Setelah arloji di tangan kirinya menunjukkan pukul 17.10, Aran membuka jas laboratorium, kemudian menggantinya dengan jaket jeans berwarna biru dongker. Ia merangkul ransel hitamnya sembari membawa lima tumpuk laporan Kimia Organik. Hanya satu orang yang belum mengumpulkan laporannya. Lelaki itu tak bisa memberikan toleransi lagi setelah 10 menit ia berbaik hati.
Dari kejauhan, seorang perempuan dengan kemeja polos hijau dan celana kulot hitam, berlari-lari sembari merangkul tas rajutnya. Di tangannya, ia membawa dua buku tebal dan satu buah laporan. Aran menghentikan langkahnya seketika. Baru saja ia hendak mengomel, namun mulutnya terkatup melihat kondisi di depan matanya.
Rambut gadis itu berantakan dan basah. Kemeja hijau polosnya ikut basah dengan rona merah kekuningan. Bau mangga seketika menyerbak. Laporan yang ia bawa basah dan tak berbentuk, dengan tinta biru yang mencair di atas kertas putih.
Aran semakin terkejut lagi menyaksikan Raisa menangis tersedu-sedu di hadapannya. Isak tangis itu didominasi oleh emosi yang menyala-nyala. Lelaki itu bingung setengah mati. Beberapa anak yang masih berada di laboratorium seketika melirik mereka dengan tanda tanya.
Aran menarik Raisa menuju ruang inventaris alat dan bahan laboratorium yang sepi. Ruang itu hanya diperuntukan untuk mengambil alat dan bahan pada keperluan praktikum. Tidak ada siapapun selain mereka berdua di dalam. Meskipun bau bahan kimia bercampur aduk cukup menyengat, setidaknya tempat ini yang paling ideal untuk membuat gadis itu buka mulut.
“Kenapa?”
Raisa mengatur napasnya yang pendek-pendek. “Saya minta tambahan waktu, Kak. Laporan saya rusak.”
“Kenapa bisa rusak?”
Raisa menatap Aran tajam tanpa ia sadari. Sepasang mata yang berkaca-kaca dan memerah itu menampakkan dua hal. Marah dan patah hati.
“Yakin mau tau alasannya?”
Aran terkejut mendengar pertanyaan Raisa dengan nada yang tajam. Sejauh ini, belum ada juniornya, bahkan di BEM sekalipun, berkata padanya dengan intonasi yang teramat ketus. Menyadari kondisi Raisa yang sangat berantakan, Aran tak punya momen yang tepat untuk menasihati gadis itu perihal sopan santun saat ini.
“Kamu minta tambahan waktu kepada saya. Jadi, saya harus tau alasannya.”
Raisa kembali mewek beberapa saat. Rasa kesal tiba di ubun-ubun saat mengingat alasan kenapa kondisinya sangat berantakan. Berikut laporan 18 halaman yang telah ia tulis dengan susah payah. Otaknya lelah. Tangannya nyaris patah.
Aran menggaruk kepalanya. Bingung.
“Perempuan gila itu....” Raisa tak gentar sekalipun mengatai Keisha di depan seseorang yang dirumorkan sebagai kekasihnya. “Nyiram aku pakek segelas besar jus mangga! Bajuku, rambutku, laporanku basah semua.”
“Siapa?”
Raisa mengusap air matanya yang melebar hampir ke seluruh pipinya. “Keisha Amanda Westring.”
Mendengar nama itu disebutkan, Aran seakan-akan tersambar halilintar. Raisa merasakan dengan jelas perubahan air muka Aran yang signifikan. Muka yang tadinya bingung, berubah menjadi pucat pasi. Sungguh, Raisa tak peduli. Bahkan jika saat ini Aran tak percaya padanya dan membela kekasihnya, ia akan melawan. Persetan lelaki itu seniornya! Ia bahkan tak peduli dengan nilai praktikum yang berada sepenuhnya di tangan Aran. Kenyataannya memang Keisha—perempuan gila itu—menyebabkan dirinya kacau.
Aran menghembuskan napas panjang. Ia mencengkeram kedua bahu Raisa.
“Dengerin saya...” Aran menatapnya lekat-lekat. “Kenapa dia bisa melakukan itu?”
Entah mengapa, mengetahui bahwa Keisha mengulang mata kuliah Neraca Massa di kelas Raisa, membuat Aran memiliki firasat buruk seketika.
“Saya nggak sengaja numpahin jus mangga di bajunya. Waktu di kantin. Tapi, cuma sedikit....” Raisa ragu menyebutkan pernyataan selanjutnya. “Tapi dia bilang juga karena ‘hal’ lain.”
Mendengar ‘hal’ lain, Aran langsung melepaskan cengkeraman tangannya. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding. Matanya tertuju pada langit-langit ruangan, namun tatapan itu kosong. Kini, lelaki itu yakin sepenuhnya bahwa Keisha mulai kembali menguntitnya, terutama saat ia berdua saja dengan Raisa malam itu.
Ponsel Aran yang berdering seketika membuyarkan lamunannya. Ia merogoh kantung celana jeansnya, kemudian melirik siapa gerangan yang menelponnya.
Nama Keisha muncul di layar ponsel. Aran mengangkatnya tanpa beranjak sedikit pun. Mempersilahkan Raisa mendengar percakapan mereka.
“Aku sudah bilang, aku nggak butuh kunci mobil kamu. Dan aku nggak pernah bisa pulang cepet. Aku presma. Kamu tahu itu, kan?” Entah apa yang dikatakan Keisha di seberang sana, suara Aran meninggi.
“Nyetir aja sendiri, Kesh. Atau telpon sopir kamu!”
Raisa mendelik heran. Keisha memang cantik, namun perempuan itu sangat aneh dan mengerikan. Ia mulai membenarkan ucapan Andre. Bagaimana bisa seorang Aran Dinata mau berkencan dengannya? Dia memang sangat cantik, tubuhnya molek, tapi sekelas Aran tidak akan mengencani perempuan hanya karena penampilannya saja.
Setelah menutup ponsel, Aran melirik Raisa yang belum menurunkan tatapan herannya.
“Saya tunggu laporan ini sampai akhir semester. Kamu bisa mengerjakannya sehari sehalaman.”
Raisa mengangguk. Ia cukup mengerti kalau setiap laporan harus di setor ke kepala laboratorium. Tentunya, Aran sebagai asisten bertanggung jawab penuh. Mengizinkan Raisa menulis laporan dengan tenggat sampai akhir semester sudah lebih dari cukup.
Keduanya beranjak. Bersiap-siap keluar.
“Oh ya, Kak.” Raisa menyerahkan dua buku tebal yang berhasil ia selamatkan dari guyuran jus mangga. “Ini bukunya!”
Aran menyambutnya sambil tersenyum hangat. “Makasih, ya.”
Keduanya melangkah bersisian menelusuri lorong-lorong laboratorium menuju pintu keluar.
Senja yang telah muncul di ufuk barat mengeluarkan semburat cahaya oranye yang menembus pintu-pintu kaca. Cahaya tersebut tepat jatuh di wajah sembab Raisa. Aran menatapnya tanpa gadis itu ketahui. Meski tanpa riasan. Meski habis menangis. Meski rambut hitamnya kini basah dan acak-acakan. Senja dan Raisa seketika jadi kombinasi yang menarik dan sempurna.
Sesampai di mobil sedan putih yang terparkir di halaman. Raisa melirik Aran yang secara tak langsung kembali mengantarnya.
“Saya....” Aran menghembuskan napas panjang sebelum melanjutkan, “Saya minta maaf atas apa yang dia lakukan ke kamu.”
Raisa mendengus. “Dia yang salah, kenapa Kakak yang harus menanggungnya?” kata-kata tegas itu kembali keluar. Membuat Aran hanya bisa terdiam.
Dengan menganggukkan kepala, Raisa mengisyaratkan bahwa ia harus pulang sekarang. Aran tetap melirik gerak-gerik Raisa, hingga gadis itu memundurkan mobil dan menancapkan gas untuk melesat menuju pintu gerbang.
Ketika mobil yang dikendarai Raisa menghilang dari pandangan, Aran langsung merogoh saku celananya. Menelpon seseorang.
“Kamu dimana sekarang?”
***
Aran menepikan mobil Mercedes Benz putih milik Keisha tepat di bawah pohon Bintaro yang kini menyembulkan buah-buah bulat kehijauan. Lampu jalan tepat bertengger kokoh di depan mereka.
Lelaki itu menyalakan lampu dalam mobil. Kemudian mencengkeram kemudi kuat-kuat. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak meledakkan emosi.
“Kenapa kamu ngelakuin itu?” Hanya sebaris pertanyaan yang tiba-tiba keluar dari mulutnya.
Bagi orang yang mengenal Keisha dari kulitnya saja, cerita dari mulut Raisa mungkin saja terdengar omong kosong. Namun, Aran telah mengenal Keisha 10 tahun lamanya. Ia mempercayai sepenuhnya apa yang dikatakan Raisa tanpa harus berusaha keras.
“Apa maksud kamu?” Keisha merasakan hawa tidak enak.
“Raisa.” Aran langsung menyebutkan nama itu dengan lantang. Tidak mau berbasa-basi lebih lama. “Kenapa?”
Keisha mendengus. Aran yang sekali kejap saja tahu apa yang terjadi di sore tadi, membuat gadis itu semakin marah. Sedekat itukah mereka sampai Aran langsung tahu semuanya?
“Ini bukan cuma soal dia nggak sengaja numpahin jus di baju kamu, kan?”
Keisha tetap membisu. Ia membuang muka ke pintu jendela. Menatap rumput-rumput di depannya dengan sorot mata tajam.
“Jangan menyukainya, Aran!” Sepasang mata Keisha mulai berkaca-kaca. “Aku mohon jangan!”
Aran meletakkan tangan di bahu Keisha yang mulai berguncang. “Aku pernah bilang sama kamu, kan? Suatu saat aku bakal punya duniaku sendiri. Inilah saatnya. Kamu nggak bisa kayak gini terus.”
Tangis Keisha seketika pecah. Jawaban Aran dengan kalimat yang bertele-tele cukup menjelaskan satu hal. Aran menyukainya. Lelaki itu menyukai Raisa. Kesimpulannya sangat jelas.
Aran mengusap rambut Keisha yang tergerai halus. “Kamu juga sudah saatnya cari dunia kamu sendiri.”
Keisha menepis tangan Aran dengan keras. “Kamu! Kamu dunia aku, Aran! Aku nggak butuh apapun. Aku cuma butuh kamu.”
Gadis itu semakin memecahkan tangisnya. Ia memeluk Aran seketika. Pelukannya sangat erat. Seakan-akan, tidak ada yang boleh mencuri lelaki itu darinya. Ia tak rela Aran jatuh ke pelukan siapapun. Meski hanya sedikit.
“Jangan lakukan itu. Aku mohon!” Air mata Keisha mulai membasahi jaket jeans Aran. “Aku nggak punya siapa-siapa lagi. Aku cuma punya kamu.”
Lelaki itu hanya bisa menghembuskan napas panjang, kemudian menggaruk-garuk kepalanya. Benaknya penuh dengan rasa bingung dan kalut. Seiring dengan isakan Keisha, Aran semakin tenggelam bersama lamunannya.
Wajah Raisa seketika tiba di depan matanya.
Aran menarik kesimpulan terbaik. Kesimpulan untuk melindungi Raisa agar bisa belajar dengan tenang tanpa gangguan. Kejadian sore tadi, dipastikan tidak akan pernah terulang lagi. Meski berat, Aran menyadari bahwa itulah yang terbaik.
Raisa harus jauh darinya. Sejauh-jauhnya.