Read More >>"> Dunia Sasha (Badan Eksekutif Mahasiswa) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dunia Sasha
MENU
About Us  

            Fia menelisik Raisa dari atas ke bawah. Gadis itu kini berpakaian amat rapi bagaikan para pencari kerja yang hendak wawancara. Almamater kuning terkancing rapat melapisi kemeja putihnya yang licin. Rambutnya dibiarkan tergerai, termasuk poninya yang kini menutupi dahi.

            “Kamu kenapa mau masuk BEM, sih?” tanya Fia masih keheranan. Semalaman mereka telah berdiskusi panjang lebar mengenai organisasi mana yang akan mereka ikuti. Fia telah menjelaskan panjang lebar kalau BEM sangat mengerikan dengan berbagai macam kesibukannya. BEM adalah pusat seluruh organisasi di kampus.

            Raisa terdiam sejenak. Berpikir untuk mengutarakan alasan yang paling logis mengapa ia harus masuk pusat organisasi itu. Sekeras apapun ia berpikir, tetap saja jawabannya tidak muncul dari dalam kepala. Maya memberikan instruksi padanya setelah proses orientasi kampus berakhir sebelum gadis itu mulai menyusun kartu rencana studi.

            “Ca, kuliah jangan cuma di kelas, ya. Ikut kegiatan juga. Terserah mau kegiatan apa yang penting harus ikut! Biar seru.”

            Ibunya memberi instruksi bahwa ia harus ikut kegiatan, kemudian gadis itu turuti. Namun, pilihannya yang jatuh ke BEM serta merta karena ia penasaran dengan satu orang. Aran Dinata. Presiden mahasiswa kampusnya. Seseorang yang hanya dapat ia jangkau kalau Raisa berhasil satu organisasi dengannya.

            Gadis itu tidak tahu pasti kenapa ia harus melakukan itu. Namun, terlalu dini baginya untuk memutuskan bahwa ia jatuh cinta. Mungkin saja pada tahap ini, ia hanya salut. Ia salut pada lelaki cerdas dan penuh karisma seperti Aran.

            “Mengasa ini,” ujar Raisa sambil menunjuk kepala menggunakan jari telunjuk. Ia tersenyum kecut pada Fia yang tidak puas akan jawabannya.

            Fia sendiri berniat mengikuti himpunan mahasiswa seni. Perempuan bertubuh mungil itu lihai bermain piano sejak kecil. Kemampuan musiknya ingin ia asah, kendati saat ini ia berkuliah di teknik kimia yang amat memusingkan kepala.

            “Kita tuh ya, Ca, harus ikut kegiatan yang sifatnya refreshing. Jangan ikut kegiatan yang bikin kita harus berpikir lagi. Kuliah udah capek.”

            Raisa tertawa kecil, “Bagiku, Fi, berpikir adalah refreshing.”

            “Dasar orang gila!” umpat Fia spontan. Sejak pertama kali bertemu dengan gadis itu di aula saat orientasi, mereka ditakdirkan bertemu kembali sebagai kawan sekelas. Beberapa kali kuliah berlangsung, mereka selalu duduk berdekatan. Kini Raisa maklum, mulut mungil Fia terbiasa mengumpat.

            Mendengar namanya disebut untuk tes wawancara. Raisa berdiri, lalu menepuk bahu Fia. “Kamu nggak harus nunggu, kok. Nanti aku whats-app kalau udah selesai.”

            Sembari merangkul ransel mungilnya berwarna biru tua, Raisa melangkah memasuki ruangan yang telah diduduki oleh senior-senior BEM yang akan jadi pewawancara.

***

            Raisa menjatuhkan diri perlahan ke kursi khusus mahasiswa baru yang akan di wawancarai. Beberapa kali, perempuan itu harus mengejapkan mata melihat kenyataan di depan matanya. Jantungnya berdebar tak karuan.

            Aran Dinata tepat duduk di seberangnya. Lelaki itu meneguk habis sebotol air mineral yang sedari tadi berdiri kokoh di atas meja kayu berlapis cat putih berminyak dan licin. Pendingin ruangan seakan-akan turut berkontribusi membuat Raisa gugup dan panas dingin. Gadis itu memang berharap bertemu Aran, namun tidak secepat ini. Di wawancarai Aran adalah sesuatu di luar ekspektasinya.

            Lelaki itu menggulung lengan kemeja biru tua yang senada dengan warna ransel mungil Raisa, kemudian menyunggingkan senyum tipis. “Nama?”

            Sebenarnya dari formulir pendaftaran, Aran dengan jelas mengetahui nama perempuan di depannya. Namun, pertanyaan ‘nama’ seakan-akan menjadi pembuka yang ideal dalam setiap pertemuan.

            “Raisa,” jawab gadis itu sambil tersenyum ramah, “Raisa Kamila Putri.”

            Aran bergeming sesaat. Sudah lama sekali ia tidak mendengar nama itu. Selama ia bersekolah dari taman kanak-kanak, hingga kini menjadi mahasiswa, ia tidak pernah bertemu seseorang dengan nama ‘Raisa’. Sebuah kebetulan yang ajaib.

            Aran melirik perempuan yang sedang duduk tegap dan kaku di depannya. “Ceritakan semua tentang diri kamu.”

            Raisa menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya. Aran merasa terganggu, kemudian mengernyitkan dahi.

            “Gugup?”

            Raisa terkesiap atas pertanyaan itu. “Sedikit.”

            Aran menyandarkan diri ke kursi. Pergerakannya sedikit membuat suasana mencair. Teman-temannya memang sering mengatakan bahwa tatapan Aran sangat mengintimidasi dan membuat lawan bicaranya gugup.

            “Tahun ini, saya lulus sekolah menengah atas dan berhasil masuk ke jurusan teknik kimia melalui jalur SBMPTN. Saya  anggota english club selama saya SMA. Namun, hal yang paling saya gemari adalah membaca buku. Bahasa inggris adalah media untuk membantu saya eksplorasi lebih jauh melalui kegiatan membaca.”

            Aran manggut-manggut. Meski awalnya gadis itu terlihat gugup dan takut, namun cara bicaranya sangat memuaskan. Pemilihan kata-katanya berbeda dari beberapa mahasiswa sebelum-sebelumnya. Aran sepenuhnya percaya bahwa perempuan itu telah meneguk berbagai macam buku bacaan.

            “Kenapa mau masuk BEM?”

            Raisa tersenyum tipis. Semestinya, dari awal ia harus mewanti-wanti bahwa pertanyaan klise itu akan tetap ditanyakan. Sangat tidak mungkin Raisa menjawab ‘Disuruh Ibu dan penasaran sama kamu.’.

            “Saya bukan anak OSIS sewaktu SMA. Tapi, walaupun bukan, saya mau mencoba hal baru. BEM adalah pengalaman pertama yang mau saya coba.”

            “Kamu kira ini percobaan?” Aran menukas. “Saya sudah mewawancarai beberapa mahasiswa dengan pengalaman organisasi yang lebih apik sewaktu mereka SMA. Kamu jauh ketinggalan dari mereka. Sekarang, apa yang bisa kamu tawarkan?”

            Raisa terdiam sejenak. Aran mampu menyihir lawan bicaranya menjadi gugup dan bisu.

            “Kerja keras.” Raisa menjawab. “Saya mau kerja keras untuk mempelajari sesuatu yang belum saya ketahui sebelumnya. Itu yang bisa saya tawarkan.”

            Aran manggut-manggut. Dari hati kecilnya, ia cukup terkesima. Perempuan kecil berusia 17 tahun di depannya memiliki sorot mata yang tajam dan tegas, kendati wajahnya sangat feminim. Aran menduga, beberapa tahun yang akan datang, perempuan ini akan jadi seperti dirinya. Pengintimidasi lawan bicara.

            “Kamu punya cita-cita?”

            Pertanyaan itu terlontar begitu saja di luar kesepakatan pewawancara. Tidak ada yang menyepakati pertanyaan pribadi di luar organisasi kepada calon anggota. Namun, hati kecilnya ingin mendengar jawaban-jawaban lain yang ia ekspektasikan di luar dugaan.

            “Belum punya untuk saat ini.”

            Aran mendengus. “Bagaimana mau masuk organisasi kalau rencana masa depan personal saja belum ada?”

            Raisa terdiam. Ia kalah telak. Sedikit rasa sesal menggerogoti. Mengapa ia tidak mencoba pura-pura punya saja? Setidaknya, itu membuatnya terlihat seperti pribadi yang visioner.

            “Apa alasan kamu di balik jawaban ‘belum punya’?” Aran bertanya lagi.

            “Manusia punya waktunya masing-masing, Kak. Ada yang udah tahu kemana hidupnya harus di bawa di usia 17 tahun, ada yang belum. Saya termasuk yang belum. Tapi, walaupun saya belum tahu, bukan berarti saya tidak mencari tahu.” Raisa menyunggingkan senyum ramah. “Saya sedang mencari.”

            Aran menelan ludah. Setengah hatinya yang tadi terkesima, kini terkesima sepenuhnya. Ia tak pernah menduga sebelumnya, bahwa anak kecil yang baru saja lulus sekolah menengah membuatnya bisu. Anak kecil—yang kebetulan juniornya di jurusan—gagal terintimidasi seperti orang-orang lainnya. Anak kecil yang ia sukai cara berpikirnya. Anak kecil yang sangat mirip dengannya. Aran seakan-akan melihat dirinya dalam versi perempuan.

            Aran menyilakan Raisa keluar ruangan. Wawancara sudah usai. Ia telah mengantongi jawaban mengenai diterima atau tidaknya Raisa di organisasi yang ia pimpin.

***

            Raisa mengutak-atik 10 soal mengenai kesetimbangan reaksi kimia yang siang tadi dibekali dosennya sebagai pekerjaan rumah. Bersama lima teman sekelasnya, Raisa duduk selonjoran di karpet perpustakaan kampus yang buka hingga pukul 12 malam. Beberapa mahasiswa yang sedang sibuk tenggelam bersama tugas-tugasnya, membuat perpustakaan semakin bisu. Tidak ada yang bersuara kecuali ketukan keyboard dan jangkrik yang bersahut-sahutan.

            Hari sudah menunjukkan pukul 10 malam. Memilih pulang merupakan opsi terbaik. Namun, gadis itu tidak yakin bisa mengerjakan tiga soalnya di rumah tanpa bantuan diskusi bersama teman-temannya.

            Fia menyerah, lalu bangkit berdiri. “Aku udah dijemput.”

            Fia yang beranjak, membuat semua anak ikut beranjak. Lelaki bertubuh kurus bernama Andre bahkan terang-terangan menguap sembari mengeluarkan suara. Membuat beberapa manusia di perpustakaan menoleh.

            Raisa tidak punya pilihan lain selain membereskan barang-barangnya. Ia harus menuju halte bus secepatnya. Itu pun kalau masih ada bus yang searah ke rumahnya. Kalau tidak, ia harus memanggil taksi yang mampu menguras uang jajannya lebih besar. Ibunya mengisi kelas menulis di Yogyakarta dan tidak pulang ke rumah. Tidak ada yang akan membantunya selain dirinya sendiri malam ini.

***

            Raisa menatap guyuran air di depannya dengan penuh frustasi. Sudah setengah jam ia berdiri sambil memeluk dirinya sendiri. Gadis itu mengenakan baju terusan coklat tua sebatas lutut. Ia abai dalam mempersiapkan jaket untuk menghangatkan diri, apalagi payung dan jas hujan.

            Arloji silver yang melingkar mungil di tangannya telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Raisa mengirim pesan ke ibunya bahwa ia sudah tiba di rumah dan bersiap-siap tidur. Tentu saja berbohong. Ia masih terjebak di kampus, sendirian, dan pusing memikirkan bagaimana caranya pulang. Bus yang mengantarkannya ke rumah tidak akan ada lagi melewati halte. Dalam kondisi ini, Raisa menyesal menolak membawa kendaraan sendiri ke kampus atas alasan angkutan umum lebih menyenangkan.

            Gadis itu bisa saja menerobos hujan. Sama sekali tak masalah baginya kalau ia sendiri yang basah. Namun masalahnya, laptop, ponsel, dan buku-bukunya dimuat dalam tas rajut coklat muda yang sedang dirangkulnya sebagai ransel. Jangankan air hujan, air minum dari gelas saja mampu membuat seisi tasnya basah.

            Seseorang tiba-tiba berdiri di sebelahnya. Raisa sedikit terkesiap dan spontan mendongak. Lelaki itu hampir 20 cm melampauinya. Gadis itu belum melupakan wajah sinisnya yang berkarisma. Namun melihatnya hari ini, Raisa teringat bahwa ia gagal masuk BEM seminggu lalu. Ia menduga-duga bahwa Aran Dinata tidak puas sama sekali dengan jawabannya yang kurang terdengar realistis.

            Aran yang berdiri di sebelahnya membangkitkan dua hal. Kekecewaannya yang gagal masuk organisasi dan detak jantungnya yang berdebar tanpa kuasa ia mengerti.

            “Kamu nggaktau jalan pulang?” Pertanyaan itu terlontar dari Aran.

            “Saya tau, cuma saya bingung cara ke depan kampus.” Raisa berujar dengan jujur. Ia rasa, hanya Aran yang dapat membantunya saat ini. “Ransel saya dari rajut. Air hujan bakal bikin buku saya basah. Laptop dan hape saya bisa rusak.”

            Aran menghela napas. Frustasi. Lelaki itu hanya mengenakan sepeda motor ke kampus. Kendaraan roda dua itu tidak akan sanggup menghalau air hujan membasahi isi tas Raisa jika Aran mengantarnya pulang. Selain itu, rapat mengenai demisionernya masih berlangsung di dalam dan hanya istirahat sebentar. Ia tidak bisa berlama-lama keluar.

            Dan, mengapa urusan anak kecil ini harus ia pusingkan? Aran mengacak-acak rambut hitamnya yang semakin mengering karena cuaca dingin.

            “Tunggu sebentar!” Aran berseru, kemudian berlari-lari kecil memasuki aula sekretariat yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

            Raisa terdiam di tempat. Sepenuhnya percaya pada Aran.

            Tak lama kemudian, lelaki itu berlari-lari kecil sambil membawa jaket parasut miliknya berwarna hitam. Setelah berdiri di sebelah Raisa, ia membentangkan jaket parasut di atas kepala gadis itu.

            “Kita ke gerbang depan. Terobos hujan. Kamu pegang tas kamu kuat-kuat, ya! Jangan sampe ada air yang masuk!”

            Raisa tidak enak hati. Namun, menolak bukan satu-satunya solusi saat ini. Gadis itu mengangguk. Menerima tawaran Aran dan berjanji akan membalas kebaikannya suatu saat nanti.

            Aran menyelimuti Raisa sepenuhnya menggunakan jaket parasut, kemudian mengiring langkah gadis itu berlari-lari kecil menerobos hujan. Beberapa tanah yang terlanjur becek, membuat dua pasang sepatu kets yang sedang menerobos hujan, basah sepenuhnya dan meninggalkan rona kecoklatan.

Bagian tubuh atas Raisa, terutama ranselnya aman, tapi tidak dengan Aran. Lelaki itu membiarkan tubuhnya basah kuyup di guyur hujan, dari kepala hingga kaki.

Mereka tiba di gerbang depan. Tubuh keduanya terlindungi oleh kanopi di dekat pos satpam. Raisa melirik Aran dari atas ke bawah. Lelaki itu hanya mengenakan celana jeans hitam dan baju kemeja berlengan pendek dengan warna serupa. Semuanya basah kuyup. Rambutnya yang tadi kering kerontang, sepenuhnya basah. Beberapa tetes air hujan yang hinggap di wajah, diusap lelaki itu menggunakan kedua telapak tangannya.

Raisa menunduk. Tidak enak hati. “Makasih, Kak. Makasih banyak. Aku nggak enak.”

Aran tidak menanggapi. Ia justru melambaikan tangan untuk memanggil taksi. Sopir yang menangkap sinyal tangan Aran, langsung menepikan mobilnya di depan mereka.

            Aran menghembuskan napas kuat-kuat, lalu menggesekkan kedua telapak tangannya yang kini terasa beku. “Lain kali, bawa jas hujan atau jaket. Terus pakek tas parasut yang punya proteksi air.”

            Raisa mengangguk, lalu menyerahkan jaket hitam milik Aran. “Makasih jaketnya, Kak.”

            Aran hanya meliriknya sekilas. “Kamu yang harus cuci.”

            Raisa mengangguk. Tak tahan melukiskan senyum di balik bibirnya yang merah seperti biji dilema. Setelah beberapa kali mengangguk sopan, Raisa mulai melangkah membuka pintu taksi bagian belakang.

            “Hati-hati....” Telapak tangan Aran yang dingin menyentuh bahunya. “Raisa!”

            Mendengar namanya disebut, Raisa menoleh sesaat. Ia melukiskan senyum termanisnya sembari mengangguk, sebelum akhirnya melesakkan diri ke bangku belakang taksi dan menutup pintu.

            Seiring mobil taksi melaju menuju rumahnya, Raisa mencengkeram dadanya yang kini mengeluarkan sensasi tak terdefinisi. Ia cukup bahagia mengetahui Aran mengingat namanya.

***

            Setelah taksi tersebut hilang sepenuhnya dari pandangan mata, Aran berbalik dan berlari menerobos hujan. Ia harus kembali ke sekretariat berisi anggota-anggota yang kini sedang bingung dimana gerangan Aran Dinata menghilang di waktu hampir tengah malam.

            Aran tak tahan menyunggingkan senyum. Senyum yang tidak ia ketahui alasan pastinya. Senyum yang membuatnya lupa bahwa ia akan menyelesaikan rapat dengan kondisi badan yang basah.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dua Warna
420      307     0     
Romance
Dewangga dan Jingga adalah lelaki kembar identik Namun keduanya hanya dianggap satu Jingga sebagai raga sementara Dewangga hanyalah jiwa yang tersembunyi dibalik raga Apapun yang Jingga lakukan dan katakan maka Dewangga tidak bisa menolak ia bertugas mengikuti adik kembarnya Hingga saat Jingga harus bertunangan Dewanggalah yang menggantikannya Lantas bagaimana nasib sang gadis yang tid...
Mahar Seribu Nadhom
4451      1486     7     
Fantasy
Sinopsis: Jea Ayuningtyas berusaha menemukan ayahnya yang dikabarkan hilang di hutan banawasa. Ketikdak percayaannya akan berita tersebut, membuat gadis itu memilih meninggalkan pesantren. Dia melakukan perjalanan antar dimensi demi menemukan jejak sang ayah. Namun, rasa tidak keyakin Jea justru membawanya membuka kisah kelam. Tentang masalalunya, dan tentang rahasia orang-orang yang selama in...
My Teaser Devil Prince
5565      1337     2     
Romance
Leonel Stevano._CEO tampan pemilik perusahaan Ternama. seorang yang nyaris sempurna. terlahir dan di besarkan dengan kemewahan sebagai pewaris di perusahaan Stevano corp, membuatnya menjadi pribadi yang dingin, angkuh dan arogan. Sorot matanya yang mengintimidasi membuatnya menjadi sosok yang di segani di kalangan masyarakat. Namun siapa sangka. Sosok nyaris sempurna sepertinya tidak pernah me...
Hear Me
474      341     0     
Short Story
Kata orang, menjadi anak tunggal dan hidup berkecukupan itu membahagiakan. Terlebih kedua orangtua sangat perhatian, kebahagiaan itu pasti akan terasa berkali lipat. Dan aku yang hidup dengan latar belakang seperti itu seharusnya merasa bahagia bukan?
Semu, Nawasena
6161      2520     4     
Romance
"Kita sama-sama mendambakan nawasena, masa depan yang cerah bagaikan senyuman mentari di hamparan bagasfora. Namun, si semu datang bak gerbang besar berduri, dan menjadi penghalang kebahagiaan di antara kita." Manusia adalah makhluk keji, bahkan lebih mengerikan daripada iblis. Memakan bangkai saudaranya sendiri bukanlah hal asing lagi bagi mereka. Mungkin sudah menjadi makanan favoritnya? ...
KAU, SUAMI TERSAYANG
612      416     3     
Short Story
Kaulah malaikat tertampan dan sangat memerhatikanku. Aku takut suatu saat nanti tidak melihatku berjuang menjadi perempuan yang sangat sempurna didunia yaitu, melahirkan seorang anak dari dunia ini. Akankah kamu ada disampingku wahai suamiku?
Rasa Cinta dan Sakit
426      215     1     
Short Story
Shely Arian Xanzani adalah siswa SMA yang sering menjadi sasaran bully. Meski dia bisa melawan, Shely memilih untuk diam saja karena tak mau menciptakan masalah baru. Suatu hari ketika Shely di bully dan ditinggalkan begitu saja di halaman belakan sekolah, tanpa di duga ada seorang lelaki yang datang tiba-tiba menemani Shely yang sedang berisitirahat. Sang gadis sangat terkejut dan merasa aneh...
Just For You
4148      1634     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
Kala Senja
31453      4512     8     
Romance
Tasya menyukai Davi, tapi ia selalu memendam semua rasanya sendirian. Banyak alasan yang membuatnya urung untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia rasakan. Sehingga, senja ingin mengatur setiap pertemuan Tasya dengan Davi meski hanya sesaat. "Kamu itu ajaib, selalu muncul ketika senja tiba. Kok bisa ya?" "Kamu itu cuma sesaat, tapi selalu buat aku merindu selamanya. Kok bisa ya...
When You're Here
1984      921     3     
Romance
Mose cinta Allona. Allona cinta Gamaliel yang kini menjadi kekasih Vanya. Ini kisah tentang Allona yang hanya bisa mengagumi dan berharap Gamaliel menyadari kehadirannya. Hingga suatu saat, Allona diberi kesempatan untuk kenal Gamaliel lebih lama dan saat itu juga Gamaliel memintanya untuk menjadi kekasihnya, walau statusnya baru saja putus dari Vanya. Apa yang membuat Gamaliel tiba-tiba mengin...