Read More >>"> Dunia Sasha (Raisa Kamila) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dunia Sasha
MENU 0
About Us  

           Perempuan 17 tahun itu melonjak kegirangan setelah melirik pengumuman kelulusan SBMPTN di ponselnya. Ia melupakan rencana sebelumnya yang telah ia rangkai—bersikap biasa saja baik hasilnya positif maupun negatif. Namun, respon impulsif saraf tubuh sepertinya tidak bisa mewujudkan apa yang tadi telah terencana.

            Melirik kedua temannya yang kini sama girangnya, ia mengurungkan niatnya untuk menyesal. Setidaknya, mereka bertiga sama-sama berbahagia di meja kantin bersama dengan sepiring gorengan dan es teh manis. Beberapa anak di sekolahnya menampilkan raut wajah yang beragam. Ada yang girang sepertinya, ada yang sedih dan menitikan air mata, dan ada yang biasa-biasa saja.

            “Kamu lulus dimana, Ca? Liat dong!”

            “Pilihan pertama.”

            Perempuan 17 tahun itu memperlihatkan sebuah pengumuman.

            Raisa Kamila Putri. Teknik Kimia.

            Kedua teman Raisa Kamila memperlihatkan pengumumannya masing-masing. Tasya lulus di jurusan ekonomi pembangunan dan Ria lulus di jurusan pendidikan matematika. Meski Tasya gagal masuk fakultas hukum di pilihan pertama, gadis itu cukup bahagia membayangkan ia akan jadi mahasiswa baru fakultas ekonomi.

            “Ca, kata orang kuliah di jurusan teknik itu susah, loh.” Komentar Ria seketika membuat senyum Raisa pudar.

            “Iya, sih.”

            Raisa sudah cukup tahu diri sebenarnya. Ia dan kedua temannya harus mati-matian belajar. Kursus dari pagi hingga malam. Namun, tetap saja saat try out, nilai anak-anak yang memang terlahir pintar mengungguli nilai mereka yang bekerja keras sampai ke batas ikhtiar. Beberapa anak di sekolahnya hanya belajar sekedarnya, lalu masuk fakultas kedokteran.

            “Tapi, kita bisa lulus SBMPTN, kan? Padahal kemarin kita nggak punya keberanian untuk berharap. Kerja keras kan buat semua orang.” Raisa melirik teman-temannya satu persatu. “Maksudku, walaupun otakku nggak pinter-pinter amat. Tapi kan, aku punya kerja keras.”

            Tasya dan Ria mengangguk mantap. Sepenuhnya mereka setuju dengan narasi seorang Raisa. Keduanya mencomot bakwan goreng dan menyantapnya dengan lahap.

Meskipun dalam akademik Raisa harus belajar mati-matian agar bisa setara anak-anak pintar, namun perempuan itu punya pemikiran di atas rata-rata anak seusianya. Terbiasa membaca buku sejak kecil, membentuk Raisa menjadi perempuan dengan sudut pandang luas dan cakrawala yang terbuka lebar. Kedua sahabatnya menjuluki Raisa dengan “Raisa Crates”.

            “Ca, pulang ini main, yuk?”

            Raisa menggeleng. Ia menelan tempe gorengnya, kemudian menyesap es teh miliknya yang semakin lama semakin mendekati suhu normal.

            “Aku harus ke acara Ibu.”

            “Ibu kamu bedah buku lagi?” Ria berdecak kagum, “Kayaknya tiap hari ibu selalu aja ada undangan.”

            Tasya menimpali, “Novel-novel ibu kan laris banget di pasaran, Ria. Bahkan beberapa udah di filmkan.” Pandangannya teralih kepada Raisa, “Ca, kalau novel ibu kamu di jadikan film lagi, ajak-ajak kita lagi ya di tayang perdananya!”

            Raisa mengangguk, kemudian mengacungkan jempol. Entah sudah berapa kali, Ibunya melebihkan tiket khusus tayang perdana sebanyak 3 buah untuk Raisa dan kedua sahabat dekatnya. Di kesempatan itulah, mereka bisa berfoto dengan artis-artis papan atas yang kebetulan menjadi pemeran di film adaptasi novel ibunya.

***

            Maya Kamila memejamkan mata saat sekelebat memori kembali membawa dirinya ke masa-masa 17 tahun silam. Masa-masa gelap dalam hidupnya. Masa-masa dimana ia nyaris tidak punya jalan keluar selain menyerah.

            Perempuan itu membuka matanya. Disinilah ia duduk manis, di hadapan lebih dari 500 audience yang rela membayar biaya mahal untuk ikut acara bedah bukunya. Ia tidak tahu persis, sepertinya ia sudah mempunyai penggemar statis seperti para artis.

            Dunia berputar seiring dengan kerja keras manusia. Ia bukan lagi perempuan 27 tahun yang terbuang. Semuanya sudah berbeda sekarang. Kini, Maya Kamila adalah perempuan 44 tahun dengan karya-karya spektakuler dan laris manis seantero negeri.

            Acara bedah buku kali ini membahas karya terbarunya yang berjudul Apple of My Eyes. Karya novelnya laris manis di pasaran dan sudah cetak ke-10 dalam waktu tiga tahun. Apple of my eyes bagaikan untaian cerita yang mengandung bawang. Tak jarang beberapa orang mengaku menangis hingga sesenggukan setelah membacanya.

            “Kira-kira, sekarang mbak Maya lagi nulis karya apa? Bisa di spoiler-kan?”

            Perempuan dengan nama pena ‘Dunia Maya’ itu tersenyum tipis. “Saya sedang menulis buku biografi tiga tokoh inspiratif. Saat ini, selain mengajar dan jadi editor, saya menggarap ketiga proyek itu.”

            Selain terkenal sebagai penulis novel, tangan emas seorang Dunia Maya mampu menyulap kisah nyata para tokoh terkenal menjadi sebuah cerita biografi yang apik. Tidak jarang, orang salut dengan rangkaian kalimat-kalimat Dunia Maya dalam sebuah buku. Kumpulan kalimat yang mampu membawa siapapun masuk ke dalam tulisannya.

            “Setelah itu, saya berencana menulis novel lagi. Kali ini berbeda. Karya yang sangat spesial.” Maya tersenyum tipis dan tampak misterius. Tatapan matanya memandang kosong ke depan. “Dunia Sasha. Itu judulnya.”

            Perempuan 44 tahun itu kembali memejamkan mata. “Karya terakhir,” sambungnya dalam hati.

***

            Entah sudah berapa judul buku yang ia tanda tangani di sampul bagian dalam. Maya tidak melirik ke depan sama sekali. Ia hanya tersenyum tipis dan menandatangani siapapun yang menyodorkan buku miliknya. Sesekali ia melakukan peregangan pada lengan kanannya yang perlahan-lahan mulai pegal.

            Perempuan itu sontak mengangkat kepala ketika orang di depannya tidak mengulurkan novel apple of my eyes, melainkan selembar kertas penguman SBMPTN. Maya tersenyum lebar memperhatikan anak remaja perempuan menampakkan raut kegirangan di depannya. Ia berdiri, memperhatikan putri tunggalnya dari atas ke bawah.

            Raisa masih mengenakan pakaian sekolah lengkap. Dengan rok abu-abu panjang, gadis itu mengenakan baju batik hijau lumut. Rambutnya yang dibiarkan tergerai sedikit di bawah bahu, terlihat acak-acakan dan berkeringat. Ransel biru laut masih terlampir di bahunya. Entah bagaimana cara Raisa pergi dari sekolahnya di Depok menuju ke Bogor tempat Maya mengisi acara bedah buku.

            Maya meraih selembar kertas itu, berdiri, lalu memeluk Raisa dengan erat. Ia menepuk-nepuk bahu anaknya yang sebentar lagi menjadi mahasiswi teknik kimia.

            “Hasil kerja keras kamu selama ini ya, Ca.”

            Maya tahu betul bagaimana susahnya Raisa belajar. Tak cukup belajar di sekolah, Maya memfasilitasinya untuk masuk bimbingan belajar dan kursus intensif. Putrinya berangkat ke sekolah pukul enam pagi, pulang sekolah langsung kursus hingga malam, sampai di rumah Raisa tetap belajar selama 1-2 jam sebelum tidur. Maya hanya mengajak Raisa beberapa kali refreshing di akhir pekan. Namun, waktu bermain mereka berlangsung singkat, seperti hanya memakan es krim di mall, karena putrinya kembali memutuskan pulang dan belajar.

            “Ca, belajar terus. Nggak pusing?” tanya Maya setelah menyajikan coklat hangat di atas meja belaja Raisa. “Ibu nggak bakal marah kalau kamu nggak lulus SBMPTN, Ca.”

            “Ini bukan soal Ibu marah atau nggak.” Raisa menghentikan aktivitas belajarnya. “Ini soal masa depanku mau dibawa kemana.”

            Raisa menghalau kantuk dengan beberapa kali mengerjapkan mata. “Caca bukan murid yang pinter. Konsekuensinya ya harus kerja keras ekstra biar setara sama murid-murid yang pinter.”

            Sejak saat itu, Maya sadar bahwa putri kecilnya sudah tumbuh pesat. Entah darimana Raisa belajar, gadis itu memiliki pemikiran yang luar biasa dan tidak terduga. Sudut pandangnya sangat luas di atas rata-rata anak 17 tahun. Maya menghela napas lega, Raisa bisa berdiri dengan kakinya sendiri suatu saat nanti.

            Pelukan Maya dan Raisa terlepas saat kedua sahabatnya, Ria dan Tasya, menghampiri mereka dengan langkah cepat. Dilihat dari asal mereka melangkah, dipastikan mereka sedang buang air di toilet beberapa menit yang lalu.

            “Bu, kami juga lulus SBMPTN, loh!” Ria menyahut setelah tiba di dekat Maya. Kedua sahabat Raisa memang biasa menyapa Maya dengan sebutan ‘Ibu’.

            Maya mengusap rambut kedua sahabat Raisa sembari tersenyum bangga. Wanita itu cukup bersyukur bahwa Tuhan menghadirkan sahabat yang baik untuk Raisa.

            “Sebagai hadiah kelulusan kalian,” ujar Maya. “Ayo Ibu traktir makan enak!”

            Ketiganya sontak kegirangan. Maya berpamitan sebentar ke panitia penyelenggara acara, kemudian menghampiri ketiga gadis berusia belasan tahun yang sebentar lagi jadi mahasiswa. Mereka keluar aula dengan langkah pelan.

            “Caca udah kasih tahu ayah. Dia nyuruh kita mampir ke kafe. Katanya sih mau kasih Caca hadiah.” Raisa mengedipkan sebelah matanya. Dari senyumnya yang sedari tadi belum padam, Maya menyadari bahwa Raisa sangat ingin bertemu ayahnya.

            Maya mengangguk, “Baiklah. Bilang ke ayah, kita mampir kesana hari minggu.”

***

            Maya menepikan mobilnya di depan kafe Ananta setelah 3 jam menyetir dari Depok ke Sagulin, Bandung Barat. Kafe sederhana itu diambil dari nama pemiliknya “Ananta Wijaya”. Meski tidak berukuran besar, kafe itu cukup estetik dan laris di kalangan anak-anak Bandung. Beberapa mahasiswa kerap mampir untuk bikin tugas maupun belajar kelompok. Fasilitas wifi pun diberikan secara gratis selama operasional kafe.

            Lelaki sebaya Maya keluar dari pintu masuk kafe sembari merentangkan tangan. Raisa langsung berhambur dan memeluk ayahnya yang semakin lama bertubuh semakin kurus. Rambut hitam pekatnya yang kini lebih panjang daripada terakhir mereka bertemu mulai dihiasi oleh rambut-rambut putih.

            Karena cukup sering mampir ke Bandung mengunjungi lelaki itu, Raisa langsung masuk kafe begitu saja tanpa izin. Ananta Wijaya hanya tersenyum tipis melihat anak gadisnya penuh energi hari ini.

            “Kamu apa kabar? Bedah buku terus ya kayaknya.”

            Maya dan Ananta melangkah bersisian memasuki kafe, “Lumayan. Gimana usaha kamu?”

            “Bengkel dan kafe semuanya lancar.”

            Raisa mencolek es krim adik tirinya yang masih duduk di bangku SD. Anak perempuan berusia 6 tahun itu seketika merengek dan menatap Raisa dengan sinis. Tujuan Raisa ke Bandung beberapa kali bukan hanya ingin melihat ayahnya, melainkan mengunjungi adik tirinya yang menggemaskan.

            Adiknya memiliki fisik yang sedikit gemuk dan bekulit putih. Pipinya yang tembam seringkali jadi sasaran empuk Raisa. Setiap kali Raisa datang, adiknya tidak pernah absen menangis.

            “Aisha pelit banget, ih!” komentar Raisa seketika membuat anak perempuan 6 tahun itu semakin sebal.

            “Kakak kan jarang dateng. Masa’ es krim aja nggak boleh dibagi!” Ananta menimpali sambil mengusap wajah Aisha yang kini basah oleh air mata dan ingus.

            Aisha masih menatap Raisa sinis, “Kakak belikan aku es krim baru!”

            Raisa bangkit berdiri, lalu mengamit lengan Aisha. “Oke, kita makan bakso juga, yuk? Mau nggak?”

            Aisha mengangguk, “Sama coklat juga.”

            “Ca, pergilah jajan sama adik.” Ananta memberikan uang 100 ribu kepada Raisa. “Tapi inget, di luar jangan berantem, ya!”

***

            Raisa duduk mantap di belakang kemudi setelah hari sudah mulai gelap. Perjanjiannya memang Raisa yang akan bawa mobil ke Depok saat perjalanan pulang. Dari tempatnya duduk, ia masih melihat orang tuanya berbincang di depan pintu kafe. Gadis itu melirik amplop coklat berisi uang yang cukup tebal. Ia belum menghitung berapa persis jumlahnya. Ananta menghadiahkannya karena Raisa berhasil menjadi mahasiswi baru.

            “Anak jaman sekarang nggak butuh hadiah lagi. Butuhnya uang tunai. Ya kan, Ca?” Ujar Ananta setelah memberikan uang. Raisa hanya mengangguk antusias.

            Sejauh ini, hubungan ayah dan ibunya baik-baik saja. Sebuah pertanyaan yang sampai sekarang belum Raisa temukan jawabannya adalah mengapa orang tuanya harus bercerai? Bahkan Maya mengatakan bahwa mereka bercerai sejak Raisa belum genap tiga tahun. Namun, selama bertahun-tahun Raisa hidup, ayahnya sosok lelaki yang sangat baik. Ia tidak menemukan alasan krusial kenapa ayah dan ibunya harus berpisah.

            Saat Raisa berusia 10 tahun, lelaki itu memang menikah lagi. Namun, istri Ananta meninggal saat melahirkan Aisha. Namun hingga sekarang, Ananta masih sendiri, begitu pula Maya. Raisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung. Kalau saja ibu dan ayahnya rujuk, ia yakin bahwa mereka berempat bisa jadi keluarga yang harmonis. Lagipula, Raisa sangat menyayangi Aisha seperti adik kandungnya sendiri.

***

            “Kamu nggak perlu kasih Raisa uang sebanyak itu!” Maya melancarkan protes setelah memastikan Raisa sudah duduk mantap di belakang kemudi. “Lebih baik keuangan kamu buat Aisha aja.”

            “Aisha masih 6 tahun, May. Belum banyak keperluan.”

            Maya mengangguk mantap. “Aku tahu. Tapi perjanjian kita dari awal kan, kamu nggak perlu melakukan apapun untuk Raisa. Dia anak aku....”

            “Aku tahu,” potong Ananta, “Tapi, aku sangat menyayangi Raisa. Aku melakukan apa saja karena aku....” Ananta menghela napas, “Aku menyayangi anak kamu.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kinara
3683      1464     0     
Fantasy
Kinara Denallie, seorang gadis biasa, yang bekerja sebagai desainer grafis freelance. Tanpa diduga bertemu seorang gadis imut yang muncul dari tubuhnya, mengaku sebagai Spirit. Dia mengaku kehilangan Lakon, yang sebenarnya kakak Kinara, Kirana Denallie, yang tewas sebagai Spirit andal. Dia pun ikut bersama, bersedia menjadi Lakon Kinara dan hidup berdampingan dengannya. Kinara yang tidak tahu apa...
Premium
Akai Ito (Complete)
5596      1283     2     
Romance
Apakah kalian percaya takdir? tanya Raka. Dua gadis kecil di sampingnya hanya terbengong mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Raka. Seorang gadis kecil dengan rambut sebahu dan pita kecil yang menghiasi sisi kanan rambutnya itupun menjawab. Aku percaya Raka. Aku percaya bahwa takdir itu ada sama dengan bagaimana aku percaya bahwa Allah itu ada. Suatu saat nanti jika kita bertiga nant...
Dear Diary
613      406     1     
Short Story
Barangkali jika siang itu aku tidak membongkar isi lemariku yang penuh buku dan tumpukan berkas berdebu, aku tidak akan pernah menemukan buku itu. Dan perjalanan kembali ke masa lalu ini tidak akan pernah terjadi. Dear diary, Aku, Tara Aulia Maharani umur 25 tahun, bersedia melakukan perjalanan lintas waktu ini.
LEAD TO YOU
18786      2084     16     
Romance
Al Ghazali Devran adalah seorang pengusaha tampan yang tidak mengira hidupnya akan berubah setelah seorang gadis bernama Gadis Ayu Khumaira hadir dalam hidupnya. Alghaz berhasil membuat Gadis menjadi istrinya walau ia sendiri belum yakin kalau ia mencintai gadis itu. Perasaan ingin melindungi mendorongnya untuk menikahi Gadis.
Unexpected You
405      292     0     
Romance
Pindah ke Indonesia dari Korea, Abimanyu hanya bertekad untuk belajar, tanpa memedulikan apapun. tapi kehidupan tidak selalu berjalan seperti yang diinginkannya. kehidupan SMA terlalu membosankan jika hanya dihabiskan untuk belajar saja. sedangkan Renata, belajar rasanya hanya menjadi nomor dua setelah kegemarannya menulis. entah apa yang ia inginkan, menulis adalah pelariannya dari kondisi ke...
(not) the last sunset
544      378     0     
Short Story
Deburan ombak memecah keheningan.diatas batu karang aku duduk bersila menikmati indahnya pemandangan sore ini,matahari yang mulai kembali keperaduannya dan sebentar lagi akan digantikan oleh sinar rembulan.aku menggulung rambutku dan memejamkan mata perlahan,merasakan setiap sentuhan lembut angin pantai. “excusme.. may I sit down?” seseorang bertanya padaku,aku membuka mataku dan untuk bebera...
Amor Vincit Omnia
554      403     1     
Short Story
\'Cinta menaklukkan segalanya\'. Umpama darah yang mengalir ke seluruh tubuh, cinta telah menaklukkan rasa benci yang bagai melekat dengan tulang dan daging. Jika hujan mampu sampaikan pesan pada ibu, maka ia akan berkata, “Aku sungguh mencintainya. Dan aku berjanji akan menjaganya hingga berakhir tugasku di dunia.”
Renata Keyla
6100      1350     3     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...
Let Me Go
468      341     4     
Short Story
It Takes Two to Tango
434      318     1     
Romance
Bertahun-tahun Dalmar sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Kini, ia hanya punya waktu dua minggu untuk bebas sejenak dari tanggung jawab-khas-lelaki-yang-beranjak-dewasa di Balikpapan, dan kenangan masa kecilnya mengatakan bahwa ia harus mencari anak perempuan penyuka binatang yang dulu menyelamatkan kucing kakeknya dari gilasan roda sepeda. Zura tidak merasa sese...