan berkumpul.
"Hai." Sapa Nara ketika Gibran sampai di depan gerbang rumahnya. Gadis itu sudah menunggu Gibran 15 menit yang lalu.
"Cantik banget, mau ke mana nih?" Goda Gibran. Pujian Gibran bukan sekedar gombalan semata. Nara memang terlihat cantik sore itu. Dengan rok pendek selutut dipadukan kemeja warna biru awan dan tas kecil tersampir di pundak kirinya. Tak lupa sepatu nike putih dengan make up tipis yang menjadi pusat perhatian serta rambut cokelat keemasannya yang sengaja ia uraikan begitu saja.
Nara terkekeh. "Jadi kita mau ke kafe mana?" Tanya Nara mengalihkan.
"Udah di share lokasi sama Rafi. Kita langsung ke sana aja. Ayok naik." Nara naik ke jok belakang lalu memakai helmnya. "Sesuai aplikasi mbak?" Tanya Gibran yang langsung Nara pahami maksudnya.
Nara terkekeh pelan, "Sesuai aplikasi, mas. Diskon ya 100%"
"Wah saya rugi besar kalau segitu. Nanti anak istri saya dikasih makan apa dong?" Keluh Gibran berlagak seperti tukang ojek online.
"Kasih cinta aja, pak. Bilang aja setiap pagi mau sarapan aku sayang kalian. Biar mereka langsung kenyang." Canda Nara diakhiri tawa.
Gibran tertawa, "Gak gitu juga konsepnya, Nyai."
"Yaudah ayok berangkat, kasihan nanti mereka nunggu lama."
"Ngenggggg.."
.......
"Emang mereka udah ada di sini?" tanya Nara ketika mereka sedang berada di tempat parkir Kafe tersebut.
Gibran yang sibuk dengan ponselnya menatap Nara. "Kata si Rafi mereka udah ada di atas, ini dia chat gue." Gibran menunjukkan chatnya dengan Rafi kepada Nara.
Rafi : Langsung naik aja, Gib. Gue sama yg lain udah di lokasi.
Kafe yang bernuansa klasik itu didominasi dengan warna hitam. Entah itu warna dinding, hiasan kafe, bahkan baju seragam yang digunakan oleh pekerja kafe tersebut. Ketika mereka memasuki kafe, Nara sempat terpukau dengan gaya kafe ini. Tempat yang sudah dipastikan akan membuat nyaman pengunjung yang singgah. Meja bar pembuatan kopi sengaja di simpan beberapa kursi di depannya agar pengunjung bisa menyaksikan langsung cara pembuatan kopi yang mereka pesan.
Tak hanya itu, desain serta peletakkan furnitur kafe menambah kesan aesthetic kafe ini. Di tanah yang tidak luas, pengelola membangun kafe ini menjadi 2 lantai dengan lantai 2 tanpa atap. Lantas mereka bersama-sama naik ke lantai 2 sesuai yang Rafi katakan melalui pesan.
"Yang mana mereka?" tanya Nara. Mata Nara dan Gibran mencari sosok teman sekelompok mereka. "Lo tau nggak orangnya?" tanya Nara sekali lagi saat belum menemukan orang-orang yang mereka cari. Di sini begitu banyak pengunjung yang memenuhi setiap meja.
"Tau, gue sempet ketemu sama si Rafi sebelum ospek dulu pas cukur rambut. Nah itu dia," tunjuk Gibran ke arah pemuda berkemeja hitam yang melambaikan tangan ke arah mereka.
"Di sini!" pekik Rafi dengan gerakan heboh yang menarik perhatian pengunjung kafe lain.
Nara dan Gibran melanjutkan langkah mereka menuju meja yang berada di balkon kafe. Di sana terdapat 4 pemuda yang duduk di satu meja. Sebelum mereka sampai yang berjarak beberapa meja lagi, Nara menarik tangan Gibran sampai pemuda itu berhenti.
"Kenapa?" tanya Gibran.
"Kok gue ceweknya sendiri? Yang lain mana? Bukannya ada cewek yang list mau ikut ngopi juga?" gerutu Nara dengan wajah yang ia tekuk.
"Mungkin mereka belum datang, nggak apa-apa kalau nggak ada ceweknya juga. Hayu.." Gibran kembali melangkah, diikut oleh Nara yang nampak gusar. Sebab, ia begitu percaya diri untuk ikut bergabung dalam perkumpulan karena banyak teman perempuannya yang ikut masuk ke dalam daftar hadir tongkrongan hari ini.
"Hai." Sapa salah satu pemuda yang memakai jaket levis warna telur asin kepada Nara yang langsung disenggol oleh pemuda yang memakai kemeja berwarna biru dongker. Nara samar-samar mengenal pemuda itu, sepertinya dia adalah Arya jika dilihat dari wajahnya yang mirip dengan profil kontak whatsapp-nya. Pemuda yang kala itu memakai T-shirt hitam dipadukan dengan kemeja biru dongker nampak menarik meski dengan rambut yang agak acak-acakan.
Seorang pemuda lain berpura-pura menerima telepon dan menempelkannya di telinga sembari berkata, "Oiya, Put, ini Rangga lagi genitin temen cewek aku. Oh mau OTW, Put? Oke aku share lokasi ya."
Pemuda yang sempat ingin menggoda Nara, mendelik tajam kepada temannya itu, "Gue cuman nyapa aja anjir, sensi banget." Lalu ia tetap melanjutkan aksinya. "Rangga." Pemuda yang bernama Rangga itu mengulurkan tangan kepada Nara. Berniat memperkenalkan diri. Senyumnya tercetak lebar, persis seperti pemuda yang berusaha menggoda mangsanya. “Kamu cantik banget, orang mana sih? Ada kontak WA?”
Ujaran itu lantas membuatnya terpekik saat mendapati cubitan dari Arya dengan tatapan penuh peringatan. Sementara yang lain menggeleng dengan tingkah usil Rangga.
Nara mengulas senyum kikuk, "Nara." Ia menjabat tangan Rangga.
"Aku Arya," pemuda yang tadi menyambar Rangga menjauhkan tangan Rangga dari Nara dan merebut posisi itu. Rangga mendesis dengan tatapan seolah ingin melahap Arya.
Nara mengangguk pelan, "Nara."
Setelah saling berkenalan satu sama lain, selanjutnya Arya mengambil alih.
"Mau pada pesen apa?" tanya Arya to the point. "Tadi gue udah foto menunya, tinggal pilih." Lalu ia meletakkan ponselnya ke meja dalam keadaan menyala dan menampilkan daftar menu kafe ini yang sempat dipotretnya.
Yang pertama memilih adalah Rangga. Yang kedua pemuda di sampingnya yang bernama Wildan, Nara, Gibran, Rafi dan terakhir pemilik ponsel itu sendiri, Arya. Setelah semua memesan, Arya dan Rafi pergi ke bawah menuju meja pemesanan. Sementara Rangga memulai percakapan ketika dua pemuda tadi belum kembali.
"Temennya Arya semenjak kuliah ya?" Tanya Rangga kepada Nara dan Gibran.
"Iya." Jawab Gibran dengan kaku. Mungkin karena ia belum akrab dengan kedua teman Rafi dan Arya ini.
"Jangan temenan sama dia." Bisik Wildan dengan ekspresi dilebih-lebihkan seakan Arya adalah spesies yang berbahaya untuk didekati.
"Loh kenapa?" Tanya Nara mulai penasaran.
"Dia jarang mandi." Ceplosnya dengan tampang serius. Seolah Arya jarang mandi adalah sebuah fakta. Nara dan Gibran saling berpandangan dan melempar sebuah kekehan kecil.
"Kalian pacaran?" Tanya Rangga.
“Temen doang.” balas Gibran.
“Alhamdulilah, bisa dong—“
“Gak bisa! Gak bisa!” seru Arya membuat atensi beralih padanya. “Jangan macem-macem sama temen gue. Setia aja sama bini lo itu!” omelnya yang lantas membuat Rangga mencebik.
Arya dan Rafi sama-sama membawa pesanan mereka semua. Setelah menatanya di meja, Arya membungkuk seolah ia adalah pelayan di sebuah restoran ternama. "Selamat menikmati. Udah cocok belum gue jadi pelayan resto kelas atas? Atau setara lah sama chef Juna."
"Lo jadi OB aja deh." Ceplos Wildan mengundang tawa yang lain.
Rangga menatap Wildan, seperti meminta persetujuan. "Tapi kalau muka-muka kayak Arya pantesnya jadi tukang parkir, iya gak?"
Arya menekukkan wajahnya, ia lantas duduk dan menusukkan sedotan ke kopinya dengan kasar. Kemudian Arya mengalihkan atensinya kepada Nara di saat yang lain mulai sibuk berbincang seraya merokok. "Eh, Nara?"
"Iya, kenapa?" Tanya Nara.
Pemuda itu seperti akan mengatakan sesuatu, namun ditahannya. "Kalau yang lain pada ke mana? Cewek-ceweknya." Tanya Arya.
Rafi menyela, “Bang Dion aja kagak ke sini, gak tau nyungseb di mana tuh Bang Toyib. Padahal dia paling heboh soal kumpul.”
“Telat kali,” sahut Gibran.
Nara mengedikan bahunya, "Gak tau, lo chat di grup coba. Tanya siapa lagi yang mau ke sini, terutama ceweknya. Masa gue sendiri."
"Gak apa-apa kamu sendiri juga, kan ada abang." Goda Rangga yang langsung mendapat pukulan kecil di lengan bahunya oleh Wildan. Rangga memang tak bisa menahan diri untuk tidak menggoda perempuan. Kalau saja Putri ada di sini, sudah dipastikan Rangga akan diam seribu bahasa dan mematung.
"Inget Putri, baru aja kemarin lo ribut sama dia. Se kafe heboh." Seru Arya bersungut-sungut. Seakan konflik hubungan Rangga dan Putri adalah mimpi buruk baginya.
Rangga mendelik, "Jangan buka kartu, anjir! Itu aib gue!"
Rangga mengaduh saat kena jitakan dari Wildan. “Makanya jadi orang jangan suka godain cewek lain. Sekalinya bini ngamuk, yang apes bukan cuma elu, tapi gue sama Arya.” Mendengar itu semua tertawa kecuali Rangga yang makin suram ekspresi wajahnya.
"Nara sama Gibran ke sini bareng?" Singgung Rafi.
Nara mengangguk, "Iya, kenapa?"
Rafi dan Arya langsung cengengesan dan saling berbisik. Gibran dan Nara seakan sudah mengerti hal ini lantas salah satunya menyangkal. Sebab, perjodohan antara Gibran dan Nara serta Novi sering menjadi topik hangat di grup kelompok MABA ospek angkatan mereka.
"Gue sama Gibran cuman temen doang."
Gibran berimbuh, "Iya, temen doang. Sama Novi juga gue temen kok." Ia tak ingin ada kesalahpahaman meski sebenarnya itu hanya bercanda. Tetapi bukankah dari bercanda selalu timbul sebuah rasa?
"Wah serius temen? Padahal kalian cocok banget tau." Kekeh Rafi. Mulai bertransformasi menjadi biro jodoh yang menyebalkan. Padahal dirinya sendiri jomblo akut yang harus diselamatkan.
"Udah jangan mulai lagi. Daripada sibuk menjodohkan orang, mending cari jodoh buat diri sendiri dulu.” Celetuk Nara yang menciptakan tawa di meja itu. Tidak terkecuali Rafi, ia tidak tersinggung dengan ucapan Nara padanya.
"Gak apa-apa, Nar, sama Gibran aja. Daripada sama Arya." Timpal Wildan tiba-tiba. Membuat keempatnya menoleh padanya, terutama Arya yang memasang wajah kesal. Entah sudah ke berapa kalinya ia hari ini diejek oleh sahabatnya itu. Meskipun ia tahu bahwa Wildan dan Rangga hanyalah bercanda. Maka ia tak memasukkannya ke dalam hati.
"Gue lagi yang kena. Punya dosa apa gue ke kalian." Komen Arya dengan mimik muka seseorang yang terdzolimi. Ia bahkan mengibaskan poninya yang sempat menutupi matanya dengan gaya berlebihan.
"Arya tuh jarang mandi, bau ketiak, makanya gak ada tuh cewek yang mau sama dia." Kata Rangga memasang ekspresi seperti ibu-ibu yang tengah membicarakan gosip terbaru.
"Serius?" Seru Nara heboh. Ia hanya bercanda, mengikuti alur permainan saja. Agar sahabat Arya tak canggung padanya.
Rangga mengangguk, "Dia mandi seminggu sekali, lihat aja tuh dakinya numpuk, kalau dijual dakinya lumayan tuh buat beli gorengan." Semua tergelak, terkecuali Arya yang memasang bendera peperangan dengan sahabatnya sendiri.
Plukkk!!!
Arya tepat sasaran. Pemuda itu berhasil mengenai kepala Rangga dengan tutup botol minumannya.
"Wah ngajak perang ini mah." Seru Rangga tak terima.
"Lu yang mulai."
"Eh eh eh, suttttt..." Perhatian beralih kepada Wildan dia lantas berdehem dan mengangkat satu tangannya ke atas, ia hendak berpuisi. "SORE HARI TATKALA LANGIT SECERAH WAJAHMU,.."
Rafi, Gibran dan Nara kebingungan dengan ketiba-tibaan Wildan yang berpuisi. Berbeda dengan Arya dan Rangga yang sudah mengenal baik sahabatnya yang menurut mereka kurang waras itu. Ternyata tanpa diduga, Wildan tengah menggoda kedua gadis yang baru saja duduk di samping meja mereka. Itu membuat tiga orang yang belum tahu geleng kepala.
“Dih lo sendiri malah godain cewek juga.” Gerutu Rangga dengan wajah jengkelnya.
"Mereka asik juga." Komen Gibran setengah berbisik kepada Nara.
Nara mencondongkan tubuhnya untuk berbisik ke telinga Gibran. "Asik dan stress."
"Stressan lo." Tuduh Gibran sama berbisik.
Nara terkekeh, "Maybe."
"BAHKAN SEMESTA PUN BEGITU TERPIKAT DENGAN PARASMU YANG SEINDAH BUNGA MAWAR BARU BERMEKARAN." Wildan tetap melanjutkan aksinya ketika kedua gadis itu merenspon malu-malu.
"Maaf ya, Nar, Gib, gue bawa temen stress. Biasa belum minum obat." Ujar Arya yang dikekehi oleh Nara dan Gibran. "Oiya btw kamu lulus SMA tahun berapa, Nar?"
"2020."
"Ohh lulusan covid." Ceplos Arya dengan kekehannya. "Sama aku juga." Ia nyengir kuda.
"Wah kamu juga lulusan covid?" Tanya Nara yang diangguki Arya. "Kirain lulusan tahun 2019."
"Wajar sih, orang mukanya tua." Timpal Rangga dengan wajah tanpa dosa.
"Awas lu ye nanti minta bikinin kopi ke gue." Ancam Arya yang langsung membuat Rangga minta maaf sembari cengengesan.
"Jadi kalian adik kelas gue berarti? Gue lulusan tahun 2019." Sahut Gibran.
“Kenapa baru kuliah sekarang?" Tanya Rafi.
Gibran menyalakan rokoknya lalu berkata, "Gue waktu lulus SMA mutusin buat kerja dulu. Tadinya gue gak mau buru-buru kuliah tahun ini, tapi orangtua nyuruh gue buat kuliah." Ceritanya.
"Berarti yang seangkatan.."
"GUNDAH GULANA DALAM HATIKU MENJADI BAHAGIA KETIKA AKU BERSAMAMU.."
Arya menggeplak wajahnya sendiri, ternyata Wildan masih melanjutkan gombalannya itu. Diikuti Rangga yang bergerak mengikuti gerakan Wildan. Keduanya tampak tak tahu malu meskipun umur mereka di atas kepala dua. "Maaf ya, temen-temen gue agak gesrek."
"Tapi justru yang kayak gini yang seru tuh." Kata Rafi mulai merekam momen itu dengan ponselnya.
Pura-pura menelpon dengan dua ponselnya dan Rafi, Arya berkata, "Iya, nih Put, An, duhh.. Rangga sama Wildan berulah lagi. Kayaknya mereka gak bosen berantem sama kalian." Arya berkecak pinggang persis seperti seorang ayah yang menyerah dengan kelakuan anaknya.
Mendengar itu Rangga dan Wildan langsung diam membatu. Dengan ekspresi ketakutan membuat semuanya tertawa terbahak-bahak. Mereka kelak adalah jenis suami yang takut istri, sepertinya.
........
"Pokoknya ntar malem harus push rank sampe mampus! Mumpung kafe tutup beberapa hari ini." Seru Rangga berapi-api ketika mereka tengah berjalan menuruni tangga. Acara kumpul ini berakhir sore hari sebelum adzan magrib berkumandang.
"Setuju! Karena di rumah lo ada WiFi, kita nyalain mode pesawat, biar cewek kita gak neror! Soalnya kesel juga setiap push rank di spam Mulu, jadi turun kan rank gue." Wildan tak kalah hebohnya. Mereka terlihat seperti dua bocah SD, bukan 2 pemuda di atas 20 an. Nara yang menyaksikan itu hanya menggeleng dengan senyum tipis. Tingkah ketiga sahabat itu tidak ada habisnya.
"Bener tuh, ahh.. punya cewek ribet amat."
Klik!
Arya menerobos di antara Wildan dan Rangga. Ia mengacungkan ponselnya dengan seringaian mengerikan dibuat-buat. "Udah gue rekam, ntar pokoknya gue kasih ke Andini sama Putri. Mampus kalian!" Gelak tawa Arya menggelegar memenuhi kafe. Ia berlagak seperti baru memenangkan lotre dan puas melihat wajah terdzolimi Wildan dan Rangga.
“Gaji lo nanti gue naikin deh, Ya, serius. Terserah mau berapa.” Ujar Wildan dengan ekspresi putus asanya. Sebab, bertengkar dengan kekasihnya adalah sebuah malapetaka dalam hidupnya. Begitu pun dengan Rangga yang meskipun ia adalah playboy kelas kakap, tapi nyalinya menciut ketika sang kekasih marah kepadanya.
"Makanya jangan macem-macem. Dah tau bini lo pada neror gue terus kalau kalian gak kasih mereka kabar sama sekali.” Cibir Arya sembari mendelik.
Gibran berbisik lagi ke telinga Nara, "Suami takut istri gak sih?"
"Gitu kalau bucin. Nanti lo juga gitu, loh."
"Kata siapa?"
"Kata gue barusan."
Nara terkekeh, "Kan ucapan adalah doa. Tinggal Aminin."
"Boleh sih, tapi sama orang yang tepat juga."
"Kalian mau pulang sekarang?" Tanya Arya kepada keduanya. Mereka sampai di pelataran parkir.
Nara mengangguk, "Makasih ya udah mau ikut kumpul, terus bawa temen kamu yang kocak itu."
Arya tersenyum, "Kasih kembali. Hati-hati ya di jalan." Keduanya saling berjabat tangan.
Tatapan Arya cukup lekat kepada Nara, bila bukan Gibran dan Rafi yang membuyarkan pikirannya, mungkin hal itu akan terjadi begitu lama. Sebab Nara pun terpaku membalas pandangan Arya yang begitu dalam. Keduanya melepas jabatan itu dengan canggung dan salah tingkah. Tak terkira akan larut pada pikiran masing-masing saat saling menjabat.
"Yaudah gue sama yang lain pulang duluan ya? Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, hati-hati!" Seru Gibran.
Nara tersenyum dan melambai, menatap kepergian Arya yang telah membuat dunianya berhenti sesaat.
Ada apa? Padahal baru saja pertama kali mereka bertemu, kenapa ada yang berbeda?
“Seru kan? Coba aja lo tadi ngebatalin untuk datang ke sini, pasti gak akan ketemu orang sekocak mereka.” Ujar Gibran seraya memakai helmnya.
Nara mengerjap menyadari bahwa ia telah larut dalam pikirannya sendiri. Lantas ia tersenyum kepada Gibran yang sudah duduk di atas motornya. “Emang sih ya seru juga.” Ia menerima helm yang diberikan oleh Gibran, kemudian memakainya.
“Tapi sayangnya bang Dion gak dateng. Kalau dateng kayaknya kacau deh di kafe.” Ucapnya dengan nada kecewa. Padahal Dion adalah orang yang mereka tunggu-tunggu kehadirannya. Dion beralasan melalui pesan yang dikirim ke grup, bahwa ia ada urusan mendadak sehingga tidak bisa ikut berkumpul hari ini. Namun meski begitu pertemuan hari ini tetap asik dengan tingkah Arya, Wildan, dan Rangga.
“Hahaha gak gitu juga kali.” Nara naik ke jok belakang motor lalu memasang helmnya. “Udah siap.” Nara menepuk pundak Gibran.
“Oke, waktunya kita pulang.”