Awal-awal perkuliahan itu, adalah kesempatan bagi setiap organisasi untuk membuka pendaftaran kader baru. Yang diutamakan setiap pengurus organisasi untuk menarik kader-kader baru untuk bergabung di organisasi mereka adalah para mahasiswa baru. Puluhan organisasi sudah berlomba-lomba mensosialisasikan organisasi mereka ke semua mahasiswa baru. Poster-poster pendafatarn ditempel di mading yang tersedia di kampus.
Azfar tertarik dengan poster yang ditempel di mading fakultasnya, sebuah poster pengumuman untuk bergabung di organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Dari namanya, sudah bisa dipastikan bahwa itu adalah organisasi yang berlandaskan tentang keislaman. Khusus mahasiswa muslim saja yang bisa bergabung.
KAMMI adalah organisasi eksternal kampus. KAMMI juga termasuk salah satu organisasi yang sudah populer di Indonesia Setiap provinsi sudah memiliki pengurus daerah masing-masing. Organisasi KAMMI juga ada di UNTAD, memiliki satu komisariat, yakni Komisariat Universitas Tadulako.
Sejujurnya, Azfar lebih tertarik dengan organisasi berlatar keislaman, maka, lelaki itu segera mengetik link pendaftaran di ponselnya, segera mendaftarkan dirinya secara online.
Usai melakukan pendaftaran secara online, Azfar langsung memberi tahu Ainun bahwa dirinya ingin bergabung di organisasi KAMMI. Azfar juga mengajak Ainun untuk bergabung di organisasi itu.
“Maaf, Azfar, bukannya aku tidak mau, tapi pengkaderan masuk organisasi KAMMI itu bertepatan dengan kegiatan seminar yang diadakan himpunan jurusanku, apa lagi aku panitia inti di dalamnya,” kata Ainun, menolak dengan lembut ajakan Azfar.
Azfar mengangguk paham, “Baikalah. Tidak apa, Ainun.”
Abimanyu, Salman, Fiskal, dan Nining juga sudah Azfar ajak untuk bergabung di KAMMI, sayangnya, sahabat-sahabatnya itu juga menolak seperti Ainun, bilang ada agenda lain di tanggal pengkaderan itu.
Beberapa hari yang lalu, Azfar dan Abimanyu sudah mengikuti semua rangkaian proses pengkaderan masuk organisasi himpunan jurusan mereka, yakni Himpunan Mahasiswa Sosiologi (Himasos). Walaupun sudah resmi menjadi kader di Himasos, Azfar tetap ingin masuk di KAMMI, lelaki itu sangat antusias menjadi anak organisasi, mengambil lebih dari satu organisasi. Dia ingin mencari banyak relasi, kawan baru, juga pengalaman luar biasa.
Sebuah kegiatan dalam menerima kader baru di KAMMI dinamakan Daurah Marhalah (DM). Daurah yang berarti ‘Berlatih’ dan Marhalah adalah ‘Kepemimpinan’. DM terbagi lagi menjadi tiga, ada DM1, DM2, dan DM3. DM1 untuk para mahasiswa yang ingin bergabung di KAMMI. Jika sudah mengikutI DM1, maka akan punya kesempatan untuk menjadi pengurus di tingkat komisariat. DM2 adalah proses naik tingkat. Jika sudah mengikuti DM2, maka boleh melanjutkan jenjang untuk menjadi bagian dari pengurus daerah. Pun DM3, mengikutinya lagi, maka status di KAMMI akan semakin tinggi.
Dua pekan setelah pendaftaran.
Hari ini, adalah pembukaan DM1 Komisariat UNTAD. Puluhan mahasiswa telah berkumpul di gedung Islamic Center UNTAD, mengenakan pakaian hitam-putih. Di gedung itu, Azfar memiliki banyak kenalan baru dari berbagai macam fakultas dan jurusan di UNTAD. Itulah bagusnya mengikuti organisasi eksternal kampus, bisa mempunyai kawan-kawan dari fakultas yang berbeda.
Empat hari lamanya DM 1, para kader baru menginap di gedung Islamic Center.
Pembukaan materi pertama dimulai.
“KAMMI adalah singkatan dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia. KAMMI terbentuk atas dasar kerisauan para mahasiswa saat masa kepemimpinan Presiden Soeharto, yang saat itu banyak maalah yang terjadi. Maka dari itu terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, yang saat itu dideklarasikan di kegiatan pertemuan para Mahasiswa kader Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dari seluruh penjuru tanah air. Jadi, yang mengusungkan berdirinya organisasi KAMMI adalah para kader LDK, pada tanggal 29 Maret 1998, di Malang. Dari peristiwa berdirinya KAMMI, maka KAMMI bukan hanya terfokus pada kegiatan pengajian atau hal-hal yang termasuk dalam dakwah lainnya, tapi KAMMI juga terfokus tentang persoalan politik. Kader-kader KAMMI juga boleh terjun ke dunia politik, dengan syarat selalu berpegang teguh pada nilai-nilai keislaman. Banyak kader-kader KAMMI yang saat ini telah menjadi tokoh penting di negara ini.” Demikian sedikit perkenalan organisasi KAMMI oleh pemateri.
Hari ke dua pengkaderan.
Materi selanjutnya: penyampaian kode etik:
“Sesuai dengan namanya, berarti KAMMI berlatar belakang keislaman. Dari latar belakang itu, maka KAMMI memiliki kode-etik yang sesuai dengan apa yang disyariatkan agama Islam. Kode-etik itu harus ditaati oleh setiap kader. Di antara kode-etik, ialah: para kader perempuan diwajibkan untuk memakai koas kaki, karena kaki perempuan bagian dari aurat. Ditekankan untuk memakai jilbab sepanjang dada. Dilarang berboncengan perempuan dan laki-laki yang bukan mahram. Dilarang pacaran. Dilarang merokok!.....”
Mendengar penyampaian dari pemateri itu, membuat isi pikiran Azfar kacau. Ia sekarang dilema. Bagaimana ini? Apakah demi organisasi ini ia harus melepaskan Ainun? Semudah itu kah?
Hingga hari ke empat pengkaderan, para senior yang da di KAMMI selalu menekankan kepada semua peserta DM 1 agar ketika telah sah menjadi kader KAMMI, maka harus mentaati segala kode etik yang ada di dalamnya, salah satunya tidak boleh berpacaran. Hari ke empat pengkaderan itu, Azfar semakin dilema.
Beberapa agenda lagi, proses pengkaderan akan segera selesai, dan seluruh peserta DM 1 akan menjadi kader KAMMI yang sah. Setelah menjadi kader yang sah, selanjutnya semua kader baru menentukan, apakah akan lanjut menjadi pengurus atau tidak.
Acara foto-foto bareng adalah agenda yang terakhir, setelah itu, Azfar pulang. Lelaki itu berpamitan dengan seluruh senior, dan teman-teman barunya sesama kader KAMMI.
Azfar belum langsung pulang ke rumah, ia ingin singgah di Pantai Kampung Nelayan dulu, siapa tahu ketika di sana nanti, ia sudah menemukan keputusan yang pas dan baik baginya. Meninggalkan Ainun atau menjadi pengurus di KAMMI komisariat UNTAD.
Azfar memesan segelas cappucino dingin, menikmatinya di pinggir pantai, duduk di atas tanggul, menatap hamparan perairan teluk. Beban pikirannya mulai berkurang, karena indahnya pemandangan sore itu.
Tutt, tutt.
Ponsel Azfar berbunyi, terlihat nama Ainun di layar ponselnya.
“Assalamualaikum,” Ainun memberi salam dengan riang di seberang telepon.
“Waalaikumussalam,” jawab Azfar, sambil tersenyum lembut. Pandangannya terus terarah ke hamparan lautan.
“Bagaimana kegiatan pengkaderan hari ini? Ini hari terakhir, bukan?”
“Alhamdulillah, lancar. Iya, ini hari terakhir.”
“Cie, sudah sah jadi kader KAMMI.” Ainun menggoda, tanpa ia sadari, masuknya Azfar di organisasi itu akan membuat hubungan mereka berakhir.
Azfar hanya terkekeh. Di saat pikirannya sedang kacau, kehadiran Ainun, walaupun hanya lewat telepon, sudah mampu meredam semua kecamuk pikirannya.
“Sekarang masih di tempat kegiatan?” Ainun bertanya.
“Sudah pulang.”
“Oh, sudah di rumah, ya.”
“Bukan, bukan. Aku tidak langsung pulang, tapi masih singgah di Pantai.”
“Hei, kenapa tidak bilang-bilang? Aku ke sana sekarang!”
“Eh, tidak usah Ainun, aku juga mau pulang, tidak lama lagi waktu Magrib.”
“Ishh, kamu ini!.... Tumben kamu tidak mengajakku ke sana. Jangan-ja—.” Ainun berdecak sebal.
“Jangan berpikir yang tidak-tidak, Ainun. Di sini hanya aku sendiri.” Azfar memotong pikiran negatif Ainun.
“Mmm..., baiklah.”
“Ya sudah, aku pulang dulu, ya.”
“Iya. Hati-hati di jalan. Jangan ngebut. Sepertinya kamu tidak sempat sholat Magrib di Banawa. Kalau sudah azan Magrib, jangan lupa singgah salat.”
Azfar mengangguk, tersenyum. “Oke. Aku pergi dulu ya. Assalamu'alaikum.”
Setelah Ainun menjawab salam, telepon pun Azfar matikan. Lelaki itu menancap gas, motor yang dikendarainya membelah jalanan kota. Langit hampir gelap, tak lama lagi sholat Magrib tiba.
***
Sudah tiga hari Azfar tak ada menghubungi Ainun, bertemu pun juga sudah tak ada. Padahal sebelumnya, setiap hari mereka bertemu, walaupun disempitkan dengan mata kuliah dan tugas-tugasnya. Ainun merasa ada yang aneh. Ke mana Azfar selama tiga hari ini? Hanya Abimanyu yang tahu keberadaan Azfar, karena ia sekelas dengan Azfar.
Azfar selalu menyendiri, pergi ke perpus seorang diri, membaca buku di sana. Sudah tiga hari ini, dia tak ingin diajak pergi ke kantin. Saat tak ada lagi mata kuliah di kampus, dia langsung pulang. Demikian penuturan Abimanyu saat Ainun bertanya.
Ainun berulang kali menelepon Azfar, namun tak ada jawaban. Sudah tiga hari ini, akun media-sosial Azfar juga tak ada yang aktif.
Azfar memang sudah tiga hari jarang memegang ponsel. Dia juga tak ingin aktif di setiap akun media sosialnya, agar Ainun tak melihatnya aktif. Azfar juga melihat panggilan masuk dari Ainun, namun malah mengabaikannya. Itu semua ia lakukan karena pikirannya masih saja kacau. Ia bingung, dilemma: ia ingin sekali menjadi pengurus di KAMMI, di sisi lain, ia juga tak ingin menyakiti hati Ainun. Ia sangat sayang dengan gadis itu. Ini keadaan yang sangat rumit baginya.
Sore hari di rumah Nenek Arni, Azfar berinisiatif mengajak Abimanyu, Salman, dan Fiskal ke majelis ilmu yang ada di jalan Sis Al-Jufrie—tepatnya di Masjid Alkhairaat, melalui Whatsapp. Tiga sahabat lelakinya itu sepakat ingin ikut. Mejelisnya diadakan sebentar malam. Malam nanti adalah malam jumat.
Hampir tiap pekan Azfar rutin mengikuti majelis ilmu di Masjid Alkhairaat. Ia sangat suka mendengar ceramah agama, dan nasehat-nasehat oleh para Habib, Ustadz, di Masjid tersebut.
Alkhairaat adalah nama lembaga keagamaan yang sudah terkenal di Indonesia, pusatnya berada di kota Palu, jalan Sis Al-Jufrie. Alkhairaat didirikan oleh Habib Idrus bin Salim Al-Jufrie, seorang ulama masyur dari Yaman. Habib Idrus lah yang membawa ajaran Islam di kota Palu dan sekitarnya. Beliau mendirikan organisasi Alkhairaat pada 11 Juni 1930, dan terus berkembang hingga saat ini. Alkhairaat juga sudah memiliki begitu banyak pondok pesantren dan sekolah-sekolah yang tersebar hampir di semua Indonesia bagian tengah dan timur.
Selain tempat dengan pemandangan indah yang bisa menenangkan pikiran Azfar, majelis ilmu juga bisa menenangkan pikirannya. Saat duduk bersama orang-orang Muslim di sebuah majelis, menatap wajah habi dan ustad yang teduh, sambil mendengar ceramah agama mereka yang menyentuh hati, ampuh menenangkan segala isi pikiran yang sedang berkecamuk.
Usai sholat Ashar, Azfar berangkat ke Palu, menuju Masjid Alkhairaat. Ia dan tiga sahabatnya sudah berjanjian untuk bertemu di depan Masjid.
Sesampainya di sana, saat memasuki jalan Sis Al-Jufrie, mata Azfar disuguhi toko-toko yang menjual pakaian-pakaian sholat, parfum, dll. Jalan Sis Al-Jufrie adalah kawasan religi kota Palu. Sepanjang jalan itu, banyak orang-orang yang memakai baju koko, jubah. Beberapa memakai sarung.
“Sambil menunggu waktu Magrib, ayo kita pergi makan somai.” Abimanyu menyarankan. Semua sepakat. Empat sahabat itu pergi mencari penjual somai di kawasan religi itu.
“Abi yang traktir,” celetuk Fiskal.
“Enak saja. Pakai uang masing-masing!” Abimanyu menatap sinis ke arah Fiskal.
Fiskal hanya tertawa.
“Ainun dan Nining kenapa tidak diajak ikut majelis?” Salman bertanya kepada tiga sahabatnya. Mereka berempat sudah duduk di kursi, masing-masing memegang piring plastik kecil berisi beberapa tusuk somai.
“Iya, kenapa?” Fiskal balik bertanya.
Abimanyu mengangkat bahu, “Iya, kenapa?”
Azfar hanya diam. Melihat Azfar hanya diam saja, Abimanyu menyikut lengannya, “Hei, kenapa, Azfar?”
“Iya, kenapa?” Azfar malah bertanya balik.
Abimanyu menepuk dahinya, “Aduuh, malah bertanya balik, padahal kamu yang mengajak kami ke majelis.”
“Aku kira kalian sudah mengajak mereka berdua,” balas Azfar, asal.
“Kenapa tidak sekalian mengajak di grup persahabatan kita saja?” Abimanyu bertanya lagi.
“Di dalam grup sudah ada Aya, tidak baik saling mengajak ke majelis dan di dalam grup itu hanya ada Aya sendiri beragama Kristen,” jawab Azfar, masuk akal.
Tiga sahabat Azfar itu mengangguk paham.
“Tapi, kenapa tidak hubungi mereka saja, seperti kamu menghubungi kami bertiga tadi?” Abimanyu terus bertanya, ia belum puas dengan jawaban Azfar.
Tutt, tutt...
Belum sempat Azfar menjawab, ponsel yang ia letakkan di paha tiba-tiba berbunyi, ada nama Ainun di layar ponselnya.
“Ainun menelepon. Angkat, Azfar. Siapa tahu Ainun dan Nining ingin menyusul ke sini.” Abimanyu berseru.
“Eh, tidak lama lagi azan Magrib, ayo cepat habiskan somai kalian.” Azfar mengalihkan pembicaraan, lantas segera memasukkan ponselnya ke saku celana.
“Telepon dari Ainun tidak diangkat?” Abimanyu bertanya lagi.
“Tidak, nanti saja. Ayo, sudah mau azan.” Azfar buru-buru menghabiskan somai di piringnya.
***
Usai sholat Magrib, orang-orang sudah duduk berapatan di dalam Masjid, tak sabar mendengar ceramah agama. Lima menit, berdiri seorang Ulama dari barisan terdepan, menghadap ke semua jamaah, lantas mengucapkan salam. Wajahnya berseri, tatapannya teduh, murah senyum, tampan, jenggotnya lebat. Ulama itu bernama Habib Idrus bin Ali Al Habsyi. Beliau salah satu cucu dari pendiri Alkhairaat, Habib Idrus bin Salim Al Jufrie.
Pandangan Azfar tak sedikitpun berpaling dari Ulama yang sedang berbicara di depan sana, suara Ulama itu lembut, mendayu-dayu di telinga.
Habib Idrus membawakan ceramah agama tentang pandangan Islam terhadap pacaran.
“Jamaah yang dirahmati Allah swt. Penyakit yang banyak dialami oleh anak-anak muda Muslim saat ini, salah satunya adalah berpacaran. Pacaran itu sangat dilarang oleh agama kita. Pacaran adalah jalan menuju Zina.”
Di tengah-tengah jamaah, Azfar terus fokus mendengar. Sesekali isi kepalanya muncul wajah Ainun. Ratusan pertanyaan sudah memenuhi kepalanya. Apakah ia harus meninggalkan Ainun.
Dari kiri-kanan Azfar, Abimanyu, Salman dan Fiskal memandang menoleh ke arah Azfar sejenak, karena mereka tahu, pasti Azfar tersinggung oleh ceramah yang disampaikan oleh Habib.
Tak terasa, waktu sholat Isya sudah tiba, Habib menutup ceramahnya. Usai sholat Isya, Azfar langsung pulang ke Banawa. Abimanyu, Salman, dan Fiskal pulang ke kos mereka. Azfar mengendarai motor cukup laju, membelah jalanan. Sampainya Azfar rumah, ia pamit lagi pada Azizah, bilang hendak duduk-duduk di pinggir pantai sebentar.
“Ini malam jumat, Azfar.”
Azfar tetap ingin duduk di pantai, ingin menenangkan pikirannya di sana. “Sebentar saja, Bu.”
Azizah mengalah, akhirnya mengizinkan putranya itu pergi ke pantai.
Tujuan Azfar adalah dermaga, tempat ia dan Ainun pernah bertemu.
Tiba di dermaga, Azfar duduk sambil melamun. Tatapannya tertuju ke perairan teluk, terlihat di seberang sana kerlap-kerlip lampu. Langit juga indah, kerlap-kerlip bintang indah di angkasa.
“Apa aku harus meninggalkan Ainun?” gumam Azfar, bertanya pada dirinya sendiri.
“Kalau aku tinggalkan Ainun, lantas dia secepatnya melupakanku, lalu menemukan laki-laki baru sebagai pacarnya, bagaimana?”
“Tapi, kenapa aku harus bertahan untuk berpacaran dengannya, padahal jelas-jelas itu adalah dosa?”
“Jika aku benar-benar akan meninggalkannya, apakah dia akan marah padaku, dan tak akan lagi menegurku?”
“Tapi, kenapa aku harus takut kehilangan dia? Bukannya berhenti berpacaran itu keputusan lebih baik?”
Itu adalah suara-suara hati Azfar. Rasanya hatinya ada dua, dan dua hati itu saling berbantahan.
“Azfar, kenapa kau malah takut kehilangan dia yang jelas-jelas belum tentu menjadi takdirmu? Kau juga tahu kalau berpacaran tak ada diajarkan oleh agama, malah hanya menimbulkan dosa. Malah, kamu tidak menyukai bila dirimu berubah menjadi lebih baik lagi.... Pikirkan baik-baik, Azfar, berbuat dosa atau mengharap ridho dan ampun Allah? Bagaimana jika kamu tetap berpacaran dengan Ainun, lantas tiba-tiba besok ajal menjemputmu, atau mungkin detik ini juga? Ingat, Azfar, berubah menjadi lebih baik itu jangan ditunda! Mumpung masih hidup, pergunakan kesempatan itu untuk bertaubat, mendekatkan diri pada Allah....” Suara hati itu terus terlintas di kepala Azfar. Sepertinya suara hati yang satu lagi tak bisa lagi melawan. Kini Azfar sudah tahu apa yang akan dia putuskan.
“Bismillah. Aku akan memutuskan Ainun.... Aku yakin, ini adalah pilihan terbaik. Pilihan terbaik untuk aku dengannya.”
Setelah berhasil menenangkan isi pikirannya yang tadinya berkecamuk, Azfar pun pulang ke Rumah. Jiwanya sudah terasa tenang. Sesampainya di Rumah, Azfar berinisiatif memutuskan Ainun dengan cara terbaik, lelaki itu menulis sebuah surat yang akan ditujukan pada Ainun.
***
Keesokan harinya. Di taman UNTAD
Pagi-pagi buta tadi, melalui telepon, Nining memberi tahu Ainun bahwa ada surat dari Azfar untuk dirinya. Dua remaja gadis itu membuat janji untuk bertemu di taman depan rektorat.
“Kenapa bukan Azfar langsung yang memberikan untukku?” Ainun bertanya, dia tidak mengerti.
Nining mengadikkan bahu, “Aku tidak tahu.”
Ainun segera membuka isi amplop itu, lantas membaca isi surat yang Azfar tulis.
Bismillahirrahmanirrahi
Sudah empat hari aku tidak mengetahui kabarmu. Bagaimana kabarmu, Ainun? Maaf, empat hari ini aku tidak menghubungimu.
Di hari pertama pengkaderan bergabung di KAMMI, senior menyampaikan bahwa ada beberapa kode etik yang harus ditaati oleh para kader, khususnya kader baru. Kamu tahu apa kode etiknya? Dilarang untuk berpacaran, Ainun. Jujur, saat mendengar itu, aku jadi dilema. Aku bingung harus bagaimana.
Lanjut di hari-hari berikutnya pengkaderan, kode etik itu selalu diucapkan dengan tegas oleh senior-senior di KAMMI, membuat aku semakin bingung. Kebingunganku itu, menjadi sebab aku tidak menghubungimu. Mengangkat teleponmu pun juga tidak.
Semalam, aku, Abi, Salman dan Fiskal pergi ke majelis. Entah kenapa, di saat aku sedang dilema karena persoalan KAMMI melarang untuk berpacaran, tiba-tiba tema ceramah yang dibawakan Habib semalam juga soal larangan pacaran. Aku yakin, itu semua sudah Allah rencanakan.
Ainun, kamu pasti sudah paham dengan tujuanku menulis surat ini. Ya, benar, aku ingin agar hubungan kita tidak lagi berstatus pacaran. Jangan marah. Maafkan aku karena sudah mengambil keputusan ini.
Awalnya, aku kira tujuanku mengakhiri hubungan kita karena telah bergabung di KAMMI, namun aku salah, bukan karena bergabung di KAMMI aku mengakhirinya, tapi karena Allah.
Aku sadar, kakak-kakak senior melarang untuk berpacaran bukan sekedar mematuhi kode etik KAMMI, tapi mereka itu sesungguhnya mencegah setiap orang, terkhusus para kader untuk tidak berbuat dosa. Semua kode etik yang ada di KAMMI, itu semua juga larangan-larangan yang telah ditetapkan oleh agama kita, bukan?
Semalam, Habib sampaikan: laki-laki yang benar-benar mencintaimu adalah dia yang mendatangi rumahmu bertujuan untuk melamarmu.
Kamu pasti bertanya dalam benak, berarti ungkapan-ungkapan cinta dariku selama ini adalah bohong?
Jujur, aku tidak berbohong. Namun saat ini, karena aku mencintaimu, akhirnya aku melepaskanmu sebagai pacarku. Yah, aku mencintaimu. Bukti cintaku padamu sekarang adalah dengan mencegah kita untuk tidak terjerumus dalam dosa.
Dengan keputusanku ini, aku harap kamu tetap jadi sahabat baikku, Ainun.
Hanya itu yang bisa kutulis, Salam hangat dariku, Azfar.
Air mata Ainun menetes ke pipi. Ia sangat bersedih. Entah apa yang ia sedihkan; apakah karena diputuskan oleh Azfar karena Allah, atau ia juga tersentuh karena surat yang Azfar tulis itu benar, pacaran itu dilarang oleh Islam.
“Hei, kenapa menangis?” Nining bertanya karena melihat air mata Ainun jatuh ke pipi.
Ainun tak menjawab, gadis itu hanya menyerahkan surat itu pada Nining, lantas segera pamit untuk pergi.
“Hei, kamu kenapa?” Nining kembali bertanya, ia tak paham dengan keadaan Ainun saat ini.
“Baca dulu surat itu. Tidak usah ikuti aku. Izinkan aku sendiri dulu.” Ainun pun berlari menuju motornya, segera pergi meninggalkan taman UNTAD.
Ainun tiba di fakultasnya, duduk merenung di ujung teras gedung perkuliahan. Mata gadis itu belum berhenti mengeluarkan air mata. Ainun meraih ponselnya, mencari kontak WhatsApp Azfar, mengetik sesuatu.
Sore nanti kamu ada matkul?
Sepersekian detik, Azfar langsung melihat chat itu.
Tidak ada. Memangnya kenapa, Ainun?
Selesai sholat Ashar, bisa kita ketemu di Pantai Kampung Nelayan?
Oke. InsyaAllah, bisa.
Ainun tak membalasnya lagi, ia kembali menatap kosong ke arah gedung perkuliahan yang ada di depannya. Beruntung tak ada mahasiswa lain di sana, sehingga Ainun bebas untuk menangis.
Entah apa tujuan Ainun untuk mengajak Azfar ketemu.
***
Sore itu, Azfar yang tiba lebih dulu di Pantai Kampung Nelayan. Lima menit, Ainun pun datang, gadis itu melepas helm di kepala, lalu berjalan menuju ke arah Azfar, mendaki sedikit ke atas tanggul yang terbuat dari batu-batu raksasa yang dipasang dengan rapi.
Melihat Ainun yang berjalan ke arahnya, Azfar sedikit gemetar, jantungnya berdebar begitu cepat, seperti sedang berada di situasi darurat. Ainun pun sama, saat duduk dengan Azfar nanti, apa yang harus dia bicarakan? Demikian batin Ainun.
“Assalamualaikum.” Ainun mengucapkan salam saat tiba di dekat Azfar.
“Waalaikumussalam,” balas Azfar.
Tak ada lagi sepatah kata, Ainun langsung duduk di samping Azfar. Saat ini ada jarak di antara mereka, padahal sebelumnya sangat dekat saat duduk berdua.
Masih saja geming di antara mereka berdua. Itu adalah situasi yang paling tidak disukai orang banyak. Rasa canggung menyelimuti dua remaja yang barusan putus itu.
“Tadi kamu masuk mata kuliah?” Azfar bertanya, berusaha menghilangkan rasa canggung di antara mereka.
Ainun hanya mengangguk samar, pandangannya ke arah perairan teluk.
“Kalau kamu?” Eh, tiba-tiba Ainun balas bertanya. Mungkin gadis itu juga tidak menyukai situasi canggung seperti ini.
“Iya,” jawab Azfar singkat. Memang hanya itu yang perlu dijawab.
Hanya itu percakapan mereka sejak awal bertemu tadi. Tiba-tiba, seseorang menegur Azfar dari belakang, membuat dirinya dan Ainun menoleh ke belakang.
“Siapa perempuan ini, Azfar?” tanya seorang lelaki, mengenakan jaket KAMMI. Lelaki itu adalah senior Azfar di KAMMI. Ia sudah mengenal baik Azfar, dan Azfar sudah mengenal baik senior itu.
Tercekat lidah Azfar saat ditanya seperti itu, ia gemetar, dan bingung akan menjawab apa.
“Di-di-dia teman saya, Kak. Iya, teman saya, hehe.” Azfar gelagapan menjawab.
“Kamu sudah bergabung di organisasi KAMMI. Kamu juga sudah tahu setiap aturan di KAMMI, kan? Laki-laki dan perempuan, yang tidak terikat mahram, tidak boleh duduk berduaan seperti ini!”
Sekilas Azfar menoleh ke arah Ainun.
“Maafkan saya, Kak. Saya janji, ini terakhir kalinya saya berbuat seperti ini.” Nada suara Azfar pelan, pertanda mengakui bahwa ia memang salah.
“Ya sudah, kalian berdua silahkan bubar, jangan duduk berduaan seperti ini lagi!” Senior itu sama sekali tidak menampakkan wajah marah, namun nada bicaranya tegas.
“Kak, beri saya kesempatan sebentar berbicara dengan dia. Ini sangat penting. Setelah ini, saya tidak akan mengulang kesalahan seperti ini lagi, janji.” Azfar memohon.
Kakak senior itu memberi kesempatan, dengan syarat jangan berlama-lama duduk seperti itu, jika sudah selesai pembahasan, segera bubar. Azfar mengangguk, mengucapkan terima kasih pada seniornya itu.
“Itu senior kamu di KAMMI?” Ainun bertanya saat senior itu sudah pergi menjauh.
Azfar mengangguk.
Geming lagi. Percakapan semakin jarang di antara mereka berdua. Bukan seperti sebelum Azfar bergabung di KAMMI, saat bertemu, ribuan kata terlontar di setiap mulut mereka, canda tawa selalu hadir.
“Apakah kita akan tetap menjadi teman baik?” Azfar kembali membuka percakapan. Percakapan yang mulai serius.
“Sepertinya tidak lagi.... Mungkin ini adalah hari terakhir kita duduk bersama....” Ainun berkata pelan, tatapannya kosong kedepan, jilbabnya bergoyang-goyang dihembus angin pantai. “Kamu pernah dengar sebuah kalimat: “cara ampuh untuk melupakan seseorang itu adalah dengan menjauhinya?” Jika aku terus berteman dekat denganmu, akan susah bagiku untuk melupakanmu!”
Azfar mengembuskan napas pelan. Lelaki itu menunduk. “Maafkan aku yang telah menimbulkan rasa suka padamu. Maafkan aku juga, saat itu telah mengungkapkan perasaanku padamu. Maaf.... Aku salah. Aku menyesal.”
Ainun menatap ke hemparan teluk yang luas, dihiasi pegunungan berjejer di seberang. Gadis itu membiarkan wajahnya diterpa angin laut yang berhembus sedikit kencang, membuat jilbabnya sedikit acak-acakan. “Aku juga minta maaf…. Entah kenapa, rasa itu seketika muncul saat pertama kali melihatmu.”
Ainun, aku juga seketika memiliki perasaan padamu saat pertama kali melihatmu, batin Azfar, pandangannya juga ke arah teluk luas.
“Sekarang aku khawatir dengan nasib Abimanyu, Salman, Fiskal, Nining dan Aya. Jika kita berdua tidak berteman baik lagi, mereka berlima pasti akan ikut sedih. Kita bertujuh sudah menjadi sahabat yang baik, bahkan sudah saling menganggap seperti saudara sendiri.” Azfar menatap lamat-lamat lautan.
“Baiklah, aku akan tetap menjadi teman baikmu. Tapi kamu harus membantuku.”
“Bantu apa, Ainun?” Azfar tidak mengerti.
“Jangan mudah dekat ke banyak cewek! Kalau kamu mudah dekat ke banyak cewek, bagaimana dengan aku selaku sahabat baikmu, yang akan menimbulkan rasa cemburu karena masih memiliki perasaan padamu?”
Azfar tersenyum tipis. “Baik. Aku janji, tidak akan seperti itu. Semenjak kita kenal, teman baikku yang cewek kan cuma kamu dan Nining saja, hehehhe.”
Ainun juga ikut tersenyum, ia berharap, semoga ucapan Azfar betul-betul ditepatinya.
Akhirnya kedua remaja itu merasa sedikit lega, ternyata rumitnya masalah yang saat ini mereka hadapi juga ada jalannya. Allah pasti ridho dengan keputusan bulat Azfar yang benar-benar memutuskan Ainun sebagai pacarnya. Setiap manusia pasti pernah berbuat khilaf, tapi apakah selamanya khilaf? Tentu jangan. Berubah menjadi lebih baik itu sangatlah penting. Jika menunda-nunda untuk menjadi lebih baik, apakah yakin umur masih panjang? Apakah yakin besok masih hidup? Kalau detik ini juga ajal menjemput tapi belum bertaubat? Malanglah nasib anak cucu Adam.
Sudah satu jam lebih mereka duduk di tanggul, kedua remaja itu pun segera pulang, tak lama lagi waktu Magrib akan tiba.
“Apakah perasaanku ini akan bisa hilang, Azfar?” Ainun bertanya saat mereka bangkit dari duduk.
“Aku tidak tahu. Kita tunggu saja kedepannya bagaimana. Allah Maha membolak-balikan hati, boleh jadi, di antara hati kita berdua, ada hati yang akan Allah bolak ke hati yang lain. Mm... tapi aku berharap—“
“Rasa cintaku padamu jangan sampai pudar?” Ainun memotong ucapan Azfar, ingin menebak-nebak.
Azfar manggut-manggut semangat, tersenyum bahagia.
“Harapanku juga sama seperti kamu, Azfar. Semoga saat tiba waktunya, kita disatukan kembali,” kata Ainun, membuat Azfar tercekat.
“Eh? Sepertinya kata-kataku yang tadi salah. Maaf, maaf, Ainun. Astagfirullah. Aku tidak berharap agar kamu tetap mencintaiku. Soal perasaanmu pudar, InsyaAllah aku akan ikhlas. Dan, bukti cintaku padamu, ketika aku bisa mendatangi rumahmu, tuk melamarmu suatu saat nanti.”
Ainun dibuat senyum karena kata-kata yang Azfar lontarkan.
Dua remaja itu pun menaiki motor masing-masing, hendak meninggalkan pantai.
“Hati-hati di jalan,” kata Azfar saat mulai meng-gas motornya.
Ainun tersenyum, “Iya. Kamu juga, hati-hati.”
Akhirnya mereka berpisah. Bukan untuk selamanya, tapi untuk sore itu saja. Besok-besok mereka tetap menjadi sahabat. Memang sangat luar biasa, ketika hubungan pacaran dipisahkan karena hati disentuh oleh cahaya hidayah dari sang Pencipta. Hebatnya, mereka tak saling membenci karena hubungan asmara telah renggang, malah tetap saling menyayangi. Keputusan atas nama Allah memang tidak pernah salah.
Keesokan harinya, setelah hubungan asmara Azfar dan Ainun putus.
Sahabat-sahabat mereka terkejut saat mendengar kabar putusnya hubungan asmara Azfar dan Ainun. Kecuali Nining, karena ia sudah tahu apa yang akan terjadi pada dua sahabatnya itu. Lebih terkejut lagi Aya, terkejut bercampur dengan rasa bahagia. Akhirnya ia bisa mendekati Azfar lagi tanpa takut Ainun marah. Esok harinya, setelah berakhirnya hubungan asmara Azfar dan Ainun, Aya langsung menemui Azfar, hendak mengajak lelaki itu untuk bertemu, karena tak ada lagi yang melarang. Sudah lama Aya tak duduk berduaan lagi dengan Azfar—terakhirr ketika situasi bencana 2018. Aya sangat merindukan momen saat hanya berdua dengan Azfar.
Aya mendatangi Azfar di fakultasnya. Jantungnya berdebar tak karuan. Belum bertemu dengan Azfar ia sudah merasa gugup, bagaimana nanti jika bertemu. Sosok Azfar selalu terbayang-bayang di pikirannya saat mencari keberadaan Azfar di FISIP. Aya sudah berulang kali men-chat Azfar, juga meneleponnya, namun tak ada balasan sama sekali.
Aya sama sekali belum menemukan Azfar. Aya berpikir sejenak, kira-kira di mana keberadaan Azfar saat ini? Tak sengaja Aya membaca sebuah tulisan ‘PERPUSTAKAAN’ di tembok gedung. Ya, Aya sekarang tahu di mana Azfar sekarang. Aya segera masuk ke dalam perpustakaan FISIP.
Baru beberapa langkah masuk ke dalam perpustakaan, Aya sudah melihat lelaki yang sejak tadi dia cari-cari—lelaki yang selalu membuat hatinya senang—lelaki yang selalu membuat dirinya serasa ingin terbang jika bertemu. Lelaki itu sedang duduk anggun di sebuah kursi perpustakaan.
Azfar adalah lelaki yang diidam-idamkan Aya.
Selain lingkup persahabat dan keluarga, perpustakaan juga salah satu tempat ternyaman bagi Azfar. Jika sedang menyendiri, membaca buku adalah aktivitas yang paling pas. Bagi Azfar, membaca buku seperti sedang berinteraksi dengan sahabat; sahabat yang tidak berwujud sebagai manusia, namun sebuah buku.
“Selamat siang, Azfar.” Aya menyapa Azfar saat sudah berada di samping lelaki itu.
Azfar terkejut atas kehadiran Aya di sampingnya. Ada perlu apa mahasiswa dari fakultas teknik ke FISIP? Batin Azfar.
“Eh? Siang... sedang apa di sini?” Alis Azfar tertaut karena penasaran.
“Ingin bertemu denganmu,” jawab Aya sejujurnya.
“Oh. Ada yang bisa kubantu?”
Aya menggeleng. “Tidak ada, tujuanku hanya ingin bertemu begitu saja.”
Azfar manggut-manggut.
“Sebentar sore kita ke pantai yuk!” ajak Aya.
“Ayo. Tunggu sebentar, aku kabari ke yang lain dulu di grup.”
“Em... hanya kita berdua Azfar,” kata Aya pelan.
Baru saja mau mengetik pesan ke grup persahabatan mereka, jempol Azfar pun terhenti saat mendengar ucapan Aya.
“Hanya kita berdua?” Azfar bertanya, memastikan.
Aya mengangguk antusias.
“Maaf, aku tidak bisa kalau hanya berdua, Aya.”
“Kenapa? Tidak ada yang marah lagi, bukan? Terus, kenapa tidak mau?”
“Mm... memang aku tidak pacaran lagi sama Ainun. Tak ada lagi orang mencegahku untuk jalan sama perempuan lain. Tapi, Aya, berakhirnya hubunganku dengan Ainun bukan berarti aku sekarang bebas jalan sama perempuan lain.”
“Aku tidak mengerti, Azfar.”
Azfar menutup bukunya, memperbaiki posisi duduk. Ia harus mengatakannya pada Aya hati-hati, karena itu menyangkut soal agama. “Agama kami melarang yang namanya pacaran. Bukan hanya pacaran, jalan berdua dengan lawan jenis yang bukan mahram, tanpa ada kepentingan, itu juga dilarang. Karena jika dua orang lawan jenis yang bukan mahram duduk berduaan, maka orang ketiga di antaranya adalah setan.”
“Mungkin kamu akan berpikir. Kalau Islam melarang berpacaran, lantas kenapa sebelumnya aku berpacaran?.... Itulah hakikatnya manusia, tak luput dari dosa dan kesalahan. Aku berhenti berpacaran, apakah aku sudah menjadi orang baik? Belum tentu! Aku hanyalah seorang pendosa yang berusaha menjadi lebih baik.” Azfar menunduk, menatap lamat-lamat buku di tangannya.
Kepala Azfar pun bangkit dari tundukkannya, menoleh ke arah Aya yang duduk di sebelahnya, “Semoga kamu mengerti, Aya.”
Aya tersenyum, “Aku sudah mengerti Azfar. Terima kasih ada penjelasannya.”
“Iya, sama-sama.” Azfar balas tersenyum. "”Eh, nanti sore jadi ke pantai?” lanjut Azfar, bertanya.
“Jadi, dong!” Aya berseru riang. Ternyata penolakan Azfar dengan menjelaskan panjang lebar pada Aya tidak membuat gadis itu kecewa karena ajakannya ditolak, karena alasan Azfar begitu masuk akal. Aya paham, setiap agama pasti memiliki perintah dan larangan masing-masing. Dan, Islam melarang pacaran dan lawan jenis duduk berduaan tanpa ikatan sah, dan Azfar berhak menjauhi larangan itu.
Azfar kembali menyalakan ponselnya, mengetik pesan ajakan ke pantai ke grup WhatsApp persahabatan mereka. Baru terkirim, sahabat-sahabat yang lain langsung merespons, mengatakan setuju. Kebetulan sore nanti mereka semua tak ada jam mata kuliah. Ainun juga merespon dengan antusias—ia memenuhi ajakan ke pantai itu.
Sore pun tiba, tujuh sahabat itu sudah bertemu di Pantai Talise, duduk di atas tanggul, memesan gorengan dan snack-snack.
Bola mata Abimanyu bergantian menatap ke arah Azfar dan Ainun, hingga Azfar menegurnya, “Kenapa melihatku seperti itu?”
“Aku kira tidak akan bersahabat lagi, hehehe,” balas Abimanyu. Sebenarnya tak perlu dia berkomentar seperti itu lagi, karena jelas-jelas Azfar dan Ainun sudah berusaha melupakan semuanya, menganggap kalau mereka tak pernah menjalani hubungan pacaran.
Ainun hanya memalingkan wajahnya ke arah hamparan laut biru, membiarkan wajahnya diterpa angin laut. Rasanya hembusan angin itu belum mampu menghembus perasaan di hatinya.
“Bagaimana dengan kuliah kalian?” Azfar bertanya ke semua sahabatnya, berusaha mengalihkan pembicaraan. Abimanyu tidak membahas itu lagi, karena Azfar memicingkan mata ke arahnya, pertanda agar hati-hati jika berbicara.
Semua mengangguk semangat. Mereka sangat menyukai dunia kampus, masuk mata kuliah di kelas. Begitulah mahasiswa baru, awalnya mereka sangat menyenangi kehidupan kampus, mengira bahwa kampus seperti di film-film, padahal aslinya tidak. Dosen tak henti-henti memberi tugas, membuat mahasiswa pusing. Apalagi mahasiswa semester akhir, mesti berkutat dengan skripsinya. Namun begitulah kuliah, harus butuh pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran, agar kedepanya bisa mengamalkankan ilmu yang telah didapatkan di kampus, diabdikan pada masyarakat, dan menjadi orang sukses kedepannya.
Aya juga memerhatikan setiap gerak gerik Azfar, mencari tahu apakah hati lelaki itu masih tersimpan untuk Ainun. Putusnya dua sahabatnya itu membuat dirinya bahagia di dalam hati, dengan begitu, ia akan bisa mendekati Azfar, walau tidak sampai ke hubungan pacaran. Ainun saja Azfar putuskan karena agama, apa lagi harus menerima dirinya sebagai pacar!