Chapter 2
Aku tersadar di sebuah kamar mewah yang luas. Kasur springbed berukuran queen yang dilapisi bedcover berwarna pink abu-abu ikut menyelimutiku. Kamar itu berlantaikan keramik berwarna pink muda dan bertembok krem motif bunga.
Samar-samar aku ingat ruangan gelap yang berlantaikan tanah liat. Aku yakin itu bukan mimpi. Lalu kamar apa ini? Benar-benar mirip kamar putri raja atau putri konglomerat.
Sepertinya ada seseorang yang membius dan membawaku kemari. Efek biusnya cukup lama, lebih dari dua belas jam aku tak sadarkan diri. Obat itu membuatku lemas tak bertenaga. Juga mematikan beberapa fungsi alat indraku seperti melihat dan merasa yang sifatnya sementara.
Setelah efek obat bius itu hilang, kini tenaga dan alat indraku berfungsi secara normal. Mataku langsung tertuju pada gagang pintu di depan sana. Kedua tanganku bergegas membukanya. Namun seperti yang bisa ditebak. Terkunci.
Sebenarnya apa motif pelaku melakukan semua ini. Mau menculikku dan meminta tebusan? Atau ini merupakan sindikan berdagangan manusia. Bagaimana aku bisa terlibat hal seperti ini? Semakin kupikirkan semakin membuatku cemas.
Aku tidak bisa pasrah begini saja. Apapun yang dinginkan pelaku pasti tidak akan berakhir baik untukku. Dan apa yang bisa kulakukan saat ini adalah menyelidiki dengan seksama kamar nan megah ini.
Di sebelah kiriku telah berdiri kokoh sebuah lemari kayu yang panjangnya satu setengah meter dan tingginya satu meter. Lemari itu tidak terkunci. Dan ternyata tidak hanya besar, lemari itu juga penuh dengan gaun indah, sepatu high heels dan tas cantik bermerek. Benar-benar seperti lemari artis terkenal.
Di arah yang berlawanan, ada sebuah meja rias yang dipenuhi dengan alat make up. Di sana juga berserakan beberapa perhiasan yang entah berlian atau imitasi.
Lalu yang terakhir adalah kamar mandi. Ada satu jendela kecil berterali besi di atas sana. Dengan ukuran sekecil itu, kepalaku saja tidak akan masuk. Mustahil untuk kabur lewatnya.
Selain itu tidak ada apa-apa lagi. Selayaknya toilet pada umumnya. Ada kloset, shower dan bathup. Perlengkapan mandi seperti sampo, sabun, sikat gigi dan lainnya juga lengkap berjejer rapi di rak gantung berwarna sivler.
Tidak ada TV atau jam dinding di kamar yang mewah ini. Hanya ada pendingin ruangan tanpa remot.
Aku berkesimpulan, tidak adanya jam dinding dan TV di kamar nan megah ini berarti pelaku ingin aku tidak tau informasi apa-apa baik mengenai waktu maupun hal lainnya yang sedang terjadi di luar sana. Sedangkan pendingin ruangan tanpa remot, ini berarti pelaku tidak ingin aku melakukan hal bodoh seperti mengecilkan suhu dan membuat tubuhku sakit atau semacamnya. Sepertinya pelaku sangat peduli padaku tapi di satu sisi ia juga memaksakan keinginannya.
Jadi di mana ini sebenarnya? Apa ini sebuah hotel? Apartement? Atau Vila? Aku benar-benar tidak habis pikir.
Saat rasa kebingunganku memuncak, tiba-tiba terdengar seseorang yang sedang mencoba membuka pintu kamar ini dari arah luar.
“Kamu sudah bangun Na?” Aku kehabisan kata-kata demi melihat siapa orang yang baru saja membuka pintu.
“Aku sangat khawatir kalau kamu terluka. Kamu benar sudah baik-baik saja?”
“Pa..Pak Freddy.” Tubuhku gemetar.
Freddy yang merupakan rekan kerjaku, saat ini tengah berdiri di hadapanku dengan mengenakan pakaian rapi, lengkap dengan dasi berwarna hitam.
“Pak… Freddy?” Freddy mengerutkan keningnya. Mengambil langkah demi langkah mendekatiku. Tubuhku tiba-tiba membeku.
“Hah.. Aku kira kamu sudah ingat.” Freddy terlihat kecewa.
Aku tidak mengerti. Jadi orang yang membawaku kemari adalah Freddy? Apa pria yang pertama kali aku lihat kemarin juga Freddy? Situasi apa sebenarnya ini?
“Pak.. sebenarnya ada apa ini?” Aku terbata-bata. Meminta penjelasan.
“Kamu suka kamarmu?” Lagi-lagi aku tidak mengerti apa yang sedang Freddy katakan. Kamarku? Ruangan mewah ini? Sejak kapan.
“Jadi.. Pak Freddy yang.. membawa Saya kemari?” Kakiku bergerak sendiri. Satu langkah mundur. Menghindari Freddy yang terus maju mendekat.
“Maaf. Aku baru bisa mengabulkan keinginanmu sekarang. Ternyata butuh banyak waktu dan biaya untuk semua ini.” Freddy memangkas jarak di antara kami. Kakiku menatap tembok. Terhenti.
“Calon istri Bapak! Bukankah Bapak punya calon istri?” Aku tidak tau apakah harus mengatakan hal ini atau tidak. Tapi situasi aneh ini harus terjelaskan lebih dahulu.
“Bukankah sudah jelas kalau itu Kamu?” Tangan kanan Freddy menarik daguku sedikit ke atas. Mata kami bertatapan.
Aku mulai berspekulasi kalau Freddy ini mabuk. Tapi aku tidak mencium aroma alkohol darinya. Apa dia gila? Tapi selama ini dia terlihat normal. Dia bilang aku merupakan calon istrinya? Konyol sekali.
“Sepertinya Kamu benar-benar lupa ya. Baiklah. Akan kubantu Kamu mengingat hubungan kita.” Freddy mengendurkan sedikit dasi hitamnya.
“Kemarilah.” Freddy duduk di ujung springbed. Tanganya menepuk-nepuk pahanya. Apa dia baru saja menyuruhku untuk duduk di pangkuannya?
“Pak... Saya ingin pulang. Adik Saya pasti sudah sangat khawatir.” Aku mengalihkan pembicaraan.
“Andi? Haa.. Nana. Andi itu sudah dewasa sekarang. Dia bahkan sudah bekerja. Hanya tinggal menunggu waktu sampai akhirnya dia jatuh cinta dan meninggalkanmu. Kalian akan hidup terpisah. Biarkan Dia hidup mandiri. Hm?” Freddy tersenyum penuh arti padaku.
Mendengarnya terus memanggil dengan nama kecilku, membuatku yakin kalau Freddy adalah pria yang sama dengan pria yang aku lihat sebelumnya.
“Saya hanya ingin pulang Pak.” Mataku mulai berlinang air mata. Situasi ini tidak pernah terduga.
“Nana kemarilah.” Freddy mengulangi aba-abanya. Dia tidak merespon genangan air mataku.
Freddy kesal melihatku yang tidak mengindahkan kata-katanya. Tanpa permisi dia langsung menarik tanganku dan memeluk tubuhku. Memaksaku duduk dipangkuannya.
“Kamu akan ingat siapa Aku. Jadi tenanglah.” Freddy memelukku begitu erat dipangkuannya.
“Apa yang Bapak lakukan! Lepaskan Saya!” Aku menjerit. Memaksanya untuk melepaskanku.
“Aku nggak akan menyakitimu. Aku hanya ingin Kamu ingat siapa Aku.” Freddy berbicara sambil mencumbu bahuku.
Dasar brengsek! Batinku mengumpat.
“Lepaskan Saya! LEPASKAN!” Tubuhku meronta. Dengan sekuat tenaga kakiku menginjak kaki Freddy.
“ARGH!” Freddy mengaduh. Melepaskan pelukannya. Aku bergegas keluar dari kamar.
Belum sempat aku membuka pintu, Freddy kembali menarik bahuku. Hitungan detik, aku sudah terhempas dalam springbed.
“Baiklah sepertinya Kamu butuh waktu lebih lama untuk mengingatnya sendiri. Nikmatilah waktumu di sini.” Freddy keluar dan mengunci pintu sebelum aku sempat mengejar langkahnya.
“Pak Freddy buka pintunya!” Tanganku berusaha membuka pintu yang terkunci.
“FREDDY! Buka pintunya!” Terlambat. Freddy sudah pergi entah ke mana. Aku kembali terkunci di dalam kamar mewah nan megah ini dengan ditemani rasa frustasi.
***
love it...
Comment on chapter Chapter 1