Read More >>"> RUMIT (Rumit) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - RUMIT
MENU
About Us  

Hari, bulan, berlalu begitu cepat, tak terasa Azfar sudah memasuki semester empat. Di kampus, Azfar dan seluruh angkatan 2020 sudah memiliki junior. Di organisasi KAMMI juga, jabatan Azfar semakin tinggi: ia telah menjadi koordinator kaderisasi.

Enam sahabat itu sesekali bertemu jika memiliki waktu luang masing-masing. Sesekali bertemu di taman UNTAD, biasanya juga di pantai Kampung Nelayan. Hubungan Azfar dengan Ainun juga baik-baik saja. Azfar memposisikan Ainun seperti ia memposisikan Nining dan Aya—hanya sebagai sahabat.

Suatu hari, di rumah Nenek Arni, ponsel Azfar berdering—ada panggilan masuk.

“Aya?” gumam Azfar. “Tumben menelepon.”

Azfar pun mengangkatnya, terdengar suara riang dari gadis itu di seberang telepon:

Assalamualaikum, Azfar,” sapa gadis itu.

“Waalaikumussalam,” balas Azfar.

Apa kabarmu, Azfar?

“Kabarku baik. Bagaimana denganmu?”

Kabarku juga baik, hehehe.” Gadis itu tertawa renyah. “Oh iya, sore nanti kamu sibuk?

“Sepertinya tidak. Ada apa, Aya?”

Syukurlah kalau tidak sibuk. Aku mau ke rumah kamu. Eh, maksudnya rumah Nenek kamu. Boleh?

Mata Azfar langsung membelalak saat mendengar permintaan dari Aya. Ia terkejut.

Halo! Ada orang di sana?” tanya Aya saat ucapannya tidak ditanggapi Azfar.

“Eh, i-iya-iya, boleh, Aya, hehehe.” Azfar gelagapan.

Yesss! Makasih, Azfar. Jam 3 sore aku berangkat.

“Sama siapa kamu akan ke sini?” tanya Azfar.

Sendiri.

“Yang lain tidak diajak?”

Tidak, aku maunya sendiri dulu. Ingin bertemu dan bermain bersama Adirah, dan bertemu Ibu dan Nenek.

Azfar mengangguk, “Baiklah, Aya.”

Azfar sebenarnya tak ingin bila hanya Aya seorang diri yang berkunjung ke rumah Nenenknya, bertemu dengan dirinya dan keluarganya, namun juga harus ada sahabat-sahabatnya yang lain, alasannya karena ia tak ingin ada kesalahpahaman antara dirinya dan sahabat-sahabatnya, khususnya Ainun. Kalau mereka tau Aya berkunjung ke rumah neneknya, apa yang akan terjadi? Boleh jadi yang lain akan marah, karena tak diajak bergabung, dan boleh jadi juga Ainun akan cemburu. Azfar sangat tak ingin hal itu terjadi.

Sekarang sudah pukul tiga sore, tapi Aya belum juga datang. Azfar sejak tadi menunggunya di sofa ruang tamu. Pukul setengah tiga tadi Aya menghubungi Azfar bahwa dia sudah mulai berangkat.

Lama Azfar menunggu. Jam tiga lewat Aya baru datang, motornya ia parkirkan rapi di halaman rumah. Saat berjalan hendak masuk ke rumah, gadis itu tersenyum-senyum malu, pesona cantik memancar di wajahnya. Azfar telah menyambutnya di ambang pintu.

“Assalamualaikum,” sapa Aya pada Azfar, tersenyum.

“Walaiakumssalam,” balas Azfar, juga tersenyum. “Mari masuk.”

Dua remaja itu pun melangkah menuju sofa ruang tamu, duduk. Baru sebentar duduk, Azfar hendak ke dapur sebentar, ingin membuatkan sesuatu pada tamunya itu.

“Mau makan dan minum apa?” tanya Azfar.

“Tidak usah repot-repot, Azfar.” 

“Sama sekali tidak repot. Tamu wajib dilayani seperti raja.”

“Air putih saja.” Lagi-llagi Aya tersenyum malu.

“Ya sudah, air putih saja, ya. Tunggu sebentar.” Azfar beranjak dari duduknya, menuju dapur.

Sebelum Azfar hilang dari balik tembok, Aya bertanya padanya:

“Adirah ada di rumah?”

Azfar mengangguk. “Sebentar, aku panggilkan.”

Tak tahu Adirah atas kedatangan Aya di rumah neneknya. Di kamar, gadis kecil itu sedang bermain boneka, nampak Nenek Arni sedang berbaring di atas ranjangnya. Azfar masuk ke kamar terlebih dahulu sebelum menuju ke dapur.

“Adirah, ada Kak Aya di ruang tamu,” Azfar memberi tahu.

“Sungguh?” wajah gadis itu berbinar, lantas segera berlari menuju ruang tamu. Azfar lanjut ke dapur.

“Kak Aya!” Seru Adirah. “Wah, lama tak jumpa.” Gadis kecil itu langsung duduk di samping Aya.

“Apa kabarmu, gadis cantik?” Aya mengusap kepala Adirah,.

“Alhamdulillah, kabar adirah baik, Kak.”

Adirah dan Aya bercakap-cakap di ruang tamu, sesekali tertawa. Azfar mendengar suara mereka dari dapur.

“Mana Ibu?” tanya Aya pada Adirah.

“Entah di mana. Mungkin sedang ketemu dengan tetangga di samping rumah.”

Tak lama kemudian, datanglah Azfar membawa jamuan: teh hangat bercampur madu dan kue-kue kering.

“Silahkan disantap.” Azfar tersenyum pada Aya.

“Terima kasih, Azfar,” ucap Aya lembut.

Tiga gelas teh hangat bercampur madu Azfar buat, ia tak melupakan sang adik.

Yang Adirah tahu, hanya dua perempuan yang sedang dekat dengan Azfar, karena dua perempuan itu sering datang ke rumah, siapa lagi kalua bukan Aya dan Ainun. Adirah mengira-ngira, berucap konyol pada sang Kakak:

“Pacar Kak Azfar dua, ya?”

Azfar yang tengah menyeruput tehnya hampir saja tersedak. Aya tertawa mendengar celetukkan Adirah.

“Kakak tidak punya pacar, Adirah,” ucap Azfar membela diri.

“Kak Aya ini bukan pacar Kakak?” Adirah menyentuh lengan Aya.

Azfar geleng-geleng kepala mendengar dan melihat tingkah adiknya itu. Siapalah yang mengajarkan gadis kecil itu mengenal  tentang pacaran. Mumngkin saja karena ucapan dari teman sebayanya di SD, makanya ia cepat mengetahi apa yang di maksud pacaran itu.

“Kakak dan Kak Aya ini hanya berteman, Adirah. Kami tidak pacaran.”

“Iya, Adirah, Kak Aya dan Kak Azfar hanya berteman,” sambung Aya, meyakinkan gadis kecil itu.

Adirah mengangguk-angguk setuju.

Mereka bertiga terus bercakap-cakap di ruang tamu.

Sore ini Azizah menjual nasi kuning di depan rumah. saat datang ke rumah Nenek Arni tadi, Aya melirik sejenak ke arah kedai yang ada di depan rumah—sebuah pondok kayu sederhana, kosong, tak ada Azizah di sana. Biasanya Azfar juga yang melayani membeli nasi kuning Ibunya.

Saat sedang bercakap-cakap di ruang tamu, tiba-tiba ada pembeli yang berteriak di luar, Azfar segera keluar, melayani. Aya dan Adirah juga ikut keluar.

Usai melayani pembeli, mereka tertahan di kedai.

“Bagaimana kalau di sini saja? Aku suka tempatnya, adem,” kata Aya.

Azfar mengangguk.

“Kalau ada pembeli berikutnya, aku boleh mencoba menyiapkan pesanan untuk pembeli?” Aya bertanya.

Azfar mengangguk lagi dan tersenyum. “Boleh.”

Dari kejauhan, dua gadis berjalan mendekat ke keadai Azizah, dan dua gadis itu tidak disadari oleh Azfar dan Aya. Saat telah mendekat, Adirah lah yang duluan melihat, lantas gadis kecil itu berseru riang memanggil nama dua gadis tersebut.

“Kak Ainun! Kak Nining!” Adirah berloncat-loncat saking gembirannya karena kehadiran dua kakak yang juga dikenalnya.

Saat itu Azfar dan Aya sedang bercakap-cakap hangat, lalu tiba-tiba terkejut karena mendengar teriakan Adirah. Bukan karena teriakan yang keras membuat mereka berdua terkujut, tapi karena mendengar dua nama yang telah dipanggil gadis kecil itu. Azfar dan Aya langsung menoleh ke arah dua gadis itu. Benar saja, itu adalah Ainun dan Nining. Duh, bagaimana ini?! Apa nanti kata Ainun jika melihat Aya di rumah Nenek Azfar? Dan, apa juga nanti kata Nining? Apa gadis gempal itu akan merasa dirinya tidak diajak?

“Assalamualaikum,” bersamaan Nining dan Ainun mengucapkan salam saat mereka telah berdiri di depan kedai. Usai mengucapkan salam itu juga, Ainun dan Nining langsung terkejut karena sadar akan kehadiran Aya di kedai Ibu Azfar.

“Aya?!” seru Nining terkejut. “Sudah lama di sini?”

“Eh?... hehehe, iya, sudah cukup lama,” jawab Aya gelagapan, bibirnya gemetar karena sedikit takut.

Di sebelah Nining, Ainun tak berucap sepatah kata pun, ia hanya temangu, tak menyangka dengan semua itu.

“Kenapa tidak mengajak kami berkunjung ke rumah nenek Azfar?” tanya Nining menyelidik.

Aya menoleh ke arah Azfar, menatap lelaki itu. Dari tatapan tersebut, seakan-akan Aya ingin berkata: bagaimana ini, Azfar? Azfar pun membalas tatapan itu, namun tak bisa juga mengeluarkan kata-kata. Dua remaja itu kebingungan sekaligus ketakutan. Rasanya seperti pencuri sedang di pergoki oleh polisi; pencurinya adalah Azfar dan Aya, dan polisinya adalah Nining dan Ainun. Dari mata Ainun, sangat nampak bahwa gadis itu sangat tidak suka dengan kehadiran Aya.

“Kenapa tidak dijawab, Aya?” tanya Nining lagi.

“Aku hanya ingin berkunjung ke rumah Nenek Azfar.”

“Lalu kenapa tidak mengajak kami?”

Tak ada jawaban dari Aya, lidahnya kelu.

Sebenarnya Nining juga sudah sadar, bahwa kedatangan Aya ke rumah nenek Azfar karena gadis itu masih ada rasa suka pada Azfar. Coba saja jika hanya Nining seorang diri datang ke kedai, pasti Nining tak akan menginterogasi Aya seperti itu, karena ia telah paham dengan keadaannya. Nining meminta keterangan Aya karena di sebelahnya ada Ainun, mantan Azfar. Nining tahu, Ainun tidak mungkin berani bertanya ke Aya seperti, dan Nining pun harus mewakili pertanyaan yang sebenarnya sudah timbul pada hati Ainun.

Apa karena Aya, hingga Azfar memutuskanku? Jangan-jangan tentang organisasi, itu hanya alasan Azfar semata, agar dia bisa dekat dengan Aya, ucap Ainun dalam hati. Hatinya rasannya seperti teriris pisau tajam, rasannya sakit sekali. Andai saja Ainun tahu jika di kedai itu Ada Aya, ia tak akan mungkin datang, karena hanya menimbulkan luka.

Ainun pun membuka suara, namun berusaha untuk menutup semua rasa emosi, berusaha sesantai mungkin. Ia pun tidak membahas soal kedatangan Aya ke rumah Nenek Azfar, tapi:

“Aku mau pesan nasi kuning, dibungkus. Satu saja. Kecapnya sedikit, ya.” Suara Ainun pelan.

Azfar maju ke tempat pelayanan, kini ia dan Ainun sudah berhadapan, hanya dipisahkan oleh pembatas kedai yang pendek. Tangan Azfar cekatan menyiapkan pesanan Ainun. Ainun memerhatikan dengan seksama tangan yang sedang menyiapkan pesanan nasi kuningnya. Tak ada percakapan di antara mereka berdua, rasanya sudah seperti orang asing setelah kedatangan Aya. Apakah Ainun akan melupakan Azfar sepenuhnya? Apakah Ainun tak akan lagi menegur Azfar?

Tujuan Ainun dan Nining ke kedai memang ingin membeli nasi kuning. Tak begitu jauh rumah Nining dan rumah Nenek Azfar. Tapi, Ainun juga ada perlu apa datang ke Donggala? Kenapa tak juga mengajak Aya? Hal itu pun Aya tanyakan.

“Kenapa kalian berdua bisa bertemu? Aku tak tahu sedikit pun informasi tentang pertemuan kalian berdua?” Aya bertanya pada Nining dan Ainun.

Ainun menatap Aya sedikit tajam, nampaknya Aya seperti ingin membalas lontaran-lontaran pertanyaan yang ditujukan pada dirinya tadi. Lalu Ainun menoleh ke arah Nining, bermaksud agar Nining yang menjawabnya.

“Ainun dan keluarganya baru saja pulang dari wisata pantai di Donggala. Orang tua Ainun sudah balik ke Palu, dan Ainun berniat singgah di rumahku seorang diri,” Jawab Nining.

Aya termangu, sangat puas dengan jawaban dari Nining. Ia mengira Nining dan Ainun juga akan gelagapan karena pertanyaannya, ternyata tidak.

“Terima kasih,” ucap Ainun setelah menerima pesanan nasi kuningnya dari tangan Azfar.

 Tak ada lagi percakapan di antara mereka semua, Ainun dan Nining mulai melangkah untuk pergi.

Aya tiba-tiba berucap, membuat langkah Ainun dan Nining terhenti.

“Ainun! Nining! maafkan aku.”

Nining menoleh sejenak, tersenyum hangat. “Iya, tidak apa, Aya.”. Ainun tak menoleh, apa lagi senyum. Ia masih merasakan luka yang amat dalam atas kejadian hari ini. Sungguh ia tak menyangkanya.

Lamat-lamat Azfar menatap Ainun yang berjalan meninggalkan kedai, seorang gadis yang tak sengaja ia lukai hatinya. Setelah kepulangan Aya nanti, Azfar bernisiatif akan menelepon Ainun, ingin meminta maaaf pada gadis itu. Azfar sadar bahwa dirinya telah berbuat salah.

 

***

 

Tuut tuut tuut

Tak ada jawaban dari Ainun. Bila dihitung, mungkin sudah limapuluh kali Azfar meneleponnya, namun tak diangkat. Sesekali Ainun menolak panggilan tersebut. Karena beberapa kali sudah ditelepon dan tak ada jawaban, akhirnya Azfar berhenti menelepon. Bukan hanya ditelepon, Azfar juga men-chat gadis itu—hasilnya sama, tak ada balasan, hanya di-read.

Perjuangan Azfar tak sampai di situ, ia akan terus berusaha sampai Ainun memaafkannya dan tak marah lagi padanya. Di kampus nanti Azfar akan meminta maaf secara langsung. Mungkin Ainun akan luluh kembali bila berbicara langsung dengan Azfar.

Esok harinya, di kampus.

Azfar mendatangi Fakultas Keguruan, menuju ke prodi Bahasa Inggris, mencari kelas Ainun. Saat sudah mengetahui kelas Ainun, Azfar melongokkan kepala di ambang pintu, mencari keberadaaan gadis itu, dan akhirnya ia melihatnya, nampak Ainun sedang bercakap-cakap dengan teman sekelasnya. Azfar menungguinya di depan pintu kelas. Lima menit kemudian, gadis itu pun keluar bersama dua orang temannya. Azfar langsung menyapanya dengan ramah:

“Hai, Ainun.” Azfar tersenyum lembut.

Sebentar saja Ainun menatap wajah Azfar, lalu ia membuang pandangan. Gadis itu melanjutkan langkahnya meninggalkan Azfar yang terpaku di belakang. Azfar tak menyerah, ia kembali mengejarnya.

“Ainun, aku minta maaf atas kejadian kemarin sore.”

Langkah Ainun terhenti. Dua teman gadis itu saling tatap, memasang wajah heran. Siapa pula lelaki yang tiba-tiba meminta maaf  pada Ainun? Demikian pertanyaan yang muncul di benak mereka. Dua teman Ainun itu paham, akhirnya mereka berpamitan sebentar pada Ainun, tak ingin menganggu dan mendengar pembicaraan temannya dan lelaki yang sama sekali tak mereka kenal. Tinggalah Ainun dan Azfar di halaman depan kelas.

Di halaman depan kelas itu, suasananya sangat sejuk, banyak pohon-pohon berdiri di sekitarannya, angin pagi berembus dengan lembut.

“Ada apa lagi? Aku belum ingin bertemu denganmu,” ucap Ainun jutek.

“Aku ingin menjelaskan semuanya. Aku tak ingin kamu salah paham, Ainun,” ucap Azfar dengan raut wajah yang serius, berharap agar Ainun mendengar setiap penjelasannya.

“Tidak perlu! Aku sudah malas mendengar setiap ucapan manis darimu. Semua lelaki sama saja!”

“Tidak, Ainun, semua lelaki tidak sama.”

“Iya, semua lelaki memang tidak sama, tapi kamu adalah salah satu laki-laki yang sering menyakiti hati perempuan.” Setelah mengucapkan itu, Ainun melangkah meninggalkan Azfar.

Duh, bagaimana ini? Jika perempuan telah dibuat kecewa sekali saja, pasti susah untuk mengembalikan kepercayaannya kembali. Akan butuh waktu lama untuk meluluhkannya. Atau mungkin sampai selamanya  tak akan memaafkan lagi  lelaki yang telah membuatnya kecewa dan sakit hati.

Azfar menghembuskan napas saat mendengar ucapan dari Ainun seperti itu.

“Aku berani bersumpah, Ainun, pertemuanku dengan Aya kemarin bukan atas permintaanku.”

Ainun tak berhenti melangkah, ia tak menghiraukan Azfar lagi. Jaraknya  dan Azfar sudah mulai jauh.

Azfar tetap mengejarnya, ia yakin pasti Ainun akan memaafkannya. Sampailah Azfar di samping Ainun lagi, lalu berkata:

“Aya menghubungiku, meminta ingin berkunjung ke rumah nenekku. Aku sudah bilang padannya: bila berkunjung ke rumah, ajak teman-teman yang lain. Namun dia tetap tak mau. Dia ingin berkunjung seorang diri. Aku pasrah, hanya bisa mengiyakan permintaannya.”

Langkah Ainun terhenti.

“Harusnya kamu tetap tidak menerimanya bila datang seorang diri!” suara Ainun mulai meninggi. “Mana janji kamu saat itu, yang pernah bilang bahwa tak akan dekat dengan perempuan lain lagi walau hubungan kita telah berakhir? Kamu telah mengingkari janji! Cukup, Azfar. Sekarang jauhi aku!”

Ainun kembali melangkah, mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Jika saja Azfar terus meminta maaf padanya, mungkin gadis itu sudah akan menangis. Kini gadis itu kembali berkumpul dengan dua temannya, meninggalkan Azfar yang tak berdaya di belakang.

Masih ada harapan, mungkin besok atau hari-hari berikutnya. Azfar tak akan menyerah sampai Ainun benar-benar memaafkannya. Azfar pun pergi meninggalkan fakultas keguruan, tak lama lagi mata kuliah jam ke duanya akan masuk.

Esok harinya Azfar kembali menemui Ainun di fakultasnya. Hasilnya tetap seperti kemarin: Ainun tak mengindahkan permintaan maaf dari Azfar.

Hari ketiga pun sama sekali tak ada perubahan. Hari ke empat pun sama. Apa Azfar harus menyerah? Tidak! Ia harus meluluhkan kembali hati Ainun. Ainun sangat sayang padanya, tak mungkin akan berlarut-larut dalam kemarahan.

Bukannya hanya Azfar, Aya pun juga meminta maaf pada Ainun. Ainun tak marah saat Aya meminta maaf, ia hanya tersenyum ikhlas. Tapi Ainun seperti tak ingin berlama-lama berbicara dengan gadis itu, ingin menjaga jarak untuk sementara waktu.

Hari ke lima, Azfar kembali mendatangi Ainun di fakultasnnya.

“Ainun, sampai kapan kamu harus seperti ini?” Azfar melap peluh di keningnya, cuaca sangat panas, apa lagi ia barusan berlari karena mengejar Ainun yang selalu cuek padannya. “Apa tidak ada kesempatan lagi untuk merubah semuanya? Aku janji, jika nanti Aya meminta datang ke rumah seorang diri lagi, aku akan beritahu sebaiknya datang bersama teman-teman. Aku mohon, Ainun, maafkan aku.”

Lagi-lagi Ainun tak mengindahkan Azfar. Ia melangkah meninggalkan lelaki itu yang terpaku di belakang.

Duh, jika saja boleh bersentuhan, mungkin Azfar akan menahan dan menggemgam tangan gadiss itu, agar tak ke mana-mana.

Azfar kembali mengejar, berusaha untuk tidak menyerah. “Ainun, tak akan kuualngi lagi. Tolong, maafkan aku.”

“Ainun, tak pernah lagi kita berkumpul dengan lengkap. Itu semua sebab hubungan kita berdua tidak baik-baik saja. Aku rindu kumpul bersama-sama lagi.”

“Itu semua salah kamu, akhirnya jadi seperti ini.” Akhirnya Ainun membuka suara. “Pergi, Azfar, aku sudah malas mendengar setiap ucapan maaf darimu! Paling besok-besok kamu akan mengulanginya lagi. Pergilah! Jauhi aku mulai detik ini!”

Ucapan Ainun seditik mengiris hati Azfar. Kenapa Ainun harus melontarkan kata-kata seperti itu?

Azfar menggeleng, ia tak mau menjauhi Ainun. Mereka sudah lama berkenal dan bersahabat, dan tak mungkin harus saling menjauh.

“Maafkan aku, Ainun. Maaf,” lirih Azfar. “Aku tak bisa menjauhimu. Mengapa kamu menginginkan hal itu?”

“Agar aku dapat melupakanmu! Berteman denganmu, rasanya hanya menyiksa diriku. Saat melihatmu dekat dengan perempuan lain, aku masih menimbulkan rasa cemburu, dan aku tak mampu dengan setiap rasa cemburu itu. Karena masih berteman baik denganmu, akhirnya  aku masih belum bisa melupakanmu. Mungkin dengan menjauhimu, aku akan mudah melupakanmu.” Tetes pertama air mata Ainun jatuh ke pipi. “Pergilah. Aku sudah memaafkanmu, tapi jangan cari aku lagi.”

Azfar menatap gadis itu dengan raut wajah sedih. Ia tak bisa menjauhi Ainun. Sebenarnya bukan hanya Ainun, Azfar pun juga masih sayang padanya walaupun hubungan mereka tidak bertatus pacar lagi.

“Ainun, baru sekali saja aku salah. Kamu tetap tidak ingin memaafkanku?”

“Baru sekali? Berarti kalau aku maafkan, kamu akan ulangi yang kedua kali?”

Azfar menelan ludah kasar. Ya ampun, aku sudah salah bicara, ucap Azfar dalam hati.

“Bukan-bukan. Maksud aku bukan seperti itu. Maksud aku, beri aku kesempatan untuk memperbaiki segalanya. Aku janji, tak akan mengulanginya kembali.”

Tak ingin menaggapinya lagi, Ainun segera melangkah meninggalkan Azfar, menuju parkiran motor. Entah akan kemana tujuan gadis itu.

Di perjalanan menuju FISIP, pikiran Azfar kacau:

“Ainun berusaha untuk melupakanku? Ainun juga ingin menjauh dariku? Kenapa ia berani berucap seperti itu? Apa dia sudah benar-benar hilang rasa padaku? Tak cinta lagi? Eh, tapi kenapa aku harus kepikiran seperti ini? Entah Ainun tak memiliki rasa atau tak cinta lagi padaku, kan itu bukan sebuah masalah, lagi pula tidak ada lagi hubungan spesial antara kami berdua.” gumam Azfar. “Yang seharusnya kupikirkan adalah bagaimana caranya agar Ainun memaafkanku, bukan tentang Ainun tak cinta lagi padaku.”

Motor Azfar pun telah tiba di parkiran FISIP. Tujuannya  sekarang adalah perpus, ingin membaca buku di sana. Di perjalanan menuju perpustakaan, kepalanya masih saja dihantui oleh ucapan-ucapan Ainun tadi. Sejujurnya, ucapan semacam itu menyakiti hati Azfar, betapa tidak, Ainun meminta agar mereka harus saling menjauh. Duh, keadaan saat ini sangat rumit.

Saat membaca buku di perpustakaan pun Azfar tak fokus membaca, seperti hanya ada wajah jutek Ainun tergambar di setiap lembaran buku. Sepertinya bukan membaca solusinya untuk menenangkan segala pikiran yang berkecamuk di kepala. Sekarang sudah pukul dua siang, mungkin suasana yang pas untuk menenangkan diri adalah ke pinggir pantai. Tapi saat ini matahari masih menyengat panas. Baiklah, Azfar menunggu waktu sore di kampus saja, setelah itu menuju ke pinggir pantai andalannya dan sahabat-sahabatnya, di mana lagi kalau bukan Kampung Nelayan.

Sore itu, Azfar berangkat sendiri seorang diri ke pantai Kampung Nelayan. Se sampainya di sana, ia langsung memilih tempat yang bagus. Sebelum duduk santai di tanggul, Azfar terlebih dahulu membeli somai dan minuman dingin, untuk dinikmati saat berduduk santai nanti.

“Azfar!” Seseorang menepuk bahu Azfar dari belakang saat lelaki itu sedang membeli somai. Azfar sedikit terkejut.

“Aya!” seru Azfar. “Sedang apa di sini?”

“Seperti tujuan seluruh orang di pantai ini. Juga termasuk tujuanmu. Bersantai, bukan?”

Azfar tersenyum lebar. “Sendiri saja?”

“Iya.”

“Nining dan Ainun tidak kamu ajak?”

Aya menghembuskan napas perlahan. “Rasanya Ainun sudah berbeda. Ia sekarang seperti tak ingin lagi berbicara denganku.”

“Dia masih terus teringat dengan persoalan beberapa hari yang lalu saat kamu berkunjung ke rumah Nenekku. Semoga saja dia segera memaafkan kita, agar bisa berkumpul lagi seperti biasanya.”

Aya mengangguk.

Azfar sudah membeli somai dan beberapa jajanan gorengan lainnya, lalu ia pun menuju tanggul, berpamitan pada Aya:

“Aku ke sana dulu, Aya.”

“Aku?”

“Maksud kamu?”

“Hanya sendiri saja? Tak ingin bersamaku?”

“Iya. Aku tak ingin Ainun salah paham lagi. Dia memang tidak ada di sini, tapi siapa sangka, boleh jadi tiba-tiba dia akan datang ke pantai ini, dan melihat kita sedang duduk berdua. Jika ada teman yang lain gabung bersama kita, itu tidak masalah. Satu orang saja sudah cukup. Jadilah bertiga kita duduk-duduk.”

“Kalau begitu, aku telepon Abi sekarang, kupanggil dia ke sini.”

Entah Aya masih ada rasa cinta pada Azfar, yang pasti gadis itu ingin sekali selalu berada di dekat lelaki itu. Apa pun syaratnya untuk bisa dekat dengan Azfar akan ia lakukan, seperti harus ada kehadiran teman yang lain jika ingin kumpul duduk bersama lelaki itu, kendati pun Aya menelepon Abimanyu.

Abimanyu mengangkat telepon dari Aya, lelaki itu pun mengiyakan ajakan Aya, sekarang ia sudah di perjalanan.

“Abi sudah otw. Terus bagaimana?  Apa aku sudah boleh duduk bersamamu atau harus tunggu Abi datang?”

Sungguh, Azfar telah merasa menjadi laki-laki yang kurang baik sikapnya: memberi izin pada Aya untuk duduk bersamanya dengan syarat. Azfar menunduk sejenak, merasa malu dengan diri sendiri.

“Maafkan aku. Ayo, kita duluan saja ke tanggul, sambil menunggu Abi.”

“Sungguh? Tidak  takut lagi?”

Azfar menggeleng.

Sungguh rumit: di satu sisi, Azfar harus menjaga hati Ainun, tak ingin membuatnya kecewa, namun di sisi lain, Aya selalu ingin dekat-dekat dengannya. Yang paling parah lagi, mereka semua bersahabat. Posisi seperti itulah yang kebanyakan orang tak menginginkannya: melibatkan rasa di dalam sebuah persahabatan. Awalnya memang bersahabat, namun pada akhirnya sebuah rasa timbul, dan boleh jadi  akan berubah status dari sahabat menjadi  pacar. Jika hubungan asmara telah berakhir, apakah statusnya kembali menjadi sahabat? Tentu tidak! Yang ada hanyalah sebagai orang asing, yang seperti tak pernah kenal.

“Kamu sudah meminta maaf pada Ainun?” tanya Azfar saat mereka sudah duduk di atas tanggul.

“Sudah. Tapi Ainun masih saja terlihat cuek padaku. Tak enak rasanya bila kutemui terus. Aku meresa, kehadiranku di hidupnya hanya membuat pikirannya  berantakan,” keluh Aya. “Sepertinya dia masih mencintaimu, Azfar.”

Tapi aku juga masih mencintaimu, lanjut Aya dalam hati.

Azfar hanya menoleh ke arah Aya, tak berkata sepatah  kata pun. Gadis itu menatap hamparan lautan teluk di depan, rambutnya berayun-ayun dihembus angin.

Tak lama kemudian, datanglah Abimanyu, menghampiri dua sahabatnya itu yang sedang duduk di tanggul. Bukannya menanyakan kabar, Abimanyu malah bertanya:

“Bagaimana hubunganmu dengan Ainun?”

Parahnya lagi dari seorang Abimanyu: ia langsung melahap somai milik Azfar yang ada di piring tanpa memintanya terlebih dahulu. Melihatnya, Aya langsung menegur:

“Hei, itu somai milik Azfar. Ambil uang ini, dan beli sendiri!” Aya menyerahkan uangnya pada Abimanyu.

“Iya-iya.” Abimanyu pun beranjak dari duduknya.

Sebelum Abimanyu pergi membeli somai, Azfar langsung menjawab pertanyaan lelaki itu tadi:

“Hubungan kami belum baik. Dia masih marah padaku.”

“Ini semua gara-gara Aya.” Abimanyu mengalihkan pandangan ke arah Aya, menuding gadis itu bahwa dialah yang salah. Tapi itu semua hanyalah gurauan semata.

“Aku tidak tahu kalau datang seorang diri ke rumah Nenek Azfar bakal berakibat fatal, huu!” ucap Aya membela diri sambil menjulurkan lidah pada Abimanyu.

“Sudah-sudah. Sama sekali tak ada yang salah,” ucap Azfar menengahi perdebatan dua sahabatnya.

Abimanyu pun membeli somai, setelah itu mereka bertiga duduk santai sambil menatap hamparan laut teluk dan matahari yang hampir tenggelam di balik gunung yang ada di seberang lautan. Saat adzan berkumandang nanti, Azfar dan Abimanyu akan menuju ke masjid yang ada di pantai itu juga, untuk menunaikan salat magrib. Mereka baru akan pulang mendekati salat isya tiba, atau pukul tujuh malam. Kenapa ingin pulang malam, karena pemandangan malam tak kalah indah dinikmati dari Pantai Kampung Nelayan: di seberang lautan nampak hamparan kerlap-kerlip lampu-lampu kota, seperti kunang-kunang yang beterbangan di malam yang gulita.

 

***

 

Akibat dari kedatngan Aya di rumah Nenek Azfar beberapa hari yang lalu, Ainun marah besar. Karena masalah itu pula, enam sahabat itu sudah jarang bertemu. Mereka yang laki-laki, setiap bertemu pasti tak ada kehadiran Ainun, Nining dan Aya. Ainun dan Aya juga tak pernah bertemu. Nining berada di tengah-tengahnya: Ainun ia tegur, Aya pun juga, ia tak ingin membela salah-satunya, kedua-duanya adalah sahabat baiknya.

Di semester 4 ini juga, ada banyak organisasi yang membuka  pendaftaran untuk para mahasiswa yang ingin bergabung, khusunya mahasiswa baru. Organisasi KAMMI juga udah membuka pendaftaran untuk angkatan selanjutnya. Di pembukaan DM 1, Azfar lah ketua panitianya. Hari-hari itu ia sangat sibuk sekali. Karena banyaknya kesibukan, Azfar hampir lupa kalau dirinya sedang ada masalah dengan Ainun. Memang benar, salah satu cara untuk melupakan seseorang itu adalah dengan menyibukkan diri: tentu saja kesibukan yang bermanfaat. Banyak anak-anak muda di luar sana, ketika punya masalah, mereka malah mengahbiskan waktu dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti mabuk-mabukkan, pakai narkoba, dan hal-hal yang tidak bermanfaat lainnya. Azfar memperbanyak kesibukan bukan berarti ia ingin melupakan Ainun, karena memang menyibukkan diri adalah kesukaan Azfar. Baginya, menjadi mahasiswa adalah kesempatan emas untuk merenggut dalamnya sumur ilmu pengetahuan dan memperbanyak relasi. Azfar tetap merasa orang paling bersalah terhadap Ainun.

Hari pertama DM 1 pun tiba. DM 1 dilaksanakan selama tiga hari. Di pembukaan itu, Azfar tampil di mimbar untuk menyampaikan laporan ketua panitia. Seorang gadis sejak awal hadir di tempat DM 1 selalu memerhatikan Azfar dari kejauhan, namun Azfar sama sekali tak sadar, karena begitu sibuknya. Azfar baru tersadar saat usai menyampaikan laporan panitia, pandangannya bertemu dengan pandangan gadis tersebut, ia sangat terkejut.

“Ainun?” gumam Azfar saat melihat gadis itu.

Usai semua rangkaian pembukaan DM 1, Azfar langsung mendatngi Ainun.

“Ainun! Aku sangat terkejut kamu mendaftar di KAMMI. Kenapa tidak bilang padaku?” seru Azfar kegirangan. Jarak mereka tidak dekat, karena yang dikatuti senior akan menegur.

Ainun tersenyum, dan itu adalah senyum pertamanya setelah dari masalah mereka. “Aku mau kasih kejutan untuk kamu, hehehe.”

Azfar menunduk, tersenyum malu-malu. “Kamu masih marah padaku?”

Ainun menggeleng, “Aku sudah memaafkanmu. Maafkan aku juga, karena cukup lama tidak menegurmu.”

“Tidak apa. Itu semua juga karena kesalahanku,” ucap Azfar merasa bersalah. “Oh iya, nanti kamu akan masuk di devisi apa?”

“DI KAMMI komisariat ini kamu di divisi apa?”

“Kaderisasi.”

“Ya sudah, aku akan memilih masuk di kaderisasi”

Mata Azfar terbelalak, ia terkejut. “Boleh aku tahu alasannya?”

“Tidak peka!”

Lagi-lagi Azfar tersenyum malu-malu. Ia sudah peka. Ainun selalu  membuat dirinya rasanya sedang berada di taman bunga.

Percakapan Azfar dan Ainun itu bukan sebuah pertanda bahwa mereka akan melanjutkan kembali hubungan asmara. Tidak! mereka akan selalu menjadi sahabat.

“Aku ke sana dulu, tidak baik jika kita berlama-lama bicara, karena hanya berdua. Nanti senior memarahi kita.”

Azfar balik kanan, meninggalkan Ainun.

“Tunggu dulu!” Ainun menghentikan langkah Azfar, lelaki itu pun menoleh. “Jangan diulang lagi.” Sangat pelan suara Ainun mengucapkannya.

Senyum yang kesekian kali Azfar ukir di wajahnya. “Iya, tidak akan aku ulang lagi.” Lelaki itupun meninggalkan Ainun.

Ainun kembali bergabung dengan teman-teman peserta DM 1 perempuan.

Sudah hari ke tiga, adalah hari terakhir pengkaderan. Para peserta DM 1 pun telah resmi menjadi keluarga dari KAMMI.

Hari-hari berikutnya setelah membaiknya hubungan Azfar dan Ainun, enam sahabat itu pun sudah sering bertemu. ainun juga sudah menegur Aya. Namun, membaiknya hubungan Azfar dan Ainun, sedikitt membuat Aya merasa cemburu lagi. Bukan hanya itu, ia juga sudah tentu tak ada kesempatan lagi bertemu berdua bersama Azfar. Ah, sungguh rumit keadaaan ini!

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Allura dan Dua Mantan
2378      735     1     
Romance
Kinari Allura, penulis serta pengusaha kafe. Di balik kesuksesan kariernya, dia selalu apes di dunia percintaan. Dua gagal. Namun, semua berubah sejak kehadiran Ayden Renaldy. Dia jatuh cinta lagi. Kali ini dia yakin akan menemukan kebahagiaan bersama Ayden. Sayangnya, Ayden ternyata banyak utang di pinjol. Hubungan Allura dan Ayden ditentang abis-abisan oleh Adrish Alamar serta Taqi Alfarezi -du...
Kani's World
973      430     0     
Inspirational
Perjalanan cinta dan impian seorang perempuan dari desa yang bernama Kani. Seperti halnya kebanyakan orang alami, jatuh bangun dihadapinya. Saat kisah asmaranya harus teredam, Kani dituntut melanjutkan mimpi yang sempat diabaikannya. Akankah takdir baik menghampirinya? Entah cita-cita atau cinta.
SILENT
4492      1371     3     
Romance
Tidak semua kata di dunia perlu diucapkan. Pun tidak semua makna di dalamnya perlu tersampaikan. Maka, aku memilih diam dalam semua keramaian ini. Bagiku, diamku, menyelamatkan hatiku, menyelamatkan jiwaku, menyelamatkan persahabatanku dan menyelamatkan aku dari semua hal yang tidak mungkin bisa aku hadapi sendirian, tanpa mereka. Namun satu hal, aku tidak bisa menyelamatkan rasa ini... M...
Selepas patah
106      87     0     
True Story
Tentang Gya si gadis introver yang dunianya tiba-tiba berubah menjadi seperti warna pelangi saat sosok cowok tiba-tiba mejadi lebih perhatian padanya. Cowok itu adalah teman sebangkunya yang selalu tidur pada jam pelajaran berlangsung. "Ketika orang lain menggapmu tidak mampu tetapi, kamu harus tetap yakin bahwa dirimu mampu. Jika tidak apa bedanya kamu dengan orang-orang yang mengatakan kamu...
ARSELA: Perjodohan si Syar'i dan Ketua Geng Motor
90      83     3     
Romance
Memiliki hutang budi dengan keluarga Dharmendra, Eira mau tidak mau menyetujui perjodohan dengan putra sulung keluarga itu, Arsel, seorang ketua geng motor tersohor di kampusnya.
Memento Merapi
3931      1607     1     
Mystery
Siapa bilang kawanan remaja alim itu nggak seru? Jangan salah, Pandu dan gengnya pecinta jejepangan punya agenda asyik buat liburan pasca Ujian Nasional 2013: uji nyali di lereng Merapi, salah satu gunung terangker se-Jawa Tengah! Misteri akan dikuak ala detektif oleh geng remaja alim-rajin-kuper-koplak, AGRIPA: Angga, Gita, Reni, dan Pandu, yang tanpa sadar mengulik sejarah kelam Indonesia denga...
Sebelas Desember
2569      773     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
Photograph
915      434     1     
Romance
Ada banyak hal yang bisa terjadi di dunia dan bertemu Gio adalah salah satu hal yang tak pernah kuduga. Gio itu manusia menyenangkan sekaligus mengesalkan, sialnya rasa nyaman membuatku seperti pulang ketika berada di dekatnya. Hanya saja, jika tak ada yang benar-benar abadi, sampai kapan rasa itu akan tetap ada di hati?
Demi Keadilan:Azveera's quest
556      290     5     
Mystery
Kisah Vee dan Rav membawa kita ke dalam dunia yang gelap dan penuh misteri. Di SMA Garuda, mereka berdua menemukan cinta dan kebenaran yang tak terduga. Namun, di balik senyum dan kebahagiaan, bahaya mengintai, dan rahasia-rasasia tersembunyi menanti untuk terungkap. Bersama-sama, mereka harus menghadapi badai yang mengancam dan memasuki labirin yang berbahaya. Akankah Vee menemukan jawaban yang ...
Take It Or Leave It
3596      1442     2     
Romance
"Saya sadar...." Reyhan menarik napasnya sejenak, sungguh ia tidak menginginkan ini terjadi. "Untuk saat ini, saya memang belum bisa membuktikan keseriusan saya, Sya. Tapi, apa boleh saya meminta satu hal?" Reyhan diam, sengaja menggantungkan ucapannya, ia ingin mendengar suara gadis yang saat ini akhirnya bersedia bicara dengannya. Namun tak ada jawaban dari seberang sana, Aisyah sepertinya masi...