T H E Y O U T H C R I M E
14
SAAT MALAM menyelimuti kota Jakarta sepenuhnya, lampu lalu lintas yang semula berwarna merah, kuning dan hijau akan berubah jadi kuning yang berkedip-kedip tiap tiga detik sekali. Oh, itu artinya selalu hati-hati dengan kehadiran pengendara dari arah manapun meski kondisi sudah sepi, orang-orang tidak sepenuhnya benar-benar tertidur. Ketika pekerja kantor sibuk lembur untuk menyelesaikan tugas sebelum pulang, anak-anak dengan energi yang luar biasa memacu adrenalin di jalan raya tanpa ragu. Menggeber motor, memacu gas dan … pacu kekuatan sebagai jiwa pembalap!
Mahendra bersama pasukan polisi bersiap dengan mengenakan seragam hitam lengkap dengan tulisan "PENYIDIK" di belakang punggung. Rayna mengenakan kacamata hitamnya untuk memunculkan aura misterius dari wanita pinggir jalan. Di bagi menjadi dua kelompok, Mahendra membawa motor ninja sementara Rayna dalam mobil polisi.
"Kalau balapan liar itu memang dilarang, kenapa masih banyak anak melakukan itu?" tanya Rayna sambil merapikan rambut panjangnya yang sudah diikat pendek.
Mahendra menjawab panjang lebar. "Katanya sih begitu. Tapi kenyataannya berbanding terbalik dengan apa yang sering kita pikirkan. Tidak ada aturan yang jelas mengenai balapan liar apalagi orang tua mereka seolah tak pernah peduli sekalipun dengan membiarkan anak-anak berkeliaran di malam hari seperti anjing."
Polsekta Jakarta Selatan, Teguh Arimbawa memimpin pasukan polisi. "Hari ini sesuai dengan laporan dari masyarakat dan keluhan tentang adanya seorang remaja, pengendara balap liar yang membawa anak kecil. Mari kita usut secepatnya sebagai bagian dari tugas kita. Semuanya siap?"
"Siap, Pak!"
11. 30 PM, SUDIRMAN CENTRAL BUSSINESS DISTRICT (SCBD)
Sekumpulan pemuda dengan membawa motor andalannya masing-masing tampak bercengkrama sembari bertaruh berapa uang yang akan dipertaruhkan mengingat hanya orang pertama yang berhasil melewati garis finish akan mendapat semua uang tersebut. Balapan dibagi menjadi tiga babak yang berlangsung selama tiga puluh menit. Tidak jarang ada saja percekcokan yang terjadi akibat ketidakadilan antara pemuda satu dengan yang lainnya.
"Hei, ayo bertaruh lima puluh ribu!"
"Lima puluh? Kecil! Delapan puluh ribu!"
"Seratus ribu, nih!"
"Anjay. Santuy dong, jangan buru-buru."
"Nanti kalau ada polisi gimana?"
"Aksan! Mau taruhan berapa?" tanya seorang pemuda yang rupanya cuma berpura-pura.
Salah satu pemuda di sana, Aksan, tampak menunggu kesepakatan selesai. Ia memang tak mau ikut-ikutan kalau soal uang, hanya sekadar menonton. Omong-omong balapan liar kali ini mayoritas dipenuhi anak-anak SMANJA jadi wajar saja kalau Aksan menikmati atraksi balapan. Ia tidak menonton sendirian, bersama temannya dibelakang yakni Pramoedya.
Ketika atraksi balapan akan segera dimulai, seorang anak kecil berjenis kelamin laki-laki dengan topi hitam tampak mendekati Aksan dan menatapnya iba. Jelas bahwa anak itu melihat dengan sorot mata penuh kesedihan. Entah apa yang sedang ia tangisi intinya anak itu ingin diantar pulang menuju rumahnya.
"San! Ada bocah nih! Minta diantar pulang katanya," celetuk Pramoedya melirik anak kecil disebelahnya.
"Sini naik, Dik. Mau kakak antar kemana?"
"Gang Persimpangan Kenangan, kak."
"HEI, KALIAN!"
Pasukan polisi tiba dengan cepat dan sesuai perkiraan bahwa para pemuda itu akan kabur secepat kilat. Segera saja Mahendra memblokade semua jalur yang akan digunakan untuk memacu kuda besi oleh mereka dan berhasil untuk tak berkutik. Aksan tahu kalau Mahendra juga berprofesi sebagai polisi dan ia lebih memilih untuk kabur saja daripada harus ikut campur dengan masalah yang ada. Namun, sekalinya berlari dari masalah maka masalah yang akan mengejar.
"Hei, berhenti!"
Pengemudi motor yang masih sangat muda itu memalingkan wajahnya ke agar tak diketahui identitasnya oleh Mahendra. Sayangnya polisi telah mengetahuinya lebih dulu.
"Aksan? Kenapa kamu ikut balap liar?"
"Ah, buat senang-senang aja, Pak! Saya sudah dapat izin dari orang tua kok!"
"Tetap saja ini perilaku yang tidak boleh dianggap biasa. Omong-omong kenapa kamu membawa anak kecil dan satu laki-laki? Jangan-jangan kamu menculik anak orang!"
"Jangan salah sangka dulu, Pak! Laki-laki yang boncengan sama saya ini Pramoedya. Tadi saya kebetulan melihat ada anak kecil bertopi hitam yang sepertinya tersesat. Karena kasihan, saya ingin mengantar anak kecil ini pulang ke rumahnya."
Secara samar-samar Mahendra melihat rupa anak kecil dibalik topi hitam itu, terlihat familiar, entah dia pernah melihatnya dimana. Lantas Mahendra melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan surat-surat dan KTP sementara Aksan dengan gemataran menggenggam kemudi motor.
"KTP ini palsu ya?"
BRUMMMMM!
Aksan menggeber motornya sebanyak dua kali dan memacu kecepatannya setinggi mungkin, kabur dengan meninggalkan asap hitam. Rupa-rupanya anak itu membawa KTP dengan namanya sendiri yang merupakan hasil cetakan palsu. Mahendra sempat bingung mengapa ia rela melakukan hal yang sedemikian ajaibnya.
Aksi kejar-kejaran dimulai. Mahendra memacu gas motor ninja miliknya sampai menghasilkan asap hitam yang membumbung tinggi ditengah sepinya jalanan Jakarta. Mengikuti sinar motor BMW milik Aksan yang berboncengan dengan Pramoedya dan seorang anak kecil bertopi hitam.
"Aksan! Turunkan aku di sini! Akan berbahaya kalau mengajak anak ini kebut-kebutan kayak tadi! Apalagi rumahnya ada di dekat sini."
"Oh, ya sudah. Nanti aku tunggu didepan gang sana ya."
Pramoedya bersama anak kecil itu berlari kecil memasuki area Gang Persimpangan Kenangan yang tampak menggelap tanpa pencahayaan lampu. Si anak menuntun Pramoedya menuju ke arah rumahnya yang jaraknya tidak jauh lagi dari posisi mereka berada. Semakin lama berjalan, semakin gelap pula rute gang yang mereka lewati seolah-olah ada monster yang sedang menunggu kedatangan manusia ditengah malam ini. Pramoedya tentu saja merasa ketakutan tetapi sebagai laki-laki yang lebih dewasa ia harus lebih berani.
"Dik, belum sampai juga?"
"Sedikit lagi, kak. Omong-omong nama kakak siapa tadi?"
"Pramoedya. Eh, suara kamu … sepertinya kakak pernah dengar."
"Ah, yang benar aja? Suara aku pasaran. Nah, sudah sampai nih."
Sementara Pramoedya jalan-jalan bersama anak kecil yang tak diketahui namanya itu, Aksan dicegat oleh Mahendra bersama pasukan polisi lainnya yang telah berjaga di seluruh area GPK. Ia mengumpat sebentar, hendak melarikan diri tetapi Mahendra tak akan membiarkan anak itu kabur untuk ketiga kalinya.
"Di mana Pramoedya dan anak itu?!" sahut Rayna yang berjalan menuju Aksan.
"Mereka–"
Ketika Aksan hendak memberitahu posisi temannya itu tiba-tiba ucapannya tertahan akibat kemunculan suara yang lebih-lebih disebut dengan pekikan. Suasana hening sejenak, hanya jangkrik yang berani memecah kesunyian malam itu.
"AKHHH! TOLONG!"
Pekikan memilukan seorang laki-laki dari arah area GPK itu sontak saja mengejutkan Aksan dan Mahendra. Mereka berdua lantas dengan hati-hati memasuki gang tersebut dan mencari asal suara yang masih terdengar hingga detik ini. Dengan lampu senter milik Rayna menerangi sudut gang yang tampak gelap, terlihat seorang lelaki sedang terduduk lemas sambil menggenggam salah satu tangannya yang terluka, darah mengucur begitu deras. Sementara anak kecil dihadapannya menyembunyikan wajah dengan topi.
"Nak! Kamu kenapa?!"
Anak kecil itu terlihat sedang menangis dengan memasukan tangannya ke dalam saku celana. Ia memeluk Mahendra erat-erat seolah telah mengalami kekerasan fisik yang dilakukan oleh Pramoedya. "Saya dipukul oleh kakak itu! Dia jahat! Jahat!"
"Hei, brengsek–"
"DIAM!" tegas Rayna, ia buru-buru memanggil petugas medis untuk menghentikan pendarahan yang dialami Pramoedya dan tak ingin anak itu melontarkan kata-kata kasar.
"Terima kasih, Pak, sudah menyelamatkan saya. Omong-omong saya tidak perlu diantar lagi, rumah saya ada di sebelah sini." Anak kecil itu membungkuk dengan hormat, masih menutupi wajahnya dengan topi dan pergi secepat kilat, bergabung bersama kegelapan malam.
Mahendra membawa Aksan dan Pramoedya menuju Polsekta Jakarta Selatan untuk dimintai keterangan lebih lanjut dengan diiringi isak tangis Pramoedya yang tidak kunjung usai. Ia mendapatkan pertolongan medis setelah tangan kirinya mendapatkan luka sayatan kecil. Selama di perjalanan, laki-laki itu enggan berkomentar apa pun, intinya hanya diam saja.
Rayna bersama Mahendra duduk bersebelahan di ruang Penyidik Anak. Aksan dan Pramoedya duduk bersebelahan dan menjalani proses interogasi.
"Aksan, Pramoedya dan sepuluh siswa SMANJA lainnya yang turut serta dalam balapan liar. Meski alasannya cuma bersenang-senang tetapi ini telah memunculkan kekhawatiran bagi masyarakat setempat." Mahendra membacakan berkas yang isinya hal-hal yang sudah dicatat perihal masalah yang dilakukan oleh anak-anak yang terlibat.
Rayna mengatur posisi duduknya dan memandangi salah satu anak dengan tatapan tajam. "Pramoedya, sesuai apa yang terjadi dengan anak kecil itu dan kamu … bisa jelaskan bagaimana kronologi lengkapnya?"
"Anak itu bersalah. Bukan saya. Saya adalah korban. Bukan saya pelakunya!" tutur Pramoedya berusaha meyakinkan ucapannya dihadapan dua penyidik yang kini sedang fokus menyimak.
"Kalian pikir anak kecil bisa dengan mudah dipercaya hanya karena kata-katanya yang masih lugu? Bapak lihat bagaimana anak itu memasukkan tangannya ke saku celana setelah Bapak menemui saya yang sedang kesakitan? Sebenarnya anak itu membawa pisau. Dan dia dengan cepat menyayat tangan kiri saya dengan pisau yang masih tajam itu. Pernyataan jujurnya soal saya melakukan pukulan padanya itu adalah kebohongan semata. Saya tidak pernah melakukan hal sedemikian kasarnya! Seharusnya kalian percaya dengan saya. Bukannya dengan bocah kematian itu!"
"Mustahil. Bagaimana mungkin seorang anak kecil membawa benda tajam apalagi menggunakan pisau untuk menyayat seseorang?" bantah Rayna sembari menyilangkan tangan. Pramoedya lantas membulatkan matanya, hampir-hampir copot.
Mahendra menenangkan anak itu agar tidak bertingkah terlalu agresif. "Apa kamu mengenal anak kecil itu, Pramoedya?"
"Tidak. Tapi dari suaranya … saya pikir saya pernah bertemu dengan anak itu."
"Oh? Di mana?"
"Di … depan gerbang sekolah SMANJA, sewaktu pulang sekolah. Kalau tidak salah ingat sih," jawab Pramoedya sambil memandang cicak yang menempel di dinding.
"Apa yang kamu lakukan dengan anak kecil yang kamu temui di sana?"
Perubahan ekspresi Pramoedya dari yang semula trauma kini menjadi liar layaknya harimau yang ingin menerkam mangsa dengan senyum iblis. "Bapak mau tahu? Saya membully dan melecehkan anak itu."
"Kamu tidak tahu ya kalau itu perbuatan yang sangat tidak baik?!" sahut Rayna memukul meja kayu sebagai bentuk kemarahannya terhadap penuturan gila dari Pramoedya.
Pramoedya menyentuh tangan kirinya yang telah diperban sembari bersiul. "Ah, tidak baik apanya, Bu? Justru saya sangat menyukai itu. Melihat dia menangis dan cengeng seperti bayi yang baru lahir … hahaha–aish!"
Aksan mencubit lengan temannya yang sedikit gila, sebagai teman dekat ia tidak bisa membiarkan Pramoedya berbuat diluar batasan. "Jangan tertawa seolah kamu menikmatinya, Mud."
Pramoedya lagi-lagi tidak peduli, malah tersenyum lebar. "Memang. Aku sangat menikmatinya sampai … hampir membuat anak itu nyaris mati! Hahaha--aish!" Kata-katanya diakhiri dengan pekikan setelah Aksan mencubitnya lagi.
Sebelum diperkenankan untuk pulang, pihak polisi lantas menghubungi kedua orang tua bersangkutan datang. Seperti biasanya Mahendra memberi ceramah betapa pentingnya dalam mengawasi dan memberi batasan kepada anak terlebih mereka sudah memasuki masa SMA dimana pergaulan makin bebas. Martinus tampak manggut-manggut saja tanpa berkomentar apa pun, lain halnya dengan orang tua Pramoedya yang begitu kaget dengan kondisi anak semata wayangnya dan mereka bukannya berterima kasih malah menyalahkan polisi.
"Astaga, kalian sebenarnya kerja apa sih? Anak saya sampai dibiarkan terkena luka-luka begini!"
"Oh? Justru kami yang harus bertanya dengan Anda. Apa yang Anda kerjakan sampai membiarkan anak Anda bebas berkeliaran ditengah malam begini? Seharusnya Anda tidak langsung menyalahkan satu pihak!" jelas Rayna sembari mengerutkan kening.
Mahendra menggenggam bahu Ratna untuk menenangkan emosinya, orang tua Pramoedya lantas meminta maaf atas kesalahan mereka yang memang terbukti membiarkan anak berkeliaran bersama teman-temannya hanya karena alasan, "Masih anak-anak jadi mereka perlu pergaulan yang bebas."
Ruang Penyidik Anak kembali sunyi tanpa kehadiran Reyhan yang biasanya laki-laki itu banyak bicara atau melakukan selingan berupa candaan. Mahendra bersama Rayna melanjutkan diskusi mereka berdua tentang persoalan Pramoedya yang masih menarik untuk digali lebih dalam sebab kelihatannya laki-laki itu menyembunyikan rahasia yang belum diketahui.
Mahendra meneguk kopi luwak yang sudah dingin. "Bisa jadi anak kecil yang kita temui tadi ada hubungannya dengan Pramoedya tetapi bukan hubungan yang baik. Pastilah hubungan itu sangat buruk."
Rayna mengangguk tanda setuju. Kemudian tangannya sibuk mengambil berkas yang ada di meja kerjanya berisikan nama-nama penyakit yang menyerang gejala psikis dan fisik anak. "Kau melihat anak itu kan? Benar-benar gila, anak itu seharusnya masuk ke rumah sakit jiwa!"
"Ray, tenang. Aku tahu kok kamu pasti kesal dengan tingkah anak-anak zaman sekarang. Banyak orang beranggapan bahwa kelakuan anak benar-benar diluar dugaan dan sinting di mata kita. Tapi sebenarnya semua pertumpahan darah dan kegilaan yang ada tidak sepenuhnya dilakukan oleh anak-anak itu. Percayalah. Divisi Penyidik Anak memang harus memiliki kesabaran yang luar biasa dalam menghadapi segala gempuran anak. Ini hari pertama kerjamu, aku yakin besok kamu akan belajar lebih banyak untuk bisa lebih tenang."
"Inilah alasannya kenapa dari dulu kamu mau bergabung ke Divisi Penyidik Anak ya? Sampai jumpa besok, Wica."
Mereka berdua mengakhiri malam yang melelahkan itu dengan pulang ke rumah masing-masing dan bersiap dengan segala masalah yang akan menghadang esok hari.
*Padahal orang-orang lebih suka memanggil tokoh utamanya dengan Mahendra atau Hendra, tetapi Rayna tidak. Ia lebih memilih untuk memanggil dengan nama belakangnya yaitu Wica. Ah, jangan dianggap serius deh!
"Selamat pagi, Pak Martinus. Hari ini saya mendapat kabar baru bahwa Olimpiade Sains Nasional akan dilaksanakan di bulan November nanti. Saya harap Anda menyiapkan anak-anak didik yang siap mental dan juga pikiran untuk mengikuti ajang olimpiade ini." Seorang pria dengan seragam dinas lengkap dengan pangkatnya terlihat sedang senyum-senyum sambil mengobrol singkat bersama kepala sekolah SMANJA.
"Ah, terima kasih! Saya pun berharap demikian."
SMANJA tak pernah ketinggalan informasi seputar lomba atau kompetisi di bidang pendidikan sebab selalu saja ada utusan atau pejabat daerah yang sekadar datang dan memberikan kesempatan selebar-lebarnya kepada sekolah elite di Jakarta ini untuk mencari prestasi setinggi-tingginya. Kalau dipikir-pikir Martinus bisa sampai tiga kali berjabat tangan dalam sehari dengan orang yang berbeda. Kredibilitas kepala sekolah itupun mulai dilirik oleh publik yang makin mengharumkan nama sekolah tercinta.
Karena itulah untuk meningkatkan kualitas peserta didik para guru diharapkan tidak main-main dalam menjalankan tugas atau lalai sebab nilai dan citra sekolah memberi sampul yang akan selalu mencerahkan SMANJA. Bagi Mahendra sendiri yang sebenarnya perlu ditingkatkan bukan hanya soal nilai saja tetapi moral. Meski angka-angka dalam raport atau ijazah masih jadi hal utama yang harus dicapai oleh semua siswa-siswi.
"Astaga, sebagai wali kelas 11-A di bidang Bahasa Indonesia, aku benar-benar malu."
Mahendra mengamati daftar nilai dari setiap kelas yang dia himpun setiap harinya yang terfokus pada nilai rata-rata ulangan harian Bahasa Indonesia. Dari kelas 11-A hingga 11-H, tercatat bahwa kelas 11-B sampai 11-H adalah kelas dengan rata-rata ulangan harian tertinggi, intinya semua nilai siswa di atas 70. Sementara bagaimana dengan kelas 11-A yang terkenal dengan cap sebagai kelas paling sedikit dan paling ribut? Rata-ratanya sangat rendah, bahkan yang mendapat nilai di atas 80 cuma Aksan dan Adelia. Sisanya? Kurang dari itu.
Banyak atau sedikitnya siswa dalam suatu kelas bukan tanda apakah kelas itu bisa ditangani dan diatur dengan baik. Melainkan sebagai cerminan bahwa perilaku tetap nomor satu. Sebagai guru mata pelajaran bahasa Indonesia, ini benar-benar mengecewakan hati Mahendra. Dia pun tak bisa marah-marah, hanya mampu mengelus dada.
"Semoga aku tidak kena desas-desus yang tidak sedap lagi. Hadeh."