Seakan-akan kehilangan semangat hidup, Raisa termenung sendirian di gazebo dekat gedung jurusannya. Teman-teman Raisa pun ikut merasakan perubahan drastis dari Raisa yang biasanya ceria dan menyenangkan, menjadi lebih mudah marah, suka melamun, dan tiba-tiba jadi pendiam.
Kehidupannya di semester tiga sudah sebulan dimulai, mata kuliah 24 SKS yang semakin sulit, seakan-akan berkolerasi positif dengan hidupnya yang tak kalah rumit.
Setelah membeli dua gelas es kopi susu, Aran menatap Raisa dari jauh. Kondisi Raisa semakin hari semakin memprihatinkan. Ia menjelma menjadi manusia yang tak punya alasan hidup. Bulan depan, Aran harus berangkat ke Jerman untuk menjalani program magang di salah satu industri minyak dan gas di Jerman. Ia harus pergi selama enam bulan, sebelum kembali ke kampus untuk mengulang beberapa mata kuliah yang nilainya C, mengerjakan rancangan pabrik, dan melakukan penelitian.
Ia perlahan-lahan mendekati Raisa. Kondisi gadis itu membuatnya tak sampai hati untuk pergi ke negara lain, apalagi selama enam bulan lamanya. Di sisi lain, magang di industri bergengsi sangat berguna bagi karirnya di masa mendatang.
Raisa menoleh ketika menyadari Aran duduk di sebelahnya. “Keisha di rumah terus sekarang, Kak. Ibu sudah jarang memperhatikan aku.”
Raisa meraih satu gelas es kopi susu, kemudian menyesapnya. Tanpa pernah absen, Keisha selalu berkunjung ke rumah dari pagi hingga malam, terkadang menginap. Ibunya yang biasa berkelana keluar kota, hanya bekerja seperlunya di kantor penerbitan kemudian pulang.
Selama Raisa SMA hingga kuliah, Ibunya jarang sekali di rumah. Raisa memaklumi karena karir Maya sedang naik daun dan dia mencintai pekerjaannya. Tapi mengapa demi Keisha, Maya rela berkorban menghabiskan banyak waktu di rumah?
Dadanya ngilu memikirkan kemungkinan terburuknya. “Apa jangan-jangan aku anak adopsi, ya, Kak? Keisha juga pernah bilang itu.”
Kening Aran berkerut, ia sangat yakin bahwa Raisa bukanlah anak adopsi. Logikanya, bagaimana bisa Maya yang saat itu terluntang-lantung, keluar dari pekerjaannya, kemudian beralih profesi jadi pengasuh hanya demi anak orang? Aran sangat yakin Raisa adalah anak kandungnya. Namun, terdapat teka-teki satu lagi yang belum terpecahkan.
Lelaki itu memperhatikan wajah Raisa. Sejak lama, ia merasakan wajah itu sangat familiar ketika berhadapan dengan gadis itu dalam wawancara masuk BEM. Raisa memiliki kemiripan fisik dengan Keisha. Mulai dari warna kulitnya, bentuk hidungnya, bibirnya, hingga rambutnya. Hanya saja, Keisha tak pernah lagi tampil natural. Perbedaan penampilan membuat orang-orang tak pernah memikirkan kemungkinan bahwa mereka ternyata sedarah.
“Menurutku, kamu sama sekali bukan anak adopsi,” kata Aran. “Kemungkinan yang paling masuk akal adalah kalian benar-benar kakak-beradik.”
Raisa menghembuskan napas panjang. “Kak, nonton bioskop, yuk? Ada waktu nggak hari ini?”
Aran tersenyum simpul, kemudian menyingkirkan rambut Raisa ke belakang telinga. “Apapun yang kamu mau.”
***
Maya tersenyum lebar memperhatikan Keisha yang sangat lahap mengunyah steak medium rare. Selama satu bulan menemani anak gadisnya, ia merasa nafsu makan Keisha mulai kembali. Saat Maya membuatkan sarapan hingga makan malam, piring Keisha tidak pernah lagi bersisa. Tidur Keisha pun sudah mulai nyenyak, ia tak pernah lagi terbangun tengah malam.
Kondisi mental Keisha sudah jauh membaik, meski Maya harus menerima kenyataan pahit bahwa anak gadisnya memiliki karakter yang serakah dan manipulatif seperti mantan ibu mertuanya. Beberapa kali, Keisha seakan-akan sengaja menarik Maya untuk menjauhi Raisa. Maya menyadari semua itu, namun ia tak bisa apa-apa. Ia pun merasakan Raisa perlahan-lahan menjauh darinya.
Ketika konsultasi dengan Psikolog kenalannya, sekaligus berkomunikasi intens dengan Joseph mengenai apa saja yang pernah Keisha lakukan dan alami, Maya hanya bisa menelan ludah. Kenyatannya, salah satu penyebab putrinya mengalami gangguan kepribadian antisosial adalah karena faktor genetik. Diduga menurun dari Ibu mertuanya yang memiliki kepribadian yang sama. Keisha sulit berubah atau sembuh. Psikolog hanya menyarankan agar ia mampu menjaga kondisi mental Keisha agar tetap waras. Dengan begitu, Keisha tak lagi berbuat onar dan mampu berjalan mengikuti norma-norma sosial yang berlaku.
Seperti makan buah simalakama, salah satu faktor yang membuat Keisha depresi adalah Aran yang telah direbut darinya. Dimana kini anak bungsunya adalah kekasih Aran. Menjaga mental Keisha, otomatis mengorbankan Raisa. Maya mengusap kepalanya yang seringkali pening memikirkan semua itu.
“Bu, nanti kita belanja, yuk? Beli baju kembar! Ada sepatu dan tas keluaran terbaru juga.” Gadis itu menarik sebuah kartu kredit dari dompetnya. “Kata Papa, kita bisa belanja sepuasnya!”
Maya mengangguk, kemudian melukiskan senyum. Keisha kembali melanjutkan aktivitas makannya.
“Keisha.” Sahut Maya. “Kita boleh ajak Raisa?”
Keisha berhenti mengunyah. Terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Kita belikan aja dia. Tapi dia nggak perlu ikut. Dia juga sibuk kuliah, kan?”
***
Dengan kecepatan tinggi, Raisa berlari menelusuri lorong-lorong rumah sakit. Beberapa kali, ia hampir menabrak orang yang berpas-pasan dengannya. Detak jantungnya yang memburu, seiring dengan langkah kakinya yang kian melebar. Aran mengikuti gadis itu sembari mengatur napasnya yang ngos-ngosan.
Setiba di ruang ICU, Raisa celingak-celinguk ke dalam ruangan. Orang yang sedang ia cari, dikerumuni oleh seorang dokter dan beberapa perawat. Sepatu yang berketuk-ketuk dengan kencang di lantai, hingga pemiliknya berhenti di sebelah Raisa, membuat gadis itu menoleh.
Sebuah tamparan keras menghujam pipi kanannya. Raisa meringis sembari memegang sebelah pipinya yang tiba-tiba nyeri dan panas.
Setelah melayangkan tamparannya, Keisha menatapnya dengan murka. “Kenapa kamu bisa nggaktahu kalo Ibu sakit, hah? Kemana aja kamu selama ini?” Ia melirik Aran dengan sorot mata menyala. “Terlalu sibuk pacaran sampe nggaktau keadaan Ibu sama sekali?”
Keisha menjambak rambut Raisa keras. Seketika itu pula, Aran mencengkeram tangannya. “Kei, tenang dulu! Dia juga nggaktahu.” Raisa sekuat tenaga melepaskan cengkeraman Keisha dari rambutnya. “Keisha, lepas!” Aran berteriak dengan nada tinggi.
Keisha tersentak mendengar bentakan Aran. Tangisnya langsung pecah. Ia berteriak sembari menari-narik rambutnya sendiri, kemudian menunjuk Raisa dengan murka.
“Kalau terjadi apa-apa sama Ibu, bener-bener kubunuh kamu!”
Aran mencengkeram lengan Keisha. Menenangkannya. “Kei, tenang dulu, ya? Kita duduk dulu!”
Gadis itu memberontak dengan keras, membuat Aran kewalahan. “Jangan sok! Kamu akhirnya bakal bela jalang itu, kan?”
Aran tak menggubrisnya, ia terus memegangi Keisha. Beberapa orang yang berlalu lalang, akhirnya mengerumuni mereka. Kini, mereka bak adegan drama yang bisa ditonton secara gratis.
Tak lama berselang, Keisha kehilangan kesadaran diri.
***
“Kamu wali Bu Maya Kamila?” tanya seorang suster kepada Raisa yang duduk termenung di bangku dekat ruang ICU. Keisha yang satu jam lalu pingsan, kini dirawat inap dan belum sadarkan diri sampai sekarang.
Raisa mengangguk. “Saya anaknya.”
“Dokter Rania, yang menangani Ibu kamu, memanggil kamu ke ruangan. Bisa ikut sebentar?”
Raisa mengangguk, kemudian mengikuti langkah suster itu. Setiba di ruangan serba putih dengan bau obat-obatan, Raisa melangkah masuk perlahan, kemudian dipersilahkan duduk.
Dokter Rania membenarkan kacamatanya sembari membaca hasil CT-Scan. Ia melirik Raisa penuh prihatin.
“Kamu tahu soal Ibu kamu sebelumnya?”
Raisa menggeleng. Dokter Rania hanya manggut-manggut. Ia sudah menduga, bahwa Maya yang sudah setahun ini menjadi pasiennya, tidak memberi tahu siapapun.
“Ini hasil CT-Scan Ibu kamu seminggu yang lalu.” Dokter Rania memperlihatkan gambar itu kepada Raisa. “Seminggu lalu, hasil pemeriksaan menunjukkan kalau kanker otak yang diderita Ibu kamu sudah menuju ke stadium empat. Saya turut prihatin soal itu.”
Sekujur tubuh Raisa seakan-akan tersiram air es. “Kanker otak?”
Dokter Rania mengangguk. “Sudah lebih dari setahun Ibu kamu menjalani pengobatan. Pertama kali divonis kanker otak, Ibu kamu sudah memasuki stadium tiga. Bu Maya rajin melakukan kemoterapi dan radioterapi, tapi sepertinya sel kanker menyebar lebih cepat dari yang kami duga.”
Raisa merasakan wajahnya memanas. Matanya mulai basah. Kenyataan yang harus ia terima hari ini, resmi membuatnya benar-benar seperti mayat hidup.
“Apa Ibu bisa sembuh, Dok?”
“Kami bisa melakukan operasi pengangkatan tumor ganas. Tapi, saya sendiri tidak bisa menjanjikan bahwa Ibu kamu bisa sembuh total.” Dokter Rania membuka sebuah berkas. “Setelah operasi, Bu Maya bisa kembali menjalani kemoterapi dan radioterapi. Kalau kamu setuju, kamu bisa menandatangani berkas ini.”
***
“Ca, aku beli makan dulu, ya?” Aran menyentuh bahu Raisa pelan.
Sama seperti beberapa jam lalu setelah keluar dari ruangan Dokter Rania, Raisa masih terisak di tempat duduknya. Ia hanya menatap lantai putih rumah sakit dengan pandangan yang mengabur. Air mata yang tak kunjung berhenti membuat sekelilingnya buram.
“Aku nggak nafsu makan.”
“Tetep aja kamu harus makan.” Aran berkata pelan. “Sebentar, ya. Aku beli nasi kotak di kantin rumah sakit.”
Raisa hanya merespon Aran dengan mengangguk, kemudian menyeka air matanya dengan tangan. Persetan dengan orang-orang maupun petugas kesehatan yang lewat, kemudian meliriknya dengan tatapan heran. Rasa sesak di dadanya bahkan tak mampu mencegah dirinya untuk berhenti menangis meski hanya satu detik saja. Raisa mendengar bunyi sepatu Aran yang perlahan menjauh.
Seorang lelaki setengah baya tiba di tempat sembari celingak-celinguk ke dalam ruang rawat Maya. Raisa mengusap air matanya cepat, menyelisik dengan saksama siapa yang datang.
Lelaki itu memberhentikan suster yang lewat. “Maaf, Sus. Pasien bernama Keisha Amanda Westring dirawat dimana?”
Suster itu mengerutkan kening, membuat Raisa sontak berdiri. “Saya tahu ruangannya.” Lelaki mengalihkan tatapannya menuju Raisa. “Mari saya antar ke sana.”
***
Keisha telah sadarkan diri. Ia jauh lebih tenang dibandingkan sebelum ia jatuh pingsan. Namun, tatapannya tetap kosong ke depan. Sekujur tubuhnya seakan-akan mati rasa. Sekali kejapan saja, air bening mulai mengalir di pipinya.
“Aku baru bersama Ibu satu bulan.” Keisha mendengus. Entah mengapa, nasibnya tak pernah beruntung.
Joseph mengusap kepala Keisha dengan lembut. “Ibu kamu nggak akan kenapa-napa.”
“Kalau Ibu kenapa-napa....” Sepasang mata Keisha menatap Joseph dengan penuh kemarahan. “Aku nggak mau hidup lagi.”
Joseph tersentak. “Kei, jangan bilang seperti itu....”
“Ini semua salah Papa!” Keisha mengibaskan tangan Joseph dari bahunya. “Papa membuang Ibu sebaik itu, lalu memberiku Ibu lain yang kelakuannya seperti iblis! Papa yang bikin hidup aku seperti di neraka!”
Joseph hanya membeku di tempat. Sejak ia mengetahui kebenaran bahwa Maria-lah yang bertanggung jawab atas perpisahan dengan Maya, sejak itu pula ia dihantui rasa sesal yang sampai sekarang ia bawa.
Rasa sesal yang rasanya telah amat terlambat.
Joseph sekuat tenaga menahan diri agar tidak menangis. “Kamu istirahat dulu.”
Tak tahan, ia melangkah keluar pintu kamar tempat Keisha dirawat. Pandangannya langsung tertuju pada sosok anak perempuan yang mengantarkannya kesini. Gadis itu terisak dengan kepala yang tertunduk.
Joseph menyentuh bahunya pelan. “Terima kasih ya sudah mengantar.” Raisa mengangkat kepalanya. “Ngomong-ngomong, kamu temannya Keisha?”
Raisa mengusap wajahnya yang basah. “Anda mantan suami ibu saya?” Kening Joseph seketika berkerut. Raisa memperjelas, “Maya Kamila.”
Mendengar gadis itu memperkenalkan diri sebagai anak Maya, darah Joseph sontok berdesir. Sepasang matanya melebar.
“Saya mau minta tolong,” ujar Raisa. “Ibu saya harus operasi. Saya ingin anda saja yang mempertimbangkan keputusannya.”