“Kita diskusi soal ide nanti di....” Aran melirik Raisa yang masih tercenung di sebelahnya. Rapat baru saja usai. Dosen-dosen mulai berhamburan keluar ruangan.
“Dekat rumah kamu saja,” kata Aran akhirnya.
Raisa mengangguk. “Di dekat rumah saya ada Starbuck. Kita kesitu aja.”
Wildan dan Aran menanggapi dengan anggukan. Diskusi disepakati besok malam jam tujuh di Starbuck. Setelah itu, ketiganya berdiri dan melangkah beriringan keluar ruangan kelas.
Seseorang telah menunggu di depan ruangan lebih dari 10 menit. Melihat perempuan yang ia tunggu-tunggu keluar, lelaki itu melukiskan senyum semringah. Ia menyerahkan segelas matcha dingin dengan toping grass jelly.
Raisa menyambut minuman itu dengan senyum antusias. “Makasi ya, Al.”
Wildan yang tak terlalu suka urusan orang, tidak menggubris kejadian di depannya. Lelaki itu melengos, kemudian hilang setelah membelokkan langkah ke kanan. Alih-alih mengikuti Wildan, Aran justru berhenti di tempat.
Ia mengamati seseorang yang memberikan Raisa minuman dengan tatapan penuh selidik. Tentu saja, ia mengenal Alfa Davidson. Anak kelas Kimia A yang menjadi mahasiswa asuhnya di laboratorium, sekaligus lelaki paling tampan satu angkatan. Aran kembali mengingat-ingat, beberapa bulan lalu, Alfa terang-terangan mendekatin Vinny, anak semester tiga yang terkenal dengan keelokan fisiknya. Kini, entah sejak kapan, kedua manusia di depannya menunjukkan gelagat sedang melakukan pendekatan.
Cowok ganteng berotak kosong. Gerutu Aran dalam hati secara tiba-tiba.
Lelaki itu melengos pergi. Mencoba tidak peduli. Dalam hati, ia berharap agar Raisa bukan permainan semata.
***
Aran memperhatikan Keisha dengan lahap menyantap steak daging medium rare kesukaannya. Makanan yang disantap Keisha tentu saja membuat dompet beberapa orang terkikis, termasuk dirinya. Namun, gadis itu selalu memaksakan kehendaknya dalam segala hal, termasuk dimana mereka akan makan. Sebagai konsekuensi, Keisha-lah yang akhirnya merogoh kocek untuk membayar semua makanan Aran.
Namun hari ini, Aran hanya memesan sup krim—makanan paling murah di restoran ini—yang tentunya tidak akan membuat dompetnya menangis. Meski lelaki itu harus mengakui, nasi bungkus serba sepuluh ribu di gang dekat kampus jauh lebih menyenangkan lidah.
“Aku nggaktahu kalo kamu harus ikut yang begituan.”
Mendengar kata ‘begituan’, Aran mengernyitkan dahi. “Maksud kamu?”
“Lomba ke Tokyo itu.”
Aran tidak pernah mengatakan apapun pada Keisha soal keikutsertaannya dalam seleksi di jurusan. Tentu saja saat Keisha tahu, gadis itu akan merengek dan melarangnya mati-matian.
“Aku nggak ngerti, Ran, sama kamu. Kenapa sih kamu suka banget punya banyak kerjaan?”
Keisha menyeruput segelas limun segar. Rasa asam yang dikombinasikan dengan suhu dingin, membuat emosinya seketika lebih terkontrol. Aran yang resmi demisioner dari jabatannya sebagai presiden mahasiswa, membuat Keisha menghembuskan napas lega. Dengan dibebastugaskannya Aran, Keisha mengira lelaki itu akan punya banyak waktu luang. Namun, seperti tak betah dengan waktu kosong dan rutinitas yang minim, Aran mencari jalan lain. Jalan yang sama menyebalkannya.
“Aku pengen ke Tokyo.”
Keisha menyunggingkan senyum mendengar jawaban Aran. “Kalo kamu pengen kesana, kita bisa pergi sekarang. Mumpung lagi libur. Aku bisa minta papa menyediakan dua tiket.”
Aran menggeleng. “Aku nggak pernah bisa suka sama ide kamu. Selalu bertentangan dengan apa yang aku pengen.”
Keisha menyentakkan sendoknya dengan cukup keras. “Ide aku selalu gampang dan nggak ribet, Ran! Kamu nggak perlu capek-capek mikirin ide buat lomba apaan itu. Kita bahkan bisa ke Tokyo besok!”
Aran kembali mengunyah supnya. Mengabaikan perkataan Keisha yang jelas-jelas bertentangan dengan apa yang ia inginkan. Percuma. Berdebat sepanjang apapun, Keisha Westring tidak akan mengerti apa-apa.
“Dan Raisa....” Keisha mendengus. “Kenapa sih kebetulan dia yang terpilih?”
Aran mendongak mendengar Keisha tahu informasi lainnya. Raut wajahnya berubah pucat pasi. “Jangan ganggu dia lagi!”
Keisha mengangguk. “Baiklah, aku nggak akan usik dia. Tapi, tolong kamu mundur dari lomba itu!”
Emosi negatif seketika menyerbu kepalanya hingga ke batas ubun-ubun. Tak tahan, Aran berdiri, menyerahkan beberapa rupiah seharga makanan dan minumannya, kemudian berlalu. Lelaki itu meninggalkan Keisha yang menampakkan sorot mata tajam dan menyala-nyala.
“Kalo gitu Raisa yang harus mundur!” Teriak Keisha.
***
Keisha kembali memakirkan mobilnya di area kampus, tepatnya di parkiran fakultas Teknik. Setelah memastikan mesin mobilnya mati, gadis itu keluar, membuka pintu penumpang, kemudian mengeluarkan satu tas besar berisi lima lembar pakaian perempuan. Pakaian modis sesuai dengan seleranya.
Dengan mengenakan heels bermerk Jimmy Cho, perempuan itu melangkahkan kaki ke gedung jurusan Teknik Kimia. Semakin lama, langkah kakinya semakin cepat. Ia harus menemui seseorang saat ini juga.
Seseorang yang ingin ia temui tidak ada di jurusan, tidak ada di gazebo sekitar fakultas Teknik, dan tidak ada di laboratorium. Langkah kaki Keisha menuju tempat terakhir—kantin fakultas Teknik.
Terlihat orang yang ia cari sedang meledakkan tawa terbahak-bahak bersama teman-temannya. Meski hanya ditemani sepiring besar gorengan dan air mineral, lingkaran pertemanan itu terlihat hangat dan menyenangkan. Sesuatu yang tak pernah Keisha dapatkan dalam hidup sekalipun.
Setelah berada di sisi meja mereka, Keisha menjatuhkan satu kantung besar berisi pakaian modis yang baru saja ia beli.
“Buat Raisa.”
Teman-teman Raisa seketika bersorak. Alih-alih bahagia dan menikmati pemberian Keisha, Raisa justru bingung. Ia melirik kantung di depannya dan Keisha secara bergantian.
Keisha mengamit lengan Raisa. “Aku mau ngomong sesuatu.”
Hawa tak enak seketika menjalar di seluruh tubuhnya. Keisha yang selama beberapa bulan ini menunjukkan sisi baik dan menyenangkan, kembali menjadi sosok Keisha yang dulu. Didorong rasa penasaran, Raisa bangkit. Mengikuti kemana Keisha membawanya.
***
“Aku yakin kamu belum pernah pake baju-baju seperti yang aku beli.” Ujar Keisha sembari menyelisik pakaian Raisa dari atas ke bawah.
Mereka berhadapan di bawah pohon ketapang kencana yang berdiri kokoh dan rindang. Raisa yang hari ini mengenakan baju terusan blues hitam dan sneakers berwarna putih, serta merta tersinggung dengan ucapan Keisha. Bagaimanapun, ia nyaman dengan apa yang ia pakai.
“Mungkin bagi kamu baju saya jelek. Tapi, saya nggak peduli soal itu.”
Raisa kembali berkata formal dan menunjukkan gelagat tak bersahabat.
Keisha menyunggingkan senyum. Senyum yang terkesan sangat licik. “Begini, aku bisa kasih kamu barang-barang yang kamu pengen. Sepatu? Tas? Skincare?”
“Apa sebenarnya maksud kamu?” tanya Raisa dengan nada ketus.
“Aku kasih semuanya, tapi kamu mundur dari lomba itu!” Keisha mengutarakan maksudnya tanpa berbasa-basi. “Kalo kamu berniat ikut lomba karena pengen ke Tokyo, aku juga bisa sponsori kamu buat kesana.”
Raisa mendengus. Ia cukup cerdas menyadari latar belakang Keisha memintanya. Tak lain alasannya adalah Aran. Ia tak habis pikir mengapa Keisha sangat terobsesi pada lelaki itu.
“Saya nggak tertarik sama ide kamu.” Raisa menjawab ketus. “Saya juga nggak tertarik dengan pemberian kamu barusan.”
Raisa kemudian berlalu. Baru lima langkah gadis itu berjalan, ia kembali menoleh. “Saya kira kamu bener-bener berubah jadi orang baik, Keisha. Ternyata saya salah.”
Tanpa menunggu respon Keisha, Raisa pergi dengan langkah-langkah kilat. Sedangkan Keisha hanya beku di tempat. Emosi negatif semakin menguasainya. Membisikinya untuk kembali melakukan hal-hal yang tak masuk akal.
Kemarahannya memuncak ketika menyadari bahwa Raisa sangat mirip dengan Aran. Sorot matanya, caranya berbicara, hingga gestur tubuhnya. Semuanya seperti Aran versi perempuan. Ia semakin tak suka menyadari alasan kenapa Aran menyukai gadis itu.
***
Nora Marquina melirik beberapa foto yang tiba-tiba sampai ke direct message instagram miliknya. Akun yang mengirim foto adalah akun fake tanpa jumlah pengikut dan mengikuti. Namun, siapa gerangan yang mengirim sama sekali tak penting. Tiga foto yang telah dikirim jauh lebih penting. Meski pengecut, pemilik akun palsu itu cukup berbaik hati.
Kendati matanya mulai basah, Nora tetap memperhatikan ketiga foto yang terpampang lebar di layar ponselnya. Gambarnya sangat jelas. Pacarnya sejak dari bangku SMA, yang beberapa bulan mulai menjauhinya tanpa alasan, tertangkap basah pergi bersama seorang perempuan.
Setelah mengikat rambut ikalnya dengan asal, gadis itu melangkah keluar fakultas Hukum. Pergi mencari tahu.
***
Kendati libur semester masih berlangsung, kantin fakultas Teknik tetap ramai diisi beberapa mahasiswa. Tidak ada yang berubah saat liburan semester ganjil berlangsung. Libur yang diberikan terlalu singkat bagi mahasiswa untuk pulang kampung bahkan pergi berlibur. Tak jarang, mereka kembali mengunjungi kampus dan bermain bersama teman-teman yang lain sebagai pengganti liburan.
Sama halnya seperti Raisa, ia duduk melingkar bersama Fia, Andre, dan Dimas di bawah pohon mangga yang rindang. Bangku yang entah sejak kapan jadi favorit spot mereka. Angin sepoi-sepoi pukul dua siang mengayun-ayun rambut hitam Raisa yang kini tergerai sebatas punggung. Rambut yang lebih panjang dari sebelumnya.
“Raisa, ya?” seorang perempuan sebaya dengannya menyapa dengan wajah tak ramah.
Raisa menyelisiknya dari atas ke bawah. Dengan rambut yang terikat asal-asalan, perempuan dengan kemeja flanel merah dan celana denim abu-abu itu, terlihat cantik dengan riasan lengkap di wajahnya. Wangi parfurm Vanilla menerobos hidung ketika ia tiba di sisi meja mereka.
Raisa mengernyitkan dahi. “Kenapa?”
Alih-alih menjawab, gadis itu sontak meraih segelas lemon tea milik Fia yang masih belum disentuh, kemudian menyiramnya tepat di wajah Raisa. Sontak, Raisa langsung terbatuk saat merasakan air lemon tea menembus hidungnya. Rambut, pakaian, dan wajahnya basah dan beraroma asam khas lemon.
Raisa bangkit berdiri, kemudian memukul meja dengan keras.
“Apaan sih, lo?”
Beberapa pasang mata anak-anak yang sedang duduk di kantin, seketika terpusat pada mereka saat Raisa berteriak dengan suara keras. Aran yang baru saja tiba di kantin, ikut mengamati dari kejauhan. Firasat buruknya benar.
Beberapa orang melangkah mendekati meja panas. Membentuk lingkaran kerumunan.
“Lo nggaktau, ya, kalo cowok yang deket sama lo sekarang udah punya pacar?”
Raisa mengurut pelipisnya yang tiba-tiba pening. Ia memang dekat dengan Alfa Davidson, tapi tak sedekat itu untuk tahu bahwa lelaki itu masih memiliki kekasih.
Aran tak sengaja melihat seseorang berdiri diantara kerumunan dengan posisi agak jauh dari meja panas. Berpenampilan paling modis dan mencolok, Aran langsung mengenalinya.
Keisha Amanda Westring tersenyum puas menyaksikan pemandangan di depan matanya. Senyuman yang membuat Aran langsung tahu siapa dalang yang mendorong Nora Marquina melabrak Raisa di meja kantin.
Dugaannya benar, Keisha kembali seperti dulu. Kembali menjadi perempuan yang berbahaya.
Alfa Davidson yang baru saja mendengar kabar pertengkaran Nora dan Raisa, berlari bak kesetanan menuju meja panas. Belum sempat ia melangkah lebih jauh, seseorang menarik kerah bajunya dari belakang dengan keras. Alfa langsung jatuh terlentang ke lantai keramik yang berdebu.
Tanpa merasa perlu meminta maaf, Aran menatap tajam Alfa yang kini terlentang. Dengan tatapan yang sama tajamnya, lelaki itu berdiri pelan-pelan. Aran melengos tanpa mengizinkan Alfa mengatakan satu kata pun. Sesuatu yang akan ia lakukan jauh lebih penting daripada menghadapi lelaki buaya darat—yang secara tak langsung—telah diberinya pelajaran.
Aran membuka jaket denim hijau yang ia kenakan. Membuat otot-otot tipis tubuhnya menyembul dibalik kaus hitam polos. Tanpa berpikir panjang, ia menyelimuti jaket denim itu di kemeja putih Raisa yang basah dan terlihat sedikit transparan.
Beberapa pasang mata terheran-heran, terutama teman-teman Raisa yang duduk bersisian dengannya. Sejak kapan Aran—seniornya yang garang—peduli dengan salah satu adik tingkatnya?
Aran melirik Nora sembari tersenyum tipis. “Pacar kamu tadi jatuh terlentang. Sepertinya patah pinggang,” ujar Aran santai. “Saya mau bawa Raisa. Kami harus diskusi soal lomba.”
Aran merangkul bahu Raisa. “Ayo!”
Raisa tak punya pilihan lain—untuk keluar dari situasi menyebalkan itu—selain mengikuti kemanapun Aran membawanya.