“Apa, Je?!”
Pagi-pagi keadaan kantor gempar saat Kinna secara terang-terangan menemukan gosip yang beredar pagi ini. Bahwa Jordansyah Wijanarko akan ditugaskan ke cabang Sidney. Kinna tidak pernah tahu, bahwa kabar ini terdengar sangat buruk baginya saat ini. Seperti jatuh, lalu tertimpa tangga. Hatinya terluka, dan kabar ini sedang menggaraminya.
“What’s going crazy on?!” teriak Kinna lagi, penuh emosi, “kenapa harus Jordan?! Why?!”
Jelita meringis. “Gue juga nggak tau, Ki. Gue juga baru denger pagi ini. Kalau Jordan bakal ditugasin ke Sidney setahun.”
Kinna menggelengkan kepala frustasi. Merasakan kabar ini bagai belati yang menusuk hatinya. Selama ini, Jordan-lah satu-satunya tempat di mana dia bisa bercerita segalanya. Jordan-lah alasan yang menjadikannya kuat. Bahkan sanggup berdiri semalaman di acara pesta sialan itu, berkat Jordan. Kehilangan Jordan, juga seperti kehilangan separuh semangatnya untuk bekerja. Sekarang langkahnya yang membara tertuju pada satu ruang di sampingnya. Tanpa pikir panjang didobraknya pintu itu. Dan Kalla di sana, baru saja memainkan billiard-nya. Kinna tak segan-segan untuk menamparnya.
“Are you crazy, Kinnanthi?!”
Kinna melemparkan kertas-kertas di tangannya. Menahan tangisnya kasar. “Ini semua kerjaan lo?!”
Kalla memicing, meletakkan tongkat cue-nya ke samping meja billiard, lalu berjalan santai menghampiri Kinna. Ditatapnya perlahan muka Kinna yang pagi ini masih berkilauan.
Mungkin sisa gliter dandanan semalam? Pandangan Kalla tertuju pada rambut panjang Kinna yang tergerai sembarangan. Ini pasti rambut sambungan. Mana mungkin rambut sependek mangkuk tiba-tiba jadi sepanjang Rapunzel hanya dalam sekejap malam. Lalu kulit putihnya jadi terlihat lebih cerah. Kalla tidak ingin mengakuinya, tapi Kinna memang terlihat cantik semalam. Kalla saja yang bodoh atau memang baru menyadari, bahwa Kinna punya kulit putih yang indah sejak lama. Hanya saja sedikit pucat dan kurang terawat. Tapi semalam terlihat begitu mengagumkan. Bagaimana bahu putih polosnya yang menyita perhatian.
Berapa yang dia habiskan semalam untuk memasang rambut sambungan ini? Kalla tidak habis pikir. Tapi rambut model ini sangat cocok untuk Kinna.
Apa-apaaan pikirannya? Kalla mendengus.
“Sepertinya lo bener-bener mau ngibarin bendera perang, ya, Kal?!”
Kalla tergelak. “Cendol! Cendol! Siapa yang ngibarin bendera, sih?! Emang kemerdekaan?!”
Kinna menggeleng tak percaya. Nyaris menangis. “Nggak usah pura-pura bodoh. Gue jadi mikir, sebenernya selama ini lo itu— sahabat gue atau musuh gue?! You hated me so much, Kal! But, why?!”
“Ck, udahlah, nggak usah nangisin si Jontor! Bagus gue depak dia! Cowok kayak gitu nggak pantes lo tangisin! Dia nggak bisa terima lo apa adanya, it means, he doesn’t love you! Now—look!” Kalla menarik helaian rambut panjang Kinna. “Lo kehilangan rambut kesukaan lo, kan?! Lo nggak bisa jadi diri lo sendiri!”
Kinna menepis tangan Kalla. “But I like it! Gue nggak keberatan jadi apa yang Jordan mau! Masalah buat lo?!”
“Wow!” Kalla bertepuk tangan heboh. “Jadi apa yang Jordan mau? Ndol, lo bener-bener dibutakan cinta! Sebenernya lo ini, naif atau goblok?”
“Gue nggak peduli!” isak Kinna tanpa sadar. “Gue cuma minta sama lo, balikin Jordan, please!”
“Oh, so sorry. Say goodbye to your lovely Jontor, cause you’ll never meet him for a looong time.”
Bersamaan dengan itu tawa puas Kalla pecah meninggalkan ruangan.
Kinna mengumpat. “Lo jahat, Kal... lo jahat...” lirihnya tanpa suara. “Gue nyesel pernah kenal lo!”
Dan rasa cinta itu ingin dia kubur dalam-dalam. Rasanya menjijikkan sekali pernah mencintai manusia merangkap iblis sepertinya. Kinna bersumpah ingin menghapusnya.
***
“Bisa nggak berhenti nangisnya, Ki?”
Kinna mendongak, merasakan kembali lalu lalang di sekitarnya. Satu per satu penumpang yang akan melakukan penerbangan, memasuki antrian check in. Jordan akan menjadi salah satunya. Tapi, laki-laki itu masih tersenyum saja di sana. Sudah sangat rapi dengan mantel tebalnya dan sebuah koper besar.
Kinna masih tinggal di sini. Bahkan saat rekan-rekannya yang lain pamit lebih dulu setelah mengantar di lobby bandara. Tapi, dia akan menunggu terus. Sampai memastikan Jordan benar-benar pergi dengan aman.
“Malu, tahu! Gitu aja nangis!” sindir Jordan lagi, begitu enteng.
Kinna hanya tertawa masam. “Semua gara-gara gue, lo jadi... Jor—” isakannya pecah. “What should I do to pay for all this?”
Jordan pura-pura berpikir. “How about... waiting me?”
Kinna tentu tersentak kaget. “Just... waiting you?! Really?!”
Tapi Jordan malah menggeleng. “I love you.”
“Jor—”
“Nggak usah lo jawab, Ki! Gue cuma bercanda aja! Mmm—” Jordan memaksakan tawa. “Ya udah, sana, gih, lo udah ditunggu Jelita di parkiran, kan? Biar gue masuk sendiri.”
“O—okay!”
Jordan melambaikan tangan santai. Sambil terus menyeret kopernya, semakin menjauh. He loved me. He loved... me. Pikiran Kinna carut marut. Segala bentuk tindakan Jordan, itu pasti cinta. Rasanya, Kinna juga mulai... mencintainya. Seperti hari ini, melepas kepergian laki-laki itu terasa menyakitkan. Kinna merasa sesak, amat kehilangan. Hampir berbulan-bulan kedekatan mereka bersama. Kinna mulai merasakan setitik rasa itu. Sebuah kenyamanan yang tidak bisa dielaknya. Tanpa sadar tangisnya meluncur lagi.
“Jordan! Jor!” dikejarnya langkah Jordan. Hingga Jordan menoleh bingung, tanpa pikir panjang Kinna menarik pergelangan tangannya. Lalu mengecup singkat bibirnya. Membuat Jordan mematung seketika.
Kinna langsung menunduk malu. “It’s my... first kiss.”
“For me?” tanya Jordan masih setengah bodoh, Kinna mengangguk lagi. “How can I go, if you kissed me like this?” kekehnya.
Kinna melambaikan tangan. “Be careful.”
“Thanks... I love you, Kinnanthi,” bisiknya lagi. Mengacak rambut panjang Kinna sembarangan. Setelah itu benar-benar pergi. Kinna merasakan separuh hatinya melayang, hilang, dan dia kembali... sendirian. Sendiri di dunia ini. Tanpa Jordan.
Menghela napas, Kinna memeluk tubuhnya sendiri, perlahan berbalik. Meninggalkan area bandara dengan langkah berat.
***
Bantingan kencang terdengar dari meja yang dipukul Kalla. Bagaimana bisa paginya yang cerah tiba-tiba rusak karena kabar mengejutkan dari tunangannya itu? Menahan napas penuh kesabaran, ditatapnya Thalia yang menunduk di hadapannya. Sedikit ketakutan menjawab.
Kalla pikir, dia sedang bahagia hari ini karena berhasil merayakan kemenangannya mengusir bedebah semacam Jordan. Tapi, apa yang dia dapat? Kabar mengejutkan tentang Thalia! Oh, shit!
“Apa?! Kamu mau balik ke Aussie dan kamu baru bilang sekarang?!”
Thalia menghela napas panjang. “Kal, aku—”
“Sayang, kenapa kamu baru ngomong sekarang?!” tuntut Kalla tidak terima. “Dan kamu bilang apa?! Sebulan?!”
“Kal, please, dengarkan aku!”
“Bisa-bisanya kamu nggak ngomong! Kamu pikir, aku siapa sekarang?! Aku tunangan kamu, Thal! Calon suami kamu! Kamu pasti bercanda!”
“Aku nggak enak mengatakannya sama kamu. Apalagi kamu banyak kerjaan di sini. Aku nggak mau menyusahkan kamu.”
“Dan milih buat pergi diem-diem, iya?!”
“Aku harus mengurus penelitianku sebentar. Kamu tahu,” suara Thalia penuh luka, “penelitian itu sangat penting buat hidupku.”
“Dan aku nggak penting?!”
“Ya ampun, Kal, aku cuma pergi sebentar! Satu bulan. Itu cepat.”
“Dan apa yang bakal terjadi dalam satu bulan, Thal?!”
Thalia tentu menajam mendengarnya. “Maksudnya apa?! Kenapa kamu bicara begitu?!” tatapannya terganti pada jemarinya yang menampilkan kilau keemasan di sana. Apa yang terjadi? Tentu pernikahan mereka makin cepat. Itu pasti.
“Aku langsung pulang kalau urusanku sudah selesai, Kal. Aku usahakan pulang sebelum itu.”
“Kita baru aja tunangan, dan kamu mau ninggalin aku gitu, aja?! Wow, this joke is not funny anymore!” Kalla menggeleng, menjambak rambutnya frustasi. “Nggak! Aku nggak mau! Aku ikut aja kalau gitu!”
“Please, Kal. Gimana dengan kerjaan kamu di sini? Kamu mau meninggalkan perusahaan begitu saja?”
“Argh—” Kalla menendang pintu di hadapannya emosi. Lalu memilih keluar dari sana. Meninggalkan Thalia yang masih duduk di ruang kerjanya.
Kalla butuh menyegarkan diri. Dari emosinya yang sudah naik mendadak. Langkahnya terhenti saat Niko menghadang, terpingkal-pingkal di hadapannya. Ternyata asyik menguping.
“Buahaha! Kal! Kal!” tawa Niko penuh ejekan. “Now look, whatever you give to life, it gives you back! Don’t hate anybody! Karma does exist! Let’s wait your turn!”
Kalla mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya Niko menghina bahkan di saat dia benar-benar terpukul begini. Sahabat macam apa itu? Dan apa katanya?! Masa bodoh, Kalla tidak takut pada karma. Toh, tidak ada yang dia takuti di dunia ini. Kecuali Tuhan tentu saja.
Dan mendengar omong kosong Niko, Kalla memilih pergi meninggalkannya. Diam-diam menyesali apa yang terjadi. Baru menyadari. Di saat seperti ini— saat Niko dan sahabatnya yang lain tidak bisa diandalkan— Kalla selalu berlari menghampiri Kinna. Karena Kinna akan mendengar seluruh keluh kesahnya sejak dulu. Tapi sekarang, setelah apa yang dia lakukan, Kalla tidak menjamin apa Kinna masih mau mengulurkan tangan menyambutnya.
Kalla menghela napas, mungkin dia harus minta maaf. Kenapa belakangan ini dia terus yang mengemis maaf? Apa kesalahannya sudah semenumpuk itu? Kalla berdecak, akhirnya turun menuju lift. Dia harus ke kos Kinna.
***
Kalla menghentikan laju maserati miliknya tepat di hadapan gerbang kos Kinna. Sesekali mencengkram erat setir mobilnya. Diam-diam mengingat kembali hal-hal yang dilakukannya pada Kinna semalam. Oh, apa dia sudah kelewatan? Apa dia berlaku keterlaluan dan kelewatan pada sahabatnya itu? Ck, Kalla menghembuskan napas frustasi.
Matanya melirik bingkisan di jok samping. Isinya sekotak yamie rasa teriyaki dan boba rasa ovamaltine dengan topping cream cheese. Kinna sangat suka makan. Pecinta yamie, boba, juga seblak garut. Kadang juga suka tongseng kambing dan martabak telur. Jangan lupakan coklat dan dessert box favoritnya. Kalla hapal semua makanan kesukaan Kinna. Makanan adalah obat bagi Kinna yang badmood atau sedang terluka. Jadi, Kalla sengaja membelinya.
Perlahan, Kalla melangkahkan kakinya turun dari mobil. Lalu membuka gerendel pintu gerbang. Suasana sepi di sana. Tiga deret pintu di hadapannya tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Menyerah, Kalla mendudukkan diri di salah satu sofa. Tepat di depan pintu tengah— yang tengah ini milik Kinna.
Lama Kalla duduk-duduk menunggu, nyaris terantuk. Sambil menyalakan sepuntung rokok di tangan. Akhirnya setelah maghrib, pintu gerbang itu berdenyit. Kinna masuk dari sana. Mukanya yang semula kaget langsung berubah dingin melihat kehadiran Kalla.
“What are you doing here?!”
Kalla mengangkat tinggi kantong di tangannya. “Bring your favorite Boba and Yamie.”
Dan sekonyong-konyong air mata Kinna menetes. Lagi-lagi teringat Jordan. Kalimat itu, milik Jordan. Masih hangat dalam pikirannya, beberapa bulan lalu, pertama kali Jordan menemuinya di kos. Membawakan sekotak yamie panas dan segelas boba.
Jordan. Oh, Jordan-nya yang kini berada ribuan kilometer darinya. Terpisahkan lautan yang membentang. Kinna tidak akan pernah melupakan itu semua. Dan tidak akan pernah memaafkannya.
Kalla hanya meringis menyadari reaksi dingin Kinna. “Kenapa lo diem aja? You didn’t like it? You’re still mad with me?” helaan napasnya panjang. “I’m so— Sorry, Ki. For everything that I do, making you mad. Gue... bener-bener nyesel.”
Kinna masih diam.
“Thalia juga mau pulang ke Aussie. Gue—” Kalla memaksakan tawa. Pura-pura menarik kotak kartu remi yang biasa disimpan Kinna di bawah meja teras. “Let’s forget all about this. Do something that make me and you happy. Playing basketball or eating tongseng kambing? Or you wanna get coffe? Just like we did before. How? I need a friend to talk, Ndol, please!”
Tapi yang tak disangka Kalla, Kinna malah menghempaskan kotak remi di tangannya.
“Dan lo pikir gue masih mau kenal sama lo?! Setelah apa yang lo lakuin?!” sentak Kinna penuh emosi. “Terus apa lo bilang? Thalia mau pergi? So, gue harus apa? Pura-pura ikut sedih dengerin curhatan lo yang basi ini, Kal? But, so sorry, I don’t care!”
“Gue udah bilang, gue minta maaf!”
“Udah berapa kali lo minta maaf? Dan mengulang terus kesalahan yang sama?” Kinna berdecak, “gue nggak habis pikir, kenapa ada manusia macem lo yang sok berkuasa? Sialnya, kenapa kita saling kenal?”
“You really hated me?” tanya Kalla tak percaya.
“Yes, I hated you! And you hated me too, right? Lo pasti benci banget sama gue, kan, Kal? Lo selalu menghina gue, seperti gue ini cuma sampah yang nggak pantes berteman sama lo! Segala hal yang gue lakuin itu salah di mata lo! Nggak ada benernya! I think, it’s ended now!”
“What?!”
“You... and me!” jelas Kinna sarkastik. “Gue jijik pernah kenal sama lo, Sakalla Tanubradja! You can go from here, now! Cause I don’t receive a guest like you!”
“What?!” Kalla menghela napas panjang menyerah. “I think you’re tired! Okay, let’s talk tomorrow!” Mau tak mau meletakkan bingkisannya di atas meja, lalu perlahan berbalik pergi.
Kinna mendengus kesal. Begitu suara mesin maserati itu terdengar menjauh, tubuhnya rubuh. Jatuh tersungkur di dinginnya lantai. Nyaris terisak frustasi mengingat ciuman pertamanya dan Jordan tadi. Rasanya menyesakkan mengingat fakta akan lama bertemu dengannya. Sialan, Sakalla Tanubadja! You’re not human! Batinnya terus mengumpat.
Sampai Kinna sadar, sejak tadi ponselnya berkedip-kedip dari dalam tas selempang. Ternyata dari Rumi. Kinna mengernyit menyadari puluhan panggilan tidak terjawab di sana. Rumi jarang menelponnya sampai seperti ini. Jika iya, itu pasti sangat penting.
Mau tak mau diangkatnya segera panggilan itu. “Assalamualaikum, Mbak di sini, Rum! Maaf baru—”
Tapi yang didengarnya malah isak tangis Rumi.
“Rumi!” jerit Kinna panik. “Ada apa?! Bilang sama Mbak!”
Tangisan Rumi mengencang. Suaranya penuh ketakutan. “Mbak... tolong...” rintihnya.
“Iya, tolong kenapa, Rum?! Jangan bikin Mbak takut gini!”
“Tolong—” isakan Rumi tertahan di seberang sana. “Rumi mau dinikahin sama Kang Jamal, Mbak! Kalau Tante Sukma nggak bisa lunasin utang dua ratus juta sampe akhir bulan ini! Rumi bakal dituker sebagai gantinya! Tolong Mbak, toloong... Rumi takut—”
“Apa?!” maki Kinna tanpa sadar. Gemetaran, ponselnya nyaris jatuh ke lantai. Cemas, bingung, takut, bercampur jadi satu. Dan isak tangis Rumi mengencang di seberang sana, membuat rasa khawatir Kinna semakin menumpuk.
“Dan Tante Sukma setuju sama perjanjian itu, Mbak! Malah kelihatan seneng-seneng aja! Kang Jamal janjiin sawah sama kebun kalau mau ngasihin Rumi ke dia! Mbak... Rumi nggak mau! Rumi nggak mau— lebih baik Rumi mati aja, daripada harus jadi istri keduanya Kang Jamal! Rumi nggak sudi!”
“Rumiii... nggak! Jangan ngomong gitu! Kamu nggak bakal—” Kinna menjambak rambutnya frustasi, “dengerin Mbak, ya! Kamu nggak bakal nikah sama Kang Jamal sialan itu! Tenang aja, Mbak bakal lakuin apapun demi dapetin uang itu! Rumi, sayaaang,” suaranya mengiba, “Sayang, kamu dengerin Mbak, kan? Kamu bertahan, ya, di sana? Tunggu Mbak dateng, ya, bawa uang itu? Oke, sayang.”
Tapi yang didengarnya malah isak tangis putus asa Rumi. “Kenapa hidup Rumi kayak gini, Mbak? Rumi cuma mau kuliah, Mbak. Mau jadi dokter.”
“Iya, sayaaang, Mbak tahu. Sekarang kamu di mana?”
“Rumi masih kabur di rumah Bude Ari. Tapi pasti bentar lagi Tante Sukma nyusul ke sini, Mbak.”
“Kamu tenang, ya? Mbak cari uangnya dulu, ya. Minggu depan Mbak pastikan pulang, oke? Assalamualaikum.”
Begitu sambungan tertutup, dipanggilnya si bedebah sialan itu. Dan panggilannya langsung dijawab pada detik pertama. Tawa Sukma muncul dari sana. Kinna menjerit penuh emosi. Nyaris memecahkan vas kaca di sampingnya. Mengumpatinya dengan berbagai kata kasar.
“Brengsek, Tante! Brengsek!” Kinna menangis terisak. “Tante bukan manusia tahu, nggak?!”
“Heh, apaan, sih?! Kamu telpon Tante sambil marah-marah?! Nggak sopan banget!”
Kinna memukuli dadanya sesak. “Sekarang bilang sama aku! Kemana uang yang selama ini aku kirim ke Tante buat bayar utang-utang itu?! Kemana Tante? Kemana?! Aku kasihin semua uang yang aku punya demi Tante! Hasil kerja keras aku bertahun-tahun! Sampe aku rela hidup susah di sini! Kos nunggak berbulan-bulan! Makan mie rebus tiap hari! Tapi apa yang Tante lakuin?! Tante malah ludahin aku! Tante lempar bangkai ke aku! Tante penipu!”
Sukma malah berdecak di sana. “Heh, goblok ya, kamu itu, Ki?! Tante kayak gini itu juga demi kebaikan Rumi! Kalau Rumi nikah sama Kang Jamal, Rumi pasti bakal dikuliahin! Keluarga kita juga bakal dikasih sawah, kebun, sama tanah berhektar-hektar! Keluarga kita bakal kaya! Hidup bakal terjamin! Tante capek hidup melarat terus!”
“Oh... Tante capek?! Kalau gitu, Tante aja yang nikah sama Kang Jamal!”
“Kang Jamal maunya kamu atau Tarumi! Kalau kamu, kan, pasti nggak mau, jadi biarin Rumi aja!”
Setelah itu hanya terdengar tawa puas Sukma dari seberang sana, mengakhiri percakapan mereka. Kinna mengumpat kasar. Bersumpah akan menghancurkan semua rencana sialan itu! Tapi, bagaimana?!
Tangis Kinna luruh lagi, dibantinginya benda-benda di meja dengan kasar. Tidak, dia sudah tidak punya apapun! Tabungannya habis dia berikan pada penipu itu setiap bulan! Hanya tersisa lima juta saja sekarang. Argh, Kinna bisa gila sekarang. Benar-benar gila. Ingin bunuh diri, tapi dia tidak mungkin menjilat ludahnya sendiri pada Rumi. Dan Rumi... harus tetap hidup bahagia, meraih cita-citanya menjadi dokter. Kinna bersumpah demi itu.
Satu-satunya yang bisa meminjaminya uang, hanyalah...
Oh, tapi Kinna baru saja mengusirnya tadi. Mencaci makinya dan bahkan menghinanya bukan manusia. Lalu dia harus datang beberapa menit kemudian, begitu? Mengemis maaf dan meminjam uang? Bahkan setelah mengatakan persahabatan mereka berakhir. Ah, betapa rendahan Kinna sekarang.
Kalau saja ada Jordan. Jordan. Ah, Jodan, where are you? Pahlawannya yang maha baik. Sekarang di mana laki-laki itu? Kinna tidak punya siapapun lagi. Jor, gue takut.
***