Aran mengompres dahi Raisa yang membengkak dengan rona biru dan merah. Gadis itu tak lagi menangis seperti saat Aran menemukannya. Dengan mengenakan kemeja dan rok abu-abunya, Raisa meringkuk memeluk lutut. Pandangannya kosong ke depan. Wajahnya basah dan memerah. Rambutnya berantakan.
Aran tak bisa menahan emosinya kali ini. Beberapa kali ia menggertakkan gigi. Apa yang dilakukan Keisha kali ini sudah sangat keterlaluan dan di luar nalar.
"Kita lapor polisi!"
Raisa menggeleng. Tangisnya kembali pecah. "Masalahnya bukan cuma kekerasan, Kak."
Aran menarik Raisa ke dalam pelukannya. Membiarkan gadis itu benar-benar menyelesaikan tangisnya.
"Dia...." Membayangkannya saja, Raisa jadi kesulitan bicara. "Dia nyimpen foto aku tanpa busana. Aku takut."
Kemarahan Aran sontak sampai ke ubun-ubun mendengar fakta selanjutnya. Persetan dengan Joseph Westring berikut nama besar keluarganya. Persetan dengan keadaan mental Keisha yang selama ini ia maklumi. Ia harus benar-benar memberikan gadis itu pelajaran yang setimpal.
Aran melepaskan pelukannya. Ia mengusap air mata Raisa, kemudian menatap gadis itu lekat-lekat.
"Aku tahu kamu takut, tapi kamu harus bisa membela diri. Kita laporkan dia ke polisi! Soal keluarga Westring...." Aran menelan ludah. "Aku tahu susah berurusan dengan keluarganya. Tapi dengar, ayahku orang hukum. Kamu nggak sendirian. Aku ada buat kamu."
Raisa mengangguk mantap. Kendati dari hati yang paling dalam ia sangat ketakutan. Namun, ia tahu bahwa ia tak sendirian. Aran takkan meninggalkannya.
***
Elsa Kinari menarik paksa Keisha hingga mereka berdiri berhadapan di toilet perempuan. Harga dirinya sangat tercoreng ketika polisi tiba di rumahnya menyeret Keisha atas laporan kekerasan. Kini, mereka berdua harus di interogasi polisi.
"Memalukan! Jadi itu yang kamu lakukan ke pacar baru Aran?" Keisha hanya tertunduk dengan wajah yang memerah. Lagi-lagi, Elsa tidak akan pernah bisa membuat kondisinya membaik. "Mama nggak habis pikir sama kamu! Apa sih bagusnya dia sampe kamu jadi murahan kayak gini?”
Setelah mengucapkan kalimat dari hatinya yang kalut, Elsa melangkah kembali menuju ruangan yang telah ditempati oleh Aran dan Raisa, serta petugas polisi yang berdiri menunggu pintu masuk.
Elsa duduk mantap di depan Raisa dengan wajah angkuhnya. Wajah angkuh yang tak menampakkan rasa bersalah sama sekali.
"Anda pasti tahu kan siapa keluarga saya?" Elsa menatap Raisa tajam. "Kalau masih belum tahu, Aran bisa menjelaskan. Iya kan, Aran?"
Aran bergeming. Wajahnya tegang dan matanya tetap mendelik tajam. Ia tak menunjukkan respek sama sekali kepada Elsa Kinari.
"Kasus ini bisa diselesaikan dengan cara damai. Kalau anda memilih cara damai, keluarga saya menanggung biaya pengobatan anda. Lagipula itu cuma luka kecil, bukan? Lalu soal foto-foto itu, Keisha bisa menghapusnya. Dan, saya bisa kasih uang damai."
Raisa menggeleng. "Nggak bisa." Gadis itu langsung menatap tajam Keisha yang baru saja memasuki ruangan, kemudian mengambil tempat di sebelah Elsa. "Bukan cuma kali ini saya diganggu. Ke depannya saya tidak bisa menjamin kalau saya akan diganggu lagi atau tidak."
Elsa mendengus. "Angkuh sekali anda! Asalkan anda tahu, kalau anda membawa kasus ini ke ranah hukum, saya mampu membayar pengacara berpapapun. Saya sewa pengacara handal yang mampu memastikan bahwa akhirnya anda yang bakal kalah dan malu. Saya sudah berbaik hati dengan menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan."
"Silahkan, Tante!" Aran menjawab dengan nada tinggi. "Tante sepertinya lupa kalau ayah saya juga orang hukum!"
Hati Keisha mendadak ngilu mendengar kegigihan Aran untuk menghukumnya kali ini. Bahkan, lelaki itu tak melirik Keisha sama sekali. Gadis itu tidak mampu menerima bahwa sekeras apapun yang ia lakukan, Aran sudah lepas dari genggamannya.
"Kamu nggak ingat?" Elsa tertawa getir. "Ayahmu itu bangkrut! Siapa yang mengalirkan dana dan membangkitkan namanya? Joseph Westring! Suami saya."
Raisa sontak menggenggam tangan Aran. Mulutnya ternganga mendengar fakta bahwa sebesar itulah pengorbanan keluarga Keisha untuk Aran. Apakah itu sebabnya selama ini Aran bersabar dengan Keisha? Mereka terikat hubungan balas budi.
Belum sempat Aran menjawab, seorang wanita setengah baya menyerobot masuk ke dalam ruangan. Dengan wajah memerah dan tampak murka, Maya Kamila tiba di tempat dan mendelik tajam kepada Elsa.
Elsa tersenyum tipis. "Ibu dari gadis muda ini? Silahkan duduk dulu! Kita bisa bicara...."
"Saya tidak bersedia semua ini diselesaikan dengan cara damai! Persetan anak anda mau mendekam di penjara dan masa depannya rusak. Salah tetap salah!" Maya berteriak murka bahkan sebelum Elsa menyampaikan negosiasi.
Elsa mendengus. "Saya dengar anda penulis hebat, betul? Kalau kamu berani cari gara-gara dengan keluarga saya. Karir anda kemungkinan terancam."
"Pantas anak anda tak punya moral. Ibunya sebodoh ini!" Tatapan matanya tertuju ke gadis muda pelaku kekerasan kepada putrinya. Gadis itu menundukkan kepala. Wajahnya tertutup rambut bergelombangnya.
Dengan dada yang bergemuruh dan panas, Maya langsung menarik lengan Keisha kasar. Keisha mendongak, kemudian meringis kesakitan akibat cengkeraman Maya.
Sedetik setelah melihat wajahnya, sekujur tubuh Maya tiba-tiba membeku. Kakinya mundur selangkah. Mulutnya ternganga dan cengkeramannya terlepas.
"Kamu jangan kasar-kasar dengan anak saya, ya!" Hardik Elsa. Kemudian, wanita itu ikut merasakan perubahan air muka Maya secara tiba-tiba.
Maya membeku. Tak mampu mengalihkan tatapannya dari Keisha. Tampak jelas bahwa sepasang mata wanita itu berkaca-kaca. Hampir menangis.
Merasakan kesadarannya kembali, Maya menghela napas panjang. Tatapannya kembali tertuju pada Raisa.
"Ca, kamu nggakpapa? Ada yang sakit selain di dahi?" Suaranya hangat dan melembut.
"Iya, Bu. Caca nggakpapa. Tapi...." Tatapan Raisa tertuju pada Keisha. "Dia harus tetap dikasih pelajaran!"
Maya kembali menatap Keisha yang ikut membeku. Tatapannya lebih hangat, tidak segarang saat pertama kali ia masuk ke ruangan ini.
"Jangan ganggu Raisa lagi! Kali ini saya ampuni, tapi tidak lain kali!" Maya meraih lengan Raisa. "Ayo, Ca!"
Raisa memberontak. "Tapi, Bu…"
"Ayo!" Suara Maya meninggi. "Kamu lebih baik ke rumah sakit daripada disini. Ibu harus cek keadaan kamu dulu!"
Aran mengisyaratkan Raisa untuk menurut dan menyelesaikan kasusnya lain kali. Raisa memang harus diberi perawatan dulu kali ini. Itu yang lebih utama.
Dengan hati yang jauh dari kata ikhlas, Raisa bangkit berdiri. Maya mengambil alih merangkul putrinya dengan hangat.
Di ambang pintu, Maya melirik Keisha sekali lagi, kemudian menjatuhkan tatapannya pada Elsa.
"Kamu mau menanggung biaya pengobatan anak saya, kan? Saya tunggu!"
Elsa mengangguk mantap, kemudian tersenyum penuh kemenangan. Setelah ketiga manusia itu tak terlihat lagi, Elsa merebahkan punggungnya yang sedari tadi menegang.
"Sok idealis! Tapi kalau soal duit, pasti ujung-ujungnya mau!"
Keisha tetap membeku di tempatnya. Entah kenapa, ia merasa bahwa apa yang dikatakan Elsa sepenuhnya salah. Sosok Ibu Raisa itu sama sekali jauh dari kata materialistis. Ia adalah sosok ibu yang baik. Figur ibu yang selama ini tidak pernah ia dapatkan.
Sekali lagi. Hatinya bagai diguyur air es. Sekeras apapun ia melakukan sesuatu, Raisa tetap menjadi pemenang.
Di parkiran, Raisa mendelik heran kepada Maya.
"Bu, kita akan tetap tuntut dia, kan? Tapi Caca harus berobat dulu. Gitu, kan?"
Maya menggeleng. "Sebaiknya nggak, Ca. Dia seumuran kamu. Kasihan...."
Raisa mendengus. Sejak dulu, Maya adalah sosok perempuan idealis yang menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Lalu, kenapa kali ini ia menjelma menjadi Maya tanpa ketegasan?
"Ibu tahu kamu marah. Tapi...." Maya mengusap dahinya yang tiba-tiba nyeri. "Ibu yakin dia nggak akan ganggu kamu lagi."