"Masih sanggup jalan? Kita bisa cari taksi lagi kalau kamu mau."
Raisa menggeleng. "Kapanlagi kita berdua bisa jalan-jalan di Tokyo."
Aran mengeratkan genggaman tangannya. "Kamu nggak keberatan punya hubungan dengan cowok aneh?"
Raisa tersenyum simpul. "Nggak. Karena aku juga aneh."
Keduanya tertawa lepas. Entah kenapa, berada di Tokyo bersama Raisa adalah perasaan mahal yang pernah ada. Lelaki itu bersyukur Raisa mengalami insiden sakit kaki. Kalau tidak, mungkin mereka akan tetap bersama teman-teman dan insiden deklarasi cinta itu sama sekali tidak terjadi.
Memasuki lobi hotel, langkah kaki keduanya tiba-tiba terhenti. Senyum yang sedari tadi mengembang, menyurut tiba-tiba. Keduanya terperangah.
Dengan mengenakan coat berwarna coklat susu dan celana jeans abu-abu, Keisha berdiri tepat di depan mereka. Berdiri disini. Di negara ini. Bukan di tanah air.
Aran hendak mendekati Keisha dan melepaskan tangannya dari Raisa. Namun, Raisa semakin mempereratnya. Kali ini, Raisa takkan pernah melepaskan Aran. Sudah cukup.
"Jangan pergi!" Raisa menatap mohon. "Jangan kesana!"
Aran kembali mempererat genggamannya, kemudian melangkah mendekati Keisha dengan membiarkan Raisa tetap di sisinya.
Keisha menatap tautan tangan dua anak manusia itu dengan hati yang kalut. Kenapa?
"Kamu ada keperluan di Tokyo?"
Keisha mendongak. Menatap Aran lekat-lekat. "Kamu tau kalo aku masuk rumah sakit, kan? Tapi kenapa bahkan kamu berangkat kesini pun, kamu nggak bilang!"
Raisa memalingkan wajah seketika. Muak memperhatikan tingkat perempuan gangguan jiwa yang tak pernah mau kalah dan sadar diri.
"Jangan bilang kamu...."
"Ya, aku kesini memang mau nyusul kamu!" Suara Keisha mulai melengking. Beberapa resepsionis dan orang-orang Jepang yang lalu lalang memperhatikan mereka. Aran mengurut pelipisnya yang tiba-tiba pening.
"Kei, denger! Kami bakal pulang besok. Jadi...."
"Biar aja dia yang pulang sama tim kalian satu lagi, tuh, siapa namanya...." Keisha melirik Raisa sinis. "Kamu tetap disini dulu beberapa hari!"
"Sudah jadwalnya kami harus pulang besok. Kami udah pesen tiket."
"Sudah kubilang kalau soal uang bukan masalah buatku, Ran!" Keisha membantah. "Transportasi, makan, penginapan semuanya aku yang nanggung!"
"Duit kamu memang sebanyak itu, ya? Nggak kebayang sekaya apa kamu!" Raisa tak tahan untuk tidak angkat bicara. "Tapi kamu lupa kalau Aran ini manusia bukan barang yang seenaknya diperlakukan!"
Keisha seketika naik darah. Gadis itu melangkah dengan kesetanan, hendak menyakiti Raisa meski hanya menarik kasar ujung rambutnya.
Aran melepaskan Raisa dan sontak menahan Keisha. Pandangan beberapa orang kini semakin tertuju pada mereka.
Aran melirik Raisa, "Kamu masuk ke kamar dulu, ya? Nanti kita bicara lagi."
***
"Aku sudah dijemput Ibu." Ujar Raisa singkat dengan wajah yang masih tampak masam.
Ia melirik Keisha yang berdiri di sebelah Aran dengan tatapan penuh kebencian. Gadis tak tahu malu itu sontak memesan tiket kepulangan dengan pesawat yang sama dengan pesawat yang mereka naiki. Raisa tak pernah membayangkan bahwa hubungannya bersama Aran dibayangi oleh mimpi buruk secepat ini.
Tanpa menunggu respon Aran, Raisa langsung berbalik dan menyeret kopernya menuju Maya Kamila yang tersenyum semringah di gerbang kedatangan.
"Aku ketemu Ibunya dulu."
Aran menyeret kopernya dan mengikuti langkah Raisa, meninggalkan Keisha dengan wajah yang kini merah padam. Entah percakapan apa yang mereka lakukan, Keisha melihat wanita setengah baya dengan senyum lepas dan hangat, kontras dengan wajah Raisa yang masih tetap saja masam.
Wanita setengah baya yang ia ketahui sebagai Ibu Raisa itu, mengambil alih menyeret koper putrinya dan merangkul Raisa. Mereka berjalan bersisian. Meninggalkan Aran yang masih berdiri di gerbang kedatangan.
Sebuah kehangatan antara ibu dan anak yang tak pernah Keisha rasakan.
***
"Mas Aran, ini buku-bukunya mau dimasukkin?"
Aran melirik tujuh buah buku yang sudah ditandatangani Maya sebulan yang lalu. Padatnya rutinitas kuliah, sekaligus mengurus surat dan proposal magang, membuat Aran bahkan tak sempat memasukkan buku-buku itu kembali ke lemari.
Baru hari ini pula ia bertemu dengan Wati sekembali ia dari Jepang. Biasanya, Aran pergi pagi-pagi sebelum Wati datang, lalu kembali ke rumah di malam hari saat Wati sudah pulang.
Karena hari ini Aran kembali ke rumah sore hari saat Wati belum pulang, wanita 52 tahun itu sontak girang lalu membuatkan Aran teh manis hangat dan pisang goreng.
Aran menyeruput teh hangatnya sebelum kemudian ia membereskan buku-bukunya. Wati duduk di sebelahnya, lalu mengambil satu buah pisang goreng.
"Buku siapa sih, Mas? Banyak bener."
Aran menunjukkan cover buku Mawar Merah di Balik Salju. "Nama pena penulisnya Dunia Maya. Nama aslinya Maya Kamila. Ah, Ibu pasti nggak kenal, kan? Nggak suka baca buku juga."
Wati mengerutkan kening. Wanita itu meletakkan pisang goreng yang baru setengah di gigit, mengusap tangan berminyaknya dengan tisu, kemudian meraih salah satu buku karangan Dunia Maya di depannya.
"Fotonya ada nggak?"
"Dia nggak narok foto di biodata penulis, sih, tapi...." Aran mulai mengingat-ingat. "Ah, tapi kemarin aku sempat foto."
Lelaki itu membuka galerinya, mencari foto selfie mereka berempat termasuk Wildan, sebelum mereka berangkat ke Tokyo sebulan silam. Aran menyodorkan layarnya ke Wati yang menyambut dengan tatapan saksama. Aran merasa percuma, Wati bahkan malas membaca prosedur membuat bubur instan di belakang bungkus, apalagi membaca buku hingga mengenal penulisnya.
Kening Wati semakin berkerut. Membuat Aran mendelik penuh tanda tanya.
"Ibu kenal dia?"
"Dia pernah kerja sama orang tua kamu. Kerja bareng Ibu."
Sepasang mata Aran melotot. "Yang bener, Bu? Ibu salah kali!"
"Tua-tua begini ingatan Ibu masih bagus, Mas. Mukanya sama. Namanya juga sama."
Aran mengernyitkan dahi. Ia sama sekali tidak pernah tahu bahwa ada yang pernah bekerja dengan orang tuanya selain Wati, terutama apalagi orang tersebut adalah Maya Kamila. Memikirkan kemungkinannya saja Aran tidak pernah.
"Kapan dia kerja disini, Bu? Kok aku nggaktahu."
"Lha, Mas Aran saja masih kecil banget. Umur tiga apa empat tahun gitu, ya. Masuk TK aja belum."
Aran kembali berpikir, saat ia berusia tiga atau empat tahun, Raisa kemungkinan masih berumur hitungan bulan, paling besar usia setahun karena jarak usia mereka terpaut tiga tahun. Bagaimana mungkin usia bayi sekecil itu, Ibunya bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah ini? Apakah Raisa pernah kesini bahkan tinggal di rumah ini juga?
Aran hendak membuka mulut, menanyakan perihal bayi mungil tersebut. Namun, ponsel jadul milik Wati berdering. Ia berkomunikasi dengan Titin, anaknya yang baru setahun lalu resmi menikah, dengan logat jawa kental.
"Mas, Ibu pulang dulu, ya? Itu sih Titin ke rumah. Cucu Ibu demam lagi."
Tanpa menunggu respon Aran, Wati melangkah cepat keluar rumah dan menutup pintu. Kini, tinggal Aran yang terduduk dengan ribuan tanda tanya.
Tanda tanya yang bahkan tak bisa ia tanyakan kepada Raisa sekalipun.
***
Raisa tersenyum simpul memperhatikan pesan dari Aran yang menyuruhnya untuk menunggu di kampus. Lelaki itu masih berkutat seputar administrasi dan syarat-syarat agar ia bisa magang di salah satu industri Kimia di Jerman. Tentu, Raisa mendukung keputusan Aran seratus persen, kendati selama sebulan mereka tak punya waktu untuk berkencan.
"Sudah kubilang kan sebelumnya, model kayak dia nih yang cuma suka sama Aran." Andre berujar sembari menunjuk-nunjuk Raisa. Sudah bukan rahasia lagi kabar hubungan antara mantan presiden mahasiswa dengan Raisa Kamila di jurusan mereka.
"Lo kayak seolah-olah Raisa dan kak Aran mahkluk aneh" Fia berkata ketus.
"Dia syirik, Fi. Kemarin kan habis ditolak Mona."
Penuturan Raisa membuat mereka yang tengah makan gorengan di kantin tertawa terbahak-bahak. Penolakan Mona, anak kelas sebelah, membuat Andre yang biasanya biang ribut seketika bisu seperti tak punya gairah hidup.
Aku tunggu di parkiran deket lab, ya. Mobil Brio Silver. Ini aku pakek hape temen. Hape aku abis batere -- Aran.
Raisa mengernyitkan dahi. Apa Aran ganti mobil? Bahkan setahu Raisa, lelaki itu lebih suka bawa motor ke kampus daripada kendaraan roda empat. Aran pun tak sekaya itu untuk gonta-ganti mobil. Atau jangan-jangan mobil Albert? Bisa jadi.
"Gue kencan dulu, ya. Bye!"
Setelah tersenyum centil, Raisa pergi meninggalkan teman-temannya yang masih bersahut-sahutan dengan nyaring.
***
Raisa membuka matanya perlahan-lahan. Pandangannya masih buram. Cahaya lampu yang sangat silau menusuk-nusuk bola matanya yang baru saja terjaga. Kepalanya mendadak pening. Ia mengurut pelipisnya, mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi dengannya.
Gadis itu melangkah ke parkiran laboratorium, menemukan mobil yang dimaksud Aran. Ia membuka pintu mobilnya, lalu mulutnya disumpal dengan saputangan. Setelah itu, ia tak mengingat apa-apa lagi.
Raisa memaksakan diri untuk menemukan kesadarannya dengan penuh. Ia membuka paksa matanya. Lamat-lamat, ia menemukan seseorang berdiri di seberang ranjangnya. Bukan Aran. Tapi....
Keisha.
Raisa sontak bangkit duduk. Ia terpekik menyadari bahwa kini ia hanya mengenakan pakaian dalam. Kemeja abu-abu polosnya dan rok panjang dengan warna senada, kini berserakan di lantai kamar hotel.
"Apa yang kamu lakuin?" Raisa berteriak murka. Tak menunggu waktu lama, air bening membanjiri kedua pipinya.
Keisha mengangkat ponsel dan sebuah flashdisk. "Foto-foto kamu semuanya ada disini." Ia membuka ponselnya sembari tersenyum licik. "Aku nggak nyangka bisa jadi fotografer handal. Kalau ini kesebar ke media, gimana ya? Oh ya, kamu mungkin nggakpapa. Tapi Ibu kamu gimana? Dia penulis terkenal, kan?"
Raisa menggertakkan gigi dengan marah. Gadis itu ingin sekali bangkit dan menjambak Keisha detik ini juga. Namun, menyadari ia hanya menggunakan pakaian dalam, Raisa hanya bisa diam di tempat.
"Dasar perempuan setan!"
"Aku bisa aja mendatangkan laki-laki buat tidur sama kamu beneran. Biar lebih real, kan? Tapi aku masih baik. Kamu cuma aku foto-foto aja." Keisha melebarkan senyum smirk-nya. Kali ini, sisi sosiopatnya benar-benar kelihatan.
"Sudah aku peringatkan dari awal, aku nggak suka siapapun merebut apa yang aku punya. Kalau mau foto-foto ini cuma sampai di memori hape aku, sebaiknya kamu jauhi Aran!"
Raisa mendengus. "Perempuan nggaktahu diri. Nggak punya malu. Aran sukanya sama saya! Kamu bisa apa?"
Mendengar kalimat Raisa yang begitu menusuk dan menyakitkan, Keisha lepas kendali. Gadis itu meraih sekaleng minuman soda yang terletak di atas meja, kemudian melemparnya tepat mengenai dahi Raisa.
Raisa sontak berteriak sembari memegangi dahinya yang menyut tak terkira. Tangisnya semakin menjadi-jadi.
"Jangan macam-macam dengan saya!"
Setelah mengucapkan itu, Keisha langsung meraih tasnya kemudian keluar kamar hotel dengan langkah kesetanan. Gadis itu membiarkan Raisa, yang menangis dan berteriak kesakitan, beberapa saat setelah menutup pintu. Entah mengapa, rasa iba tak terdefinisi menyusup di dadanya.
"Wanita jalang! Iblis! Brengsek!"
Mendengar Raisa berteriak mengumpatnya, rasa iba itu menguap seketika. Keisha melangkah pergi dengan masa bodo. Kendati Raisa mati di dalam kamar hotel sekali pun.
Raisa meraih ponsel di dalam ransel miliknya yang tergeletak di lantai. Dengan tangan gemetar, wajah yang basah, serta dahi yang bengkak dan berdarah. Ia mengangkat ponselnya yang berdering.
"Kamu udah pulang? Aku bilang tunggu sebentar. Aku jemput ke rumah, ya. Kita...."
Raisa memecahkan tangis mendengar suara di seberangnya. Lidahnya bahkan kelu untuk mengatakan apa-apa.
"Kamu dimana? Aku kesana sekarang!"